3 Minggu Kemudian..
Johor Bahru, Malaysia. HomeSweet Enterprise.
“Baik, boleh kita mulai pertemuan ini?”
Seseorang dengan setelan kemeja putih dan jas abu-abu memulai pertemuan disana. Terlihat beberapa rekan dan investor hadir menindaklanjuti kerjasama pendanaan proyek mereka. Disisi lain, seorang gadis tertunduk dengan perasaan yang tak bisa ditebak. Hatinya berkecamuk dan pikirannya tidak fokus.
“Anjani, boleh kita mulai?”
Tak ada sahutan dari si empunya nama, ia terus tertunduk dengan wajah penuh cemas. Sosok pria lain terus mengamatinya. Entah apa yang terjadi dengan gadis itu saat ini.
“Anjani? Hello? Kau mendengarku?”
Rekan disisi kanan pun menepuk pundaknya. Seketika Anjani terkejut.
“Yes, sorry?”
“Are you okay, right?”
“Ah, yes, i’m okay.” Anjani berusaha terlihat baik-baik saja. “Thank you, Ammar,” timpalnya pelan.
Sebuah nama terucap. Ammar. Pria itu merupakan CEO HomeSweet Enterprise, sebuah perusahaan startup yang selama ini menjadi tempat Anjani bernaung dan memberinya kesempatan untuk tumbuh. Namun, saat ini ia dilema.
“Baik kita mulai.”
Anjani memulai rapat itu. Sesekali ia menghela nafas berat. Ia memandang sosok yang saat itu juga hadir untuk mendengar perkembangan proyek yang dijanjikannya tiga minggu yang lalu. Yups! Arjuna Barathawardana. Selaku CMO, Anjani memoderatori jalannya pertemuan yang belangsung cukup lancar hari itu. Ia tak mengira bahwa Arjuna akan dengan cepat menandatangi kontrak kerjasama.
“Nice to see you here, Arjuna.”
“Oh, me too.”
Ammar dan Arjuna berdiri berdampingan sambil berjabat tangan. Mereka berpose dan mengabadikan momen tersebut. Anjani lagi-lagi hanya bisa terdiam. Ia tak banyak berkata. Anjani berjalan mengekori Ammar yang keluar dari ruang rapat setelah pertemuan itu berakhir. Sementara sepasang mata lain mengamati hingga hilang dari pandangannya.
***
Disebuah ruangan, seorang gadis berdiri dihadapan meja bertuliskan “CEO - Ammar Husain” dengan wajah tertunduk lesu.
“Hey! What’s going on?” tanya Ammar.
Anjani bergeming. Ia bingung harus memulai darimana, hatinya sungguh berkecamuk. Ia dilanda dilema.
“Ammar—” Ujarnya lirih.
“Eung?” Mata itu menelisik dalam. Diatas kursinya ia memandang dengan tidak sabar. Sedetik, dua detik, hingga beberapa detik berlalu sia-sia. Tak ada apapun yang terucap dari bibir merah gadis itu. Ammar pun beranjak, mendekatinya dengan penuh penasaran. “Hey?” Ammar menengadahkan dagu gadis itu, meminta untuk memandang kearahnya. Kedua mata mereka saling bertemu.
“I have to go,” ujarnya, lirih.
“Sorry?”
Merasa bahwa pendengarannya salah, Ammar memastikan sekali lagi. Kedua tangannya kini menangkup wajah gadis itu.
“Aku ingin kembali ke tanah airku.”
Anjani menyingkirkan kedua tangan itu dari wajahnya. Ia tak mengerti, mengapa ia sangat berat membuat keputusan tersebut. Ada kecamuk di hati yang tak bisa ia jelaskan.
“Why?”
“Aku hanya merindukan tanah airku,” jawabnya singkat.
“Aku mencintaimu, kau tahu itu, ‘kan?” Ammar memanas. Ia merasa bahwa dirinya kini tengah dipermainkan keadaan. Ia merasa keberuntungan dan ketidakberuntungan datang bersamaan. Disatu sisi ia mendapat pendanaan proyek itu, disisi lain ia harus mendengar kata perpisahan.
