Setelah mendapatkan uang dari Merlin, Aisa segera pulang ke kampung halamannya. Dia ingin segera memberikan uang itu kepada keluarganya.
Aisa tak bisa menundanya lagi, karena ibunya sangat membutuhkan uang itu secepatnya, kalau tidak nyawa ayahnya yang akan menjadi taruhannya. Aisa diperbolehkan pulang ke kampung halamannya dengan dikawal oleh Rode dan anak buahnya. Merlin hanya tidak ingin sampai Aisa ingkar janji dan kabur bersama dengan uang yang diberikannya kepada Aisa. Aisa tak punya pilihan lain selain menyetujui syarat yang diberikan oleh calon mertuanya, karena baginya yang terpenting dirinya segera sampai di rumah sakit tempat ayahnya dirawat saat ini. Aisa kini tengah memikirkan jawaban apa yang harus dia katakan kepada keluarganya jika mereka menanyakan siapa orang-orang yang bersamanya. Apa dia harus berbohong kepada ibu dan adiknya? Aisa menghela nafas panjang sambil menatap keluar jendela mobil. Dia tidak menyadari jika ada sepasang mata yang mengamatinya lewat kaca spion depan. ‘Beruntungnya gadis ini. Dia memang cantik. Tapi, apa Tuan Muda mau menikah dengannya? Apa lagi dengan trauma yang Tuan Muda alami sampai sekarang?’ gumam Rode dalam hati. Setelah menempuh perjalanan panjang mereka sampai di rumah sakit tempat ayah Aisa di rawat. Dia bergegas menuju ruang inap ayahnya. Dia dikawal oleh Rode dan satu anak buahnya. Awalnya Aisa ingin menemui keluarganya sendirian, tapi Rode bersikukuh jika tugasnya adalah mengawalnya dan tidak akan meninggalkannya apa pun yang terjadi. Aisa melihat ibu dan adiknya tengah duduk di kursi tunggu yang berada di luar ruangan ayahnya. “Ibu!” teriak Aisa sambil berlari ke arah ibunya. Ibu Aisa langsung menoleh ke arah sumber suara, suara yang sangat dirinya kenali, yaitu suara putrinya yang saat ini sedang merantau ke Jakarta. “Aisa!” seru Mayang terkejut akan kedatangan anak gadisnya. Mayang langsung beranjak dari duduknya, memeluk tubuh putrinya yang kini sudah berdiri di depannya. “Aku pulang, Bu.” Mayang memeluk erat tubuh putrinya. “Maafin Ibu, Sa. Maaf, karena Ibu sudah membuatmu cemas.” Aisa lalu melepaskan pelukannya, lalu menggeleng. “Aku justru akan marah kalau Ibu menyembunyikan masalah ini.” Adik Aisa menatap kedua pria bertubuh kekar yang tengah berdiri di belakang kakaknya. Siapa pria-pria ini? “Ibu, aku sudah membawa uangnya,” ucap Aisa lalu mengambil tas yang berisi uang dari tangan Rode. “Dalam tas ini ada uang sejumlah enam puluh juta. Ibu bisa menggunakan uang ini untuk membayar biaya operasi Ayah, sisanya bisa Ibu gunakan untuk biaya hidup sehari-hari,” lanjutnya sambil menyerahkan tas itu kepada ibunya. “Dari mana kamu mendapat uang sebanyak ini, Sa?” tanya Mayang penasaran, karena saat dirinya menghubungi Aisa, putrinya itu tidak bilang kalau mempunyai uang sebanyak itu. “Itu aku pinjam dari majikan aku, Bu. Ibu tenang saja, sekarang yang terpenting adalah kesembuhan Ayah. Ayah harus segera dioperasi,” jawab Aisa sambil menampakkan senyuman di wajahnya. Dia tidak ingin menunjukkan kesedihannya di depan keluarganya. Mayang mengangguk, percaya dengan apa yang