Share

12. Membuka Mata

**

"Ini adalah kecelakaan tunggal. Kemungkinan besar disebabkan oleh pengemudi mobil yang sedang mengantuk. Kendaraannya menabrak beton pembatas jalan dalam kecepatan tinggi. Tidak ada penumpang lain di dalam mobil selain pengemudi sendiri. Beruntung, saat itu lalu lintas sedang sepi, jadi tidak menyebabkan tabrakan beruntun."

Kiran duduk termenung di sisi ranjang rawat. Menatap lekat Karan yang terbaring diam di atasnya. Tiga hari berlalu dalam keadaan yang stagnan seperti ini. Belum ada gerakan apapun, meski beberapa alat penyambung kehidupan yang menempel pada tubuh lelaki itu sudah dilepas.

Awang perempuan berusia dua puluh empat tahun itu berkelana, mengingat kembali kata-kata petugas olah TKP.

Mereka bilang, Karan sedang sendirian di dalam mobil itu saat kecelakaan terjadi. Tidak bersama dengan Nevia.

Berarti, gadis cantik itu belum mengetahui perihal kecelakaan ini hingga sekarang.

"Selamat pagi, Ibu."

Kiran terhenyak dari lamunan. Menoleh dan mendapati seorang dokter laki-laki sudah berada di depannya. Ia buru-buru tersenyum dan membalas sapaan itu.

"Ah, selamat pagi, Dok."

"Saya periksa dulu keadaan pasien, ya. Semoga ada kemajuan hari ini. Yah, seharusnya sudah ada kemajuan, mengingat tidak ada gejala lain selama beberapa hari ini."

Kiran mengangguk, memaksakan mengulas senyum kering. Ia tidak memiliki ekspektasi apapun, mengingat nihilnya tiga hari ini. Namun, raut wajah dokter tampan itu setelah memeriksa, membuat harapan Kiran kembali terpantik.

"Denyut jantungnya stabil, tekanan darah juga normal. Beberapa luka luar sudah membaik, termasuk benturan di kepala. Hanya trauma pada tengkoraknya yang belum pasti. Kita harus menunggu pasien sadar dulu untuk bisa evaluasi."

Kiran hanya mengangguk gugup mendengar penjelasan panjang itu. Entah apa artinya, namun ia bisa menangkap satu hal yang sepertinya pasti ; sudah ada banyak kemajuan.

"Tapi, kenapa belum sadar juga ya, Dok?" Perempuan itu lantas bertanya dengan gusar.

"Itulah. Seharusnya pasien sudah bisa sadar dalam tahap ini. Tapi bisa juga karena pengaruh obat dosis tinggi, atau shock akibat benturan keras, jadi tubuhnya masih recovery. Anda harus selalu mendampingi biar bisa memantau dan langsung menghubungi perawat jika ada pergerakan sekecil apapun, oke?"

"Baik, Dok."

"Jangan khawatir, suami anda pasti baik-baik saja."

Meski kurang puas dengan jawabannya, namun Kiran tetap memaksakan mengangguk. Ia mengucapkan terimakasih saat dokter akhirnya berpamitan. Kemudian tinggallah perempuan itu seorang diri di sana. Kembali menatap lekat wajah tampan yang meski sedang pucat pasi, namun tetap terlihat begitu menawan. Jangan salahkan bila Kiran harus jatuh cinta kepadanya meski sikapnya seringkali hanya membuat luka hati saja. Memangnya siapa yang bisa mencegah hadirnya rasa cinta?

"Ah, Mas Karan, kita bersih-bersih dulu, ya. Tadi udah dibawain air hangat sama suster jaga. Dokter bilang semuanya baik-baik aja, jadi kita harus siap-siap kalau Mas Karan nanti bangun sewaktu-waktu." Kiran tersenyum lebar meski tahu dirinya konyol, mengajak mengobrol seseorang yang sedang tidak sadarkan diri. Namun, dokter justru menganjurkan hal ini. Dokter berkata Karan tetap bisa mendengar suara-suara di sekitarnya meski tubuhnya tidak sadar.

Perempuan ayu itu menyiapkan kain lap lembut yang sudah dibasahi dengan air hangat guna menyeka tubuh sang suami. Mengusapnya pelan-pelan dengan penuh kasih sayang. "Biar badan kamu bersih dan wangi, nggak bau rumah sakit lagi. Biar kamu ngerasa segeran juga, Mas."