Anjani tertegun. Ia bukan tidak mengetahui perasaan sahabatnya. Sejak dibangku kuliah, mereka memang sudah sangat dekat. Bahkan kedekatannya sering disalah artikan oleh teman-teman mereka. Tapi, Anjani sama sekali tak menganggap perasaan itu benar. Ia tak nyaman, jika persahabatan mereka dilibatkan oleh perasaan. Anjani hanya menganggap Ammar sebagai seorang sahabat, kakak, dan orang tua yang telah menjaganya selama ini. Anjani memang dekat dengan keluarga Ammar, bahkan mereka menganggap Anjani sebagai putri kandungnya, namun hal itu tak membuat perasaan Anjani berubah.
“Ayolah, Ammar.” Anjani merajuk. Ia tak ingin mendengar kalimat itu lagi. Ia tak ingin Ammar mencintainya hanya karena rasa iba terhadap kemalangannya.
“At least give me the reason!” seru Ammar. Wajahnya memerah. Sejauh ini, Anjani tak pernah melihat Ammar dengan ekspresi seperti itu. Sosok pria yang ia tahu penyabar dan penuh kasih sayang pun terlihat berubah. Ia melihat amarah pria itu seperti memuncak.
“Tak ada alasan apapun, Ammar.” Anjani menjauh. Langkah kakinya mundur karena ia merasa situasi sangat tak menguntungkan baginya. Ammar terlihat berbeda. Sepersekian detik, Ammar menghela nafas berat. Ia mencoba menetralkan emosinya. Mengingat kembali betapa perasaan itu sangat besar untuk sahabatnya.
“Oke, sorry!” Ammar mencoba meredam amarah. Ia menyesali emosinya sesaat. “Please, Anjani—” Ammar kini memohon. Ia meraih tangan gadis itu yang bergeming. “Setidaknya, aku harus tahu kau tinggal dengan siapa disana dan orang yang akan menjagamu?”
“A-aku akan tinggal dengan Naomi, sahabatku,” ujar Anjani, berbohong.
Ammar pun terdiam.
“I’m really sorry and thank you, Ammar,” lanjutnya.
Anjani berlalu meninggalkan secarik kertas berisi surat pengunduran dirinya.
***
Anjani melangkah gontai. Ia menuju ruang kerja untuk mengemasi barang-barangnya. Beberapa rekan pun mendekatinya, menanyakan perihal pengunduran dirinya yang mendadak hari itu. Namun, Anjani tak minat menjawabnya. Sejujurnya, Anjani bukanlah sosok yang dikagumi di kantor tersebut. Akibat kedekatannya dengan Ammar, semua orang tak menyukainya. Bahkan tak jarang pula orang-orang membicarakannya.
“Kau mengundurkan diri secepat ini? Kenapa? Apa kau sudah menjadi simpanan pria kaya?” Anjani menoleh geram. Rasanya ia ingin mencabik-cabik mulut yang tega berbicara kasar terhadapnya. Namun, lagi-lagi Anjani tak sekuat itu. Ia hanya menghela nafas sambil terus mengemasi barangnya.
“Ayolah Anjani, apa alasanmu pergi secepat ini?”
“Sudahlah, Mina. Dia tak akan jawab. Seharusnya pernyataanku benar,” sindir sesesorang ber-nametag Lisa.
“Pergilah! Tak ada gunanya kalian disini. Seharusnya kalian bahagia dengan kepergianku,” ucap gadis itu dengan malas.
“Kau benar, tapi rasanya akan membosankan karena tak ada lagi yang bisa kita bully.” Kalimat sarkas yang keluar dari mulut Lisa terdengar sangat tidak pantas. Mina dan Lisa pun pergi dengan langkah tergesa.
“Secepatnya kau harus mengundurkan diri dan datang kepadaku. Aku butuh bantuanmu.”
Anjani terdiam. Ia teringat kalimat itu. Ketika Arjuna mengantarnya ke bandara.
“Benarkah ini semua? Mengapa aku dengan cepat menyetujuinya?”
Seketika Anjani menahan sesak di dada. Entah mengapa ia merasa sangat bersalah, terutama pada Ammar, seseorang yang telah menemaninya bangkit ketika kedua orangtuanya tiada. “Maafkan aku, Ammar.”
Seketika air mata membasahi wajahnya.
