"Maaf kan aku, Bu. Aku terpaksa harus melakukan semua ini. Aku tau Ibu pasti akan terluka jika Ibu tau aku menjual harga diri aku hanya demi uang. Tapi aku terpaksa, Bu. Maafin anakmu ini."
Aisa bergegas membersihkan diri dan bersiap-siap untuk pergi ke rumah mewah dan megah itu. Dia sudah tidak sanggup lagi jika harus terus memikirkan hal buruk yang akan terjadi pada ayahnya jika dalam jangka waktu tiga hari tidak segera mendapatkan uang itu.
Aisa dengan terpaksa harus menerima penawaran yang ditawarkan oleh nyonya besar keluarga Admaja. Dengan sangat tergesa-gesa, Aisa berlari ke jalan untuk mencari angkutan umum untuk pergi menuju rumah keluarga Admaja. Aisa terus berlari tiada henti, bahkan dia tidak memperdulikan lalu lalang kendaraan. "Awas!" teriak seseorang dari dalam mobil, membuat sang supir langsung menginjak rem secara mendadak setelah mendengar teriakan dari pria yang duduk di sampingnya. Tubuh Aisa tersungkur di depan sebuah mobil mewah. "Ada apa? Kenapa berhenti?" tanya pria yang duduk dibangku penumpang belakang. "Emmm ... itu, Tuan. Di depan ada seorang gadis yang menyebrang tidak hati-hati," sahut pria yang duduk di samping supir. "Cepat kamu turun. Aku sudah sangat lelah dan ingin segera pulang!” perintah pria yang memakai setelan jas lengkap, dengan rambut yang ditata dengan sangat rapi. Raut wajah tegas dan dingin, terlihat jelas di wajah pria itu. "Ba—baik, Tuan." Pria yang duduk di kursi penumpang depan bergegas membuka pintu mobil dan keluar dari mobil. Aisa mencoba untuk berdiri, dia merasakan nyeri di kedua lutut dan sikunya yang ternyata luka dan mengeluarkan darah. "Kamu tidak apa-apa?" Pria itu membantu Aisa berdiri. "Maafkan saya, Tuan. Ini salah saya, karena tidak menyeberang jalan dengan hati-hati." Aisa meminta maaf sambil membungkukkan tubuhnya. Pria itu melihat kedua lutut dan siku Aisa yang berdarah. "Apa perlu saya antar ke rumah sakit? Sepertinya lutut dan siku kamu butuh perawatan, kalau nggak nanti lukanya ...." "Tidak usah Tuan, terima kasih. Saat ini saya sedang terburu-buru." Aisa tidak memperdulikan rasa sakit di kedua lutut dan sikunya, yang dia pedulikan sekarang adalah keselamatan ayahnya. "Tapi luka kamu harus diobati." Pria itu tetap bersikukuh ingin bertanggung jawab, meski itu bukan sepenuhnya kesalahannya. Sang pemilik mobil merasa sangat geram melihat asistennya yang tak kunjung masuk kedalam mobil. Pria itu dengan sangat terpaksa harus turun tangan sendiri. "Rendy!" teriak Pria itu dengan nada meninggi. "Mengurus hal kecil kayak gini saja kamu tidak becus, berapa lama lagi aku harus menunggu kamu menyelesaikan masalah kecil ini!" seru pria itu sambil berjalan mendekati Rendy sang Asisten. "Ma—maafkan saya, Tuan. Gadis ini terluka, saya berniat untuk membawanya ke rumah sakit." Rendy membungkukkan tubuhnya di depan sang majikannya. Pria itu menatap lekat wajah Aisa dari atas sampai bawah. "Kenapa kamu harus bertanggung jawab? Jelas-jelas dia yang bersalah, menyeberang jalan sembarangan!" serunya dengan nada dingin. Aisa menatap wajah pria yang berdiri cukup jauh darinya. "Maaf, Tuan yang terhormat. Saya memang bersalah, saya juga tidak meminta pertanggung jawaban anda." Aisa berujar dengan sangat geram. Dia tidak suka melihat pria sombong yang kini