Keesokan paginya, Shafira tidak keluar kamar. Ia sibuk dengan beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan secepatnya. Shafira terkekeh, mengingat ekspresi Almira, saat tahu dirinya tidak bisa memasak sarapan untuk pagi ini.
Sebenarnya, Shafira bisa saja memasakkan sarapan untuk mereka pagi ini, hanya saja ia masih kesal pada Almira yang mengakui masakannya sebagai hasil masakannya sendiri.Shafira melirik pada sosok lelaki yang tengah tertidur lelap di sampingnya. Semalam Yusuf memutuskan untuk tidur di kamar istri pertamanya. Tentu saja, hal itu membuat Almira murung dan tak henti-hentinya mengomel."Pagi, Umi!" sapa Yusuf dengan suara sedikit serak."Pagi, Abi. Kok sudah bangun?""Umi lupa, kalau pagi ini Abi harus ke kantor?""Astagfirullah, Maaf. Umi lupa kalau pagi ini Abi ada meeting dengan perusahaan sebelah. Sukses selalu, ya. Semoga dimudahkan rezeki, dan selalu dalam lindungan Allah Swt. Amin.""Amin. Terima kasih doanya, Umi. Maaf, beberapa hari ke belakang Abi hampir saja melupakan ...."Shafira langsung mengunci mulut Yusuf dengan jari telunjuknya. "Jangan terus-menerus meminta maaf! Umi sudah memaafkan Abi, jauh sebelum Abi meminta maaf.""Masyaallah, betapa mulianya hatimu, Umi."Yusuf langsung menarik Shafira ke dalam dekapannya. Seketika rasa nyaman menyeruak dalam kalbu. Rasa yang tidak ia dapatkan saat bersama dengan Almira.Yusuf menggeleng singkat. Tidak seharusnya ia berpikiran seperti itu tentang istrinya. Walau bagaimanapun keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing."Jangan berkata seperti itu, Bi. Masih banyak hal yang harus Umi pelajari untuk memperbaiki diri. Terutama tentang sebuah keikhlasan. Terkadang ikhlas itu mudah diucapkan, tetapi sulit untuk dilakukan."Shafira memejamkan mata. Sejujurnya, ia menyesal telah menyetujui Yusuf untuk berpoligami. Apalagi wanita kedua yang hadir dalam rumah tangganya itu sosok Almira yang manja dan pintar berbohong.Shafira mengembuskan napas perlahan. Semua sudah menjadi bubur. Memang salahnya tidak menyeleksi calon madunya terlebih dulu. Ia terlalu mempercayakan semuanya pada Yusuf."Sudah hampir siang, bersiap-siaplah! Oh, iya, Umi boleh bareng satu mobil dengan Abi? Ada teman lama yang mengajak bertemu di kafe yang tak jauh dari kantor Abi."Yusuf mengernyit. "Lelaki atau perempuan?"Shafira terkekeh. "Apakah selama kita menikah, Abi pernah melihat Umi bertemu dengan lelaki yang bukan mahram? Bukankah selama ini Umi selalu terbuka pada Abi?""Abi percaya, Sayang!""Kalau Abi percaya, mengapa harus mempertanyakannya. Kita menjalani rumah tangga sudah cukup lama, tentunya Abi sudah mengenal karakter, sikap, dan sifat Umi seperti apa. Jadi, jangan memberi celah pada orang lain untuk menghasut salah satu di antara kita.""Iya, Sayang. Maafkan Abi, ya."Shafira mengangguk, lalu mengecup singkat kening sang suami. "Maafkan Umi juga yang sudah panjang lebar menjelaskan. Semua demi kebaikan kita.""Iya, Abi mengerti.""Ketika kita menanamkan kepercayaan pada diri pasangan. Insyaallah godaan atau hasutan siapa pun tidak akan memengaruhi kita."Shafira menghela napas perlahan, lalu mengingatkan kembali sang suami untuk segera bersiap. Tiba-tiba ia mencium bau gosong. Tanpa berpikir panjang lagi, wanita itu langsung berlari ke arah dapur."Almira! Mengapa kamu gosongkan masakannya?" Shafira langsung memadamkan api yang sudah menyala di penggorengan."Seharusnya kamu yang memasak pagi ini, Mbak. Kamu, kan, sudah mendapat jatah dari Mas Yusuf. Lagi pula seharusnya kamu itu memberi kesempatan yang cukup lama untukku dan Mas Yusuf berbulan madu."Shafira tidak menghiraukan perkataan madunya. Ia sibuk membersihkan beberapa alat dapur yang gosong. Kemudian, memasak untuk sarapan suaminya."Makanya, kalau kamu tidak bisa memasak, seharusnya berterus terang saja. Jangan malah masakanku, kamu akui sebagai hasil