Almira terbangun dari tidur. Ia terperanjat, saat sadar Yusuf tidak ada di sebelahnya. Bergegas ia keluar kamar untuk mencari keberadaan suaminya.
Hatinya kian memanas, saat mendengar suara Yusuf di kamar Shafira. Dadanya bergemuruh hebat, ia tidak terima sang suami berada di kamar istri pertamanya."Mas Yusuf hanya milikku! Wanita lain tidak boleh memilikinya," batin Almira.Almira kembali ke kamarnya. Wanita itu langsung menelepon Yusuf agar segera menemuinya di kamar.Tak lama kemudian, Yusuf sudah berada di kamar Almira. Hati lelaki itu merasa belum tenang, karena belum bisa menenangkan hatinya Syafira."Ada apa, Sayang?" tanya Yusuf sembari duduk di sebelah Almira."Mas sedang apa berada di kamar Mbak Syafira? Mengapa Mas meninggalkan aku di kamar bawah?""Dengar, Al! Istriku bukan hanya kamu. Bahkan, sebelum aku menikahimu, aku lebih dulu menikah dengan Shafira. Aku harus adil terhadap keduanya, jadi mulai malam ini kalian bicarakan baik-baik kapan jadwalku di kamarmu dan kapan jadwalku di kamar Syafira.""Aku tidak setuju, Mas! Kamu hanya milik aku seorang. Aku tidak mau berbagi dengan Mbak Syafira."Yusuf mengembuskan napas kasar. Seharusnya dari awal dia berpikir panjang terlebih dulu, tidak mendahulukan rasa cintanya pada sosok Almira. Kalau sudah begini, dia sendiri yang pusing memikirkan jalan keluarnya."Sayang, jika saja Shafira tidak memberiku izin untuk menikah lagi, mungkin kita tidak akan bisa bersama seperti ini. Sebagai istri pertama, Shafira saja rela berbagi suami denganmu. Sementara kamu tak rela berbagi dengannya. Ini tidak adil! Apakah kamu mau Allah melaknatku hanya karena tak bisa adil pada kedua istriku?""Seharusnya Mbak Shafira itu mengerti kalau kita ini masih pengantin baru. Tidak banyak menuntut padamu, Mas."Yusuf mengusap gusar wajahnya. Tidak tahu lagi harus menjelaskan dengan cara seperti apa pada Almira. Syafira tak pernah menuntut dirinya harus berbuat adil, bahkan wanita itu selalu pintar menyembunyikan rasa cemburu, hanya untuk menjaga hati suami."Sayang, Shafira itu istri yang salihah. Dia tidak pernah sekalipun menuntutku agar berbuat adil. Justru, beberapa hari ini kita yang sudah banyak menyakiti hatinya. Bermesraan di depan matanya tanpa memedulikan perasaannya. Jika kita terus-menerus seperti ini, berarti aku gagal menjadi suami yang adil pada kedua istriku."Hati Almira memanas, ia tidak terima Yusuf memuji Shafira. Apalagi dirinya lebih cantik segalanya daripada Shafira."Jadi aku tidak salihah?""Bukan begitu, Sayang. Kedua istriku sama-sama salihah. Hanya saja, apa salahnya kamu belajar ikhlas seperti Shafira.""Bilang saja kalau Mas sudah bosan denganku! Sana, tidur di kamar istri pertamamu."Yusuf mengacak rambutnya frustrasi. Ternyata memang benar, kalau poligami itu harus tahu dan paham ilmunya terlebih dulu. Dia pikir poligami itu mudah, asal istri pertama setuju untuk berbagi suami, maka urusan beres. Ternyata tak semudah yang dibayangkan."Huh, rumus poligami ternyata lebih sulit daripada rumus matematika," batin Yusuf."Aku tunggu di ruang keluarga. Kita bicarakan hal ini bersama dengan Shafira."Yusuf bergegas keluar kamar. Ia tidak ingin berdebat lebih jauh lagi dengan istrinya itu. Bagaimanapun ia harus bisa tegas dan adil pada keduanya. Kalau tidak, berarti harus ada salah satu yang ia lepaskan.Lelaki itu pergi ke dapur untuk menyeduh kopi. Biasanya hampir setiap malam Shafira selalu setia membuatkannya kopi, tetapi sekarang wanita itu mengurung diri terus di kamar. Tidak tega juga kalau harus menyuruhnya membuatkan kopi.Yusuf memasukkan kopi ke dalam gelas, tak lupa mencampurkan satu sendok gula ke dalamnya. Setelah selesai diseduh, lelaki itu langsung menyeruputnya."Kok rasanya asin!" Lelaki itu langsung memuntahkannya, lalu mengecek kembali pada tempat gula yang tadi ia masukkan. Ia terperanjat, saat tahu ternyata yang dimasukkan tadi bukan gula, melainkan garam.