LOGINPagi itu terasa lebih berat dari biasanya. Liana datang ke kantor jauh lebih awal, dengan harapan bisa menghindari tatapan Tuan Eldric yang masih membekas di pikirannya sejak malam itu. Bayangan Eldric yang mabuk, wajahnya yang nyaris tak dikenali, dan suaranya yang bergetar di antara kesadaran, semuanya masih jelas.
Ia bahkan tak tahu bagaimana harus bersikap sekarang. Haruskah ia berpura-pura tidak terjadi apa-apa? Suara langkah sepatu terdengar dari arah pintu kaca. Liana sontak menegakkan punggungnya, Eldric Adrian baru saja tiba. Pria itu mengenakan jas hitam sempurna seperti biasa, wajahnya tanpa ekspresi, tapi entah mengapa, sorot matanya berbeda. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang tak bisa Liana jelaskan, seperti amarah yang disembunyikan, bercampur dengan rasa tidak nyaman. “Laporan minggu lalu belum ada di mejaku,” ucap Eldric dingin, menaruh tas kerjanya di meja. Suara itu tenang, tapi tajam. “Sudah saya kirim lewat email, Tuan,” jawab Liana pelan. “Email bukan alasan. Saya ingin melihat hasil kerjamu langsung.” Nada bicaranya membuat udara di ruangan seolah membeku. Liana buru-buru mengambil map dari meja, menyerahkannya dengan kedua tangan. Eldric hanya menatapnya sekilas, lalu mengambil map itu tanpa menyentuh tangannya. “Baik,” gumamnya datar. Selama beberapa jam berikutnya, suasana kantor benar-benar sunyi. Eldric sibuk dengan laptopnya, sementara Liana menunduk di depan meja, pura-pura fokus. Tapi dari sudut matanya, ia sempat melihat sesuatu yang aneh. Eldric menatapnya sekilas. Bukan tatapan marah, bukan juga tatapan tertarik. Lebih seperti seseorang yang berusaha memahami sesuatu yang bahkan ia sendiri tak mengerti. Ketika jam makan siang tiba, Liana berdiri pelan, hendak meninggalkan ruangan. “Liana.” Suara itu menahannya di tempat. Ia berbalik dengan gugup. “Ya, Tuan?” Eldric menatap layar laptopnya, tidak menoleh sedikit pun. “Mulai besok, jangan pulang larut malam sendirian. Saya tidak ingin karyawan saya terlibat masalah di luar kantor.” Liana terdiam, Sebuah kalimat yang terdengar seperti perintah biasa. Ia pun menunduk dalam. “Baik, Tuan.” *** Nada pesan di ponsel Eldric berbunyi tepat pukul enam sore. Dari Father, singkat, padat, seperti biasa. “Jangan lupa makan malam di rumah utama malam ini. Semua keluarga hadir, Freya juga akan datang.” Jemari Eldric terhenti di atas keyboard. Matanya menatap layar itu lama, tanpa ekspresi. Namun di balik tenangnya wajah, dadanya terasa sesak. Freya. Nama itu masih mampu membuat dadanya bergetar halus, bahkan setelah bertahun-tahun mencoba melupakan. Ia menghela napas dalam, menutup laptop, lalu berdiri. “Freya, huh…” gumamnya lirih. Senyum sinis muncul di ujung bibirnya, senyum yang tak mengandung kebahagiaan sama sekali. * Malam harinya... Rumah utama keluarga Adrian berdiri megah di tengah perbukitan kota. Lampu-lampu kristal berkilau di setiap sudut ruang makan, meja panjangnya penuh dengan hidangan mewah. Tapi Eldric tak merasakan apa-apa selain dingin dan hampa. Begitu ia masuk, semua kepala menoleh ke arahnya. “Datang juga akhirnya,” suara ayahnya terdengar berat, namun datar. Eldric hanya menunduk sedikit. “Saya tidak bisa menolak undangan keluarga, Ayah.” Lalu, suara langkah lembut terdengar dari arah tangga. Freya. Gaun putih sederhana membalut tubuhnya. Rambutnya disanggul rapi, dan senyum kecil muncul di wajahnya, senyum yang dulu pernah membuat Eldric merasa dunia berhenti berputar. Kini, senyum yang sama hanya membuat dadanya perih. “Eldric…” Freya menyapanya pelan, seperti takut-takut. Eldric menoleh sekilas. Tatapannya tajam, dingin, nyaris tak mengenal. “Ny. Freya Adrian,” ucapnya datar. “Sudah lama.” Senyum di wajah Freya