masakanmu sendiri. Mas Yusuf itu enak, kok, orangnya. Malahan dia lebih suka kejujuran daripada berbohong hanya demi mendapatkan pujian.""Kamu ....""Untuk masalah berbulan madu, bicarakan saja langsung dengan Mas Yusuf. Insyaallah, sebagai istri pertama, aku manut pada keputusan suami. Jadi, untuk hal yang seperti itu jangan dibicarakan denganku, tetapi bicarakan langsung dengan Mas Yusuf."Shafira melanjutkan kembali memasak. Ia tidak ingin terlalu memikirkan perkataan dan sikap Almira padanya. Walau bagaimanapun semua yang terjadi dalam hidupnya sudah menjadi sebuah ketetapan takdir.Jika rasa cemburu itu datang, Shafira tak henti membaca istigfar dan selawat. Seketika rasa itu pun hilang dari hati dan pikirannya. Ia tak ingin berlama-lama menyimpan rasa cemburu yang pada akhirnya akan menghadirkan dendam dan kebencian. Toh, ia tidak sepenuhnya kehilangan cinta Yusuf. Hanya membaginya saja dengan wanita lain yang kini telah menjadi madunya.Setelah sarapan pagi, Yusuf dan Shafira pamit. Hati Almira memanas, saat mengetahui kalau mereka duduk dalam satu mobil yang sama. Penampilannya jauh dari kata rapi. Barang-barang di kamarnya pun berceceran di mana-mana.Berkali-kali ia menelepon Yusuf, tetapi tak ada satu pun panggilannya yang dijawab. Hati wanita itu semakin tak karuan, saat nomor Yusuf dinonaktifkan.Rasa cemburu menguasai hati dan pikirannya, sehingga tak mampu lagi berpikir yang baik. Wanita itu menduga kalau Yusuf tengah asyik berduaan dengan Shafira."Lihat saja nanti, Syafira! Kamu atau aku yang akan tersingkirkan dari rumah ini."****Shafira tengah asyik bercanda dengan sahabat lamanya. Sejenak, ia melupakan kegundahan yang melanda. Ia tidak ingin terus-menerus memendam kekesalan dalam dada."Eh, enak, ya, jadi kamu, Sha. Memiliki suami yang tampan, baik, sekaligus tajir melintir seperti Yusuf. Kira-kira masih ada tidak, ya, stok lelaki seperti dia di dunia ini?""Di dunia ini tidak ada yang sempurna, Rin. Pasti ada saja kekurangan yang ada dalam diri pasangan. Intinya jangan mencari pasangan yang sempurna, tetapi carilah pasangan yang bisa menyempurnakan iman kita.""Itulah yang jadi alasan utamaku belum juga menikah, Sha. Sekarang ini banyak lelaki yang berkedok pintar agama, tetapi pada kenyataannya ilmu mereka nol. Mereka hanya bisa menasihati orang lain, tetapi tidak bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.""Tidak semua lelaki seperti itu, Rin. Asalkan kita pintar mencarinya. Masih banyak lelaki baik di dunia ini. Terkadang, besarnya cinta kita pada orang yang salah, menutupi mata dan hati kita untuk menemukan orang yang tepat.""Lelaki zaman sekarang itu kebanyakan mendua dengan mudahnya, Sha. Apalagi untuk mereka yang banyak uang. Memutuskan berpoligami, tanpa tahu ilmunya. Mengorbankan satu wanita yang setia, demi menikahi cinta yang belum tentu baik di mata dunia."Shafira mengembuskan napas perlahan. Apa yang dikatakan Rina itu memang benar. Jika tidak tahu ilmu berpoligami, maka akan sulit untuk berbuat adil di dalamnya.Sama halnya dengan suaminya, Yusuf. Lelaki itu menikahi Almira karena cinta, sehingga melupakan untuk menyelidiki terlebih dulu karakter dan keseharian dari wanita itu.Tidak terbayang, jika setiap hari harus ribut dengan madunya, hanya karena rasa cemburu yang ada di antara mereka berdua."Hmm, tentunya suamimu tipe setia, kan, Sha? Dia tidak mungkin mengkhianati wanita yang cantik dan pintar sepertimu. Bodoh saja kalau ia sampai menyia-nyiakanmu."Bersambung ....Syafira tersenyum menanggapi perkataan sahabatnya. Yusuf tidak menyia-nyiakannya, ia hanya membagi cinta saja dengan wanita lain. Dalam hal ini, ia juga tidak ingin egois. Biarkan saja Yusuf memutuskan semua sendiri, wanita itu tidak ingin menghalangi keinginan lelakinya itu."Jika memang suaminya mampu berbuat adil, dan paham ilmu berpoligami, aku tidak