LOGINKota sudah mulai sepi ketika Eldric memutuskan keluar dari kantor. Hujan berhenti, tapi langit masih berwarna kelabu. Di depan lobi, seorang pria berjas abu-abu menunggunya sambil menepuk bahu sopir Eldric.
“Lama banget, Bro. Gue kira Lo nggak jadi,” Suara berat itu milik Damon, teman lama Eldric sejak masa kuliah, orang yang tahu sisi-sisi yang tidak pernah dilihat publik. Eldric hanya menatap singkat. “Aku butuh udara.” “Udara atau pelarian?” Damon tersenyum miring. “Ayo, gue tau tempat yang pas buat itu.” ** Lampu neon berkedip, musik berdentum, dan aroma alkohol bercampur parfum memenuhi ruangan. Eldric duduk di kursi VIP, kemejanya terbuka satu kancing, tangan kirinya memegang gelas berisi cairan berwarna amber. Damon bersandar di sebelahnya, menatap ke arah panggung dansa. “Kau tahu, sejak Freya menikah, kau gak pernah benar-benar hidup, Ric.” Eldric diam. Tidak menoleh, tidak bereaksi. Damon melanjutkan, “Tujuh tahun, Bro. Tujuh tahun Lo sibuk nyiksa diri lo sendiri. Perusahaan Lo makin besar, tapi Lo makin kosong.” Satu seruput minuman, lalu satu lagi. Tatapan Eldric mulai kosong, tapi suaranya tetap tenang. “Aku tidak butuh hidup untuk cinta, Damon. Cinta hanya alasan orang bodoh untuk menyerah.” “Lucas bukan bodoh,” sahut Damon pelan. Kalimat itu membuat Eldric menegang. Jemarinya mencengkeram gelas sampai nadinya menonjol. “Jangan sebut namanya,” suaranya berat, nyaris seperti geraman. “Lihat? Lo masih belum selesai sama masa lalu, Ric. Lo bisa bohong ke dunia, tapi Lo gak bisa bohong ke diri Lo sendiri.” Damon menatapnya lama, lalu meneguk minumannya juga. “Freya udah bahagia, Lo juga harusnya begitu.” Eldric menatap kosong ke arah meja, lalu tertawa kecil, tawa pahit yang bahkan tak sampai ke matanya. “Bahagia?” katanya lirih. “Itu kata yang gak pernah cocok sama gue.” ** Waktu berlalu tanpa terasa. Beberapa botol sudah kosong, dan musik semakin keras. Eldric bersandar, matanya mulai berat. Dunia di sekelilingnya berputar, tapi pikirannya malah penuh kenangan yang ingin ia lupakan. Wajah Freya muncul di antara kilatan lampu. Senyum lembut itu. Tatapan yang dulu membuatnya merasa hidup. Sekarang, hanya menyisakan perih. Ia memejamkan mata, kepalanya jatuh di sandaran sofa. Damon menghela napas panjang, lalu mengambil ponsel yang berdering di meja. Layar menunjukkan nama Liana. “Liana?” gumam Damon, dengan alis bertaut. Ia menatap Eldric yang sudah setengah sadar, lalu mengangkat panggilan. “Halo?” Suara di seberang terdengar gugup. “Permisi, Tuan Eldric ada? Saya Liana. Ada dokumen penting yang perlu saya sampaikan malam ini.” Liana tahu, itu bukan suara Eldric. “Oh… Eldric?” Damon tertawa kecil, setengah heran, setengah iba. “Sayang sekali, nona. Tuan besar kita sedang mabuk berat. Dan sepertinya gak ada yang cukup waras buat bawa dia pulang.” Liana terdengar kaget. “M-mabuk?” “Ya. Di klub The Velvet Room, lantai dua, ruang VIP kanan.” Damon mengusap wajahnya. “Aku Damon, aku juga udah kebanyakan minum, gak mungkin nyetir. Jadi kalau kau peduli sama bosmu, lebih baik cepat ke sini.” “Tapi-” “Cepat saja, nona. Sebelum dia benar-benar pingsan di meja.” Klik. Panggilan berakhir. Damon menatap Eldric yang sudah memejamkan mata sepenuhnya, wajahnya setengah tertutup rambut. Ia menggeleng pelan. “Lo beneran butuh seseorang buat narik Lo keluar dari semua ini, Bro. Tapi entah