perlahan memudar. Ia menunduk, memainkan cincin di jarinya, cincin yang dulu seharusnya untuk Eldric, bukan untuk kakaknya. Tiba-tiba Lucas datang dan merangkul pinggul Freya dengan mesra. Seakan-akan menunjukkan kepada adiknya, bahwa Freya miliknya selamanya. "Eldric, apa kabar?" Sapanya kepada Eldric. "Sangat baik." Jawab Eldric datar. "Ayo kita mulai, Ayah sudah lapar." Makan malam pun di mulai. Sepanjang makan malam, percakapan keluarga berjalan seperti biasa, tentang bisnis, saham, dan rencana proyek baru. Eldric duduk di ujung meja, tenang, jarang bicara. Tapi setiap kali Freya tertawa kecil mendengar lelucon sang suami, ia merasakan sesuatu mencengkeram dadanya. Tidak lagi cinta, Lebih seperti luka yang belum sempat sembuh. ** “Eldric,” suara Freya memecah kesunyian, setelah semua orang selesai makan. Mereka berdua kebetulan berdiri di taman belakang. “Apa kau masih marah padaku?” tanyanya pelan. Eldric menatapnya lama. “Tidak,” jawabnya singkat. “Lalu kenapa kau selalu bersikap dingin padaku?” “Karena aku belajar dari kesalahanku, Freya.” Freya menatapnya dengan mata yang bergetar. “Kesalahan mencintaiku, maksudmu?” Eldric tersenyum miring. “Kesalahan mempercayai perasaan manusia.” Ia berbalik, meninggalkannya di bawah cahaya lampu taman. Freya hanya bisa menatap punggung itu menjauh, punggung yang dulu ingin ia kejar, tapi kini terasa terlalu jauh untuk disentuh lagi. ********Suara langkah di koridor terdengar semakin mendekat, mendekati Liana yang masih berdiri terpaku di depan pintu ruang direktur. “Mantan kekasih Eldric.” Kalimat itu terus terngiang di kepalanya, menggema lebih lama dari seharusnya. Ia menoleh pelan, menatap sumber suara tadi adalah Vera, yang kini menatapnya dengan wajah penuh rasa ingin tahu, seolah baru saja membocorkan rahasia besar tanpa benar-benar bermaksud. “Kamu serius?” suara Liana nyaris berbisik. Vera mengangkat bahu. “Aku nggak tahu detailnya, tapi orang-orang di sini sempat ngomong begitu. Katanya, dulu mereka kerja bareng di luar negeri, dan yah, sesuatu terjadi.” Sesuatu. Kata itu membuat dada Liana terasa aneh. Ia tak tahu kenapa, tapi bayangan Freya dan Eldric duduk berhadapan di ruang itu, dengan keheningan yang padat dan tatapan yang hanya bisa dimengerti dua orang yang punya masa lalu membuat hatinya bergetar tak nyaman. “Udah ah, jangan dipikirin,” kata Vera sambil berbalik. “Kita kan cuma staf bia
Ruang rapat perlahan kosong. Satu per satu staf keluar sambil membawa berkas dan laptop mereka. Suara langkah sepatu semakin menjauh hingga hanya tersisa dua orang di sana. Eldric masih duduk di kursinya, membolak-balik halaman laporan yang sebenarnya sudah ia hafal luar kepala. Sementara Freya berdiri, merapikan dokumennya tanpa banyak suara. Hening, Hanya terdengar suara pendingin ruangan yang menderu pelan. Freya akhirnya membuka suara lebih dulu. “Terima kasih sudah mau memimpin proyek ini, Eldric. Aku tahu kamu tidak menyukainya.” Eldric menutup map di depannya, menatap lurus ke arahnya. “Aku tidak punya pilihan, Freya. Ini urusan bisnis.” “Tetap saja,” gumam Freya pelan. “Aku tahu kamu tidak akan melakukan sesuatu kalau tidak benar-benar perlu.” Eldric berdiri, memasukkan tangan ke saku celananya. Tatapannya tajam, tapi suaranya tenang. “Kau juga masih sama. Datang dengan senyum sopan, tapi menyimpan terlalu banyak hal di baliknya.” Freya menelan ludah, mencoba memperta