***
Disebuah kamar hotel—1818, seseorang berjalan dengan gontai. Kesibukan hari itu sungguh membuatnya tak bersemangat. Rasa lelah bercampur malas menghampirinya.
“Kau boleh beristirahat, aku ingin sendiri,” ujar seseorang yang baru saja merebahkan tubuhnya di sofa.
“Baik, Tuan!”
Pria itu meluruskan kaki di atas meja sambil memejamkan mata sesaat. Memutar kembali pertemuan pagi ini. Setelah diamati, ia merasa ada yang berbeda dari gadis itu.
“Aku mencintaimu, kau tahu itu, ‘kan?” Kalimat itu terngiang di telinganya. Ia kembali teringat ketika ia tak sengaja melewati ruangan tersebut. Sesekali ia menarik nafas panjang. Mencoba memahami situasi yang terjadi saat ini. “Mengapa kau menerima tawaranku ketika ada seseorang yang begitu mencintaimu?” gumamnya.
Tak lama, lamunannya pun buyar saat bel berbunyi.
Ting tong ting tong.
Pria itu menoleh ke arah pintu dengan malas. Ia melirik arah jarum jam tangannya. 20.50 MYT.
“Kris, apa kau memesan layanan kamar?” tanya pria itu setengah berteriak.
“Tidak, Tuan!” jawab Kris.
“Baiklah.”
Arjuna beranjak dengan malas. Ia pun melangkah dengan gontai.
“Ya, siapa?”
“Can I talk to you?”
Seorang gadis berhambur menuju ruang tamu kamar tersebut. Tanpa izin ia berjalan melewati pria itu begitu saja.
“Ckck. Setidaknya kau harus mendapat persetujuanku, baru masuk.” Arjuna berdecak kesal sambil kembali menutup pintu. “Memangnya ada hal mendesak apa sampai kau datang ke kamar seorang pria di waktu seperti ini?” timpalnya.
“Ini tentang sahabatku.” Gadis itu duduk di sofa sambil memandang pria disana dengan tajam.
“Sahabatmu?”
“Yes, Anjani. You know her, right?”
“Yes, I know.”
Arjuna berdiri di sisi dinding dekat sofa sambil berpangku tangan. Ia memandang Naomi dengan hati-hati. “Kau menyukainya?” tanya Naomi, tanpa berbasa-basi.
“...”
Tak ada jawaban. Pria itu hanya menyernyitkan dahi sambil tersenyum simpul.
“Aku bertanya padamu, Tuan Arjuna.”
“Tidak,” jawabnya dengan tegas.
Bagai tersambar petir, Naomi menatapnya dengan tajam. Tak menyangka jawaban itu dengan singkat padat dan jelas menusuk hatinya. Bagaimana bisa Arjuna dengan santai memberi jawaban ”tidak” sedangkan sahabatnya kini harus terlibat dengan pria itu.
“Lalu mengapa kau meminta Anjani menjadi istrimu?”
Arjuna terkekeh. Ia tersenyum. “Kau harus garis bawahi, bahwa kami hanya sekedar kontrak.”
Tak kalah mengejutkan, ketika Arjuna dengan bangga mengatakan bahwa itu hanyalah perjanjian kontrak.
“Tapi kenapa?” tanya Naomi, kini wajahnya begitu merah menahan marah.
“Karena aku membutuhkannya.”
“Butuh? Untuk apa?”
“Untuk aku bisa mengembangkan proyek nanti dan menyakinkan Nenek bahwa aku bisa menjadi pemimpin perusahaannya.”
Arjuna membenarkan posisinya. Kini ia melangkah mendekati Naomi lalu duduk berdampingan dengan gadis itu. “Kau tahu, gadis itu memiliki potensi yang sangat besar. Sungguh disayangkan jika ia hanya bekerja di perusahaan kecil,” ujar Arjuna, berusaha meyakinkan, Naomi.
“Benarkah?”
“Selain itu, Nenek berharap ada seorang gadis yang bisa menjaga dan menjadi istriku. Sedangkan aku—kau tahu bahwa aku tak ada waktu untuk itu.”
Arjuna menoleh. Memandang Naomi yang mulai hanyut dengan ceritanya.
