**
"Ini adalah kecelakaan tunggal. Kemungkinan besar disebabkan oleh pengemudi mobil yang sedang mengantuk. Kendaraannya menabrak beton pembatas jalan dalam kecepatan tinggi. Tidak ada penumpang lain di dalam mobil selain pengemudi sendiri. Beruntung, saat itu lalu lintas sedang sepi, jadi tidak menyebabkan tabrakan beruntun."Kiran duduk termenung di sisi ranjang rawat. Menatap lekat Karan yang terbaring diam di atasnya. Tiga hari berlalu dalam keadaan yang stagnan seperti ini. Belum ada gerakan apapun, meski beberapa alat penyambung kehidupan yang menempel pada tubuh lelaki itu sudah dilepas.Awang perempuan berusia dua puluh empat tahun itu berkelana, mengingat kembali kata-kata petugas olah TKP.Mereka bilang, Karan sedang sendirian di dalam mobil itu saat kecelakaan terjadi. Tidak bersama dengan Nevia.Berarti, gadis cantik itu belum mengetahui perihal kecelakaan ini hingga sekarang."Selamat pagi, Ibu."Kiran terhenyak dari lamunan. Menoleh dan mendapati seorang dokter laki-laki sudah berada di depannya. Ia buru-buru tersenyum dan membalas sapaan itu."Ah, selamat pagi, Dok.""Saya periksa dulu keadaan pasien, ya. Semoga ada kemajuan hari ini. Yah, seharusnya sudah ada kemajuan, mengingat tidak ada gejala lain selama beberapa hari ini."Kiran mengangguk, memaksakan mengulas senyum kering. Ia tidak memiliki ekspektasi apapun, mengingat nihilnya tiga hari ini. Namun, raut wajah dokter tampan itu setelah memeriksa, membuat harapan Kiran kembali terpantik."Denyut jantungnya stabil, tekanan darah juga normal. Beberapa luka luar sudah membaik, termasuk benturan di kepala. Hanya trauma pada tengkoraknya yang belum pasti. Kita harus menunggu pasien sadar dulu untuk bisa evaluasi."Kiran hanya mengangguk gugup mendengar penjelasan panjang itu. Entah apa artinya, namun ia bisa menangkap satu hal yang sepertinya pasti ; sudah ada banyak kemajuan."Tapi, kenapa belum sadar juga ya, Dok?" Perempuan itu lantas bertanya dengan gusar."Itulah. Seharusnya pasien sudah bisa sadar dalam tahap ini. Tapi bisa juga karena pengaruh obat dosis tinggi, atau shock akibat benturan keras, jadi tubuhnya masih recovery. Anda harus selalu mendampingi biar bisa memantau dan langsung menghubungi perawat jika ada pergerakan sekecil apapun, oke?""Baik, Dok.""Jangan khawatir, suami anda pasti baik-baik saja."Meski kurang puas dengan jawabannya, namun Kiran tetap memaksakan mengangguk. Ia mengucapkan terimakasih saat dokter akhirnya berpamitan. Kemudian tinggallah perempuan itu seorang diri di sana. Kembali menatap lekat wajah tampan yang meski sedang pucat pasi, namun tetap terlihat begitu menawan. Jangan salahkan bila Kiran harus jatuh cinta kepadanya meski sikapnya seringkali hanya membuat luka hati saja. Memangnya siapa yang bisa mencegah hadirnya rasa cinta?"Ah, Mas Karan, kita bersih-bersih dulu, ya. Tadi udah dibawain air hangat sama suster jaga. Dokter bilang semuanya baik-baik aja, jadi kita harus siap-siap kalau Mas Karan nanti bangun sewaktu-waktu." Kiran tersenyum lebar meski tahu dirinya konyol, mengajak mengobrol seseorang yang sedang tidak sadarkan diri. Namun, dokter justru menganjurkan hal ini. Dokter berkata Karan tetap bisa mendengar suara-suara di sekitarnya meski tubuhnya tidak sadar.Perempuan ayu itu menyiapkan kain lap lembut yang sudah dibasahi dengan air hangat guna menyeka tubuh sang suami. Mengusapnya pelan-pelan dengan penuh kasih sayang. "Biar badan kamu bersih dan wangi, nggak bau rumah sakit lagi. Biar kamu ngerasa segeran juga, Mas."Senyum itu terus merekah, menghiasi bibir Kiran. Ia masih pula berceloteh sepanjang melaksanakan tugasnya. Menceritakan ini dan itu, yang tidak mungkin ia lakukan jika Karan sedang bangun. "Aku tau kamu nggak akan pernah ijinin aku