putrinya katakan, karena bagaimanapun dirinya membutuhkan uang itu untuk biaya operasi suaminya. Mayang lalu menatap dua pria yang berdiri di belakang anak gadisnya. “Sa, siapa pria yang berdiri di belakang kamu?” tanyanya kemudian. Aisa bingung harus menjawab apa. Dia menatap Rode dan juga pria yang berada di sebelahnya. Rode melihat Aisa yang begitu gelisah, akhirnya pria itu membuka suara. “Kenalkan, saya adalah pengawal Nona Aisa,” ucap Rode sambil membungkukkan tubuhnya. Adik serta ibu Aisa mengernyitkan dahi. Mereka masih belum bisa memahami ucapan Rode. “Sa, apa maksudnya ini?” tanya Mayang dengan wajah kebingungan. “Bu, nanti aku ceritakan, sekarang yang terpenting adalah Ayah. Lebih baik sekarang kita urus administrasi untuk operasi Ayah,” ucap Aisa mencoba mengalihkan pembicaraan yang begitu sulit untuk dijelaskan kepada ibunya. Mayang menganggukkan kepalanya. Dia bersama dengan Aisa berjalan menuju ruang administrasi. Sedangkan Niko, adik Aisa terus menatap Rode dengan tatapan tajam. “Apa hubungan anda dengan kakak saya?” tanya Niko memberanikan diri. “Tadi saya sudah menjelaskannya, saya pengawal Nona Aisa.” “Apa sebenarnya pekerjaan kakak saya, hingga anda memanggil kakak saya dengan sebutan nona?” tanya Niko begitu penasaran. Niko juga penasaran, bagaimana majikan kakaknya dengan begitu mudahnya memberikan uang sebanyak itu. Sebelum Rode menjawab, Aisa dan ibunya sudah berada di belakangnya. Niko pun kembali bungkam dengan begitu banyak pertanyaan di dalam pikirannya. Datanglah dua orang perawat dan masuk ke dalam ruangan ayah Aisa di rawat. Kedua perawat itu berniat membawa ayah Aisa ke ruang operasi. Aisa dan ibunya saling memeluk satu sama lain. Mereka berharap operasinya akan berjalan lancar. Kini Aisa dan keluarganya tengah menunggu di depan ruang operasi. Terlihat kegelisahan di wajah Aisa dan juga keluarganya. Aisa mencoba untuk tetap tenang, dia mencoba menghibur ibunya agar tetap berpikir positif. “Kita berdoa untuk Ayah, semoga operasinya berjalan lancar. Semoga Ayah bisa kembali seperti dulu lagi.” Aisa menggenggam tangan ibunya yang terasa begitu dingin. Keringat membasahi kedua telapak tangan ibunya itu. “Aku juga yakin, Ayah akan baik-baik saja, Bu,” ucap Niko lalu memeluk ibunya. Mayang lalu memeluk kedua anaknya. Rode begitu terharu melihat keakraban Aisa dengan ibu dan adiknya. Setelah menunggu selama hampir empat jam, akhirnya pintu ruang operasi terbuka. Dokter keluar dari ruang operasi. Aisa dan ibunya bergegas menghampiri dokter itu. “Bagaimana keadaan suami saya, Dok?” tanya Mayang dengan raut wajah cemas. “Alhamdulillah, operasinya berjalan lancar. Tapi, pasien belum sadarkan diri. Sekarang kami akan memindahkan pasien ke ruang rawat inap,” ucap Dokter itu. Aisa dan ibunya mengucap syukur dan juga terima kasih kepada dokter itu. Aisa dan adiknya memeluk ibunya dengan sangat erat. ‘Terima kasih Ya Allah, Engkau telah melancarkan operasi ayah hamba dan menyelamatkannya. Serta ampunilah hamba yang sudah berbohong pada keluarga hamba,’ gumam Aisa dalam hati.Hanya saja, Aisa mendadak teringat satu hal.