“Aku hanya butuh pasangan yang bisa diajak kerjasama denganku—” Arjuna mengambil jeda. “Pertama kali melihat gadis itu, aku merasa dia yang kucari,” lanjutnya. Tak ada sahutan dari Naomi. Ia masih belum mempercayai pria itu seratus persen. Bagaimanapun, menurutnya ada yang aneh. “Lalu kontrak itu untuk apa?”
Arjuna lagi-lagi tersenyum simpul. “Hanya untuk memastikan bahwa kita tidak akan melampaui batasan.”
“Batasan?”
“Kau tahu Naomi, bahwa aku sangat benci komitmen,” ujarnya dingin. “Kisah mendiang kedua orangtuaku sudah cukup membuktikan bahwa tidak ada yang benar-benar saling mencintai di dunia ini. Cinta sejati itu bullshit!” timpalnya dengan sarkas.
Naomi menatap wajah Arjuna dari samping. Ia melihat pancaran mata yang dipenuhi dengan kesedihan. Ia mengerti alasan mengapa Arjuna bersikap dingin selama ini.
***
“Berapa lama kau di Johor?” tanya seorang gadis dengan semangat.
“Tidak lama, aku hanya survei lokasi untuk proyek real estate di sini.” Gadis lain menjawab dengan malas.
Disebuah kafe dengan nuansa gardenia, kedua sahabat duduk sambil berbincang.
“Oh, kukira kau akan lama.” Raut wajahnya seketika muram.
“Anjani, apa kau benar-benar menyukainya?” tanya Naomi dengan pertanyaan yang sama seperti yang dilontarkan sebelumnya kepada Arjuna. Gadis itu pun terkejut. Ia berdeham dan tak mampu memandang sahabatnya.
“Jadi benar?” sergah Naomi memastikan.
“Aku tidak yakin.”
Anjani membenarkan posisi duduknya. “Tapi aku benar-benar hanya ingin membantunya,” timpal gadis itu.
“Kau mengenalnya dekat?”
Anjani hanya menggeleng.
“Lalu mengapa kau ingin membantunya?” Naomi menyernyitkan dahi. Kesal bercampur gemas.
“Ya, i just.”
“Anjani—listen to me …”
Naomi memajukan wajahnya, memandang intens sahabatnya. Tersirat tatapan tak setuju dari sang sahabat, namun ia tak mengerti mengapa sahabatnya menolak keras sikapnya.
“Jika kau tidak memiliki tujuan lain, kuharap kau hentikan sekarang.”
“Why?” tanya Anjani, penasaran.
“Karena kau tidak tahu bagaimana keluarga dan masa lalunya, Anjani. Aku hanya tidak ingin kau tersakiti.”
Anjani tertegun. Ia memandang Naomi dengan rasa sesal. Disisi lain, Naomi menghela nafas sambil menyenderkan tubuhnya ke punggung kursi.
***
Seminggu berlalu..Jakarta Selatan, Indonesia. Sore itu langit tak lagi bercahaya. Awan gelap—mulai menyelimuti seluruh penjuru kota. Sang gemuruh saling bersahutan hingga memberi sensasi menakutkan. Hujan memang belum turun, namun aroma tanah mulai menelisik ke rongga hidung seseorang. Anjani terus berdiri diatas tanah kosong. Memandang lurus papan nama yang berdiri diatas tiang, “Barathaland Group,” gumamnya. Sesaat matanya terpejam. Ia tak mampu mempercayai bahwa tanah itu milik keluarga Arjuna. Tanah yang dulunya pernah berdiri sebuah bangunan dengan segala kenangan indah di dalamnya. “Aku bahkan tidak punya tempat untuk mengingat kenangan bersama mereka,” gumamnya, lirih.Langit seolah tak mendukung, semilir angin kencang disertai rintik hujan membasahi. Anjani bergeming. Ia tak berniat melangkah pergi. Tubuhnya masih meminta untuk tetap tinggal dan mengenang masa-masa indah bersama kedua orang tuanya.“Kau—Anjani Samitha?” Tiba-tiba suara berat mengejutkannya. Seketika gadis
