Share

Bab 2. Pilihan Sulit

last update Last Updated: 2025-01-01 21:02:47

Di dalam kamar, Clara duduk dengan anggun di ranjang tempat tidur, sambil memainkan ponsel di tangannya. Bagas, yang sejak tadi berada di ruang tamu tiba-tiba masuk ke dalam kamar, ada ketegangan yang mengendap di udara. Mata Clara tetap terfokus pada ponselnya yang menampilkan beberapa pesan dari rekan bisnis, seolah ia tidak ingin memikirkan permasalahan yang belum selesai dengan Bagas.

Clara meletakkan ponselnya di atas meja kecil yang ada di samping ranjang, memandang Bagas dengan mata yang tenang. Namun, penuh makna. "Aku harap kita bisa menyelesaikan semuanya dengan kepala dingin, Mas. Aku nggak ingin ada perdebatan lagi," ujarnya, meskipun suaranya terdengar lebih seperti permintaan daripada sebuah pernyataan.

Bagas menatap Clara dengan tatapan serius. "Kamu nggak bisa mengharapkan semuanya selesai begitu saja, Clara. Ini bukan masalah kecil. Aku ingin kita berbicara tentang apa yang sebenarnya kamu inginkan, bukan hanya tentang apa yang kamu takuti," jawabnya, meskipun ada rasa keletihan di dalam suaranya.

Clara menarik napas dalam-dalam, lalu menghela napas panjang. "Aku ingin kita bisa terus bersama, Mas. Tapi aku juga nggak bisa mengorbankan semuanya hanya untuk sebuah anak. Aku sudah memilih jalan ini. Kamu harus menerima kenyataan itu."

Bagas menatap Clara dengan serius, nadanya penuh kecemasan dan frustrasi. "Clara, kamu nggak terpikirkan bagaimana jika semua orang tahu tentang ini? Bagaimana jika orang-orang tahu bahwa aku melakukan poligami, dan lebih parahnya lagi, dengan asisten rumah tangga kita  sendiri?"

Clara menatap suaminya dengan tatapan yang tak mudah terbaca. Bagas terus melanjutkan, tidak bisa menahan kegelisahannya. "Kamu pikir ini akan berjalan mulus begitu saja? Mungkin kita bisa mengatur semuanya di sini, di rumah ini, tapi bagaimana dengan pandangan orang luar? Bagaimana dengan keluarga kita, teman-teman kita, bahkan penggemarmu? Apa yang akan mereka pikirkan?"

Clara tetap diam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja diutarakan Bagas. "Aku sudah memikirkan itu, Mas," jawabnya perlahan, "tapi aku nggak bisa membiarkan ketakutan itu menghentikan keputusanku. Aku sudah cukup lama berjuang untuk karirku. Semua yang aku miliki sekarang, aku capai karena aku memutuskan untuk tetap fokus pada diriku sendiri."

Bagas mengerutkan kening, merasa semakin terpojok. "Tapi ini bukan hanya soal karirmu, Clara. Ini soal hubungan kita, soal kepercayaan. Kamu meminta aku untuk menikahi orang lain hanya untuk memenuhi keinginanku memiliki anak dan itu sangat berat, Clara. Enggak hanya untukku, tapi untuk semua orang yang akan terlibat."

Clara menatapnya dengan tatapan yang penuh keyakinan. "Aku hanya memberikan solusi. Kalau kamu ingin anak, ini adalah cara terbaik, menurutku."

Bagas menghela napas panjang, merasakan amarah yang mulai meresap dalam dirinya. "Aku masih nggak bisa menerima itu, Clara. Aku nggak bisa menganggap ini sebagai solusi. Ini bukan hanya tentang mendapatkan anak, ini tentang pengorbanan, kepercayaan, dan apa yang akan terjadi dengan kita setelah semua ini. Kamu benar-benar nggak peduli dengan apa yang bisa terjadi pada hubungan kita, kan?"

Clara mengalihkan pandangannya, mencoba menjaga ketenangannya, meskipun kata-kata Bagas mulai menyentuh titik sensitif dalam dirinya. "Aku peduli, Mas. Tapi aku juga peduli pada diriku sendiri. Aku ingin kita tetap bersama, tapi bukan dengan cara aku melahirkan anak untukmu. Aku sudah memilih jalan ini, dan aku berharap kamu bisa menerima itu."

Bagas terdiam, merasa semakin sulit untuk menemukan jalan tengah. Keputusan Clara membuatnya terjebak dalam dilema besar: cinta dan tanggung jawab sebagai seorang suami atau memenuhi harapan pribadi dan tradisi yang lebih besar.

***

“Selamat malam, Nyonya, Tuan.” Maya tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Clara dan Bagas yang sedang menonton televisi di ruang keluarga. 

“Maya, ada apa? Tumben jam segini kamu belum istirahat?” tanya Bagas yang terlihat terkejut dengan keberadaan Maya. 

“Belum, Tuan. Ada hal ingin saya sampaikan kepada Nyonya dan Tuan,” ucap Maya dengan perasaan gugup. 