tengah berdiri cukup jauh darinya. "Kamu dengar itu! Dia saja tidak butuh pertanggungjawaban aku. Sekarang kita pergi!" Pria itu berbalik dan hendak membuka pintu mobilnya. Tapi teriakan Aisa berhasil menghentikan niat pria itu. Aisa berjalan mendekati pria sombong dan dingin itu. "Anda adalah pria yang tidak punya hati yang pernah saya temui. Harusnya anda bersyukur mempunyai asisten yang sangat baik dan jujur seperti dia." Aisa menunjuk ke arah Rendy. "Apa kamu bilang? Pria nggak punya hati! Siapa kamu berani menghina aku seperti itu!" teriak pria itu keras dengan rahang mengeras. Rendy berjalan mendekati Aisa dan majikannya. "Tu—tuan, ini salah saya," ucap dengan penuh rasa bersalah. "Maaf Tuan, tapi menurut saya ini bukan salah anda, tapi salah dia!" tunjuk Aisa ke arah pria sombong berwajah dingin yang berdiri di hadapannya. "Kamu!" seru Pria itu geram. "Kenapa? Kamu gak mau mengakui kesalahan kamu? Atau kamu gak tau kesalahan kamu?" Aisa memiringkan senyumannya. "Dasar cewek licik, kamu sengajakan menabrakan diri kamu ke mobil aku agar kamu dapat meminta uang sebanyak-banyaknya sebagai kompensasi!" tuduh pria itu. Aisa tidak terima ada orang yang menilai rendah dirinya. Sejak tadi dia sudah mencoba menahan amarahnya. Tapi setelah mendengar hinaan itu, amarahnya semakin memuncak. Dengan reflek Aisa melayangkan tangannya ke wajah pria dingin yang tengah berdiri tepat di depannya. Tapi dengan cepat pria itu mencengkram pergelangan tangan Aisa yang membuat sang empu semakin geram. Bukan hanya Aisa yang terlihat terkejut, tapi Rendy juga terkejut melihat sang majikan mencengkram kuat pergelangan tangan Aisa. ‘Tuan Muda! Apa aku tidak salah melihat, dia menyentuh tangan gadis itu! Bukannya dia sangat anti jika harus bersentuhan dengan wanita. Bukannya dia merasa tidak nyaman saat bersentuhan dengan wanita manapun kecuali Nyonya Merlin?’ gumam Rendy dalam hati. "Lepasin tangan aku!" seru Aisa sambil mencoba melepaskan tangannya dari cengkraman pria itu. "Aku tidak akan melepaskan kamu sebelum kamu meminta maaf sama aku atas perkataan kamu!" pria itu semakin geram dan mengeratkan cengkraman tangannya pada pergelangan Aisa. Aisa meringin menahan sakit di pergelangan tangannya. Dia tak akan bisa melepaskan cengkraman pria itu dengan mudah. Sekarang hanya satu cara yang dapat Aisa pikirkan agar bisa lepas dari cengkraman pria dingin itu. Asia menarik tangannya yang dicengkram erat oleh pria itu, lalu dia menggigit lengan pria itu dengan sangat kuat. Hingga pria itu menjerit kesakitan dan langsung melepaskan cengkraman tangannya pada tangan Aisa. "Sukurin, emang enak!" teriak Aisa lalu berlari menjauh dari pria itu, karena dirinya tak punya banyak waktu untuk meladeni pria itu. Aisa bahkan tak peduli dengan rasa sakit di kedua lutut dan sikunya. "Awas saja kalau sampai kita ketemu lagi! Tunggu saja pembalasan aku!" teriak pria itu dengan amarah yang sudah memuncak, wajahnya sudah merah padam. Rendy hanya tersenyum melihat tingkah majikannya, karena ini pertama kalinya dia melihat sahabat sekaligus majikannya tidak menghindar dari tatapan mata seorang wanita, bahkan mereka juga saling bersentuhan. "Ada apa denganmu? Kenapa kamu malah cengar-cengir seperti itu? Kamu bahagia di atas penderitaan aku!" kesal