LOGINCahaya matahari menembus tirai tipis, membias lembut ke dalam ruangan yang masih berantakan. Bau alkohol samar-samar masih terasa di udara.
Eldric mengerang pelan, menekan pelipisnya yang berdenyut hebat, kepalanya terasa berat, mulut kering. Ia duduk perlahan di tepi ranjang, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam, hanya potongan gambar yang datang dan pergi. Klub malam, suara Damon, lalu… Seseorang memanggil namanya. Dan kini, di sisi ruangan, ia melihat sesosok gadis tertidur di kursi dengan kepala bersandar di tepi ranjang. Rambut hitamnya terurai lembut, wajahnya terlihat lelah, tapi damai. Liana. Eldric mengerjap pelan, seketika, kesadarannya kembali penuh. Ia memandang sekeliling, jas nya di sofa, meja berantakan, dan segelas air di nakas. Keningnya berkerut, saat melihat Liana di sana. “Apa yang dia lakukan di sini?” Suara beratnya membuat Liana terbangun. Gadis itu buru-buru bangkit, sedikit panik. “T-Tuan Eldric! Anda sudah bangun?” Eldric menatap tajam. “Apa yang kau lakukan di sini?” “Saya-” Liana menelan ludah. “Anda mabuk semalam, dan Tuan Damon menelepon saya. Tidak ada yang bisa membawa Anda pulang, jadi saya-” “Jadi kau pikir boleh masuk seenaknya ke apartemen ku?” suaranya naik, tajam. “Apa kau lupa siapa dirimu?” Liana terdiam, menunduk. “Maaf, Tuan. Saya hanya tidak ingin Anda tertinggal di tempat seperti itu.” “Tidak perlu alasan.” Eldric bangkit dari ranjang, langkahnya dingin, suara detak jam terdengar jelas di antara jarak mereka. “Kau sekretarisku, bukan pengasuhku. Lain kali, jangan lancang!” Liana menunduk lebih dalam. Tangannya mengepal di sisi tubuh, menahan perasaan yang tidak bisa ia jelaskan. “Baik, Tuan. Saya mengerti.” Eldric menatapnya lama, terlalu lama. Ada sesuatu di sorot matanya yang sulit ditebak, marah, malu, atau justru takut karena rahasianya semalam sempat terlihat. Ia berbalik, berjalan menuju kamar mandi tanpa berkata lagi. Liana menatap ke lantai, matanya memanas, tapi ia menahan diri. Hatinya sedikit perih, bukan karena bentakan Eldric, tapi karena ia tahu, mungkin pria itu marah bukan pada dirinya, melainkan pada dirinya sendiri. Beberapa menit kemudian, Eldric keluar lagi, kini dengan pakaian rapi seperti biasa. Wajahnya datar, tenang, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. “Liana,” katanya dingin, “Aku akan masuk kantor siang ini. Pastikan semua laporan proyek Ravas Group sudah selesai sebelum aku tiba.” Liana menatapnya sekilas. “Baik, Tuan.” Ia mengambil tasnya, melangkah menuju pintu. Namun sebelum keluar, Eldric sempat berhenti sejenak. Suara pelan keluar dari bibirnya, hampir tak terdengar. “Terima kasih.” Liana menatap punggungnya yang menjauh. Kata itu singkat, tapi cukup untuk membuat dadanya sesak. Ia tahu Eldric tidak mudah mengucapkannya. Mungkin, di balik dinginnya, ada sedikit rasa yang bahkan Eldric sendiri belum mau akui. Saat pintu tertutup, ruangan kembali sunyi. Liana menghela napas panjang, menatap ke arah ranjang yang semalam ia jaga. “Dia marah, tapi...kalau bukan aku, siapa lagi yang akan peduli padanya?” Setelah itu, Liana pun bergegas keluar dari Apartemen Eldric, Apartemen mewah yang terlihat sepi dan sunyi. Mungkin Eldric hanya tinggal sendiri, beruntung Demon sudah memberitahu pin pintu apartemen Eldric. Liana pulang ke Apartemen nya, karena pagi ini ia harus pergi lebih awal ke Kantor, untuk