ngelakuin hal ini ketika kamu sadar, jadi aku minta maaf, oke? Maaf, aku buka bajunya, ya."Tangan Kiran gemetar hebat saat ia membuka sedikit pakaian pasien yang membalut tubuh Karan. Demi Tuhan, bahkan sebelumnya bermimpi tentang hal ini pun ia tak berani. Dan benar saja, memang sudah benar jika Karan tidak mengizinkan tubuhnya disentuh. Sebab lihatlah perempuan itu saat ini."Oh, Tuhan. Oh, Tuhanku ...."Kedua pipi Kiran bersemu merah tanpa ampun. Ini sesungguhnya bukanlah hal berdosa, sebab yang sedang ia sentuh adalah tubuh milik suaminya sendiri yang telah sah secara hukum dan agama menjadi haknya. Namun tak bisa dipungkiri, Kiran sama sekali tak memiliki pengetahuan apapun dalam hal ini."M-Mas ... maaf, ya. Maaf banget. Please, jangan marah. Aku janji ini cuma karena biar badan kamu nggak kotor aja. Sama sekali bukan karena apa-apa, kok. Percayalah, aku nggak ada tujuan lain." Kiran membuka fabrik yang menutupi bagian bawah tubuh suaminya. Menyeka bagian itu dengan kain basah yang hangat. Keringat dingin mengucur deras di balik punggungnya saat ia bisa melihat dengan begitu jelas hal luar biasa apa yang ada di sana."Ya Tuhan, maaf-maaf-maaf!" Kedua tangan Kiran bergetar hebat. Tremor tanpa bisa ia cegah. Perempuan itu berusaha menyelesaikan tugasnya secepat mungkin meski kepalanya mendadak terasa pening. Ia–"Uggh ...."Kedua bola mata Kiran melebar maksimal. Tangannya yang masih memegang kain lap sedang berada dalam posisi yang sangat tidak tepat. Dan hal menakutkan yang Kiran paling takutkan, akhirnya terjadi juga.Karan membuka matanya."M-Mas K-Karan?""Ugh ....""Ma-ma-maaf, Mas. Ak-aku cuma ... cuma ...."Tak bisa dipungkiri, Kiran benar-benar terkesima dengan apa yang sudah ia lihat. Disertai wajah terbakar merah membara juga tangan gemetar ketakutan, ia membetulkan celana suaminya. Menahan malu sebab pandangan mata Karan terpancang ke arah sana. Kiran merasa dirinya seperti pencuri yang baru saja ditangkap basah oleh massa."M-Mas Karan, aku harus panggil perawat, ya. Tunggu sebentar, tadi dokter bilang begitu. Sebentar, ya." Perempuan itu berkata terbata-bata seraya menekan tombol di atas headboard. Tubuhnya gemetaran sebab takut akan mendapat tumpahan kemarahan dari sang suami sebab ketahuan membuka-buka celananya.Namun aneh, sejauh ini Karan hanya terus menatap langit-langit ruang rawat dengan pandangan bingung. Membuat rasa takut Kiran, perlahan-lahan berubah menjadi takut yang lain."Ah, sial, kenapa perawatnya lama banget?" desis perempuan itu, sekali lagi menekan tombol di atas ranjang. "Mas Karan? Apakah ada yang sakit? Kepalanya sakit, ya? Tunggu sebentar, ya. Sebentar lagi perawatnya datang."Karan kemudian mengalihkan pandangan dari langit-langit ruang rawat kepada perempuan di sampingnya. Perempuan yang sedang tersenyum lembut meski wajahnya terlihat pias dan lelah."Mas Karan, kamu mau sesuatu? Bisa sampaikan sama aku? Nggak apa-apa, pelan-pelan aja bicaranya." Kiran mendekat saat raut wajah suaminya berubah semakin kebingungan. Tanpa sadar, ia menggenggam tangan besar yang hangat itu."Kamu ...." Suara itu terdengar parau dan serak. Kiran mengernyit, bahkan hanya bersuara pun suaminya terlihat kesakitan."Iya, Mas? Ada apa?""Kamu ... kamu siapa?"*****"Kamu siapa?"Kiran terkesiap. Kain lap yang sedang ia pegang menggelincir dan jatuh dari tangan ke atas lantai. Kedua matanya terbelalak dengan mulut terbuka."M-Mas, jangan bercanda.""Kamu si-siapa ... ugh!" Karan tiba-tiba menampakkan ekspresi kesakitan dengan tangan menekan sebelah kepala. Membuat panik perempuan di depannya."Mas Karan!""Sa-sakit ....""Sebentar, tunggu sebentar. Tenang di sini ya, Mas. Bentar lagi perawatnya dateng. Mana yang sakit? Ini?"Kiran memijit-mijit dengan lembut pelipis Karan yang sedang lelaki itu tekan kuat-kuat. Menggenggam tangan besarnya yang gemetaran agar tetap tenang. Sampai kemudian dua orang perawat yang datang, terbelalak terkejut."Kenapa lama banget?" Kiran bertanya dengan nada agak keras. Bukan maksudnya bersikap tidak sopan. Hanya refleks sebab ia sedang panik bukan main. "Suami saya udah sadar tapi dia kesakitan gini. Tolong, Sus!""Saya panggil dokter, Bu." Salah seorang perawat melesat berlari keluar, sementara yang seorang lagi