Eldric bersandar di kursinya, menatap sisa anggur di gelasnya tanpa minat. Ibunya, Nyonya Dalton, menatapnya lama sebelum berkata pelan, “Sekarang Freya tampak lebih dewasa ya?” Eldric mengangkat alisnya sedikit, tapi tak menatap Ibunya. “Mungkin. Tapi waktu tidak mengubah semuanya, Bu.” Ayahnya terkekeh, nada suaranya ringan, tapi mengandung makna. “Kau masih sama keras kepalanya. Padahal dulu, kalau tidak salah, kau yang paling berjuang untuk gadis itu.” Eldric menegakkan tubuhnya perlahan, ekspresinya tetap dingin. “Dulu, Ayah. Sekarang sudah lewat.” Nyonya Dalton menatap putranya lembut. “Tidak semua masa lalu harus dibuang begitu saja, Eldric. Kadang, yang sudah hancur masih bisa diperbaiki.” Eldric tersenyum tipis, getir. “Tapi kalau fondasinya sudah retak, buat apa dibangun lagi. Cepat atau lambat, tetap akan runtuh.” Hening kembali menyelimuti meja itu. Hanya terdengar desahan kecil dari Ibunya, dan tatapan ayahnya yang sulit dibaca. “Baiklah,” ujar Tuan Dalton akhir
Pagi itu terasa lebih berat dari biasanya. Liana datang ke kantor jauh lebih awal, dengan harapan bisa menghindari tatapan Tuan Eldric yang masih membekas di pikirannya sejak malam itu. Bayangan Eldric yang mabuk, wajahnya yang nyaris tak dikenali, dan suaranya yang bergetar di antara kesadaran, semuanya masih jelas. Ia bahkan tak tahu bagaimana harus bersikap sekarang. Haruskah ia berpura-pura tidak terjadi apa-apa? Suara langkah sepatu terdengar dari arah pintu kaca. Liana sontak menegakkan punggungnya, Eldric Adrian baru saja tiba. Pria itu mengenakan jas hitam sempurna seperti biasa, wajahnya tanpa ekspresi, tapi entah mengapa, sorot matanya berbeda. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang tak bisa Liana jelaskan, seperti amarah yang disembunyikan, bercampur dengan rasa tidak nyaman. “Laporan minggu lalu belum ada di mejaku,” ucap Eldric dingin, menaruh tas kerjanya di meja. Suara itu tenang, tapi tajam. “Sudah saya kirim lewat email, Tuan,” jawab Liana pelan. “Email bukan alasan
Cahaya matahari menembus tirai tipis, membias lembut ke dalam ruangan yang masih berantakan. Bau alkohol samar-samar masih terasa di udara.Eldric mengerang pelan, menekan pelipisnya yang berdenyut hebat, kepalanya terasa berat, mulut kering. Ia duduk perlahan di tepi ranjang, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam, hanya potongan gambar yang datang dan pergi. Klub malam, suara Damon, lalu…Seseorang memanggil namanya.Dan kini, di sisi ruangan, ia melihat sesosok gadis tertidur di kursi dengan kepala bersandar di tepi ranjang. Rambut hitamnya terurai lembut, wajahnya terlihat lelah, tapi damai.Liana.Eldric mengerjap pelan, seketika, kesadarannya kembali penuh. Ia memandang sekeliling, jas nya di sofa, meja berantakan, dan segelas air di nakas. Keningnya berkerut, saat melihat Liana di sana.“Apa yang dia lakukan di sini?”Suara beratnya membuat Liana terbangun. Gadis itu buru-buru bangkit, sedikit panik.“T-Tuan Eldric! Anda sudah bangun?”Eldric menatap tajam. “Apa yang kau la
Kota sudah mulai sepi ketika Eldric memutuskan keluar dari kantor. Hujan berhenti, tapi langit masih berwarna kelabu. Di depan lobi, seorang pria berjas abu-abu menunggunya sambil menepuk bahu sopir Eldric.“Lama banget, Bro. Gue kira Lo nggak jadi,”Suara berat itu milik Damon, teman lama Eldric sejak masa kuliah, orang yang tahu sisi-sisi yang tidak pernah dilihat publik.Eldric hanya menatap singkat. “Aku butuh udara.”“Udara atau pelarian?” Damon tersenyum miring. “Ayo, gue tau tempat yang pas buat itu.”**Lampu neon berkedip, musik berdentum, dan aroma alkohol bercampur parfum memenuhi ruangan. Eldric duduk di kursi VIP, kemejanya terbuka satu kancing, tangan kirinya memegang gelas berisi cairan berwarna amber.Damon bersandar di sebelahnya, menatap ke arah panggung dansa. “Kau tahu, sejak Freya menikah, kau gak pernah benar-benar hidup, Ric.”Eldric diam. Tidak menoleh, tidak bereaksi.Damon melanjutkan, “Tujuh tahun, Bro. Tujuh tahun Lo sibuk nyiksa diri lo sendiri. Perusahaan







