Share

Jeritan Hati

last update Last Updated: 2023-07-14 16:50:53

Pagi-pagi sekali, Shafira sudah menyibukkan diri di dapur. Dengan lihai ia mengiris bawang, dan mempersiapkan bahan-bahan lain yang dibutuhkan. Meskipun ada wanita lain yang kini tinggal satu atap dengannya, tetapi untuk urusan perut suami, itu akan menjadi tugas khusus untuknya.

Hampir semalaman Shafira menangis dengan mata yang sulit untuk terpejam. Tampaknya dia belum terbiasa tidur tanpa ditemani Yusuf. Apalagi suara berisik di kamar sebelah cukup mengganggu pendengarannya, membuat hati wanita itu semakin merasakan sakit yang teramat dalam.

Semenjak acara pernikahan kemarin, tak sekalipun Yusuf menemuinya di kamar. Lelaki itu seperti lupa, kalau ia memiliki dua istri yang sama-sama harus diperlakukan adil.

"Ada yang bisa aku bantu, Mbak?" .

Sejenak Shafira menghentikan kegiatannya di dapur. Wanita itu melirik sekilas pada madunya sembari melempar senyum.

"Istirahatlah! Biar aku saja yang menyiapkan makanan untuk sarapan kalian," balas Shafira ramah.

Tak ada yang tahu dengan isi hati seseorang. Walaupun rasa sesak memenuhi rongga dada, tetapi Shafira berusaha untuk bersikap biasa saja pada madunya, bahkah ia menunjukkan sikap ramah sekalipun hatinya sedang tidak baik-baik saja.

"Iya, sih, aku memang capek setelah berolahraga sampai pagi. Hanya saja, tadi Mas Yusuf menyuruhku untuk membantumu. Baiklah, kalau begitu aku mau duduk  santai di sofa. Tolong antarkan aku segelas susu, ya."

"Apakah kamu tidak lihat kalau aku sedang sibuk mempersiapkan untuk sarapan kalian? Kamu bisa bikin susu sendiri, lalu dibawa ke depan untuk menemanimu bersantai."

"Seharusnya kamu itu menghormatiku sebagai penghuni baru di rumah ini. Apalagi aku ini istri kedua Mas Yusuf, seharusnya kamu memanjakanku."

Shafira menghela napas panjang. Wanita itu mencoba untuk tidak terpancing emosi. Ucapan Almira memang meninggalkan rasa ngilu di kedalaman hatinya. Namun, ia masih bersikap biasa saja, menghindari terjadinya keributan di sana.

"Tunggu di depan! Aku akan membuatkanmu segelas susu," ucap Shafira seraya menuangkan susu ke dalam gelas.

"Tidak perlu! Aku maunya tadi. Sekarang sudah berubah pikiran."

Shafira memejamkan mata. Antara marah dan kesal bercampur menjadi satu. Pagi-pagi Almira sudah menguji kesabarannya. Beruntung ia memiliki kadar kesabaran di atas rata-rata. Kalau tidak, mungkin amarahnya sudah meledak. Jika itu benar-benar terjadi, sudah pasti Yusuf akan terbangun dan langsung memarahinya.

Tak lama kemudian, terdengar langkah seseorang menuruni tangga. Almira langsung mendekat pada Shafira. Wanita itu pura-pura sibuk dengan bahan-bahan masakan yang ada di hadapannya.

"Umi masak apa?" Suara bariton Yusuf cukup membuat jantung Shafira berpacu hebat. Biasanya Yusuf akan langsung memeluknya, saat dia tengah memasak seperti ini. Namun, tidak untuk pagi ini, rasanya seperti ada sesuatu yang kurang dalam hidupnya.

"Ini masak makanan kesukaanmu, Bi," balas Shafira.

"Iya, Mas. Mbak Shafira mengajariku memasak makanan kesukaanmu. Ini aku baru selesai memasak untukmu. Coba cicipi!" timpal Almira seraya menyuapi Yusuf makanan yang dimasak Syafira.

"Enak!"

"Iya, dong. Siapa dulu yang memasaknya, Almira gitu!" Yusuf langsung menarik Almira ke dalam dekapannya.

Shafira melirik sekilas pada suami dan madunya. Ia tidak menyangka, kalau Almira akan tega melakukan semua itu. Dari pagi buta ia memasak makanan untuk suaminya, ternyata malah diakui sebagai hasil masakan sendiri.