**"Maaf aku baru datang sekarang. Aku sama sekali nggak denger berita apapun tentang ini. Aku baru pulang dari luar kota."Kiran mundur selangkah. Iris gelapnya bergetar saat melihat entitas cantik itu mengayun langkah dengan tergesa untuk mendekati suaminya."Ya Tuhan, Karan! Gimana bisa, sih? Kamu baik-baik aja, kan? Kamu–" kata-kata Nevia lindap sebelum berakhir karena ketika ia mengulurkan tangan untuk menyentuh Karan, lelaki itu justru mundur menjauh dan melayangkan tatapan penuh tanya."Karan? Kenapa? Kamu nggak mau aku pegang?" Nevia memastikan melangkah ke depan sekali lagi, dan lelaki di hadapannya pun mundur sekali lagi pula."Karan ini aku!""Kamu siapa?"Seperti halnya Kiran saat pertama kali mengetahui hal ini, Nevia pun tampak begitu heran dan terpukul. Kedua netra cantiknya terbelalak lebar."Karan! Ini nggak lucu!""Kamu siapa?""Aku kekasihmu! Kita udah lima tahun pacaran! Jangan bikin kesabaranku habis,Kar!""Suruh dia pergi, kepalaku pusing." Karan mundur ke arah d
**"Jadi, kenapa kamu bilang ini kamarku dan kamarmu ada di tempat lain? Bukankah seharusnya kita cuma punya satu?"Kiran terkesiap. Tidak mengira laki-laki yang sedang menatapnya dengan sorot mata polos itu akan bertanya demikian."Kiran? Kok diem? Apa aku salah tanya?" Karan berkata dengan nada khawatir kali ini. Kedua alisnya menukik turun, membuat wajahnya jadi kekanakan."Aah ... sebenernya kita emang ... punya kamar sendiri-sendiri, Mas.""Kok begitu? Katamu kita ini suami istri? Kamu bohongin aku, kah?""Nggak, nggak. Ini agak ...." Bagaimana menjelaskannya? Kiran menilai kondisi suaminya saat ini belum memungkinkan untuk menerima informasi yang agak mengejutkan. Cerita pernikahan mereka, misalnya. "Jangan mikir yang aneh-aneh, Mas. Karena kita masih berdua di rumah ini, maka aku sering pakai kamar itu buat kerja atau rebahan aja biar nggak ganggu istirahat kamu.""Bener begitu?"Kiran mengangguk dengan senyum merekah. Ia kembali melangkah mendekat dan menyusul Karan duduk di t
**Seperti inikah suasana malam pertama?Kiran menepuk pipinya sendiri, mengusir pemikiran konyol yang secara tiba-tiba menghinggapi benaknya. Bisa-bisanya ia terpikir malam pertama saat suaminya sedang dalam keadaan sakit begini."Kamu capek banget, kah?" Karan bertanya dengan wajah bersungguh-sungguh. "Ini karena aku, kan? Kamu kurang istirahat karena ngerawat aku di rumah sakit berhari-hari."Itu benar. Kiran bisa merasakan kepalanya sering pusing sebab tekanan darahnya menurun. Rumah sakit bukan tempat yang bagus untuk tidur. Namun, perempuan itu tetap tersenyum kepada sang suami."Enggak, Mas. Nggak apa-apa. Itu udah kewajibanku ngerawat kamu. Biar kamu cepet sehat lagi.""Maaf aku banyak merepotkan ya, Ki. Aku beruntung kamu yang ada di sampingku saat keadaannya seperti ini."Oh, Ya Tuhan. Benarkah Karan Raditya Gathfan bisa berucap seperti itu? Kiran lagi-lagi tak bisa menyembunyikan rona merah pada wajahnya."Sini, Ki. Lebih dekat, sini. Kenapa kamu kesannya yang jaga jarak ba
**Kiran memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Barangkali ia memang salah, karena dari awal kekasih Karan adalah Nevia, bukan dirinya. Namun, untuk saat ini, ia benar-benar tidak ingin mengizinkan perempuan itu untuk menemui suaminya lagi. Kiran