Clara menghirup nafas dalam, ia segera berdiri dari tempat duduknya. “Enggak usah basa-basi lagi, cepat katakan dan setelah itu pergi dari sini.” 

Maya yang berdiri di sudut ruangan hanya bisa menunduk, merasa semakin tertekan oleh situasi yang terjadi. Air mata kembali mengalir di pipinya, namun ia tidak berani mengangkat wajah untuk melihat pasangan suami istri itu.

Maya yang masih terisak, akhirnya mengangkat wajahnya dengan penuh keraguan. Napasnya bergetar, dan dengan suara yang lirih, ia berkata, "Baiklah ... Saya setuju, Nyonya. Jika itu memang jalan satu-satunya untuk membantu ayah saya ...."

Ruangan itu seketika hening. Bagas menatap Maya dengan mata membelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Maya, apa yang kamu katakan? Kamu nggak harus melakukan ini!" suaranya penuh emosi, hampir seperti memohon.

Namun, Maya menggelengkan kepala pelan, air matanya terus mengalir. "Tuan, saya nggak punya pilihan lain. Ayah saya adalah segalanya bagi saya. Jika ini yang harus saya lakukan untuk menyelamatkan nyawanya, maka saya akan melakukannya."

Bagas mundur selangkah, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Perasaan campur aduk memenuhi hatinya—rasa kasihan, kemarahan, dan kebingungan semuanya bercampur menjadi satu.

Sementara itu, Clara, yang mendengar jawaban Maya, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan senyuman penuh kemenangan. Ia merasa lega karena rencananya akhirnya berjalan sesuai harapan. "Keputusan yang bijak, Maya," katanya dengan nada dingin namun puas. "Aku tahu kamu akan mengerti bahwa ini adalah solusi terbaik untuk semua pihak."

Maya hanya menunduk, tanpa mampu menatap langsung ke arah Clara atau Bagas. Ia merasa hancur di dalam, tetapi ia menenangkan dirinya bahwa ini adalah pengorbanan yang harus ia lakukan demi ayahnya.

Bagas menatap Clara dengan tatapan tajam yang penuh kebencian. "Kamu senang sekarang, Clara? Kamu berhasil memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan mu sendiri! Dan ingat satu hal Clara, sampai kapanpun aku nggak akan menerima pernikahan ini.” suaranya bergetar dengan emosi.

Clara menatap Bagas dengan tatapan penuh percaya diri. " Baik, nggak masalah. Kamu boleh saja menolak pernikahan ini, tapi asal kamu tahu, Mas. Kamu nggak akan pernah memiliki anak dariku sampai kapanpun, dan jika kamu terus mendesakku. Lebih baik kita cerai daripada aku harus memiliki anak dan kehilangan karirku.” Clara segera meninggalkan ruang keluarga. 

Bagas tidak menjawab. Ia hanya menatap Clara sesaat sebelum akhirnya Clara meninggalkan ruang keluarga dengan langkah percaya diri dan senyum penuh kemenangan. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sebatas Rahim Kedua Tuan CEO    Bab 17. video Bagas

    “Sekarang cepat katakan, darimana kalian pergi?” tanya Clara dengan mata yang terliat menyelidiki. “Aku baru saja mengantar Maya ke rumah sakit, dan kamu tahu Dokter bilang apa?” Bagas menghentikan ucapannya. “Dokter bilang kalau Maya saat ini sedang mengandung, itu berarti sebentar lagi kita akan memiliki anak, Sayang.” Bagas dengan wajah bahagia segera meraih tangan Clara. Kebahagiaan yang di rasakan Bagas justru berbanding terbalik dengan Clara, wajahnya tidak menunjukkan kebahagiaan. Melainkan lebih pada kebencian. Clara langsung menarik kedua tangannya dengan kasar. “Kita,” ucapnya dengan senyum sinis. “Kamu yang menginginkan anak itu, bukan aku.” Jawaban Clara langsung membuat Bagas terdiam, ia tidak menyangka jika Clara yang awalnya ia pikir akan bahagia dengan kehamilan Maya justru menolak berita bahagia tersebut. “Sayang, aku tahu kalau selama ini aku yang menginginkan anak itu, tapi bukankah setelah anak itu lahir aku akan bercerai dengan Maya dan secara tidak langsung

  • Sebatas Rahim Kedua Tuan CEO    Bab 16. Kebersamaan

    “Jam segini makanan belum juga siap?” ucap Clara saat sudah berdiri di meja makan. Clara melirik ke arah jam yang melingkar di tangan kanannya. Terlihat jarum jam menunjukkan pukul delapan pagi. Namun, meja makan masih terlihat begitu rapi tanpa ada makanan yang tersaji. Clara memegang salah satu kursi sambil tangan yang lain menyentuh pinggangnya. Tatapannya terlihat penuh dengan emosi yang sudah siap ia lampiaskan kepada Maya, asisten rumah tangga sekaligus madunya. “Dimana wanita itu, kenapa sampai jam segini masih belum ada sarapan untukku.” Clara segera berjalan ke arah paviliun. Dengan perlahan Clara membuka pintu kamar Maya yang tidak terkunci, terlihat Maya masih terlelap dalam tidurnya. Clara yang sudah tidak dapat menahan emosinya segera berjalan ke arah kamar mandi yang terletak di pojok paviliun. Dengan segera ia mengambil seember air dan membawanya ke kamar Maya. Dengar gerakan cepat Clara langsung menyiramkan air ke arah Maya yang masih tertidur pulas. “Dasar pembant

  • Sebatas Rahim Kedua Tuan CEO    Bab 15.

