Beberapa hari berlalu, Clara, Maya dan Bagas sudah berkumpul di ruang kerja. Clara perlahan meletakkan sebuah map di atas meja, membuka isinya, dan mengeluarkan beberapa lembar kertas. Dengan tatapan tenang namun penuh otoritas, ia mendorong dokumen itu ke arah Maya.
Maya menatap surat itu dengan bingung. Jemarinya yang gemetar mencoba menyentuh kertas itu, tetapi ia ragu untuk membacanya. "Apa ini, Nyonya?" tanyanya dengan suara pelan. Clara menyandarkan tubuhnya ke kursi, menyilangkan tangan di depan dada. "Ini surat perjanjian. Surat ini berisi syarat dan ketentuan yang harus kamu setujui sebelum menikah dengan Mas Bagas. Aku ingin memastikan bahwa kamu paham betul posisimu setelah menjadi istri kedua." Bagas menatap Clara dengan tatapan tajam. "Clara, ini sudah keterlaluan! Kamu nggak bisa memperlakukan Maya seperti ini. Dia sudah setuju dengan rencanamu, kenapa harus ada perjanjian segala?" suaranya penuh dengan kemarahan yang tertahan. Clara mengangkat alis, tetap tenang menghadapi amarah suaminya. "Mas, ini demi kepentingan semua pihak. Aku hanya ingin melindungi apa yang sudah kita miliki, baik secara hukum maupun moral. Lagipula, ini juga demi menjaga kehidupan Maya tetap stabil setelah menikah denganmu." Maya, yang merasa terjepit di antara dua emosi yang berbeda, memberanikan diri untuk bertanya, "Apa saja isi perjanjian ini, Nyonya?" Clara tersenyum tipis, lalu mulai menjelaskan. "Pertama, kamu nggak akan memiliki hak atas harta Mas Bagas atau perusahaan kami. Semua harta akan tetap menjadi milik kami berdua, dan kamu hanya akan menerima tunjangan bulanan yang cukup untuk kebutuhanmu." Ia melanjutkan, "Kedua, pernikahanmu dengan Mas Bagas nggak akan merubah statusmu di rumah ini sebagai pembantu, jadi kamu tetap mempunyai kewajiban dan tugas yang sama sebagai seorang pembantu.” Maya semakin menunduk, hatinya terasa berat mendengar setiap poin yang disebutkan Clara. Namun, ia tidak berani menyela. "Dan terakhir," Clara menatap Maya dengan tajam, "Kamu hanya akan menjadi ibu biologis dari anak yang lahir dari pernikahan ini. Segala hak asuh dan keputusan atas anak itu akan sepenuhnya berada di tanganku dan Bagas. Dan setelah anak itu lahir kalian berdua harus segera berpisah.” Bagas mengepalkan tangannya, tidak bisa lagi menahan amarah. "Clara! Apa yang kamu lakukan ini nggak manusiawi. Maya bukan alat atau properti yang bisa kamu atur sesuka hatimu!" Namun, Clara tetap tenang. "Mas, ini adalah bagian dari kesepakatan. Jika Maya setuju, maka semuanya akan berjalan lancar. Kalau nggak, kita bisa mencari cara lain." Maya menatap surat itu dengan air mata yang mulai mengalir. Ia tahu bahwa setiap kata dalam perjanjian itu mempertegas posisinya—seorang pengorbanan untuk impian Clara dan Bagas, bukan seseorang yang benar-benar diinginkan. Dengan suara bergetar, Maya akhirnya berkata, "Saya akan tanda tangan, Nyonya. Saya hanya ingin ayah saya sembuh, itu saja." Bagas menutup matanya, hatinya terasa berat mendengar jawaban Maya. Sementara itu, Clara tersenyum puas. "Bagus. Kita akan menyelesaikan semuanya secepat mungkin," ujarnya sambil mengambil pena dan menyerahkannya kepada Maya. Bagas terdiam di tempatnya, memandang kosong ke arah surat perjanjian yang baru saja ditandatanganinya. Ia tahu, sekeras apa pun ia ingin melawan, tidak ada jalan baginya untuk menolak kehendak Clara. Wanita itu bukan hanya istrinya, tetapi juga