****Shafira masih sibuk berkutik dengan pekerjaannya di laptop. Bisnis properti yang selama ini digeluti ternyata membuahkan hasil. Ia bisa membeli beberapa bidang tanah di pinggiran kota untuk tabungan di masa depan.Pintu kamar dibuka seseorang. Yusuf masuk dan langsung duduk di tepi ranjang. Lelaki itu tersenyum, lalu mencubit gemas pipi Shafira."Apakah Umi sedang sibuk?" tanya Yusuf."Hmm ... ada apa, Bi?""Ada yang harus kita bicarakan. Tentangku, Umi, dan Almira."Shafira menatap teduh ke wajah suaminya. "Boleh tahu, tentang apa?""Aku ingin kalian berdua membagi jadwal. Kapan waktuku di kamarmu dan kapan di kamar Almira.""Umi tidak akan menuntut Abi untuk berbuat adil. Silakan bicarakan saja dengan Almira. Walaupun dia sudah memiliki anak, tetapi jiwanya masih labil. Umi tidak ingin dia salah paham! Bicarakan saja baik-baik dengannya."Shafira kembali menyibukkan diri di laptop. Ia mencoba untuk tidak membuat masalah dengan madunya itu. Cukup tadi pagi saja Almira membuatnya kesal, ia tidak ingin dibuat kesal untuk yang ke sekian kalinya."Walau bagaimanapun Umi itu istri pertama Abi. Sudah seharusnya kita membicarakan segala sesuatu itu bersama-sama. Kita ke ruang keluarga, Almira sudah menunggu kita di sana."Shafira mengangguk, lalu berjalan beriringan dengan Yusuf. Lelaki itu menautkan jari-jemarinya dengan jemari sang istri. Namun, saat mendekati ruang keluarga, Shafira melepaskan genggaman suaminya."Kenapa?" tanya Yusuf."Almira sudah berada di ruang keluarga. Kita harus menjaga hatinya. Tidak baik menunjukkan kemesraan kita di depan istrimu yang lain.""Masyaallah, terima kasih sudah mengingatkan Abi."Shafira mengangguk seraya tersenyum simpul. Mereka kembali melanjutkan langkah menuju ruang tamu. Walaupun kemesraan mereka tidak sebebas dulu, tetapi bagi Shafira itu sudah lebih dari cukup. Setidaknya Yusuf sudah tidak mengabaikannyaAlmira menunjukkan raut wajah tidak suka, saat melihat Yusuf dan Shafira berjalan beriringan. Hati wanita itu memanas, tidak terima harus berbagi cinta dengan Shafira."Mengapa kalian lama sekali?" tanya Almira jutek."Maaf, tadi ada pekerjaan yang harus kuselesaikan terlebih dulu," jawab Shafira."Kamu?" tanya Almira pada Yusuf."Hmm ... membantu Shafira menyelesaikan pekerjaannya. Biar cepat selesai."Almira merungut. "Kalian tidak habis bermesraan dulu di kamar, 'kan?""Tidak, Sayang," jawab Yusuf.Shafira sengaja memilih duduk yang sedikit menjauh dari suaminya. Memberi ruang pada Almira untuk duduk didekat Yusuf. Wanita itu hanya bisa menunduk, saat Almira mencoba memanas-manasinya dengan bergelayut manja di lengan Yusuf.Yusuf melirik ke arah Shafira. Wanita itu terlihat menunduk. Paham dengan keadaan hati Shafira, Yusuf dengan hati-hati memberi pengertian pada Almira untuk duduk sedikit menjauh darinya.Yusuf mulai bertanya pada kedua istrinya. Tentang bagaimana cara membagi waktu agar dirinya bisa adil kepada kedua istrinya, tanpa mengabaikan salah satu dari mereka."Aku empat malam, Mbak Shafira tiga malam. Adil, kan!" tegas Almira."Bagaimana kalau Abi dengan Umi dua malam, dan dengan Almira dua malam. Sisanya Abi bisa tidur di kamar Abi sendiri," ucap Shafira.Almira langsung mendelik tidak suka pada Shafira. "Aku tidak setuju!"Shafira tersenyum. "Semua kami kembalikan lagi pada Abi."Yusuf tampak kebingungan. Lelaki itu mengembuskan napas kasar, tidak tahu harus pilih pendapat Almira atau Shafira."Oh, iya, Al! Besok pagi ada pekerjaan yang harus kuselesaikan. Jadi, kamu yang memasak, ya. Bukankah tadi pagi, aku sudah mengajarkan resepnya kepadamu."Bersambung ....Keesokan paginya, Shafira tidak keluar kamar. Ia sibuk dengan beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan secepatnya. Shafira terkekeh, mengingat ekspresi Almira, saat tahu dirinya tidak bisa memasak sarapan untuk pagi ini.Sebenarnya, Shafira bisa saja memasakkan sarapan untuk mereka