Yusuf mondar-mandir di depan meja kerja. Beberapa hari ini, ia sibuk memikirkan perkataan Shafira. Bahkan, demi bisa menemukan teka-teki itu, Yusuf memilih untuk tidak tidur dengan kedua istrinya. Saat ini, tidur sendiri adalah jalan terbaik untuk menenangkan pikirannya dari segala permasalahan yang ada. Dalam benaknya dipenuhi tanya, apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam rumah tangganya? Bukankah kehidupan mereka baik-baik saja? Kedua istrinya pun akur, tak pernah sedikit pun terdengar bertengkar.Bimo masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. Lelaki itu menggeleng singkat, saat melihat sahabatnya bolak-balik tak tentu arah, seperti orang yang tengah kebingungan. "Apalagi yang sedang mengganggu pikiranmu, Bro? Seharusnya hidupmu bahagia. Harta melimpah, perusahaan milik sendiri, dan memiliki dua istri yang sangat aduhai."Sepertinya Yusuf baru menyadari kehadiran Bimo di sana. Lelaki itu tampak terkejut, dan mundur beberapa langkah dari tempatnya berdiri."Dari kapan kamu ada di
"Astagfirullah al'azim. Kamu mabuk, Al?" Shafira mendekat, lalu berniat untuk memapah madunya ke kamar. Namun, niat baik itu langsung ditolak mentah-mentah oleh Almira. "Menjauh dariku! Aku tak sudi disentuh wanita sepertimu!" Almira tersenyum kecut, lalu berlalu dari hadapan Shafira."Astagfirullah," lirih Shafira seraya mengusap dada. Shafira tak pernah menyangka, madunya yang selama ini tampak alim dan salihah itu ternyata kelakuannya seperti ini. Apalagi pakaian yang Almira pakai sangat ketat dan seksi, memperlihatkan semua bagian lekuk tubuhnya. Ia tak bisa membayangkan, bagaimana murkanya Yusuf bila mengetahui kelakuan istri keduanya yang seperti itu.Dengan berjalan sempoyongan, Almira menaiki tangga. Sesekali wanita itu memegang kepalanya yang terasa pening. Mulutnya meracau tak jelas, sesekali ia tertawa seperti orang yang setengah waras. Diam-diam Shafira mengikutinya dari belakang. Meskipun Almira sering kali membuatnya kesal dan sakit hati, tetapi ia tidak tega bila ha
Almira mencoba untuk merayu Yusuf. Akan tetapi, semakin Almira mendekati Yusuf, maka lelaki itu akan semakin menjauh darinya. Hal itu membuat Almira geram, sehingga tidak dapat lagi mengontrol emosinya."Iya, aku semalam minum alkohol, tetapi itu semua karena kamu, Mas. Akhir-akhir ini kamu sibuk dengan urusanmu sendiri. Jangankan untuk menyentuh, tidur seranjang berdua saja tidak kamu lakukan. Mas lupa, ya, memiliki istri? Atau jangan-jangan ...."Yusuf mengernyit. Tingkah wanita di depannya itu membuat dia semakin pening. "Jangan-jangan apa?""Jangan-jangan, Mas itu punya simpanan wanita lain, dan sedang merencanakan pernikahan dengannya, ya? Jika itu benar, aku tidak ikhlas, Mas. Aku tidak mau memiliki madu!""Kenapa tidak ikhlas? Toh kamu bisa berada di sini saja sebagai madu, bukan? Seharusnya kamu bisa menerimanya, seperti Shafira menerimamu di rumah ini. Setidaknya nanti kamu bisa merasakan, bagaimana posisi menjadi Shafira. Bukankah itu bagus?""apanya yang bagus? Maaf, aku ti
Dengan berjalan sedikit angkuh, Yusuf masuk ke ruangannya. Pagi ini ia terlihat lebih rapi. Senyum mengembang dari kedua sudut bibirnya, kala mengingat kemesraannya bersama Shafira semalam. Yusuf duduk di ujung meja, seraya menghadap ke luar jendela. Rasanya masih terasa, bagaimana Shafira memperlakukannya dengan lembut dan penuh cinta. Yusuf akui, semua kriteria wanita idamannya memang ada di diri Shafira. Bodohnya, ia malah menghadirkan wanita lain di dalam rumah tangganya yang justru menjadi racun untuk hubungannya dengan Shafira.Lelaki itu menggeleng, lalu tersenyum tipis. Ia seperti tengah merasakan jatuh cinta kembali pada Shafira. Tatapan dan senyum manis wanita itu mampu menghilangkan segala kegundahannya. Bersama Shafira, seakan-akan semua masalah sirna sudah. Hati yang kalut dan gelisah pun, seketika menjadi tenang.Yusuf tak mengerti, mengapa ia bisa memutuskan untuk menduakan wanita yang sangat dicintainya itu. Padahal selama ini, Shafira mampu memberikan apa yang ia but