Mulai hari ini, hidup Aisa bukanlah miliknya lagi. Aisa kini terikat dengan perjanjian yang telah ditandatanganinya. Tapi ada yang mengganjal di pikiran Aisa saat ini.
Alan, pria seperti apa yang akan dia nikahi itu?Terdengar suara tangis bayi dari dalam ruang operasi. Alan dan seluruh keluarganya mengucap syukur, karena anak pertamanya kini sudah lahir di dunia.“Bu, Yah. Anak Alan sudah lahir. Akhirnya Alan menjadi seorang ayah,” ucap Alan bahagia.Merlin memeluk putra tunggalnya. “Selamat ya, Sayang. Terima kasih, kamu sudah memberi Ibu dan Ayah seorang cucu.”Ferdi pun memeluk Alan, dan mengucapkan selamat, karena sekarang anaknya sudah menjadi seorang ayah. Anak yang dulu terlihat begitu manja, kini sudah dewasa dan sudah memiliki keluarga kecilnya.“Lan, Ayah bangga sama kamu. Setelah apa yang kamu lalui selama ini, akhirnya kamu menemukan kembali kebahagiaan kamu. Ayah hanya berharap, semua kamu bisa segera lepas dari trauma masa lalu dan kembali menjadi Alan yang dulu lagi,” ucap Ferdi setelah melepaskan pelukannya.Alan mengangguk. Sejak hidup bersama dengan Aisa, dirinya sudah mulai bisa sedikit demi sedikit membuka diri dan mulai berinteraksi dengan lawan jenis. Bahkan dirinya juga sud
Aisa dan Alan kini sudah berada di rumah Aisa. Kedua orang tua Alan sudah kembali ke Jakarta lebih dulu. Tapi Alan dan Aisa memutuskan untuk tetap berada di kampung halaman Aisa selama beberapa hari.Aisa ingin membujuk ayahnya untuk mau melakukan terapi agar ayahnya bisa berjalan kembali seperti dulu lagi.“Yah, Aisa mohon. Ayah mau melakukan terapi ya? Aisa ingin melihat Ayah bisa kembali berjalan seperti dulu,” pinta Aisa sambil menggenggam tangan ayahnya.Arya menepuk pelan punggung tangan Aisa. “Sa, Ayah tidak mau merepotkan kamu dan Alan. Ayah sudah menerima takdir Ayah. Kalau Ayah memang harus selamanya duduk di kursi roda ini, Ayah tidak apa-apa.”Alan memang orang kaya, bahkan dia bisa dengan mudah membiayai pengobatannya. Tapi Arya tidak mau dianggap sebagai mertua yang hanya ingin memanfaatkan kekayaan menantunya untuk kepentingannya sendiri.Arya sudah cukup bahagia dengan melihat Aisa hidup bahagia dengan pria yang mencintainya. Dia sudah tidak ada beban lagi, karena seka
Aisa menatap kamar pengantin dengan Alan. Kamar yang sangat luas dan indah. Bahkan di atas ranjang terdapat kelopak bunga mawar yang dibentuk dengan bentuk love di tengah-tengah kasur.Setelah acara pernikahan selesai, Alan membawa Aisa ke hotel yang sudah disediakan oleh kedua orang tuanya untuk mereka melewati malam pertama mereka, meskipun itu sudah tidak bisa disebut sebagai malam pertama lagi.Kamar hotel bintang lima dengan segala fasilitas mewah sengaja Merlin siapkan untuk Alan dan Aisa, karena dia ingin baik Alan dan Aisa bisa menikmati malam pertama mereka dengan indah dan nyaman tanpa gangguan dari siapapun.Alan melihat Aisa yang sedang menelisip kamar yang akan mereka pakai untuk menginap malam ini. Dia berjalan mendekati istrinya, memeluknya dari belakang, menopangkan dagunya di bahu Aisa.“Mandi dulu, Sayang, biar fresh. Kamu pasti capek setelah acara tadi,” ucap Alan dengan lembut.Aisa memutar tubuhnya, menghadap suaminya, lalu mendongakkan wajahnya. “Kamu duluan saja