pagi ini, hanya saja ia masih kesal pada Almira yang mengakui masakannya sebagai hasil masakannya sendiri.Shafira melirik pada sosok lelaki yang tengah tertidur lelap di sampingnya. Semalam Yusuf memutuskan untuk tidur di kamar istri pertamanya. Tentu saja, hal itu membuat Almira murung dan tak henti-hentinya mengomel."Pagi, Umi!" sapa Yusuf dengan suara sedikit serak."Pagi, Abi. Kok sudah bangun?""Umi lupa, kalau pagi ini Abi harus ke kantor?""Astagfirullah, Maaf. Umi lupa kalau pagi ini Abi ada meeting dengan perusahaan sebelah. Sukses selalu, ya. Semoga dimudahkan rezeki, dan selalu dalam lindungan Allah Swt. Amin.""Amin. Terima kasih doanya, Umi. Maaf, beberapa hari ke belakang Abi hampir saja m
Syafira tersenyum menanggapi perkataan sahabatnya. Yusuf tidak menyia-nyiakannya, ia hanya membagi cinta saja dengan wanita lain. Dalam hal ini, ia juga tidak ingin egois. Biarkan saja Yusuf memutuskan semua sendiri, wanita itu tidak ingin menghalangi keinginan lelakinya itu."Jika memang suaminya mampu berbuat adil, dan paham ilmu berpoligami, aku tidak masalah!" ucap Shafira."No! Aku, sih, ogah! Lebih tentram tanpa madu.""Tidak ada satu pun wanita pun di dunia ini yang ingin di madu, Rin. Tentunya semua wanita ingin menjadi satu-satunya ratu yang ada di hati suaminya. Tak ada madu yang manis. Jika pun ada, itu karena suami mampu membimbing keduanya dengan baik," balas Shafira seraya mengaduk-ngaduk jus miliknya.Shafira masih ingat, saat Yusuf berjanji akan menjadikan satu-satunya ratu dalam rumah tangganya. Namun, kehadiran wanita masa lalu, membuat Yusuf khilaf dan melupakan semua janji manisnya itu.Shafira mengembuskan napas perlahan. Begitu berat semua itu untuknya. Semenja
Dengan sedikit malas, Yusuf membuka pesan masuk dari Shafira. Lelaki itu merasa benar-benar kecewa dengan apa yang telah dilakukan istrinya di kafe tadi. Padahal, ia sudah memberikan kepercayaan penuh padanya. Entah mengapa dengan mudahnya wanita itu telah menyia-nyiakan kepercayaannya selama ini. Ia tak menyangka, Shafira akan bermain cinta di belakangnya bersama pria lain.Tak lama kemudian, masuk satu pesan lagi berupa voice note yang berisi suara seseorang yang dikenal. Ya, suara Shafira, Rina, dan lelaki di kafe itu terekam jelas di sana. Mendengar percakapan mereka, ekspresi wajah Yusuf seketika berubah, lelaki itu langsung mengusap gusar wajahnya. Ternyata ia telah salah paham pada Shafira. Wanita itu tidak seburuk dengan apa yang dituduhkannya tadi."Astagfirullah, aku sudah salah paham padanya. Cemburu telah membutakan mata dan hatiku. Aku harus segera meminta maaf padanya," batin Yusuf. Lelaki itu beranjak dari duduk. Rasa bersalah mulai menyelimuti hati dan pikirannya. Yus
Shafira baru saja selesai memasak. Ia merasa bersalah, karena tadi pagi tidak menyiapkan sarapan untuk suaminya. Ia lebih mengutamakan ego, sehingga mengabaikan tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri. Pikiran dan hatinya jauh dari kata tenang, sedari tadi terus-menerus kepikiran akan perut sang suami. Sudahkah lelakinya itu mengisi perutnya dengan nasi? Bagaimana kalau ternyata dia malah memilih untuk tetap mengosongkan perutnya? Rasa khawatir mulai memenuhi pikirannya, karena selama ini suaminya itu selalu sarapan tepat waktu.Siang harinya, semua makanan kesukaan Yusuf sudah terhidang di meja. Wanita itu tersenyum, dan berjanji akan meminta maaf pada suaminya saat pulang nanti."Istri yang baik! Sayangnya, sebentar lagi Mas Yusuf akan menjadi milikku seutuhnya. Aku tidak ingin membaginya denganmu," ucap Almira dengan nada sinis. Shafira mengabaikan perkataan Almira, lalu melangkah menaiki tangga. Wanita itu berpura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan sang madu. Baginya ta