Tak ada yang bisa Shafira lakukan, selain memendam semua gundah gulana dalam hati. Perkataan Ibu mertuanya bagai pisau yang menghujam langsung relung kalbunya. Luka karena irisan pisau tidak seberapa sakit dibandingkan luka yang tertancap di hatinya akibat ucapan sang ibu mertua.Wanita mana yang tidak ingin memiliki anak! Tentunya semua wanita mengharapkan kehadiran sang buah hati untuk pelengkap kebahagiaan dalam bahtera rumah tangganya. Begitu pun dengan Shafira yang sudah lama mendambakan kehadiran buah hati di dalam hidupnya.Berbagai cara sudah Shafira lakukan, dari mulai ikut promil, alternatif, dll. Semua yang dianjurkan dokter dan keluarga sudah ia coba. Namun, semua kembali pada Sang Kuasa. Jika Dia belum menghendaki, tak ada yang bisa Shafira lakukan selain berpasrah diri. Mungkin Allah belum memercayainya untuk cepat memiliki momongan. Shafira percaya, Allah yang tahu mana yang terbaik untuknya.Di dunia ini, tak yang akan kuat hidup satu atap bersama madunya. Apalagi deng
Wajah Shafira bersemu merah, kala Yusuf memujinya seperti itu. "Umi tidak melakukan perawatan apa pun, Bi. Kalaupun Umi mau melakukannya, pasti meminta izin terlebih dulu pada Abi."Yusuf berdeham. "Tak perlu meminta izin, Sayang. Jika memang itu positif dan baik untuk hubungan kita, lakukanlah!""Apakah Abi sedang meminta Umi untuk melakukan perawatan? Apakah karena kulit Umi tidak sekencang dulu atau karena wajah Umi tidak secantik dulu lagi?" tanya Shafira penuh selidik.Yusuf terkekeh. Lelaki itu langsung mendekap Shafira, lalu mengecup lama puncak kepala sang istri."Cantikmu natural tanpa harus pergi ke salon kecantikan, Sayang.""Bohong!" balas Shafira seraya membelakangi Yusuf.Yusuf mengacak rambutnya frustrasi. "Salah lagi! Kenapa pria selalu salah di mata setiap wanita?"Shafira beranjak dari ranjang, lalu masuk ke kamar mandi. Sejenak, ia berdiri mematung di depan cermin, memperhatikan setiap inci dari wajahnya.Wanita itu berdecak kesal, saat melihat sedikit lemak di bag
Shafira tak habis pikir, mengapa ibu mertuanya bisa begitu akrab dengan Almira? Sementara dengan dirinya yang sudah lama menjadi menantu, acuh tak acuh seperti tidak butuh.Dulu, ibu mertuanya tidak seperti itu. Sikap dan sifatnya berubah setelah tahu dirinya tak kunjung memiliki anak. Sejujurnya, ia pun sangat menginginkan untuk segera memiliki keturunan. Namun, apa daya, jika yang di atas belum memercayainya. Bukankah manusia itu hanya bisa berikhtiar, sisanya Allah lah yang menentukan.Tak ada yang bisa Shafira lakukan selain pasrah menjalani semua yang telah terjadi dalam hidupnya. Ia tidak pernah menyangka, jika kehadiran madu dalam rumah tangganya akan menjadi bom yang akan menghancurkan pernikahannya dengan suami.Shafira mengembuskan napas kasar. Biasanya sang ibu mertua juga hanya sepekan sekali mengunjungi rumahnya, tetapi mengapa sekarang menjadi setiap hari? Apakah mereka sengaja ingin membuatnya tidak kuat bertahan di rumah itu, sehingga nantinya berharap ia pergi dari s
Keesokan harinya, sesuai dengan yang sudah disepakati bersama. Bimo dan Aldo meluncur menuju sebuah pedesaan terpencil. Mereka akan menuju desa tempat kelahiran Almira.Pagi itu cuaca sangat dingin, ditambah lagi jalan yang curam dan bercampur tanah. Membuat Bimo sangat berhati-hati dalam menyetir mobil."Yusuf memang tak memiliki hati, masa kita ditugaskan ke tempat seperti ini. Gue tidak ingin mati sia-sia di sini. Ingat dan catat, ya! Gue belum merit, jadi kalau mau mati, Lu mati sendiri aja. Kagak usah ngajak-ngajak. Gue ikhlas!" ucap Aldo seraya berpegang erat pada sandaran jok mobil."Siapa juga yang pengen mati di tempat seperti ini. Gue juga kagak mau. Pengen nyicipi dulu rasanya punya bini.""Apa Lu bilang nyicipi? Kayak makanan aja dicicipi!" timpal Aldo."Kalau kita tidak menuruti keinginan Yusuf, tentu gaji kita yang akan jadi korbannya. Bayangkan aja dari mana gue bayar kontrakan, biaya hidup satu bulan, setoran mobil, nabung buat nikah, belum lagi buat ngirimi emak di ka