masalah!" ucap Shafira."No! Aku, sih, ogah! Lebih tentram tanpa madu.""Tidak ada satu pun wanita pun di dunia ini yang ingin di madu, Rin. Tentunya semua wanita ingin menjadi satu-satunya ratu yang ada di hati suaminya. Tak ada madu yang manis. Jika pun ada, itu karena suami mampu membimbing keduanya dengan baik," balas Shafira seraya mengaduk-ngaduk jus miliknya.Shafira masih ingat, saat Yusuf berjanji akan menjadikan satu-satunya ratu dalam rumah tangganya. Namun, kehadiran wanita masa lalu, membuat Yusuf khilaf dan melupakan semua janji manisnya itu.Shafira mengembuskan napas perlahan. Begitu berat semua itu untuknya. Semenja
Dengan sedikit malas, Yusuf membuka pesan masuk dari Shafira. Lelaki itu merasa benar-benar kecewa dengan apa yang telah dilakukan istrinya di kafe tadi. Padahal, ia sudah memberikan kepercayaan penuh padanya. Entah mengapa dengan mudahnya wanita itu telah menyia-nyiakan kepercayaannya selama ini. Ia tak menyangka, Shafira akan bermain cinta di belakangnya bersama pria lain.Tak lama kemudian, masuk satu pesan lagi berupa voice note yang berisi suara seseorang yang dikenal. Ya, suara Shafira, Rina, dan lelaki di kafe itu terekam jelas di sana. Mendengar percakapan mereka, ekspresi wajah Yusuf seketika berubah, lelaki itu langsung mengusap gusar wajahnya. Ternyata ia telah salah paham pada Shafira. Wanita itu tidak seburuk dengan apa yang dituduhkannya tadi."Astagfirullah, aku sudah salah paham padanya. Cemburu telah membutakan mata dan hatiku. Aku harus segera meminta maaf padanya," batin Yusuf. Lelaki itu beranjak dari duduk. Rasa bersalah mulai menyelimuti hati dan pikirannya. Yus
Shafira baru saja selesai memasak. Ia merasa bersalah, karena tadi pagi tidak menyiapkan sarapan untuk suaminya. Ia lebih mengutamakan ego, sehingga mengabaikan tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri. Pikiran dan hatinya jauh dari kata tenang, sedari tadi terus-menerus kepikiran akan perut sang suami. Sudahkah lelakinya itu mengisi perutnya dengan nasi? Bagaimana kalau ternyata dia malah memilih untuk tetap mengosongkan perutnya? Rasa khawatir mulai memenuhi pikirannya, karena selama ini suaminya itu selalu sarapan tepat waktu.Siang harinya, semua makanan kesukaan Yusuf sudah terhidang di meja. Wanita itu tersenyum, dan berjanji akan meminta maaf pada suaminya saat pulang nanti."Istri yang baik! Sayangnya, sebentar lagi Mas Yusuf akan menjadi milikku seutuhnya. Aku tidak ingin membaginya denganmu," ucap Almira dengan nada sinis. Shafira mengabaikan perkataan Almira, lalu melangkah menaiki tangga. Wanita itu berpura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan sang madu. Baginya ta
Yusuf mondar-mandir di depan meja kerja. Beberapa hari ini, ia sibuk memikirkan perkataan Shafira. Bahkan, demi bisa menemukan teka-teki itu, Yusuf memilih untuk tidak tidur dengan kedua istrinya. Saat ini, tidur sendiri adalah jalan terbaik untuk menenangkan pikirannya dari segala permasalahan yang ada. Dalam benaknya dipenuhi tanya, apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam rumah tangganya? Bukankah kehidupan mereka baik-baik saja? Kedua istrinya pun akur, tak pernah sedikit pun terdengar bertengkar.Bimo masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. Lelaki itu menggeleng singkat, saat melihat sahabatnya bolak-balik tak tentu arah, seperti orang yang tengah kebingungan. "Apalagi yang sedang mengganggu pikiranmu, Bro? Seharusnya hidupmu bahagia. Harta melimpah, perusahaan milik sendiri, dan memiliki dua istri yang sangat aduhai."Sepertinya Yusuf baru menyadari kehadiran Bimo di sana. Lelaki itu tampak terkejut, dan mundur beberapa langkah dari tempatnya berdiri."Dari kapan kamu ada di
