***
"Apa? Nikah?"Di sebuah restoran ternama, saat mereka makan malam keluarga, sang Papa melontarkan ucapan yang membuat Alula menghentikan kegiatan makannya. Dia menatap sang Papa juga Pria paruh baya yang duduk di depannya secara bergantian.Tak ada angin, tak ada hujan, sang papa, tiba-tiba saja menjodohkan Alula. Pria itu bernama Arka, yang malam ini kebetulan ikut hadir di acara makan malam.Selain keluarga Alula, ada juga keluarga Arka datang, meskipun tanpa ibunya. Ayah Arka, ternyata sudah merencanakan perjodohan ini sejak lama. Sifat Arka yang rajin, penurut, juga pintar dalam segala hal rasanya sangat cocok dengan Alula yang memiliki sifat serupa.Alula dan Arka akan menjadi pasangan yang serasi dan rumah tangga keduanya pasti akan sangat tertata, begitulah yang dipikirkan para orang tua ketika merencanakan perjodohan ini."Iya, satu bulan lagi kamu nikah sama Arka," jawab sang papa yang membuat Alula semakin terkejut."Pa, ini Papa lagi ngeprank?" tanya Alula—masih dengan wajah terkejutnya, dengan keputusan yang tiba-tiba saja diambil sang Papa, karena sebelumnya tak pernah sekali pun dia mendengar akan dijodohkan dengan siapapun.Lagipula, Alula sudah memiliki kekasih. Selain itu, dia juga berniat mengambil pendidikan lanjutan tentang ilmu design ke London."No, Papa serius," jawab pria di depan Alula itu dengan raut wajah yang serius.Dari Alula, dia mengalihkan pandanganya ke arah Arka yang duduk di depan mereka. "Rencana perjodohan ini sebenarnya sudah lama kami buat, tapi Papa sengaja enggak kasih tahu supaya jadi kejutan.""Iya," jawab Dirga, Papa Arka. "Kamu tenang saja Alula, anak Om pria yang bertanggungjawab. Enggak perlu khawatir.""Iya kamu tenang saja, Saya pria baik-baik," ucap Arka yang ikut meyakinkan Alula agar percaya padanya. Namun, respon yang diberikan Alula tetap saja tak baik."Ya bukan masalah tanggungjawab apa enggak, tapi ini dadakan banget, lho," ujar Alula yang masih tak terima. "Kalian pikir aku ini ayam, apa? Main nikahin aja sembarangan.""Udah sih, terima aja, orang calon suaminya ganteng," ucap Aludra santai. Berbeda dengan saudara kembarnya yang terlihat kesal, Aludra justru sebaliknya. Dia tetap santai menyantap makanannya ketika yang lain bahkan berhenti."Apa sih, Ra? Coba deh kamu yang ada di posisi aku, dijodohin secara mendadak. Mau, enggak?" tanya Alula sewot."Ekhem." Arka berdeham lalu kembali angkat bicara ketika mendapati perempuan yang akan menjadi istrinya itu masih tak terima dengan perjodohan ini. "Ya sudah kalau Alula belum siap, pernikahannya bisa ditunda sampai siap, Om. Saya juga enggak mau maksa Alula menikah, kalau dia enggak mau.""No, Arka," tolak Dewa—Papa Alula, dengan segera. "Alula bukan enggak siap, hanya sedikit kaget saja.""Tapi Alula memang sepertinya terlihat belum siap, Om," ucap Arka pesimis."Iya," desah Alula. "Alula emang enggak siap.""Alula," tegur sang papa disertai tatapan tajam yang membuat putrinya itu tak berkutik."Enggak nyangka sebentar lagi punya Kakak ipar," celoteh Aludra—masih dengan segala sikap santainya. Sambil mengunyah makanan di mulut, dia menatap Arka. "Mana Kakak iparnya ganteng lagi."Arka tersenyum samar ketika tatapannya beradu dengan Aludra. Dalam hati dia mengucap syukur karena yang dijodohkan dengannya itu Alula, bukan Aludra yang katanya memiliki sifat yang begitu pemalas."Pokoknya sesuai rencana yang sudah kita buat ya, Pak Dirga.""Iya, Pak. Sesuai rencana saja.""Arka, tenang saja. Anak Om, baik. Sekali lagi, Alula bukan enggak siap, cuman sedikit kaget aja karena ini dadakan.""Semoga saja, Om," jawab Arka. "Tapi jika memang