siapa yang cukup gila buat nyoba.” Di luar, malam makin larut. Dan di kejauhan, Liana sudah bersiap meninggalkan apartemennya, untuk menjemput Eldric. Entah kenalan ia menjadi sepeduli itu kepada atasannya. ** Suara hujan kembali turun ketika taksi berhenti di depan sebuah bangunan dengan lampu-lampu neon mencolok bertuliskan The Velvet Room. Aku menatap ke luar jendela, jantungku berdetak tak karuan. “Ini benar tempatnya?” gumamku pelan. Tangan ku sedikit gemetar saat membayar ongkos, lalu melangkah masuk. Musik keras menyambut ku begitu pintu terbuka, membuat langkahku terasa canggung di antara cahaya remang dan orang-orang yang tertawa tanpa beban. Aku mencari ruang VIP seperti yang dikatakan orang bernama Damon tadi. Setelah bertanya pada pelayan, aku akhirnya berhenti di depan pintu kaca berwarna gelap. “Permisi.” Pintu terbuka, dan di sana, aku melihat Eldric Adrian. Ia duduk di sofa, kepala bersandar, kemeja terbuka, wajahnya tampak lelah tapi tetap, tampan dengan caranya sendiri. Di sebelahnya, seorang pria yang tampak lebih santai, mungkin Damon dan ia melambaikan tangan padaku. “Kau Liana?” tanyanya dengan nada sedikit mabuk. Aku mengangguk cepat. “Ya. Tuan Damon?” “Benar. Maaf, tapi bosmu ini udah gak sadar apa-apa. Biasanya dia gak begini, cuma… yah, malam ini berat buat dia.” Aku menatap Eldric, sedikit bingung. “Berat?” Damon hanya tersenyum samar. “Masa lalu. Perempuan. Hal-hal yang gak bisa diselesaikan meski udah bertahun-tahun.” Aku terdiam. Lalu dengan hati-hati, aku menunduk, menyentuh lengan jas Eldric. “Tuan Eldric, ayo pulang.” Ia tak bergerak, hanya menggumam pelan. “Freya…” Nama itu keluar begitu saja, di antara napas mabuk dan kepedihan. Aku terpaku. Freya? Siapa itu? Damon menatapku sejenak, lalu menghela napas. “Kau tak perlu tahu malam ini. Tolong bawa dia pulang, ya? Supir pribadinya aku suruh pulang lebih dulu tadi.” Aku mengangguk pelan. “Baik, saya akan bawa Tuan Eldric pulang.” Dengan susah payah, aku membantu Eldric berdiri. Tubuhnya berat dan tinggi, membuatku nyaris kehilangan keseimbangan. “Awas, Tuan.” bisikku dan menahan pundaknya agar tidak jatuh. Eldric menatapku sekilas, tatapan kosong, tapi dalam. Sekilas, aku melihat sesuatu di matanya, Luka. Dan entah kenapa, dada ku terasa sesak melihatnya seperti itu. ** Butuh waktu lama untuk memapahnya ke mobil sewaan. Sepanjang jalan, ia diam. Hanya sesekali bergumam dengan suara pelan yang tidak ku mengerti. Aku menatap ke luar jendela, menahan napas setiap kali mobil berguncang. Saat kami sampai di apartemen pribadinya, hujan turun lebih deras. Aku membuka payung, lalu memapahnya masuk dengan tenaga tersisa. Kemejanya lembap, rambutnya berantakan. Aku tahu, aku seharusnya hanya sekretaris. Tapi melihatnya seperti ini, tanpa jas, tanpa wibawa, aku sadar, di balik semua kesempurnaannya, Eldric Adrian hanyalah manusia yang bisa hancur juga. Aku membantu melepas sepatunya, meletakkan jasnya di sofa, lalu menutup jendela yang terbuka separuh. Ia terbaring di ranjang, wajahnya tenang tapi lelah, sesekali ia mengerang pelan. Aku mendekat, menatapnya dari sisi tempat tidur. “Tuan…” bisikku. Tak ada jawaban. Namun tiba-tiba, tangannya bergerak. Mencari sesuatu, lalu tanpa sengaja menggenggam jemari ku. Aku terkejut, Genggamannya kuat, seolah takut kehilangan sesuatu. “Jangan pergi…” suaranya parau, nyaris