Walau bagaimanapun, Shafira seorang wanita biasa yang memiliki rasa cemburu dan juga kecewa. Namun, ia tidak ingin menunjukkan rasa itu di hadapan suami dan madunya.

Matanya mulai mengembun, tetapi sebisa mungkin ia menahan air matanya agar tidak tumpah di sana. Tak ada yang bisa dilakukan Shafira, selain berpura-pura tegar dan bersikap dingin kepada suaminya.

Shafira mulai menghidangkan satu persatu makanan di atas meja. Membuatkan susu untuk Yusuf, lalu mengupas buah kesukaan suaminya.

"Abi, sarapan sudah siap. Kalian sarapanlah! Aku ke kamar dulu."

"Umi, sarapan dulu!"

Shafira menghentikan langkahnya, berbalik menghadap Yusuf seraya melempar senyuman termanisnya.

"Umi belum lapar. Abi sarapan dengan Almira saja, ya."

Setelah mengatakan itu, Shafira  melanjutkan langkahnya menaiki tangga. Sesampainya di kamar, air matanya tumpah. Wanita itu tak bisa lagi menahan rasa sesak dalam hatinya.

"Ya Rabb, beri aku kekuatan. Jangan sampai rasa cemburu ini menghancurkan iman dan takwaku kepada-Mu. Jaga hati, pikiran dan lisanku agar tidak menyakiti hati wanita lain. Amiin."

****

Shafira duduk di depan cermin, matanya merah dan sedikit membengkak. Ia tidak tahu cara menyembunyikan matanya yang membengkak dari Yusuf dan Almira.

Cara satu-satunya yakni dengan tidak keluar kamar. Lagi pula tidak akan ada yang peduli, dia keluar kamar atau tidak. Mereka akan tetap asyik dengan urusan mereka sendiri. Apalagi untuk pengantin baru seperti Yusuf dan Almira, mereka tengah sibuk memadu kasih.

Di ruang tamu, Yusuf celingak-celinguk mencari keberadaan seseorang. Namun, nihil, ia tidak menemukan sosok yang dicarinya.

"Cari siapa, Mas?" tanya Almira kesal.

"Apakah Shafira belum juga turun?"

Almira menggeleng. "Biarkan saja! Nanti juga kalau lapar, dia pasti turun."

"Berarti Shafira belum makan dari tadi pagi? Aku mau ke kamarnya dulu."

Yusuf beranjak dari duduknya, tetapi Almira kembali menariknya. "Tetap di sini temani aku, Mas."

Lelaki itu duduk kembali, tidak tega melihat raut wajah Almira yang memelas minta ditemani. Namun, hati dan pikirannya tidak tenang. Semenjak menikah dengannya, Shafira tidak pernah mengurung diri di kamar seperti ini, sekalipun sedang ada konflik dalam rumah tangga mereka.

Yusuf mengusap gusar wajahnya. Kemudian, lelaki itu beristigfar. Ia menyadari sesuatu, semenjak menikah dengan Almira, ia belum pernah satu kali pun datang ke kamar istri pertamanya.

"Ampuni aku, Ya Rabb. Cinta dan kesenangan telah membuatku melalaikan istri pertamaku."

Yusuf melirik pada Almira. Wanita itu tengah tertidur pulas di pangkuannya. Lelaki itu langsung membopong dan memindahkannya ke kamar yang berada tak jauh dari ruang tamu. Setelah itu, ia ke dapur membawakan sesuatu untuk Shafira.

Yusuf mengetuk pintu kamar Shafira. "Umi, buka pintunya."

Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka. Shafira terkejut saat melihat sang suami tengah kerepotan membawa nasi, lauk, dan susu.

"Makanan untuk siapa itu, Abi?" Yusuf masuk ke kamar, lalu meletakkan makanan itu di atas meja.

"Mengapa Umi tidak makan?"

"Umi sudah makan, Bi."

"Jangan bohong! Abi tahu kalau Umi belum makan. Sini, Abi suapi!"

Air mata Shafira tak lagi dapat tertahan. Ia memang merindukan Yusuf yang selalu memanjakannya seperti ini. Namun, semua tak lagi sama. Semenjak kehadiran Almira dalam rumah tangganya.

Yusuf langsung menarik Shafira ke dalam pelukan. "Maaf, kalau beberapa hari ini, Abi mengabaikan Umi."

Shafira mengangguk, lalu mengeratkan pelukannya. "Umi sudah maafkan, Bi."