    “Clara, mau kemana kamu pagi-pagi begini?” tanya Aminah saat melihat Clara akan meninggalkan rumah. “Ibu? Hari ini ada jadwal syuting yang cukup pagi, jadi aku harus ke lokasi lebih awal dari biasanya.” Clara walaupun terlihat tidak nyaman dengan pertanyaan Aminah. Namun, ia masih berusaha untuk menjawab pertanyaan mertuanya itu dengan lembut. “Syuting!” ucap Aminah dengan nada sedikit lebih keras. “Clara … Ibu tahu kamu adalah seorang artis terkenal, tapi kamu nggak bisa melupakan tugas dan tanggung jawabmu sebagai seorang istri untuk Bagas.”“Maksud ibu apa?” tanya Clara sambil menyilangkan tangannya di dada. Aminah dengan tatapan otoriter mulai mendekati Clara yang berdiri tidak jauh darinya. Tatapan Aminah begitu tajam menatap Clara, menantu yang selama ini selalu ia banggkan. “Asal kamu tahu, Clara. Tugas utama seorang istri adalah melahirkan seorang anak dan melayani suaminya di rumah.” 

  • Sebatas Rahim Kedua Tuan CEO    Bab 14. Malam Panas

    Maya yang tertidur pulas di ranjang kecilnya langsung terbangun dengan nafas terengah saat mendengar pintu kamarnya dibuka dengan keras. Matanya yang masih setengah mengantuk menatap ke arah pintu, dan ia terkejut melihat Bagas berdiri di sana dengan ekspresi wajah tegang."Tuan... ada apa?" tanya Maya gugup sambil mencoba bangkit dari tempat tidur.Bagas berjalan masuk, menutup pintu di belakangnya dengan sedikit keras. Ia menatap Maya tajam, membuat wanita itu semakin merasa kecil dihadapannya.Maya terkejut saat tangan Bagas dengan cepat meraih tangannya dan menariknya hingga tubuhnya terjatuh dalam pelukan pria itu. Napasnya memburu, matanya melebar menatap kosong ke arah bahu Bagas yang kini memeluknya erat. Ia terlalu bingung untuk berkata apa-apa."Tuan... apa yang Anda lakukan?" tanya Maya dengan suara gemetar, mencoba menjauh, namun pelukan Bagas justru semakin erat.Bagas menghel

  • Sebatas Rahim Kedua Tuan CEO    Bab 13. Keputusan

    Saat makan malam berlangsung, suasana di meja makan terasa sedikit canggung. Clara duduk di sebelah Bagas, dengan ekspresi tenang namun penuh kewaspadaan. Aminah duduk di seberang mereka, memperhatikan kedua anak itu dengan tatapan lembut tapi penuh rasa ingin tahu.Bagas berusaha menjaga suasana tetap ringan. Ia menyendokkan makanan ke piringnya sambil tersenyum kecil. "Ibu, bagaimana masakan Maya hari ini? Tadi dia bilang mencoba resep baru."Aminah menatap piringnya sejenak sebelum mengangguk. "Masakan Maya selalu enak. Tapi, Bagas, aku merasa ada sesuatu yang berbeda di rumah ini akhir-akhir ini."Clara yang tengah menyuap makanan tiba-tiba berhenti. Ia meletakkan sendoknya dengan perlahan, lalu menatap Aminah dengan senyum tipis. "Oh, Ibu, apa maksudnya? Maksud Ibu suasananya berbeda seperti apa?" tanyanya dengan nada lembut, meskipun sorot matanya penuh arti.Aminah tersenyum kecil. "Entahlah, mungkin

  • Sebatas Rahim Kedua Tuan CEO    Bab 12. Terbongkar

    Clara membuka pintu rumah dengan keras dan langsung masuk ke dalam, suaranya menggema di seluruh ruangan.“Mas! Mas Bagas, di mana kamu?!” serunya dengan nada tinggi, membuat suasana rumah yang semula tenang berubah tegang.Di belakang Clara, Maya berjalan dengan kepala tertunduk. Air mata mengalir di pipinya, tapi ia berusaha menahan isakanya agar tidak terdengar. Tangannya gemetar, memegang sudut jilbabnya, mencoba menenangkan diri.Clara menoleh sekilas ke arah Maya, wajahnya penuh dengan emosi. “Jangan hanya diam di situ, Maya! Kau ikut ke sini.”Clara mendengus kesal, lalu kembali berteriak, “Mas Bagas! Keluar sekarang juga!”Dari arah tangga, langkah kaki terdengar mendekat. Bagas muncul dengan wajah kebingungan, melihat Clara berdiri dengan tatapan penuh amarah, sementara Maya di belakangnya terlihat menangis.“Ada apa ini, Sayang?” tanya Bagas dengan nada datar,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status