menyiapkan berkas dan jadwal Eldric di hari ini. Kalau ia lalai, yang ada ia akan melihat kemarahan Eldric di Kantor. Setelah tiba di apartemennya, Liana bergegas mandi dan juga membuat sarapan. Ia tidak ingin terlambat masuk ke kantor, karena ia takut jika terlambat akan mendapat amukan dari Eldric. kemarahan itulah yang sangat dia hindari, jangankan melihat kemarahannya, melihat sang CEO lewat di hadapannya pun membuat dirinya sering ketakutan. "Berasa jadi teroris kalau begini terus." gumam Liana, karena ia merasa selalu dibawah bayang-bayang sang CEO dan merasa ketakutan di setiap kali ingin pergi ke Kantor. "Semangat Liana, semoga hari ini tidak dapat tatapan tajam." Ucapnya dengan semangat, agar ia bisa meredam rasa takut di hatinya.Pagi itu terasa lebih berat dari biasanya. Liana datang ke kantor jauh lebih awal, dengan harapan bisa menghindari tatapan Tuan Eldric yang masih membekas di pikirannya sejak malam itu. Bayangan Eldric yang mabuk, wajahnya yang nyaris tak dikenali, dan suaranya yang bergetar di antara kesadaran, semuanya masih jelas. Ia bahkan tak tahu bagaimana harus bersikap sekarang. Haruskah ia berpura-pura tidak terjadi apa-apa? Suara langkah sepatu terdengar dari arah pintu kaca. Liana sontak menegakkan punggungnya, Eldric Adrian baru saja tiba. Pria itu mengenakan jas hitam sempurna seperti biasa, wajahnya tanpa ekspresi, tapi entah mengapa, sorot matanya berbeda. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang tak bisa Liana jelaskan, seperti amarah yang disembunyikan, bercampur dengan rasa tidak nyaman. “Laporan minggu lalu belum ada di mejaku,” ucap Eldric dingin, menaruh tas kerjanya di meja. Suara itu tenang, tapi tajam. “Sudah saya kirim lewat email, Tuan,” jawab Liana pelan. “Email bukan alasan
Cahaya matahari menembus tirai tipis, membias lembut ke dalam ruangan yang masih berantakan. Bau alkohol samar-samar masih terasa di udara.Eldric mengerang pelan, menekan pelipisnya yang berdenyut hebat, kepalanya terasa berat, mulut kering. Ia duduk perlahan di tepi ranjang, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam, hanya potongan gambar yang datang dan pergi. Klub malam, suara Damon, lalu…Seseorang memanggil namanya.Dan kini, di sisi ruangan, ia melihat sesosok gadis tertidur di kursi dengan kepala bersandar di tepi ranjang. Rambut hitamnya terurai lembut, wajahnya terlihat lelah, tapi damai.Liana.Eldric mengerjap pelan, seketika, kesadarannya kembali penuh. Ia memandang sekeliling, jas nya di sofa, meja berantakan, dan segelas air di nakas. Keningnya berkerut, saat melihat Liana di sana.“Apa yang dia lakukan di sini?”Suara beratnya membuat Liana terbangun. Gadis itu buru-buru bangkit, sedikit panik.“T-Tuan Eldric! Anda sudah bangun?”Eldric menatap tajam. “Apa yang kau la
Kota sudah mulai sepi ketika Eldric memutuskan keluar dari kantor. Hujan berhenti, tapi langit masih berwarna kelabu. Di depan lobi, seorang pria berjas abu-abu menunggunya sambil menepuk bahu sopir Eldric.“Lama banget, Bro. Gue kira Lo nggak jadi,”Suara berat itu milik Damon, teman lama Eldric sejak masa kuliah, orang yang tahu sisi-sisi yang tidak pernah dilihat publik.Eldric hanya menatap singkat. “Aku butuh udara.”“Udara atau pelarian?” Damon tersenyum miring. “Ayo, gue tau tempat yang pas buat itu.”**Lampu neon berkedip, musik berdentum, dan aroma alkohol bercampur parfum memenuhi ruangan. Eldric duduk di kursi VIP, kemejanya terbuka satu kancing, tangan kirinya memegang gelas berisi cairan berwarna amber.Damon bersandar di sebelahnya, menatap ke arah panggung dansa. “Kau tahu, sejak Freya menikah, kau gak pernah benar-benar hidup, Ric.”Eldric diam. Tidak menoleh, tidak bereaksi.Damon melanjutkan, “Tujuh tahun, Bro. Tujuh tahun Lo sibuk nyiksa diri lo sendiri. Perusahaan