"Astagfirullah al'azim. Kamu mabuk, Al?" Shafira mendekat, lalu berniat untuk memapah madunya ke kamar. Namun, niat baik itu langsung ditolak mentah-mentah oleh Almira. "Menjauh dariku! Aku tak sudi disentuh wanita sepertimu!" Almira tersenyum kecut, lalu berlalu dari hadapan Shafira."Astagfirullah," lirih Shafira seraya mengusap dada. Shafira tak pernah menyangka, madunya yang selama ini tampak alim dan salihah itu ternyata kelakuannya seperti ini. Apalagi pakaian yang Almira pakai sangat ketat dan seksi, memperlihatkan semua bagian lekuk tubuhnya. Ia tak bisa membayangkan, bagaimana murkanya Yusuf bila mengetahui kelakuan istri keduanya yang seperti itu.Dengan berjalan sempoyongan, Almira menaiki tangga. Sesekali wanita itu memegang kepalanya yang terasa pening. Mulutnya meracau tak jelas, sesekali ia tertawa seperti orang yang setengah waras. Diam-diam Shafira mengikutinya dari belakang. Meskipun Almira sering kali membuatnya kesal dan sakit hati, tetapi ia tidak tega bila ha
Almira mencoba untuk merayu Yusuf. Akan tetapi, semakin Almira mendekati Yusuf, maka lelaki itu akan semakin menjauh darinya. Hal itu membuat Almira geram, sehingga tidak dapat lagi mengontrol emosinya."Iya, aku semalam minum alkohol, tetapi itu semua karena kamu, Mas. Akhir-akhir ini kamu sibuk dengan urusanmu sendiri. Jangankan untuk menyentuh, tidur seranjang berdua saja tidak kamu lakukan. Mas lupa, ya, memiliki istri? Atau jangan-jangan ...."Yusuf mengernyit. Tingkah wanita di depannya itu membuat dia semakin pening. "Jangan-jangan apa?""Jangan-jangan, Mas itu punya simpanan wanita lain, dan sedang merencanakan pernikahan dengannya, ya? Jika itu benar, aku tidak ikhlas, Mas. Aku tidak mau memiliki madu!""Kenapa tidak ikhlas? Toh kamu bisa berada di sini saja sebagai madu, bukan? Seharusnya kamu bisa menerimanya, seperti Shafira menerimamu di rumah ini. Setidaknya nanti kamu bisa merasakan, bagaimana posisi menjadi Shafira. Bukankah itu bagus?""apanya yang bagus? Maaf, aku ti
Dengan berjalan sedikit angkuh, Yusuf masuk ke ruangannya. Pagi ini ia terlihat lebih rapi. Senyum mengembang dari kedua sudut bibirnya, kala mengingat kemesraannya bersama Shafira semalam. Yusuf duduk di ujung meja, seraya menghadap ke luar jendela. Rasanya masih terasa, bagaimana Shafira memperlakukannya dengan lembut dan penuh cinta. Yusuf akui, semua kriteria wanita idamannya memang ada di diri Shafira. Bodohnya, ia malah menghadirkan wanita lain di dalam rumah tangganya yang justru menjadi racun untuk hubungannya dengan Shafira.Lelaki itu menggeleng, lalu tersenyum tipis. Ia seperti tengah merasakan jatuh cinta kembali pada Shafira. Tatapan dan senyum manis wanita itu mampu menghilangkan segala kegundahannya. Bersama Shafira, seakan-akan semua masalah sirna sudah. Hati yang kalut dan gelisah pun, seketika menjadi tenang.Yusuf tak mengerti, mengapa ia bisa memutuskan untuk menduakan wanita yang sangat dicintainya itu. Padahal selama ini, Shafira mampu memberikan apa yang ia but
Tak ada yang bisa Shafira lakukan, selain memendam semua gundah gulana dalam hati. Perkataan Ibu mertuanya bagai pisau yang menghujam langsung relung kalbunya. Luka karena irisan pisau tidak seberapa sakit dibandingkan luka yang tertancap di hatinya akibat ucapan sang ibu mertua.Wanita mana yang tidak ingin memiliki anak! Tentunya semua wanita mengharapkan kehadiran sang buah hati untuk pelengkap kebahagiaan dalam bahtera rumah tangganya. Begitu pun dengan Shafira yang sudah lama mendambakan kehadiran buah hati di dalam hidupnya.Berbagai cara sudah Shafira lakukan, dari mulai ikut promil, alternatif, dll. Semua yang dianjurkan dokter dan keluarga sudah ia coba. Namun, semua kembali pada Sang Kuasa. Jika Dia belum menghendaki, tak ada yang bisa Shafira lakukan selain berpasrah diri. Mungkin Allah belum memercayainya untuk cepat memiliki momongan. Shafira percaya, Allah yang tahu mana yang terbaik untuknya.Di dunia ini, tak yang akan kuat hidup satu atap bersama madunya. Apalagi deng