Yusuf mondar-mandir di depan meja kerja. Beberapa hari ini, ia sibuk memikirkan perkataan Shafira. Bahkan, demi bisa menemukan teka-teki itu, Yusuf memilih untuk tidak tidur dengan kedua istrinya. Saat ini, tidur sendiri adalah jalan terbaik untuk menenangkan pikirannya dari segala permasalahan yang ada. Dalam benaknya dipenuhi tanya, apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam rumah tangganya? Bukankah kehidupan mereka baik-baik saja? Kedua istrinya pun akur, tak pernah sedikit pun terdengar bertengkar.Bimo masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. Lelaki itu menggeleng singkat, saat melihat sahabatnya bolak-balik tak tentu arah, seperti orang yang tengah kebingungan. "Apalagi yang sedang mengganggu pikiranmu, Bro? Seharusnya hidupmu bahagia. Harta melimpah, perusahaan milik sendiri, dan memiliki dua istri yang sangat aduhai."Sepertinya Yusuf baru menyadari kehadiran Bimo di sana. Lelaki itu tampak terkejut, dan mundur beberapa langkah dari tempatnya berdiri."Dari kapan kamu ada di
"Astagfirullah al'azim. Kamu mabuk, Al?" Shafira mendekat, lalu berniat untuk memapah madunya ke kamar. Namun, niat baik itu langsung ditolak mentah-mentah oleh Almira. "Menjauh dariku! Aku tak sudi disentuh wanita sepertimu!" Almira tersenyum kecut, lalu berlalu dari hadapan Shafira."Astagfirullah," lirih Shafira seraya mengusap dada. Shafira tak pernah menyangka, madunya yang selama ini tampak alim dan salihah itu ternyata kelakuannya seperti ini. Apalagi pakaian yang Almira pakai sangat ketat dan seksi, memperlihatkan semua bagian lekuk tubuhnya. Ia tak bisa membayangkan, bagaimana murkanya Yusuf bila mengetahui kelakuan istri keduanya yang seperti itu.Dengan berjalan sempoyongan, Almira menaiki tangga. Sesekali wanita itu memegang kepalanya yang terasa pening. Mulutnya meracau tak jelas, sesekali ia tertawa seperti orang yang setengah waras. Diam-diam Shafira mengikutinya dari belakang. Meskipun Almira sering kali membuatnya kesal dan sakit hati, tetapi ia tidak tega bila ha
Almira mencoba untuk merayu Yusuf. Akan tetapi, semakin Almira mendekati Yusuf, maka lelaki itu akan semakin menjauh darinya. Hal itu membuat Almira geram, sehingga tidak dapat lagi mengontrol emosinya."Iya, aku semalam minum alkohol, tetapi itu semua karena kamu, Mas. Akhir-akhir ini kamu sibuk dengan urusanmu sendiri. Jangankan untuk menyentuh, tidur seranjang berdua saja tidak kamu lakukan. Mas lupa, ya, memiliki istri? Atau jangan-jangan ...."Yusuf mengernyit. Tingkah wanita di depannya itu membuat dia semakin pening. "Jangan-jangan apa?""Jangan-jangan, Mas itu punya simpanan wanita lain, dan sedang merencanakan pernikahan dengannya, ya? Jika itu benar, aku tidak ikhlas, Mas. Aku tidak mau memiliki madu!""Kenapa tidak ikhlas? Toh kamu bisa berada di sini saja sebagai madu, bukan? Seharusnya kamu bisa menerimanya, seperti Shafira menerimamu di rumah ini. Setidaknya nanti kamu bisa merasakan, bagaimana posisi menjadi Shafira. Bukankah itu bagus?""apanya yang bagus? Maaf, aku ti
Dengan berjalan sedikit angkuh, Yusuf masuk ke ruangannya. Pagi ini ia terlihat lebih rapi. Senyum mengembang dari kedua sudut bibirnya, kala mengingat kemesraannya bersama Shafira semalam. Yusuf duduk di ujung meja, seraya menghadap ke luar jendela. Rasanya masih terasa, bagaimana Shafira memperlakukannya dengan lembut dan penuh cinta. Yusuf akui, semua kriteria wanita idamannya memang ada di diri Shafira. Bodohnya, ia malah menghadirkan wanita lain di dalam rumah tangganya yang justru menjadi racun untuk hubungannya dengan Shafira.Lelaki itu menggeleng, lalu tersenyum tipis. Ia seperti tengah merasakan jatuh cinta kembali pada Shafira. Tatapan dan senyum manis wanita itu mampu menghilangkan segala kegundahannya. Bersama Shafira, seakan-akan semua masalah sirna sudah. Hati yang kalut dan gelisah pun, seketika menjadi tenang.Yusuf tak mengerti, mengapa ia bisa memutuskan untuk menduakan wanita yang sangat dicintainya itu. Padahal selama ini, Shafira mampu memberikan apa yang ia but