Diruang kerja, Arjuna memandang satu kartu nama bertuliskan “Krediby”, salah satu perusahaan pinjaman dengan suku bunga yang super tinggi. Ia kembali teringat ketika Anjani meringkuk sambil memohon pertolongannya. Kasihan, pikirnya. Gadis itu harus menanggung beban dari lintah darat seperti mereka. Tak lama, pria itu meremas kartu nama dengan geram.“Target pasar mereka memang kalangan menengah ke bawah. Mereka memberikan pinjaman tanpa syarat, akan tetapi mereka mengambil keuntungan dari peminjam yang sulit membayar karena bunga diatas rata-rata,” tutur seseorang dihadapan Arjuna. “Kurang ajar, ini namanya pemerasan!” Arjuna memandang tajam ke depan. “Sudah banyak korban yang terjerat. Mereka yang menjadi korban harus membayar jaminan entah itu dengan uang atau dengan tubuh mereka.”Prank! Suara gebrakan meja terdengar keras. Jadi itulah mengapa Anjani begitu ketakutan saat kali terakhir mereka bertemu. Apakah gadis itu mendapatkan ancaman yang sama? Arjuna menerka. “Bereskan me
Setelah memutuskan menikah dicatatan sipil, Arjuna dan Anjani hidup bersama dalam satu atap untuk mengenal satu sama lain. Tepatnya, di sebuah apartemen pemberiannya. Malam itu, Arjuna menghampiri Anjani yang tengah menonton tv di sofa ruang tamu. Ia menyodorkan secarik kertas berisi perjanjian lanjutan. “Hmmm—”Anjani menoleh. Ia menengadahkan wajah sambil memandang Arjuna yang masih berdiri. “Ini perjanjian lanjutan after we got married.” Dengan balutan piyama navy, Arjuna beranjak duduk disebelah gadis itu yang mana secara hukum sah sebagai istrinya. “Setidaknya ada lima pasal yang perlu kita bahas.” Anjani memandang serius. Ia meraih secarik kertas yang sedari tadi terabaikan olehnya.“Pertama, meski secara hukum pernikahan ini sah, kita akan tidur di kamar yang berbeda. Aku akan tidur di kamar utama dan kau di kamar tamu.” Arjuna mengambil jeda. “Kedua, dilarang mencampuri privasi masing-masing. Ketiga, setiap akhir pekan kita berusaha untuk makan malam bersama Nenek. Keempa
Pagi itu Arjuna menemui Nyonya Nirwasita di kediamannya. Jam sibuk kerja kini sudah tak dihiraukan olehnya sejak terlibat dengan Anjani. Si pekerja keras yang ambisius itu kini menjadi si pria yang hanya memikirkan cara agar menguasai semua tahta kerajaan keluarganya, Barathaland Group. “Ada apa denganmu, Sayang? Kau terlihat tidak bersemangat?” Nyonya Nirwasita menghampiri cucunya yang tengah bersandar di sofa. Wajahnya terlihat kusut dan keningnya mengkerut. Sejak bertengkar dengan Anjani kemarin, ia memutuskan untuk pergi. “Nek, apa kau marah jika aku jujur padamu?”Alis Nyonya Nirwasita menyatu. Tatapan matanya, menghunus Arjuna dengan tajam. “Tentang apa?” Arjuna menoleh. Ia memandang neneknya dengan wajah ragu. Sejujurnya, tentang pernikahan sipil itu, ia mengambil langkah yang terlalu jauh. “Aku dan Anjani—” Arjuna menggantungkan ucapannya. Bingung harus memulai darimana, Arjuna tak mampu melanjutkan ucapannya.“Ada apa dengan kalian?” Wajah cemas tergambar dari raut sang ne
Senja berganti malam. Arjuna terdiam di kursi kekuasaan ditengah gelap gulitanya ruangan. Hanya ada sinar rembulan yang menembus dari kaca ruangan tersebut. Berkali-kali ia menghela nafas sambil memikirkan apa yang terjadi. Ia berpikir, dulu hidupnya tentram dan damai. Namun, saat ini kehidupannya berubah 360 derajat. Keterlibatan Anjani dalam perebutan tahta berbuah malapetaka. Bukan ia tak tahu konsekuensinya dan bukan pula ia ingin menyalahkan keadaan, namun ia hanya tak memikirkan lebih jauh tentang rencananya. Arjuna merasa bodoh. Tak lama, derap langkah kaki membuyarkan lamunannya. Arjuna mendongak. Ia melihat sosok gadis menggelengkan kepala sambil mengejeknya. “Kau baik-baik saja, Tuan?” tanya gadis itu, tertawa tipis. Ia menatap tajam lalu membuang wajahnya. “Jika saja kau lebih tanggap, mungkin semua tak akan seheboh ini,” cicit Arjuna yang masih kesal. Lagi-lagi kesalahan dilimpahkan pada Naomi, Sekretaris perusahaannya. Setahu Arjuna, Naomi pribadi yang bisa menger