Setelah kepulangan Alan dari rumah sakit. Alan tinggal di rumah yang sengaja disewa oleh Merlin untuk tempat tinggal mereka selama berada di Semarang. Merlin tidak mungkin membiarkan Alan tinggal di rumah Aisa, karena Alan masih dalam masa pemulihan.Rumah yang Merlin sewa terdiri dari dua lantai. Ada empat kamar di rumah itu. Alan sebenarnya ingin Aisa ikut tinggal bersamanya, tapi kedua orang tua Aisa melarang Aisa untuk tinggal bersamanya.Tapi Aisa tetap menemani Alan sampai di rumah. Dia akan kembali ke rumah malam harinya.“Lan, Sa, Ibu tinggal dulu ya? Ibu sama Ayah harus mengurus sesuatu,” ucap Merlin.“Baik, Bu,” ucap Aisa.“Kalau begitu Ibu titip Alan, karena Rendy akan ikut Ayah sama Ibu,” ucap Merlin dan mendapat anggukkan kepala dari Aisa.Merlin lalu keluar dari kamar yang ditempati oleh putranya itu.“Lan, kamu mau makan apa? biar aku masakin.” Perut Aisa juga sudah lapar sejak tadi.“Terserah kamu saja. Apapun yang kamu masak, aku akan memakannya,” ucap Alan dengan men
Hari ini Alan sudah diperbolehkan pulang, karena kondisinya sudah pulih sepenuhnya.Kedua orang tua Aisa kembali menjenguk Alan ke rumah sakit, karena ada sesuatu hal yang ingin ayah Aisa sampaikan kepada Alan. Dirinya sudah tidak bisa menundanya lagi, karena bagaimanapun Alan harus mendengar keputusan yang sudah diambilnya.“Sa, apa Ayah boleh bicara sebentar dengan Alan?” tanya Arya sambil melihat Aisa yang sedang menyuapi Alan buah apel yang sudah dirinya potong menjadi kecil-kecil dan menaruhnya di atas piring kecil.“Boleh, Yah. Memangnya apa yang ingin Ayah bicarakan dengan Alan?” tanya Aisa penasaran.“Ayah hanya ingin bicara berdua dengan Alan,” ucap Arya sambil menatap ke arah Alan yang duduk di tepi ranjang sambil menghadap Aisa yang duduk di depannya.Alan menganggukkan kepalanya, dirinya juga ingin mengatakan sesuatu kepada ayah mertuanya itu.“Sayang, kamu tinggalkan aku sama Ayah. Kami tidak akan lama, kamu tidak usah cemas,” ucap Alan sambil menggenggam tangan Aisa.Ais
Sudah satu minggu lebih Alan dirawat di rumah sakit setelah dia sadarkan diri. Selama itu pula, keluarga Aisa datang untuk menjenguk Alan.Alan memang belum bisa berjabat tangan dengan ibunya Aisa. Ibunya Aisa pun mengerti akan hal itu. Mayang juga berharap semoga Alan bisa segera lepas dari trauma masa lalunya.Terlihat semua keluarga berkumpul di ruang rawat inap Alan. Mereka saling bercengkrama satu sama lain.Aisa dan Alan sangat bahagia, akhirnya kedua orang tua mereka bisa seakrab ini meskipun belum lama bertemu.Alan juga sudah mendengar dari Rendy, kalau Rizal sudah mendekam di penjara. Kasusnya akan diperkarakan, pihaknya juga menuntut agar Rizal dan anak buahnya dihukum dengan hukuman yang seberat-beratnya.Saat mereka semua sedang mengobrol, terdengar suara ketukan pintu, membuat semua orang menoleh ke arah pintu.“Nik, coba kamu cek, siapa yang datang,” pinta Mayang.Niko beranjak dari duduknya, lalu berjalan menuju pintu, membukanya dengan perlahan. “Om Brata!” serunya te