Yusuf  menghapus butir bening di pipi Shafira. Lelaki itu mengecup singkat keningnya, lalu mendekapnya kembali.

"Mengapa Umi tidak mengingatkan Abi?"

"Karena Umi tidak ingin mengganggu kebahagiaan Abi. Mungkin Umi tidak bisa sebaik dan setegar Sarah pada Siti Hajar, tetapi setidaknya diamnya Umi bisa membuat Abi dan Almira tenang berada di rumah ini."

Bersambung ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
cerita tolol dan memuakkan, selalu istri sah tolol bodoh oon dan bego dan pelakor laknat juara ... author ceritamu memuakkannn
goodnovel comment avatar
Aline
laki tahu syariat agama tapi koq lebih condong ke satunya ckck
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Seatap dengan Racun Rumah Tanggaku   Akhir Sebuah Kisah

    Yusuf diselimuti kekhawatiran. Pasalnya, Shafira langsung tak sadarkan diri. Wanita itu juga sempat kejang-kejang, sehingga untuk satu minggu ke depan dokter tidak mengizinkan Shafira pulang."Apa yang menyebabkan istri saya kejang-kejang seperti tadi, Dok?" tanya Yusuf saat dipanggil ke ruangan dokter."Ada banyak kondisi yang bisa berbahaya bagi ibu pasca melahirkan. Salah satunya preeklamsia atau tekanan darah tinggi pasca melahirkan. Hal ini bisa terjadi ketika ibu memiliki kelebihan protein dalam urine!" jawab dokter seraya membenarkan letak kaca mata yang dipakainya!" jawab dokter seraya membetulkan letak kaca mata yang dipakainya. "Preklamsia juga kondisi serupa yang terjadi pada kehamilan dan biasanya sembuh dengan kelahiran bayi. Sebagian besar kasus preeklamsia terjadu dalam waktu 48 jam setelah melahirkan. Saat tekanan darah begitu tinggi, ibu bisa mengalami kejang yang bisa berdampak buruk pada kondisi kesehatan secara keseluruhan. Kejang yang muncul berulang jika tak dita

  • Seatap dengan Racun Rumah Tanggaku   Launchingnya Yusuf Junior

    Galang menarik-narik tangan Bimo. Lelaki itu tak bisa menolak ajakan Galang. Semenjak mengambilnya dari kampung. Galang memang paling akrab dengannya."Om Bimo mau diajak ke mana, Lang? Ajak yang jauh, ya, soalnya kasihan dia sendiri gak punya pasangan!" goda Aldo.Galang tak memedulikan teriakan Aldo. Ia terus menarik tangan Bimo menuju kamarnya."Katanya mau ajak Om ke taman belakang. Kenapa menarik ke kamar?" tanya Bimo."Temeni Galang main mobil-mobilan saja, Om!" balas Galang seraya menurunkan beberapa mobil-mobilan kecil dari lemari mainan.Tanpa sengaja, Bimo melirik ke luar kamar. Pandangannya jatuh tepat pada sosok gadis yang tengah asyik mengobrol dengan Shafira. Beberapa detik, tatapannya tak beralih. Sepertinya lelaki itu tak berniat sedikit pun untuk mengalihkan pandangannya dari sana.Berulang kali, Galang memanggil dan mengajak ngobrol Bimo. Akan tetapi, tak ada tanggapan sama sekali dari sosok lelaki di depannya.Galang menatap mata Bimo. Lalu, mengikuti pandangan lela

  • Seatap dengan Racun Rumah Tanggaku   Sebuah Rasa

    Rini keluar dari kafe dengan perasaan penuh kecewa. Seharusnya kalau memang tidak suka, katakan saja dengan jujur. Jangan malah menganggap perasaannya hanya sebuah lelucon semata.Rini pun mengakui, kalau dirinya memang bodoh dan terkesan mengejar-ngejar. Seharusnya, dia bisa menahan diri untuk tidak terlalu to the point."Dulu, banyak pria yang mengejar-ngejar cintaku! Baru kali ini, aku benar-benar merasa menjadi wanita paling bodoh dan tidak punya harga diri sama sekali. Baru saja kenal, sudah mengatakan cinta terlebih dulu. Aku memang bodoh! Bahkan mungkin, wanita terbodoh di bumi!" gerutu Rini kesal.Sepanjang jalan, Rini tak henti merutuki kebodohannya. Sampai-sampai tak menyadari kalau dirinya hampir saja tertabrak sepeda motor saat akan menyeberang."Aaaaa ... tidak ingin mati! Aku belum nikah!""Makanya kalau jalan jangan melamun. Nanti kalau ditabrak, tetap saja pengendara sepeda motor yang disalahkan."Rini melirik pada sosok lelaki yang hampir saja menabraknya. Wanita itu