tak terdengar. Aku menatapnya lama, Ada sesuatu di balik kata-kata itu, bukan untuk ku, aku tahu. Tapi untuk seseorang yang sudah lama meninggalkannya. “Tenanglah, Tuan,” kataku pelan. “Saya di sini.” Hujan di luar semakin deras, memantul di kaca jendela seperti simfoni sunyi. Aku duduk di kursi dekat ranjang, tak melepas genggamannya sampai ia tertidur sepenuhnya. Malam itu, aku sadar satu hal, Eldric Adrian bukan hanya sosok angkuh dan menakutkan seperti yang ku kira. Ada sisi rapuh di balik tatapan dingin nya, sisi yang belum siap dilihat siapa pun. Dan entah kenapa, aku mulai ingin mengenalnya lebih dalam, bukan sebagai bos, tapi sebagai manusia yang menyimpan rasa, layak nya yang dimiliki semua orang.Suara langkah di koridor terdengar semakin mendekat, mendekati Liana yang masih berdiri terpaku di depan pintu ruang direktur. “Mantan kekasih Eldric.” Kalimat itu terus terngiang di kepalanya, menggema lebih lama dari seharusnya. Ia menoleh pelan, menatap sumber suara tadi adalah Vera, yang kini menatapnya dengan wajah penuh rasa ingin tahu, seolah baru saja membocorkan rahasia besar tanpa benar-benar bermaksud. “Kamu serius?” suara Liana nyaris berbisik. Vera mengangkat bahu. “Aku nggak tahu detailnya, tapi orang-orang di sini sempat ngomong begitu. Katanya, dulu mereka kerja bareng di luar negeri, dan yah, sesuatu terjadi.” Sesuatu. Kata itu membuat dada Liana terasa aneh. Ia tak tahu kenapa, tapi bayangan Freya dan Eldric duduk berhadapan di ruang itu, dengan keheningan yang padat dan tatapan yang hanya bisa dimengerti dua orang yang punya masa lalu membuat hatinya bergetar tak nyaman. “Udah ah, jangan dipikirin,” kata Vera sambil berbalik. “Kita kan cuma staf bia
Ruang rapat perlahan kosong. Satu per satu staf keluar sambil membawa berkas dan laptop mereka. Suara langkah sepatu semakin menjauh hingga hanya tersisa dua orang di sana. Eldric masih duduk di kursinya, membolak-balik halaman laporan yang sebenarnya sudah ia hafal luar kepala. Sementara Freya berdiri, merapikan dokumennya tanpa banyak suara. Hening, Hanya terdengar suara pendingin ruangan yang menderu pelan. Freya akhirnya membuka suara lebih dulu. “Terima kasih sudah mau memimpin proyek ini, Eldric. Aku tahu kamu tidak menyukainya.” Eldric menutup map di depannya, menatap lurus ke arahnya. “Aku tidak punya pilihan, Freya. Ini urusan bisnis.” “Tetap saja,” gumam Freya pelan. “Aku tahu kamu tidak akan melakukan sesuatu kalau tidak benar-benar perlu.” Eldric berdiri, memasukkan tangan ke saku celananya. Tatapannya tajam, tapi suaranya tenang. “Kau juga masih sama. Datang dengan senyum sopan, tapi menyimpan terlalu banyak hal di baliknya.” Freya menelan ludah, mencoba memperta
Eldric bersandar di kursinya, menatap sisa anggur di gelasnya tanpa minat. Ibunya, Nyonya Dalton, menatapnya lama sebelum berkata pelan, “Sekarang Freya tampak lebih dewasa ya?” Eldric mengangkat alisnya sedikit, tapi tak menatap Ibunya. “Mungkin. Tapi waktu tidak mengubah semuanya, Bu.” Ayahnya terkekeh, nada suaranya ringan, tapi mengandung makna. “Kau masih sama keras kepalanya. Padahal dulu, kalau tidak salah, kau yang paling berjuang untuk gadis itu.” Eldric menegakkan tubuhnya perlahan, ekspresinya tetap dingin. “Dulu, Ayah. Sekarang sudah lewat.” Nyonya Dalton menatap putranya lembut. “Tidak semua masa lalu harus dibuang begitu saja, Eldric. Kadang, yang sudah hancur masih bisa diperbaiki.” Eldric tersenyum tipis, getir. “Tapi kalau fondasinya sudah retak, buat apa dibangun lagi. Cepat atau lambat, tetap akan runtuh.” Hening kembali menyelimuti meja itu. Hanya terdengar desahan kecil dari Ibunya, dan tatapan ayahnya yang sulit dibaca. “Baiklah,” ujar Tuan Dalton akhir