pria itu saat melihat Rendy yang senyum-senyum tak jelas. "Ma—maafkan saya, Tuan. Saya ...." "Sudahlah, gara-gara cewek gila itu mood aku jadi jelek. Aku ingin segera sampai di rumah. Aku capek dan ingin segera beristirahat." "Baik Tuan." Rendy berjalan menuju mobil dan membukakan pintu mobil untuk majikannya. Pria itu masuk ke dalam mobil sambil memegang tangannya yang telah digigit oleh Aisa. "Aku tidak akan pernah melepaskan cewek itu, lihat saja pembalasan aku akan lebih sakit dari ini," ucap pria itu dengan kedua telapak tangan mengepal erat.Terdengar suara tangis bayi dari dalam ruang operasi. Alan dan seluruh keluarganya mengucap syukur, karena anak pertamanya kini sudah lahir di dunia.“Bu, Yah. Anak Alan sudah lahir. Akhirnya Alan menjadi seorang ayah,” ucap Alan bahagia.Merlin memeluk putra tunggalnya. “Selamat ya, Sayang. Terima kasih, kamu sudah memberi Ibu dan Ayah seorang cucu.”Ferdi pun memeluk Alan, dan mengucapkan selamat, karena sekarang anaknya sudah menjadi seorang ayah. Anak yang dulu terlihat begitu manja, kini sudah dewasa dan sudah memiliki keluarga kecilnya.“Lan, Ayah bangga sama kamu. Setelah apa yang kamu lalui selama ini, akhirnya kamu menemukan kembali kebahagiaan kamu. Ayah hanya berharap, semua kamu bisa segera lepas dari trauma masa lalu dan kembali menjadi Alan yang dulu lagi,” ucap Ferdi setelah melepaskan pelukannya.Alan mengangguk. Sejak hidup bersama dengan Aisa, dirinya sudah mulai bisa sedikit demi sedikit membuka diri dan mulai berinteraksi dengan lawan jenis. Bahkan dirinya juga sud
Aisa dan Alan kini sudah berada di rumah Aisa. Kedua orang tua Alan sudah kembali ke Jakarta lebih dulu. Tapi Alan dan Aisa memutuskan untuk tetap berada di kampung halaman Aisa selama beberapa hari.Aisa ingin membujuk ayahnya untuk mau melakukan terapi agar ayahnya bisa berjalan kembali seperti dulu lagi.“Yah, Aisa mohon. Ayah mau melakukan terapi ya? Aisa ingin melihat Ayah bisa kembali berjalan seperti dulu,” pinta Aisa sambil menggenggam tangan ayahnya.Arya menepuk pelan punggung tangan Aisa. “Sa, Ayah tidak mau merepotkan kamu dan Alan. Ayah sudah menerima takdir Ayah. Kalau Ayah memang harus selamanya duduk di kursi roda ini, Ayah tidak apa-apa.”Alan memang orang kaya, bahkan dia bisa dengan mudah membiayai pengobatannya. Tapi Arya tidak mau dianggap sebagai mertua yang hanya ingin memanfaatkan kekayaan menantunya untuk kepentingannya sendiri.Arya sudah cukup bahagia dengan melihat Aisa hidup bahagia dengan pria yang mencintainya. Dia sudah tidak ada beban lagi, karena seka
Aisa menatap kamar pengantin dengan Alan. Kamar yang sangat luas dan indah. Bahkan di atas ranjang terdapat kelopak bunga mawar yang dibentuk dengan bentuk love di tengah-tengah kasur.Setelah acara pernikahan selesai, Alan membawa Aisa ke hotel yang sudah disediakan oleh kedua orang tuanya untuk mereka melewati malam pertama mereka, meskipun itu sudah tidak bisa disebut sebagai malam pertama lagi.Kamar hotel bintang lima dengan segala fasilitas mewah sengaja Merlin siapkan untuk Alan dan Aisa, karena dia ingin baik Alan dan Aisa bisa menikmati malam pertama mereka dengan indah dan nyaman tanpa gangguan dari siapapun.Alan melihat Aisa yang sedang menelisip kamar yang akan mereka pakai untuk menginap malam ini. Dia berjalan mendekati istrinya, memeluknya dari belakang, menopangkan dagunya di bahu Aisa.“Mandi dulu, Sayang, biar fresh. Kamu pasti capek setelah acara tadi,” ucap Alan dengan lembut.Aisa memutar tubuhnya, menghadap suaminya, lalu mendongakkan wajahnya. “Kamu duluan saja