Alula belum siap, saya enggak akan memaksa. Saya bisa menunggu. Om tenang saja."Berbeda dengan pria lain yang akan menolak ketika dijodohkan, Arka memang memilih untuk menurut. Cukup baiknya hubungan dia dengan sang papa, membuat Arka yakin jika pilihan Papanya adalah yang terbaik untuknya.Selain itu, Arka juga sudah mendapatkan bocoran tentang bagaimana sifat dan sikap calon istrinya yang kebetulan sesuai dengan kriteria dia dalam mencari pasangan."Enggak ada nunggu, Om mau kamu nikahin Alula secepatnya. Om enggak mau kehilangan calon menantu hebat seperti kamu.""Om terlalu berlebihan dalam memuji, saya enggak sehebat itu," ucap Arka."Pokoknya kamu tetap harus nikahin anak Om, oke?""Iya, Om."Pembahasan berlanjut, Alula hanya diam ketika sang papa terus membahas persiapan pernikahannya dengan Arka, sementara Aludra? Tentu saja dia tak ambil pusing dan memilih menikmati makan malamnya.Namun, diamnya Alula bukan berarti dia menerima, karena di rumah saat mereka baru saja sampai, Alula langsung melayangkan kembali protesan pada sang papa."Pokoknya Alula enggak mau nikah sama laki-laki itu, Pa," ucap Alula sesaat setelah dia menghempaskan tubuhnya di sofa, diikuti Aludra yang melakukan hal serupa. "Alula mau lanjutin pendidikan ke London, Alula udah daftar.""Terus kamu mau mempermalukan Papa dengan batalin pernikahan ini, iya?" tanya sang papa tak mau kalah."Ya suruh siapa main jodoh-jodohin aja?" tanya Alula."Dengar Alula, Arka ini laki-laki baik. Papa jamin kamu enggak akan menyesal kalau nikah sama dia.""Enggak peduli, Pa. Mau sebaik apapun dia, Alula enggak mau," tolak Alula untuk yang kesekian kalinya. "Lagian kenapa enggak Aludra aja sih, Pa? Laki-laki itu juga pasti bakalan mau kok sama Aludra. Wajah kita kan sama.""Jangan banyak melawan, Alula. Ikuti aja perintah Papa. Lagipula Aludra sangat enggak mungkin nikah dalam waktu dekat. Kamu tahu sendiri gimana dia.""Good," ucap Aludra yang bahkan tak tersinggung sama sekali dengan ucapan sang mama. "Papa emang paling ngerti Rara.""Udah deh ya, daripada protes, lebih baik kamu masuk kamar, istirahat. Satu bulan lagi pesta, kamu harus jaga kesehatan. Papa mau istirahat dan nemuin Mama buat bicarain semuanya."Papa," desah Alula yang diabaikan sang papa.Alih-alih menanggapi Alula, pria itu justru pergi menuju kamar untuk menemui sang istri yang memang tak ikut di acara makan malam karena sedang tak enak badan."Ih enggak bisa! Aku enggak mau nikah dan enggak akan nikah sebelum cita-cita aku tercapai," ujar Alula ketika kini di ruang tamu hanya ada dia dan Aludra.Terdiam sejenak, sebuah ide tiba-tiba saja melintas di benak Alula. Cukup gila, tapi sepertinya inilah jalan keluar satu-satunya agar Alula tak harus menikah dengan Arka. Ya, tak ada cara lain lagi."Aludra," panggil Alula pada sang adik yang hampir saja terlelap."Apa?" tanya Aludra. "Ganggu aja, orang baru mau tidur.""Ikut Kakak," ucap Alula."Ke mana?""Ayo ikut aja!" ujar Alula lagi yang tanpa ragu menarik tangan Aludra menuju tangga. Tarikan di tangannya cukup erat juga Alula yang berlari, membuat Aludra mau tak mau ikut berlari agar bisa menyesuaikan langkah."Mau ke mana sih, Kak?!""Ikut aja."Sampai di lantai dua, Alula membawa Aludra ke kamarnya. Sebelum mengutarakan ide gilanya, Alula mengunci pintu agar aman."Apa, sih?" tanya Aludra."Ra, kamu sayang enggak sama Kakak?" tanya Alula tanpa basa-basi."Sayanglah, sayang banget," ujar Aludra."Kalau sayang, kamu mau kan tolongin Kakak?" tanya Alula.Aludra yang duduk di pinggir kasur, menaikkan sebelah alisnya. "Bantuin apa?" tanyanya."Kamu ...." Alula menjeda ucapan