belum lupa bagaimana Karan kesakitan saat terakhir kali Nevia menemuinya."Kiran? Kamu kok di sini?"Perempuan itu terhenyak saat sebuah suara terdengar memecah keheningan. Ia menoleh ke arah tangga, di mana sang suami sudah berdiri di sana dengan alis menukik turun."Kamu bilang nggak akan pindah kamar, kan? Kamu bilang akan temenin aku?""Aku cuma bikin minuman hangat, Mas. Nggak ke mana-mana, kok." Kiran tersenyum, ia menunjuk cangkir cokelat panas yang berada di tangannya."Tengah malam begini?""Sebenarnya, aku memang lagi nggak bisa tidur.""Apa karena aku? Apa aku mendengkur atau sesuatu?"Kiran terpaksa tertawa kecil. Ini sungguh hal baru. Menghadapi Karan yang biasanya sedingin es kutub, kini menjadi cerewet dan polos."Bukan. Seb
**"Karan!""Nevia, please!" Kiran masih sempat mencegah ketika perempuan cantik itu hendak merangsek masuk sebab menyaksikan Karan kesakitan. "Sebaiknya kamu pergi aja, Nev.""Nggak bisa! Aku mau lihat Karan, minggir kamu!" Tapi, Nevia menyentak keras. Ia nekat mendorong tubuh Kiran dan memaksa masuk. Menghampiri lelaki yang masih terhuyung sembari memegangi kepalanya di kaki tangga."Karan, kamu kenapa? Ini aku, Nevia. Maaf, aku nggak bisa temuin kamu. Ak–""Kiran ...."Kata-kata Nevia lindap begitu saja sebelum selesai. Kedua bola matanya bergetar ketika lelaki yang ia cintai justru menyebut nama perempuan lain dengan sangat jelas saat ia berada tepat dihadapannya."Kar–""Kiran, kepalaku sakit lagi. Tolong ...." Lelaki itu mengulurkan tangan kepada Kiran dan berusaha menggapainya. Sepenuhnya mengabaikan Nevia yang masih terbelalak tidak percaya."Nev, sorry, tapi ini dua kalinya kamu lihat sendiri keadaan Karan. Jadi please, sebaiknya kamu pergi aja.""Jahat!" Nevia berseru keras,
**"Apa dia orang jahat, Ki? Kenapa kepalaku selalu sakit kalau aku lihat dia?"Kiran terkesiap lagi. Ia benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Karena sebenarnya pun, Kiran tidak tahu sudah sejauh mana hubungan antara Karan dengan Nevia. Segala sesuatu tentang lelaki ini buram seperti bayang-bayang. Sekarang Kiran menyadari, betapa ia tidak mengenal suaminya sendiri."Dia itu ... teman dekat kamu." Setelah berbagai pertimbangan panjang tanpa suara, akhirnya Kiran memutuskan menjawab."Teman dekat?""Benar, Mas.""Kok bisa teman dekat? Sepertinya nggak mungkin, ah. Bahkan kepalaku sakit kalau lihat dia.""Itu–"Dering ponsel yang berbunyi di kejauhan menyelamatkan situasi. Kiran bergegas beranjak dari kursinya untuk menghampiri benda pipih di atas meja di seberang ruangan itu. Setelah bercakap-cakap beberapa saat, ia kembali ke luar balkon di mana sang suami sudah menunggu."Siapa yang nelepon, Ki?""Dokter Frans. Aku beneran lupa kalau hari ini jadwal check-up kamu, Mas. Siap-siap
**"Kiran, ini ...."Jantung Kiran mencelos. Ia mematai ekspresi kebingungan kosong di wajah sang suami ketika mobil yang ia kemudikan tengah melaju memasuki halaman yang asri dengan taman kecil yang berhias aneka rupa bunga. Jalan beton berkelok berakhir pada depan teras rumah. Beberapa pot berisi berbagai jenis Anggrek menggantung di tepi-tepi atap teras."Mas? Kenapa? Apa kamu ingat sesuatu?" tanya Kiran dengan risau."Ah ... sepertinya iya, tapi aku nggak sepenuhnya ingat.""Ini rumah Ayah Ibu. Ini rumah kamu dari kecil."Karan berdiam diri, menyapukan pandang pada sekeliling. Sedan berwarna putih yang dikemudikan Kiran sudah berhenti di penghujung jalan beton itu."Rumah?""Yuk, kita turun. Barangkali keadaan kamu bisa membaik kalo kita refreshing ke rumah Ayah Ibu sebentar aja."Pria itu tampak ragu-ragu. Membuat ingatan Kiran kembali melintas pada waktu terakhir kali Karan berada di tempat ini. Ia sedang bersama dengan Nevia saat itu, kan? Sedang membuat keputusan yang akan men