Setelah kepulangan Alan dari rumah sakit. Alan tinggal di rumah yang sengaja disewa oleh Merlin untuk tempat tinggal mereka selama berada di Semarang. Merlin tidak mungkin membiarkan Alan tinggal di rumah Aisa, karena Alan masih dalam masa pemulihan.Rumah yang Merlin sewa terdiri dari dua lantai. Ada empat kamar di rumah itu. Alan sebenarnya ingin Aisa ikut tinggal bersamanya, tapi kedua orang tua Aisa melarang Aisa untuk tinggal bersamanya.Tapi Aisa tetap menemani Alan sampai di rumah. Dia akan kembali ke rumah malam harinya.“Lan, Sa, Ibu tinggal dulu ya? Ibu sama Ayah harus mengurus sesuatu,” ucap Merlin.“Baik, Bu,” ucap Aisa.“Kalau begitu Ibu titip Alan, karena Rendy akan ikut Ayah sama Ibu,” ucap Merlin dan mendapat anggukkan kepala dari Aisa.Merlin lalu keluar dari kamar yang ditempati oleh putranya itu.“Lan, kamu mau makan apa? biar aku masakin.” Perut Aisa juga sudah lapar sejak tadi.“Terserah kamu saja. Apapun yang kamu masak, aku akan memakannya,” ucap Alan dengan men
Hari ini Alan sudah diperbolehkan pulang, karena kondisinya sudah pulih sepenuhnya.Kedua orang tua Aisa kembali menjenguk Alan ke rumah sakit, karena ada sesuatu hal yang ingin ayah Aisa sampaikan kepada Alan. Dirinya sudah tidak bisa menundanya lagi, karena bagaimanapun Alan harus mendengar keputusan yang sudah diambilnya.“Sa, apa Ayah boleh bicara sebentar dengan Alan?” tanya Arya sambil melihat Aisa yang sedang menyuapi Alan buah apel yang sudah dirinya potong menjadi kecil-kecil dan menaruhnya di atas piring kecil.“Boleh, Yah. Memangnya apa yang ingin Ayah bicarakan dengan Alan?” tanya Aisa penasaran.“Ayah hanya ingin bicara berdua dengan Alan,” ucap Arya sambil menatap ke arah Alan yang duduk di tepi ranjang sambil menghadap Aisa yang duduk di depannya.Alan menganggukkan kepalanya, dirinya juga ingin mengatakan sesuatu kepada ayah mertuanya itu.“Sayang, kamu tinggalkan aku sama Ayah. Kami tidak akan lama, kamu tidak usah cemas,” ucap Alan sambil menggenggam tangan Aisa.Ais
Sudah satu minggu lebih Alan dirawat di rumah sakit setelah dia sadarkan diri. Selama itu pula, keluarga Aisa datang untuk menjenguk Alan.Alan memang belum bisa berjabat tangan dengan ibunya Aisa. Ibunya Aisa pun mengerti akan hal itu. Mayang juga berharap semoga Alan bisa segera lepas dari trauma masa lalunya.Terlihat semua keluarga berkumpul di ruang rawat inap Alan. Mereka saling bercengkrama satu sama lain.Aisa dan Alan sangat bahagia, akhirnya kedua orang tua mereka bisa seakrab ini meskipun belum lama bertemu.Alan juga sudah mendengar dari Rendy, kalau Rizal sudah mendekam di penjara. Kasusnya akan diperkarakan, pihaknya juga menuntut agar Rizal dan anak buahnya dihukum dengan hukuman yang seberat-beratnya.Saat mereka semua sedang mengobrol, terdengar suara ketukan pintu, membuat semua orang menoleh ke arah pintu.“Nik, coba kamu cek, siapa yang datang,” pinta Mayang.Niko beranjak dari duduknya, lalu berjalan menuju pintu, membukanya dengan perlahan. “Om Brata!” serunya te