penopang hidupnya sejak awal mereka bertemu. Tanpa Clara, ia tahu ia mungkin masih menjadi pemuda miskin yang berjuang di kota besar. Ia datang dari sebuah desa kecil, merantau ke kota dengan harapan bisa mengubah nasib. Namun, hidup di kota tidaklah semudah yang ia bayangkan. Pekerjaan serabutan, kesulitan ekonomi, dan kesepian menjadi bagian dari kesehariannya. Hingga suatu hari, Dewi keberuntungan seolah tersenyum padanya. Perjalanannya ke kota yang penuh perjuangan itu mempertemukannya dengan Clara secara tak sengaja. Saat itu, Clara adalah seorang publik figur yang sedang menikmati waktu santainya di sebuah kafe kecil. Bagas, yang bekerja sebagai pelayan di kafe itu, tidak sengaja menjatuhkan nampan berisi kopi di dekat meja Clara. Bukannya marah, Clara justru menertawakan kejadian itu. Bagas yang panik meminta maaf berulang kali, tetapi Clara hanya tersenyum ramah. "Santai saja," katanya saat itu, sambil mengulurkan uang sebagai ganti kopi yang tumpah. Percakapan sederhana itu menjadi awal dari hubungan mereka. Clara, yang saat itu sedang mencari asisten pribadi, melihat potensi dalam sikap sopan dan kerja keras Bagas. Ia menawarkan pekerjaan yang lebih baik, dan tanpa berpikir panjang, Bagas menerimanya. Namun, hubungan mereka berkembang lebih dari sekadar hubungan profesional. Clara, dengan pesonanya yang memikat dan ambisinya yang besar, mampu membuat Bagas jatuh hati. Di sisi lain, Clara merasa menemukan seseorang yang bisa ia percaya, seseorang yang berbeda dari pria-pria lain yang sering mendekatinya demi ketenaran atau uang. Tidak butuh waktu lama bagi Clara untuk memutuskan bahwa Bagas adalah pria yang tepat untuk menjadi pendamping hidupnya. Mereka menikah dalam waktu singkat, dan kehidupan Bagas berubah drastis. Dari seorang pemuda miskin, ia menjadi suami seorang wanita sukses, sekaligus CEO dari perusahaan yang dibangun bersama Clara. Namun, di balik semua kemewahan dan kekuasaan yang kini ia miliki, Bagas tahu bahwa semua itu tidak akan ada tanpa Clara. Inilah yang membuatnya sulit melawan kehendak istrinya, bahkan ketika keinginannya sangat bertentangan dengan prinsip hidupnya. Bagas mencintai Clara, tetapi ia juga merasa terikat oleh hutang budi yang tidak pernah selesai. Malam itu, di ruang kerja, kenangan akan masa lalunya bersama Clara semakin menambah beban di hatinya. Bagas tahu, apa yang sedang terjadi tidak akan pernah berakhir baik, tetapi ia juga tidak memiliki kekuatan untuk menolak. Di dalam hatinya, ia hanya bisa berharap bahwa suatu hari, segalanya akan berubah menjadi lebih baik, entah bagaimana caranya. Clara, dengan sikap percaya diri, segera bangkit dari tempat duduknya. Ia merapikan gaunnya dengan anggun, lalu melangkah menuju pintu. Sebelum meninggalkan ruangan, ia berhenti sejenak, menoleh ke arah Maya dan Bagas dengan senyum tipis di wajahnya. "Pernikahan kalian akan dilangsungkan tiga hari lagi," ucap Clara dengan nada tenang namun penuh penegasan. "Aku harap kalian bisa mempersiapkan diri dengan baik. Aku nggak mau ada masalah di hari itu." Maya hanya menunduk, tanpa berani menatap langsung ke arah Clara. Bagas, di sisi lain, mengepalkan tangan dengan kuat, namun tetap diam. Clara melanjutkan, "Mas, aku akan mengurus semua keperluan pernikahan ini. Kamu hanya perlu hadir dan menjalani peranmu. Maya ...." Clara menatap tajam Maya, "Mulai besok, kamu akan dibantu untuk memilih pakaian dan semua kebutuhanmu. Aku ingin semuanya sempurna." Setelah mengatakan itu, Clara melangkah keluar tanpa menunggu jawaban. Langkah kakinya bergema di lorong, meninggalkan suasana dingin di dalam ruang kerja.