Share

Jeritan Hati

Pagi-pagi sekali, Shafira sudah menyibukkan diri di dapur. Dengan lihai ia mengiris bawang, dan mempersiapkan bahan-bahan lain yang dibutuhkan. Meskipun ada wanita lain yang kini tinggal satu atap dengannya, tetapi untuk urusan perut suami, itu akan menjadi tugas khusus untuknya.

Hampir semalaman Shafira menangis dengan mata yang sulit untuk terpejam. Tampaknya dia belum terbiasa tidur tanpa ditemani Yusuf. Apalagi suara berisik di kamar sebelah cukup mengganggu pendengarannya, membuat hati wanita itu semakin merasakan sakit yang teramat dalam.

Semenjak acara pernikahan kemarin, tak sekalipun Yusuf menemuinya di kamar. Lelaki itu seperti lupa, kalau ia memiliki dua istri yang sama-sama harus diperlakukan adil.

"Ada yang bisa aku bantu, Mbak?" .

Sejenak Shafira menghentikan kegiatannya di dapur. Wanita itu melirik sekilas pada madunya sembari melempar senyum.

"Istirahatlah! Biar aku saja yang menyiapkan makanan untuk sarapan kalian," balas Shafira ramah.

Tak ada yang tahu dengan isi hati seseorang. Walaupun rasa sesak memenuhi rongga dada, tetapi Shafira berusaha untuk bersikap biasa saja pada madunya, bahkah ia menunjukkan sikap ramah sekalipun hatinya sedang tidak baik-baik saja.

"Iya, sih, aku memang capek setelah berolahraga sampai pagi. Hanya saja, tadi Mas Yusuf menyuruhku untuk membantumu. Baiklah, kalau begitu aku mau duduk  santai di sofa. Tolong antarkan aku segelas susu, ya."

"Apakah kamu tidak lihat kalau aku sedang sibuk mempersiapkan untuk sarapan kalian? Kamu bisa bikin susu sendiri, lalu dibawa ke depan untuk menemanimu bersantai."

"Seharusnya kamu itu menghormatiku sebagai penghuni baru di rumah ini. Apalagi aku ini istri kedua Mas Yusuf, seharusnya kamu memanjakanku."

Shafira menghela napas panjang. Wanita itu mencoba untuk tidak terpancing emosi. Ucapan Almira memang meninggalkan rasa ngilu di kedalaman hatinya. Namun, ia masih bersikap biasa saja, menghindari terjadinya keributan di sana.

"Tunggu di depan! Aku akan membuatkanmu segelas susu," ucap Shafira seraya menuangkan susu ke dalam gelas.

"Tidak perlu! Aku maunya tadi. Sekarang sudah berubah pikiran."

Shafira memejamkan mata. Antara marah dan kesal bercampur menjadi satu. Pagi-pagi Almira sudah menguji kesabarannya. Beruntung ia memiliki kadar kesabaran di atas rata-rata. Kalau tidak, mungkin amarahnya sudah meledak. Jika itu benar-benar terjadi, sudah pasti Yusuf akan terbangun dan langsung memarahinya.

Tak lama kemudian, terdengar langkah seseorang menuruni tangga. Almira langsung mendekat pada Shafira. Wanita itu pura-pura sibuk dengan bahan-bahan masakan yang ada di hadapannya.

"Umi masak apa?" Suara bariton Yusuf cukup membuat jantung Shafira berpacu hebat. Biasanya Yusuf akan langsung memeluknya, saat dia tengah memasak seperti ini. Namun, tidak untuk pagi ini, rasanya seperti ada sesuatu yang kurang dalam hidupnya.

"Ini masak makanan kesukaanmu, Bi," balas Shafira.

"Iya, Mas. Mbak Shafira mengajariku memasak makanan kesukaanmu. Ini aku baru selesai memasak untukmu. Coba cicipi!" timpal Almira seraya menyuapi Yusuf makanan yang dimasak Syafira.

"Enak!"

"Iya, dong. Siapa dulu yang memasaknya, Almira gitu!" Yusuf langsung menarik Almira ke dalam dekapannya.

Shafira melirik sekilas pada suami dan madunya. Ia tidak menyangka, kalau Almira akan tega melakukan semua itu. Dari pagi buta ia memasak makanan untuk suaminya, ternyata malah diakui sebagai hasil masakan sendiri.

Walau bagaimanapun, Shafira seorang wanita biasa yang memiliki rasa cemburu dan juga kecewa. Namun, ia tidak ingin menunjukkan rasa itu di hadapan suami dan madunya.

Matanya mulai mengembun, tetapi sebisa mungkin ia menahan air matanya agar tidak tumpah di sana. Tak ada yang bisa dilakukan Shafira, selain berpura-pura tegar dan bersikap dingin kepada suaminya.