lalu duduk di depan Aludra. "Mau ya gantiin Kakak buat nikah sama Arka?""Hah?!" Kaget dengan ucapan yang baru saja dilontarkan Alula, Aludra memekik bahkan dia membulatkan matanya. "Kakak gila?! Gimana caranya, Kak?!""Caranya gampang, Ra. Kita cuman perlu tukeran posisi sama identitas. Kamu jadi Kakak, dan Kakak jadi kamu. Mau ya?""Sinting ya?" tanya Aludra. "Enggaklah! Aku enggak mau. Terlalu gila tau enggak sih, Kak. Ide Kakak tuh. Udahlah, terima aja. Nikah sama Arka terus lupain pendidikan design yang Kakak maksud. Enggak penting juga, kan?""Kok enggak penting sih, Ra?" tanya Alula. "Pendidikan design itu penting banget buat Kakak, Ra. Kakak juga udah bayar semuanya, lunas. Kamu tahu sendiri, kan, Kakak pengen jadi designer? Ayolah, Ra. Tolongin Kakak. Katanya sayang?""Ya tapi ini gila, Kak Lula!" ujar Aludra. Tak mau mendengar lagi ucapan gila sang Kakak, Aludra beranjak dari kasur. "Udahlah, daripada makin ngaco, kakak mending tidur. Aku juga mau tidur, ngantuk.""Rara.""Enggak waras," celetuk Aludra yang langsung berjalan menuju pintu. Namun, langkahnya terhenti ketika Alula memanggilnya."Kalau kamu enggak mau, Kakak mendingan mati aja, Ra. Kakak mau jadi designer, dan Kakak enggak mau nikah," ucap Alula."Terserah!" jawab Aludra tanpa menoleh, hingga rintihan Alula membuatnya berbalik dan tentunya dia terkejut melihat Alula menggoreskan pisau cutter pada pergelangan tangannya. "Kakak ngapain, Kak?!"Aludra berlari menghampiri Alula—berniat untuk mengambil pisau cutter tersebut dari tangan sang kakak. Namun, gagal karena Alula memegang pisau tersebut dengan sangat erat."Kak Lula jangan gila, Kak!""Kakak lebih baik mati aja, Lu!""Kak Lula, sadar!"Alula mendongak—menatap Aludra dengan wajah memelas. "Ra, please gantiin Kakak, Ra," lirihnya sambil terisak, sementara kedua tangan kanannya setia memegang cutter."Kak, itu gila, Kak.""I know, Ra, tapi please. Bantuin Kakak," ucap Alula. "Atau kamu emang seneng lihat Kakak mati, supaya kamu enggak ada saingan, iya?"Aludra menggeleng. "Enggak Kak, enggak gitu," ucapnya."Ya terus kenapa kamu enggak mau nolongin Kakak buat gantiin nikah sama Arka?""Ya karena Papa jodohinnya sama Kakak, bukan sama aku," ucap Aludra."Persetan sama semua itu," desis Alula. "Kalau kamu sayang sama Kakak, kamu enggak akan banyak mikir buat bantu Kakak. Kamu emang enggak sayang sama Kakak, Ra! Kakak tahu itu. Udahlah, kakak mending mati aja kalau gini!""Kak Lula, enggak!" bentak Aludra yang sigap menahan tangan Alula yang berniat lagi menggoreskan cutter."Please, Ra. Gantiin Kakak," lirih Alula."Kak Lula.""Kamu harapan Kakak satu-satunya, Ra. Mau kan, Ra? Mau ya?""Tapi kan, Kak.""Aludra Raveena, please. Mau ya?"Aludra memandang Alula dengan lekat untuk beberapa detik. "Kak.""Kenapa? Kamu mau?""Aku ... A-aku ...."***"Cantik. Riasannya sudah selesai ya, Mbak. Nanti tinggal tunggu arahan dari pembawa acaranya aja.""Iya.""Kalau begitu saya permisi dulu.""Hm."Memandangi pantulan wajahnya yang sudah dirias makeup, Aludra mengukir senyum tipis. Seperti alien. Begitulah yang dia pikirkan ketika melihat penampilannya yang terbilang cukup merepotkan.The Day. Setelah beberapa minggu persiapan, pernikahannya dengan Arka digelar pagi ini—ralat, sebenarnya ini bukan pernikahan Aludra, melainkan pernikahan Alula.Mulai dari undangan, souvenir, bahkan data-data pernikahan, semuanya atas nama Alula, bukan Aludra. Di sini, jika diibaratkan film, Aludra hanyalah stuntman yang bertugas untuk menggantikan si pemeran utama sesungguhnya.Yang membedakan adalah; Aludra menggantikan Alula bukan untuk melakukan adegan berbahaya, melainkan untuk menikah. Ya, menikah.Terlalu sayang pada sang kakak, Aludra pada akhirnya mau untuk menggantikan Alula menikah dengan Arka. Patuh terhadap saudara kembarnya itu, Aludra