“Jadi apa rencana kalian selanjutnya?”Nyonya Nirwasita bergantian memandang Anjani dan Arjuna yang tengah menikmati makan malam. Mereka saling membisu di tengah meja itu. Arjuna melirik Anjani yang masih terus mengunyah. Meski sudah berbaikan, pria itu merasa Anjani masih bersikap dingin terhadapnya. “Arjuna, Anjani, kalian mendengarkan, Nenek?” Sekali lagi, Nyonya Nirwasita memastikan dan disaat itu pula keduanya menoleh.“Ya, Nek?” Lantas mereka saling memandang, tak disangka mereka bisa sekompak itu. Nenek pun terkekeh hingga membuat keduanya tersipu malu. “Tentang kabar berita itu ... bukankah lebih baik jika kita adakan pesta pernikahan?”Seketika Anjani tersedak. Mukanya memerah karena menahan makanan yang hampir menyumbat saluran nafasnya. Ia pun terbatuk. Arjuna yang duduk bersebelahan segera memberikan air minum, menuntun gadis itu lalu mengusap punggungnya. “Kau baik-baik saja?” tanya Arjuna dan Anjani hanya mengangguk. “Rasanya terlalu terburu-buru, Nek.” Arjuna menge
Malam itu, gemerlap bintang berkelip diatas langit, seolah bersorak atas kebahagiaan di sana, bulan yang terlihat bulat sempurna pun kontan menyinari pelaminan. Kini para tamu undangan silih berganti berdatangan, memasuki area lahan berukuran satu hektar tersebut. Di sekelilingnya telah terdapat beberapa media yang akan meliput. Pesta pernikahan yang diadakan di kediaman Nyonya Nirwasita, bersifat semi intimate, di mana hanya dihadiri beberapa rekan bisnis, keluarga inti, dan beberapa awak media. Lahan taman yang lebih terlihat seperti lapangan golf tersebut telah didekorasi dengan konsep rustic romantic. Pelataran beige sepanjang tiga meter membentang jalan dihiasi standing flower menuju pelaminan. Barisan kursi dan meja panjang telah tertata rapih di sisi kanan kiri pelataran tersebut. Beberapa orang yang sudah hadir telah memenuhi kursi tamu yang telah disesuaikan. Mereka siap menyambut kedatangan mempelai malam itu. Sambutan tepuk tangan menggema diiringi musik romantis yang berp
Suasana pagi tercipta begitu hangat, Nyonya Nirwasita tak henti-hentinya mengulas senyum. Kebahagiaannya kini terpenuhi, seorang cucu menantu yang menyayanginya sepenuh hati. Kala itu, matahari menyinari ruang makan yang berada di dekat kolam, pintu kaca yang terbuka membiarkan angin alam memberikan kesejukan di antara mereka. Anjani masih bergeming sambil menghabiskan sarapannya, sedangkan Arjuna sesekali melirik gadis tersebut. Ada yang berbeda dari gadisnya, wajah itu terlihat pucat dan sembab. “Kau baik-baik saja, Anjani?” Seolah tahu apa yang dipikirkan oleh Arjuna, Nyonya Nirwasita menelan keheningan. Wanita itu memandang Anjani intens, menatap mata yang tak berani memandangnya. “Kau sakit?” Sejak tadi Anjani masih belum menjawab pertanyaan sang nenek, pikirannya entah ke mana. Sesungguhnya ia merasa sangat malu, perasaannya berkecamuk atas kebohongan-kebohongan yang telah dilakukan. Hatinya tak mampu mengelabui wanita yang terlampau baik terhadapnya, serta tak mampu membohon