Pertemuan berlangsung lebih lama dari yang ku perkirakan. Setiap kali Eldric berbicara, semua mata tertuju padanya, percaya atau takut, aku sendiri tak tahu. Hanya saja, setiap nada suaranya terdengar pasti, tegas, dan tak memberi ruang sedikit pun untuk kesalahan.Aku duduk di sisi ruangan, mencatat setiap poin yang disampaikan. Sesekali, tatapannya menembus arahku. Bukan marah, tapi cukup untuk membuatku menunduk cepat, pura-pura sibuk menulis.Saat pertemuan berakhir, semua orang bergegas meninggalkan ruangan. Eldric masih berdiri, tangannya bersedekap, menatap keluar jendela besar yang memperlihatkan langit mendung.“Liana,” panggilnya pelan, namun cukup tegas untuk membuatku berhenti.Aku menelan ludah. “Ya, Tuan?”Ia menoleh perlahan. Tatapan itu tajam, tapi entah kenapa terasa sangat dalam.“Kau gugup?” tanyanya tiba-tiba.Aku menggeleng cepat. “Tidak, Tuan. Hanya sedikit-”“Simpan alasanmu.” Ia berjalan mendekat.“Aku tahu kau masih tertekan soal kemarin. Tapi di sini, kesalah
Hari itu kantor terasa lebih sunyi dari biasanya. Mungkin hanya perasaanku saja, atau mungkin memang semua orang sengaja menahan napas setiap kali Eldric Adrian berjalan melewati koridor.Aku mengetik laporan pagi di meja kecil di luar ruangannya. Jemariku nyaris tak berhenti bergerak, tapi pikiranku terus melayang ke insiden rapat kemarin. Sejak saat itu, Eldric tak banyak bicara padaku, tapi setiap tatapan dinginnya seolah mengingatkan, aku tidak boleh salah lagi.Suara langkah sepatu terdengar mendekat.Aku spontan menegakkan punggung, menahan napas.“Masuk.”Suaranya datar, tapi cukup untuk membuat jantungku berpacu.Aku membuka pintu perlahan, membawa berkas yang baru saja selesai. Eldric duduk di kursinya, menatap layar laptop tanpa ekspresi. Wajahnya terlihat tenang, tapi aku tahu, ketenangannya justru yang paling berbahaya.“Kau sudah periksa data keuangan yang ku kirim semalam?” tanyanya tanpa menoleh.“Sudah, Tuan. Semuanya lengkap,” jawabku hati-hati.“Lengkap?”Ia menutup
Keesokan harinya.Sudah lewat pukul sembilan pagi, dan aku masih berdiri di depan ruangan itu, ruangan yang kemarin nyaris menghancurkan hidupku.Aku menatap papan nama di depan pintu: Eldric Adrian, Chief Executive Officer.Nama yang kini selalu terngiang di kepalaku.Setelah insiden memalukan kemarin, aku pikir aku akan langsung dipecat. Tapi justru sebaliknya, aku dipanggil ke kantor HR dan diberi surat mutasi.“Mulai hari ini, kamu jadi asisten pribadi Tuan Eldric,” kata HR dengan wajah datar, seolah itu hal biasa.Aku bahkan tak tahu harus bersyukur atau menangis."Tarik napas, Liana. Ini hanya pekerjaan. Kau bisa melakukannya."Klek, aku pun membuka pintu.Aku melangkah masuk. Eldric sudah duduk di kursinya, mengenakan setelan jas abu gelap. Rambutnya tertata rapi, ekspresinya datar dan tak terbaca. Aura dingin yang kemarin ku rasakan kini bahkan lebih kuat.“Datang tepat waktu. Setidaknya kau tahu caranya mematuhi perintah,” ujarnya tanpa menatap ku.Aku menelan ludah. “Baik, T