***"Mas bisa tolong bantu?"Arka yang sedang duduk di pinggir kasur sambil membaca pesan dari teman-temannya sedikit terkesiap ketika panggilan dia terima dari sang make-up artist yang kini sedang merias Aludra untuk acara resepsi yang akan digelar setengah jam lagi.Menoleh, Arka menaikkan sebelah alisnya. "Ada apa, Mbak?" tanyanya."Ini bisa tolong bantu tahan kepala istrinya enggak? Daritadi agak goyang terus kayanya ngantuk," pinta sang MUA yang langsung disambut anggukkan kepala dari Arka."Bisa," jawab Arka. Beranjak, Arka yang sudah tampan dengan tuxedo abunya berjalan menghampiri Aludra yang kini duduk bersandar pada kursi. Tak memakai kursi kotak seperti biasa, Aludra memang sengaja meminta kursi yang ada sandarannya untuk dia duduk ketika di makeup karena jujur saja matanya berat sekali.Terbiasa bangun tidur pukul delapan pagi, hari ini Aludra harus bangun pukul lima karena sang MUA datang setengah lima pagi dan tentu saja makeup untuk pengantin yang memakan waktu cukup la
***'Aludra berangkat abis maghrib, dadakan banget. Mama heran deh dia kaya semangat gitu, padahal dia kan mageran. Aneh ya, Lu?'Duduk di closet sejak sepuluh menit yang lalu, Aludra terus memikirkan ucapan Aurora tadi saat pesta resepsi.Malam ini semuanya selesai. Pesta resepsi usai pukul sepuluh malam, Aludra kembali ke kamar hotel untuk berisitirahat. Jika semalam dia tidur bersama Alula, maka malam ini dia akan tidur dengan Arka—suami saudaranya.Aludra benar-benar harus mempersiapkan diri. Alula sudah pergi, dan mau tak mau dia harus mulai menjalani kehidupan barunya sebagai Alula dan semuanya dimulai dengan malam pertama yang akan terjadi sebentar lagi."Alula, kamu di mana?"Terkesiap, pandangan Alula langsung tertuju ke arah pintu kamar mandi ketika suara Arka terdengar dari dalam kamar. Setelah pesta selesai, memang hanya Aludra yang langsung ke kamar untuk melepaskan semua riasan, karena Arka harus menemui anggota keluarganya yang besok akan langsung pulang ke Bandung."Di
***"Lagi ngapain?"Tak langsung menjawab, Arka memandang pria di depannya dari ujung kepala hingga ujung kaki lalu melayangkan tatapan yang malas."Istirahat," jawab Arka singkat. "Capek. Besok mau berangkat pagi.""Arka ada siapa?"Menoleh pada Aludra, Arka membuka pintu kamar sedikit lebar agar Aludra bisa melihat siapa orang yang kini berhadapan dengannya."Kelihatan?" tanya Arka pada Aludra."Kak Aksa." Tak enak, Aludra mengubah posisinya menjadi duduk, tanpa menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya. "Ada apa, Kak?""Enggak ada apa-apa sih," jawab Aksa sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal, sementara Arka masih memasang wajah yang sedikit kesal karena ucapan yang pernah dilontarkan Aksa tempo hari kembali terngiang di kepalanya.Sebelum menikah, Arka sering menjadi pengganggu keromantisan Aksa dan Istrinya‐Ananta. Tak sengaja, seringkali Arka memergoki kakak dan kakak iparnya melakukan sesuatu yang mesra. Kesal karena kejadian tersebut sering terjadi, Aksa pernah berkata
***"Alula bangun, Alula. Udah jam tujuh, jam delapan kita harus berangkat.""Apaan sih."Merasa terganggu ketika Arka terus membangunkannya, Aludra yang kini tidur sambil memeluk guling, lantas menenggelamkan wajahnya agar tangan Arka tak terus menyentuh karena rasanya dingin sekali."Bangun Lula, nanti kita ketinggalan pesawat," ucap Arka—berusaha sesabar mungkin menghadapi istrinya