  • Seatap dengan Racun Rumah Tanggaku   Bukan Lelucon

    "Umi menyindir Abi?"Shafira menggeleng. "Itu namanya bukan nyindir, Bi.""Terus!""Sesuai fakta!" "Abi kan sudah meminta maaf, Um. Jangan menyimpan dendam seperti itu, tidak baik!"Shafira mengembuskan napas kasar. "Bukan menyimpan rasa dendam! Pada dasarnya wanita itu memang makhluk yang ingatannya paling kuat kalau mengingat tentang kesalahan yang dilakukan lelakinya.""Hmm, iya, deh. Wanita maha benar!""Pokoknya Abi harus bisa menyatukan Bimo sama Rini.""Kok jadi ke Abi? Terserah Bimo dong, dia mau pilih dan nikah dengan siapa!""Iya, setidaknya Abi kasih tahu dululah sama Bimo. Bagaimana karakter dan sikap Rini. Sedikit banyaknya, kan, Abi sudah tahu perempuan seperti apa dia. Umi setuju banget kalau seandainya Bimo berjodoh sama Rini.""Um, jodoh itu ada di tangan Allah, bukan di tangan manusia. Kalau menurut kita mereka cocok, belum tentu menurut Allah itu baik. Sebaiknya kita tidak perlu ikut campur dengan perasaan mereka. Kalau memang Rini serius, sampaikan padanya untuk t

  • Seatap dengan Racun Rumah Tanggaku   Gegara Jus

    "Umi tidak salah? Masa Umi yang ngidam, Abi yang harus minum jusnya.""Ya, gimana lagi, Bi! Itu kan bukan keinginan Umi. Dedek Utun yang minta kok, tetapi itu semua terserah Abi. Kalau ingin anaknya ngileran, ya, tidak usah dituruti."Yusuf menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Tidak apa-apa, sih! Hanya saja kalau bisa menawar, boleh tidak kalau pare pahitnya diganti sama buah mangga?""Yee, Abi tawar menawar kayak di pasar. Ngidam itu tidak bisa diganggu gugat Abi. Ya sudah kalau tidak mau, tidur lagi saja!" ucap Shafira seraya membaringkan tubuhnya membelakangi Yusuf."Iya, Abi buat sekarang. Apa, sih, yang enggak untuk anak Abi!" ucap Yusuf seraya mengelus perut buncit Shafira.Yusuf melangkah ke luar dari kamar. Sementara Shafira, tersenyum penuh kemenangan. Pelan-pelan, wanita itu mengikuti langkah sang suami menuju dapur."Jangan pakai gula, Bi! Soalnya kan Umi sudah manis. Nanti minum jusnya sambil ngeliatin Umi saja."Yusuf melirik ke arah Shafira, lalu melempar senyum yang

  • Seatap dengan Racun Rumah Tanggaku   Mengidam

    Shafira mengernyit. Siapa yang di maksud oleh wanita itu? Sementara lelaki yang selalu bersamanya setiap hari itu tak lain suaminya sendiri. Apakah memang Yusuf, lelaki yang di maksud oleh wanita di depannya."Siapa lelaki yang Anda maksud? Apakah beliau?" tanya Shafira seraya menunjuk pada Yusuf yang baru saja keluar dari garasi.Wanita di depannya terkekeh. Lalu, membuka masker yang menutupi sebagian wajahnya. "Jika lelaki itu yang saya minta, apakah boleh?""Rini!" ucap Shafira terkejut. "Dari kapan kamu memakai hijab?""Alhamdulillah baru sebulan, Sha. Jawab pertanyaanku, Ibu Shafira. Apakah boleh aku taaruf dengan suamimu?""Tentu saja tidak boleh! Sekalipun istriku memintanya, aku tidak akan pernah melakukan kesalahan untuk yang kedua kalinya.""Kamu serius, Rin?" tanya Shafira tanpa menghiraukan ucapan Yusuf. "Kamu serius ingin menjadi maduku?""Kalau iya, apakah kamu mau menerimaku menjadi madumu?" tanya Rini kembali."Kalau yang memintanya kamu, mana bisa aku menolaknya!" jaw

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status