Renata menurunkan buku yang sejak tadi menutup wajahnya. Ia melirik ke sekeliling perpustakaan, sepi.
"Tadi malam aku melakukannya lagi. Tapi, aku bertemu Pandu." Kata Renata berbisik.
Dena melirik sekilas kemudian kembali sibuk dengan bukunya, "kau yakin? Mungkin itu cuman mimpi."
“Beneran, sumpah!”
Dena mendesah ragu.
Renata mengacak-acak rambutnya gusar. “Tadi malam aku tidak bisa mengatur apapun. Kalau itu hanya bagian dari lucid dream, seharusnya aku bisa mengatur banyak hal kan? Dan sebelum pertemuan dengan Pandu itu, aku juga ke rumah Haris. Semuanya jelas sekali."
Dena menoleh, "baiklah. Baik. Kita pastikan dulu, itu mimpi atau bukan."
Semua kejadian belakangan ini mengganggu Renata dan mengacaukan emosinya. Ia bahkan mendorong Desty karena menjegal kakinya hingga terjatuh. Renata bahkan menghabiskan waktu istirahatnya dengan menangis di dalam toilet setelah Haris dan Siska Dena membelai lembut punggung Renata, berusaha menenangkan. “Mungkin aku cuman perlu tidur. Sorry Den." “It's okay. Kurang tidur memang bikin orang sensitif.” Kata Dena maklum. Renata menyuci mukanya kemudian berjalan keluar bersama Dena yang menggandeng tangannya. - Sepanjang siang Renata tidur hingga malam tiba ia masih tertidur. Ibunya sempat membangunkannya namun hanya ditanggapi sebentar, kemudian ia kembali tertidur.
Desty ternyata bisa melakukan hal yang sama seperti dirinya. Sekilas gadis itu bahkan sempat menatapnya, sebelum akhirnya tubuh Renata ditarik paksa masuk ke dalam raganya.Namun ada sesuatu yang mengusik pikiran Renata, karena tepat sebelum raganya benar-benar menyatu ia melihat sekelebat bayangan Pandu di kamarnya.“Pandu?” Panggil Renata saat benar-benar terjaga.Renata mengucek matanya berulangkali memastikan pandangannya. Tetapi tidak ada Pandu disana, hanya dinding kosong.Sebulan berlalu begitu saja, tanpa perjalanan astral ataupun lucid dream. Semua terasa normal, hingga ia menyadari Desty yang sudah tidak lagi mengolok-oloknya. Bahkan saat berpapasan dengannya, Desty menghindari menatap Renata secara langsung.
“Jadi gimana nih?” Renata menggerakan mulutnya tanpa suara ke arah Dena. “Bentar,” jawab Dena juga tanpa suara. Mereka hanya mengandalkan mimik wajah masing-masing agar tidak ditegur petugas perpustakaan. Rak-rak buku tinggi menghalangi mereka dari pandangan Siska dan Haris yang sedang sibuk memilih buku-buku sebagai referensi tugas yang akan mereka kerjakan siang ini. Suasana perpusatkaan sepulang sekolah memang sepi, sehingga akan terlihat 'bukan kebetulan' jika Dena dan Renata bertemu dengan mereka disini. “Terus sekarang apa?” kata Renata menggunakan mimiknya yang otomatis membuat matanya melotot. Dena mengambil ponsel dari dalam saku bajunya sambil sesekali menengok ke
Renata mendesah pelan, ia berjalan mondar-mandir di samping tempat tidurnya sementara Dena memperhatikannya dalam diam. "Soal foto di kamarnya Haris dan buku hariannya Siska itu jadi bener?" Tanya Dena. “Gak tau." Ekspresi Renata cemas. “Kamu beneran bisa meraga sukma ya Ren?” tanya Dena lagi. "Apalagi sih meraga sukma?" Tanya Renata bingung. "Ya itu pisah tubuh." Renata hanya menangkat bahunya, ragu dengan jawabannya sendiri. "Makan siang dulu yuk!" Ajak Renata. Dena mengangguk lalu mengikuti Renata mengambil makanan di dapur. “Den, ka
"Kamu udah berhenti kan main-main sama fase tidur kamu?" Tanya Dena khawatir. "Untuk sementara ini, iya." Renata menjawab sambil sibuk menyiapkan buku-bukunya sebelum pelajaran dimulai. "Berhenti deh Ren." "Kenapa memangnya?" Tanya Renata terpancing, setelah mendengar kecemasan dari Dena. "Gini, ada yang mesti harus kamu tau. Aku pernah kan cerita soal adiknya pacar aku, yang tiba-tiba koma." "Iya.. Terus?" "Nah dia itu, sebenernya..." Suara pintu kelas terbuka, obrolan mereka terhenti saat guru dengan pembawaan tegas memasuki ruangan kelas. Seluruh kelas hening dan menghentikan aktivitas apapun yang mereka lakukan sebelumnya. - Meskipun ia mengatakan pada Dena ia sudah berhenti, tetapi malam ini ia ingin mencoba menguasai tubuhnya. Ia ingin mengendalikan apapun itu, lucid dream maupun perjalanan astralnya. Ia melakukan fase ti
“Gimana? Sudah ingat?” Tegur Desty yang kini sudah berdiri dibelakangnya dengan tubuh transparan sepertinya. “Kak Desty juga...” “Ya aku bisa,” potongnya cepat. “Tetapi tidak bisa terlalu lama dan merenggangkan tali astralku terlalu jauh.” Renata diam, kebingungan terhadap situasi yang baru saja ia hadapi. “Bian...” Renata bingung mau berbicara apa, karena sejujurnya saja ia sendiri masih kurang mengerti dengan apa yang terjadi padanya, dan siapa Bian. “Ya?” Balas Desty dingin. “Apa hubungan Bian sama aku, kenapa Kakak tiba-tiba benci sama aku?” Desty memicingkan matanya, “demi mencari kamu! Bian rela melakukan perjalanan astral
“Bian?”Kini dalam pikirannya bayangan begitu jelas terlintas.Renata kecil sedang berlari mengejar seorang anak laki-laki yang mengajaknya bercanda. Tiba-tiba sebuah batu membuat kakinya tersandung dan jatuh.ia menangis, anak laki-laki itu mengulurkan tangannya, Renata meraih tangannya agar bisa berdiri tegak, anak laki-laki itu mengusap kepala Renata kecil dengan gemas.Sesaat ia teringat Pandu. Sepertinya ia harus segera berbicara dengan Dena.“Dena?” Panggil Renata ketika nada sambung berhenti terdengar dari ponselnya.“Hmmm?” Gumam Dena dari sambungan telepon ditelinganya.“Jalan yuk!” Ajak Renata cepat
Rasanya cepat sekali Renata melesat dari kediamannya menuju rumah Desty. Rumah mewah itu masih sepi seperti hari-hari sebelumnya saat ia berkunjung ke tempat ini.Renata mencari Desty di kamarnya, tidak ada, di kamar milik Bian tetapi hasilnya tetap sama. Ia tak bisa menemukan Desty dimanapun.Rumah ini terlalu sepi, pikirnya. Kemana semua orang?Renata memandang pias tali panjang yang terulur dari tubuhnya. Satu-satunya penghubungnya dengan kehidupan. Renata bergidik ngeri membayangkan apa yang akan terjadi dengan hidupnya jika tali itu sampai putus.Ia akhirnya kembali memutuskan untuk mengamati kamar Desty lebih detail. "Dimana ya..." Bisik Renata pelan. Berusaha memecah kesunyian yang sedikit menyeramkan.Renata mengamati