itu."Biarin, pesawat banyak. Pesen lagi kalau ketinggalan," ucap Aludra—masih dengan kedua mata yang terpejam. "Kalau enggak ada uang, minta ke Papa aku. Uangnya banyak."Arka menghembuskan napas kasar. Dia pikir Alula adalah perempuan giat yang selalu bangun pagi, karena menurut informasi dari sang mama, Alula adalah perempuan rajin yang terbilang cukup multitalent.Ah, mungkin pagi ini karena Alula masih lelah, pikirnya."La, kalau enggak mau bangun. Aku tinggal checkout ya, nanti kamu pulang sendiri," ucap Arka yang akhirnya mampu membuat Aludra membuka matanya.Membelikkan badan, Alula menatap Arka
***"Hati-hati ya kalian di sana.""Bulan madu yang nyaman.""Jangan lupa pulang bawa kabar baik.""Kalau udah sampai kabarin."Mendesah pelan, Aludra memandangi keluarganya dan keluarga Arka yang kini berdiri di depan hotel untuk mengantar kepergiannya dan Arka untuk berbulan madu ke Korea Selatan selama seminggu.Pukul sembilan pagi, Aludra dan Arka bergegas pergi ke Bandara karena pesawat yang mereka tumpangi akan take of pukul setengah sepuluh pagi.Berlibur di bulan juli, keduanya akan menikmati musim panas di negeri ginseng yang terkenal dengan hallyu wavenya.Sekali lagi, sebenarnya Aludra sangat malas berlibur. Dia yang terbiasa tiduran sepanjang hari rasanya berat untuk pergi jauh—terlebih lagi luar negeri. Namun, gara-gara Alula, mau tak mau Aludra harus mengusir jauh rasa malasnya itu."Kalau ngantuk kamu boleh tidur dulu."Aludra yang sejak berangkat terus menyandarkan tubuhnya di jok sambil memandangi jalanan kini menoleh pada Arka yang duduk persis di sampingnya."Kalau
***"Ini kamu enggak ada niatan bantu aku bawa koper gitu?"Aludra yang melenggangkan kakinya lebih dulu setelah turun dari taksi, lantas menoleh ketika pertanyaan itu dilontarkan Arka yang kerepotan membawa dua koper sekaligus.Menempuh perjalanan tujuh jam lebih, pukul lima sore keduanya sampai di Seoul. Menggunkanan taksi, Arka membawa Aludra menuju hotel yang sudah disiapkan Dewa untuk mereka selama berada di negeri ginseng tersebut.Bukan hotel biasa, tentu saja hotel yang disiapkan Dewa adalah hotel berbintang yang memiliki fasilitas luar biasa juga pelayanan yang sangat baik."Berat," jawab Aludra enteng. "Lagipula kamu kan laki-laki, terus kamu suami. Jadi kamu aja yang bawa ya."Tak menjawab, Arka hanya menatap Aludra lalu menghembuskan napas kasar. Setelah itu, dia memilih berjalan melalui gadis itu untuk menuju meja resepsionis dengan segera.Menunjukan bukti pemesanan hotel, Arka terbebas dari dua koper berat yang sejak tadi dia bawa karena koper tersebut langsung dibawa p
“Ih, enggak aktif!”Menatap kesal layar ponselnya, Aludra yang sejak tadi tidur dengan polisi telungkup lantas bergerutu ketika ternyata nomor Alula sudah tak bisa dihubungi. Padahal, dia ingin sekali menelepon kakaknya itu untuk menanyakan bagaimana kabar dia di London dan tentu saja Aludra juga ingin menuntut permintaan terima kasih dari sang kakak untuk semua jasanya yang sudah legowo menggantikan posisi sang kakak menjadi istri Arka—pria yang saat ini dia cap sebagai pria menyebalkan.Ya, bagi Aludra, Arka itu menyebalkan. Meskipun baik, tetap saja menyebalkan. Arka tampan, tapi tetap saja dia menyebalkan. Pokoknya Arka itu menyebalkan.“Ini gimana mau tanya-tanya kalau nomor Kak Lula aja enggak aktif.”Beringsut, Aludra mengubah posisinya menjadi duduk. Mengedarkan pandangan, dia menatap jam dinding yang ada di kamar hotel. Pukul delapan malam, dan Arka belum kembali dari luar setelah setengah jam yang lalu berpamitan untuk mancari makan.Sebenarnya Arka mengajak Aludra keluar un