Pagi itu terasa lebih berat dari biasanya. Liana datang ke kantor jauh lebih awal, dengan harapan bisa menghindari tatapan Tuan Eldric yang masih membekas di pikirannya sejak malam itu. Bayangan Eldric yang mabuk, wajahnya yang nyaris tak dikenali, dan suaranya yang bergetar di antara kesadaran, semuanya masih jelas. Ia bahkan tak tahu bagaimana harus bersikap sekarang. Haruskah ia berpura-pura tidak terjadi apa-apa? Suara langkah sepatu terdengar dari arah pintu kaca. Liana sontak menegakkan punggungnya, Eldric Adrian baru saja tiba. Pria itu mengenakan jas hitam sempurna seperti biasa, wajahnya tanpa ekspresi, tapi entah mengapa, sorot matanya berbeda. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang tak bisa Liana jelaskan, seperti amarah yang disembunyikan, bercampur dengan rasa tidak nyaman. “Laporan minggu lalu belum ada di mejaku,” ucap Eldric dingin, menaruh tas kerjanya di meja. Suara itu tenang, tapi tajam. “Sudah saya kirim lewat email, Tuan,” jawab Liana pelan. “Email bukan alasan
Cahaya matahari menembus tirai tipis, membias lembut ke dalam ruangan yang masih berantakan. Bau alkohol samar-samar masih terasa di udara.Eldric mengerang pelan, menekan pelipisnya yang berdenyut hebat, kepalanya terasa berat, mulut kering. Ia duduk perlahan di tepi ranjang, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam, hanya potongan gambar yang datang dan pergi. Klub malam, suara Damon, lalu…Seseorang memanggil namanya.Dan kini, di sisi ruangan, ia melihat sesosok gadis tertidur di kursi dengan kepala bersandar di tepi ranjang. Rambut hitamnya terurai lembut, wajahnya terlihat lelah, tapi damai.Liana.Eldric mengerjap pelan, seketika, kesadarannya kembali penuh. Ia memandang sekeliling, jas nya di sofa, meja berantakan, dan segelas air di nakas. Keningnya berkerut, saat melihat Liana di sana.“Apa yang dia lakukan di sini?”Suara beratnya membuat Liana terbangun. Gadis itu buru-buru bangkit, sedikit panik.“T-Tuan Eldric! Anda sudah bangun?”Eldric menatap tajam. “Apa yang kau la
Kota sudah mulai sepi ketika Eldric memutuskan keluar dari kantor. Hujan berhenti, tapi langit masih berwarna kelabu. Di depan lobi, seorang pria berjas abu-abu menunggunya sambil menepuk bahu sopir Eldric.“Lama banget, Bro. Gue kira Lo nggak jadi,”Suara berat itu milik Damon, teman lama Eldric sejak masa kuliah, orang yang tahu sisi-sisi yang tidak pernah dilihat publik.Eldric hanya menatap singkat. “Aku butuh udara.”“Udara atau pelarian?” Damon tersenyum miring. “Ayo, gue tau tempat yang pas buat itu.”**Lampu neon berkedip, musik berdentum, dan aroma alkohol bercampur parfum memenuhi ruangan. Eldric duduk di kursi VIP, kemejanya terbuka satu kancing, tangan kirinya memegang gelas berisi cairan berwarna amber.Damon bersandar di sebelahnya, menatap ke arah panggung dansa. “Kau tahu, sejak Freya menikah, kau gak pernah benar-benar hidup, Ric.”Eldric diam. Tidak menoleh, tidak bereaksi.Damon melanjutkan, “Tujuh tahun, Bro. Tujuh tahun Lo sibuk nyiksa diri lo sendiri. Perusahaan