Senyum itu terus merekah, menghiasi bibir Kiran. Ia masih pula berceloteh sepanjang melaksanakan tugasnya. Menceritakan ini dan itu, yang tidak mungkin ia lakukan jika Karan sedang bangun. "Aku tau kamu nggak akan pernah ijinin aku ngelakuin hal ini ketika kamu sadar, jadi aku minta maaf, oke? Maaf, aku buka bajunya, ya."

Tangan Kiran gemetar hebat saat ia membuka sedikit pakaian pasien yang membalut tubuh Karan. Demi Tuhan, bahkan sebelumnya bermimpi tentang hal ini pun ia tak berani. Dan benar saja, memang sudah benar jika Karan tidak mengizinkan tubuhnya disentuh. Sebab lihatlah perempuan itu saat ini.

"Oh, Tuhan. Oh, Tuhanku ...."

Kedua pipi Kiran bersemu merah tanpa ampun. Ini sesungguhnya bukanlah hal berdosa, sebab yang sedang ia sentuh adalah tubuh milik suaminya sendiri yang telah sah secara hukum dan agama menjadi haknya. Namun tak bisa dipungkiri, Kiran sama sekali tak memiliki pengetahuan apapun dalam hal ini.

"M-Mas ... maaf, ya. Maaf banget. Please, jangan marah. Aku janji ini cuma karena biar badan kamu nggak kotor aja. Sama sekali bukan karena apa-apa, kok. Percayalah, aku nggak ada tujuan lain." Kiran membuka fabrik yang menutupi bagian bawah tubuh suaminya. Menyeka bagian itu dengan kain basah yang hangat. Keringat dingin mengucur deras di balik punggungnya saat ia bisa melihat dengan begitu jelas hal luar biasa apa yang ada di sana.

"Ya Tuhan, maaf-maaf-maaf!" Kedua tangan Kiran bergetar hebat. Tremor tanpa bisa ia cegah. Perempuan itu berusaha menyelesaikan tugasnya secepat mungkin meski kepalanya mendadak terasa pening. Ia–

"Uggh ...."

Kedua bola mata Kiran melebar maksimal. Tangannya yang masih memegang kain lap sedang berada dalam posisi yang sangat tidak tepat. Dan hal menakutkan yang Kiran paling takutkan, akhirnya terjadi juga.

Karan membuka matanya.

"M-Mas K-Karan?"

"Ugh ...."

"Ma-ma-maaf, Mas. Ak-aku cuma ... cuma ...."

Tak bisa dipungkiri, Kiran benar-benar terkesima dengan apa yang sudah ia lihat. Disertai wajah terbakar merah membara juga tangan gemetar ketakutan, ia membetulkan celana suaminya. Menahan malu sebab pandangan mata Karan terpancang ke arah sana. Kiran merasa dirinya seperti pencuri yang baru saja ditangkap basah oleh massa.

"M-Mas Karan, aku harus panggil perawat, ya. Tunggu sebentar, tadi dokter bilang begitu. Sebentar, ya." Perempuan itu berkata terbata-bata seraya menekan tombol di atas headboard. Tubuhnya gemetaran sebab takut akan mendapat tumpahan kemarahan dari sang suami sebab ketahuan membuka-buka celananya.

Namun aneh, sejauh ini Karan hanya terus menatap langit-langit ruang rawat dengan pandangan bingung. Membuat rasa takut Kiran, perlahan-lahan berubah menjadi takut yang lain.

"Ah, sial, kenapa perawatnya lama banget?" desis perempuan itu, sekali lagi menekan tombol di atas ranjang. "Mas Karan? Apakah ada yang sakit? Kepalanya sakit, ya? Tunggu sebentar, ya. Sebentar lagi perawatnya datang."

Karan kemudian mengalihkan pandangan dari langit-langit ruang rawat kepada perempuan di sampingnya. Perempuan yang sedang tersenyum lembut meski wajahnya terlihat pias dan lelah.

"Mas Karan, kamu mau sesuatu? Bisa sampaikan sama aku? Nggak apa-apa, pelan-pelan aja bicaranya." Kiran mendekat saat raut wajah suaminya berubah semakin kebingungan. Tanpa sadar, ia menggenggam tangan besar yang hangat itu.

"Kamu ...." Suara itu terdengar parau dan serak. Kiran mengernyit, bahkan hanya bersuara pun suaminya terlihat kesakitan.

"Iya, Mas? Ada apa?"

"Kamu ... kamu siapa?"

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Andi Andriani
ceritanya bagus .. ditunggu kelanjutannya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status