Shafira mulai menghidangkan satu persatu makanan di atas meja. Membuatkan susu untuk Yusuf, lalu mengupas buah kesukaan suaminya.

"Abi, sarapan sudah siap. Kalian sarapanlah! Aku ke kamar dulu."

"Umi, sarapan dulu!"

Shafira menghentikan langkahnya, berbalik menghadap Yusuf seraya melempar senyuman termanisnya.

"Umi belum lapar. Abi sarapan dengan Almira saja, ya."

Setelah mengatakan itu, Shafira  melanjutkan langkahnya menaiki tangga. Sesampainya di kamar, air matanya tumpah. Wanita itu tak bisa lagi menahan rasa sesak dalam hatinya.

"Ya Rabb, beri aku kekuatan. Jangan sampai rasa cemburu ini menghancurkan iman dan takwaku kepada-Mu. Jaga hati, pikiran dan lisanku agar tidak menyakiti hati wanita lain. Amiin."

****

Shafira duduk di depan cermin, matanya merah dan sedikit membengkak. Ia tidak tahu cara menyembunyikan matanya yang membengkak dari Yusuf dan Almira.

Cara satu-satunya yakni dengan tidak keluar kamar. Lagi pula tidak akan ada yang peduli, dia keluar kamar atau tidak. Mereka akan tetap asyik dengan urusan mereka sendiri. Apalagi untuk pengantin baru seperti Yusuf dan Almira, mereka tengah sibuk memadu kasih.

Di ruang tamu, Yusuf celingak-celinguk mencari keberadaan seseorang. Namun, nihil, ia tidak menemukan sosok yang dicarinya.

"Cari siapa, Mas?" tanya Almira kesal.

"Apakah Shafira belum juga turun?"

Almira menggeleng. "Biarkan saja! Nanti juga kalau lapar, dia pasti turun."

"Berarti Shafira belum makan dari tadi pagi? Aku mau ke kamarnya dulu."

Yusuf beranjak dari duduknya, tetapi Almira kembali menariknya. "Tetap di sini temani aku, Mas."

Lelaki itu duduk kembali, tidak tega melihat raut wajah Almira yang memelas minta ditemani. Namun, hati dan pikirannya tidak tenang. Semenjak menikah dengannya, Shafira tidak pernah mengurung diri di kamar seperti ini, sekalipun sedang ada konflik dalam rumah tangga mereka.

Yusuf mengusap gusar wajahnya. Kemudian, lelaki itu beristigfar. Ia menyadari sesuatu, semenjak menikah dengan Almira, ia belum pernah satu kali pun datang ke kamar istri pertamanya.

"Ampuni aku, Ya Rabb. Cinta dan kesenangan telah membuatku melalaikan istri pertamaku."

Yusuf melirik pada Almira. Wanita itu tengah tertidur pulas di pangkuannya. Lelaki itu langsung membopong dan memindahkannya ke kamar yang berada tak jauh dari ruang tamu. Setelah itu, ia ke dapur membawakan sesuatu untuk Shafira.

Yusuf mengetuk pintu kamar Shafira. "Umi, buka pintunya."

Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka. Shafira terkejut saat melihat sang suami tengah kerepotan membawa nasi, lauk, dan susu.

"Makanan untuk siapa itu, Abi?" Yusuf masuk ke kamar, lalu meletakkan makanan itu di atas meja.

"Mengapa Umi tidak makan?"

"Umi sudah makan, Bi."

"Jangan bohong! Abi tahu kalau Umi belum makan. Sini, Abi suapi!"

Air mata Shafira tak lagi dapat tertahan. Ia memang merindukan Yusuf yang selalu memanjakannya seperti ini. Namun, semua tak lagi sama. Semenjak kehadiran Almira dalam rumah tangganya.

Yusuf langsung menarik Shafira ke dalam pelukan. "Maaf, kalau beberapa hari ini, Abi mengabaikan Umi."

Shafira mengangguk, lalu mengeratkan pelukannya. "Umi sudah maafkan, Bi."

Yusuf  menghapus butir bening di pipi Shafira. Lelaki itu mengecup singkat keningnya, lalu mendekapnya kembali.

"Mengapa Umi tidak mengingatkan Abi?"

"Karena Umi tidak ingin mengganggu kebahagiaan Abi. Mungkin Umi tidak bisa sebaik dan setegar Sarah pada Siti Hajar, tetapi setidaknya diamnya Umi bisa membuat Abi dan Almira tenang berada di rumah ini."

Bersambung ....

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
cerita tolol dan memuakkan, selalu istri sah tolol bodoh oon dan bego dan pelakor laknat juara ... author ceritamu memuakkannn
goodnovel comment avatar
Aline
laki tahu syariat agama tapi koq lebih condong ke satunya ckck
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status