“Sekarang cepat katakan, darimana kalian pergi?” tanya Clara dengan mata yang terliat menyelidiki. “Aku baru saja mengantar Maya ke rumah sakit, dan kamu tahu Dokter bilang apa?” Bagas menghentikan ucapannya. “Dokter bilang kalau Maya saat ini sedang mengandung, itu berarti sebentar lagi kita akan memiliki anak, Sayang.” Bagas dengan wajah bahagia segera meraih tangan Clara. Kebahagiaan yang di rasakan Bagas justru berbanding terbalik dengan Clara, wajahnya tidak menunjukkan kebahagiaan. Melainkan lebih pada kebencian. Clara langsung menarik kedua tangannya dengan kasar. “Kita,” ucapnya dengan senyum sinis. “Kamu yang menginginkan anak itu, bukan aku.” Jawaban Clara langsung membuat Bagas terdiam, ia tidak menyangka jika Clara yang awalnya ia pikir akan bahagia dengan kehamilan Maya justru menolak berita bahagia tersebut. “Sayang, aku tahu kalau selama ini aku yang menginginkan anak itu, tapi bukankah setelah anak itu lahir aku akan bercerai dengan Maya dan secara tidak langsung
“Jam segini makanan belum juga siap?” ucap Clara saat sudah berdiri di meja makan. Clara melirik ke arah jam yang melingkar di tangan kanannya. Terlihat jarum jam menunjukkan pukul delapan pagi. Namun, meja makan masih terlihat begitu rapi tanpa ada makanan yang tersaji. Clara memegang salah satu kursi sambil tangan yang lain menyentuh pinggangnya. Tatapannya terlihat penuh dengan emosi yang sudah siap ia lampiaskan kepada Maya, asisten rumah tangga sekaligus madunya. “Dimana wanita itu, kenapa sampai jam segini masih belum ada sarapan untukku.” Clara segera berjalan ke arah paviliun. Dengan perlahan Clara membuka pintu kamar Maya yang tidak terkunci, terlihat Maya masih terlelap dalam tidurnya. Clara yang sudah tidak dapat menahan emosinya segera berjalan ke arah kamar mandi yang terletak di pojok paviliun. Dengan segera ia mengambil seember air dan membawanya ke kamar Maya. Dengar gerakan cepat Clara langsung menyiramkan air ke arah Maya yang masih tertidur pulas. “Dasar pembant
“Clara, mau kemana kamu pagi-pagi begini?” tanya Aminah saat melihat Clara akan meninggalkan rumah. “Ibu? Hari ini ada jadwal syuting yang cukup pagi, jadi aku harus ke lokasi lebih awal dari biasanya.” Clara walaupun terlihat tidak nyaman dengan pertanyaan Aminah. Namun, ia masih berusaha untuk menjawab pertanyaan mertuanya itu dengan lembut. “Syuting!” ucap Aminah dengan nada sedikit lebih keras. “Clara … Ibu tahu kamu adalah seorang artis terkenal, tapi kamu nggak bisa melupakan tugas dan tanggung jawabmu sebagai seorang istri untuk Bagas.”“Maksud ibu apa?” tanya Clara sambil menyilangkan tangannya di dada. Aminah dengan tatapan otoriter mulai mendekati Clara yang berdiri tidak jauh darinya. Tatapan Aminah begitu tajam menatap Clara, menantu yang selama ini selalu ia banggkan. “Asal kamu tahu, Clara. Tugas utama seorang istri adalah melahirkan seorang anak dan melayani suaminya di rumah.”
Maya yang tertidur pulas di ranjang kecilnya langsung terbangun dengan nafas terengah saat mendengar pintu kamarnya dibuka dengan keras. Matanya yang masih setengah mengantuk menatap ke arah pintu, dan ia terkejut melihat Bagas berdiri di sana dengan ekspresi wajah tegang."Tuan... ada apa?" tanya Maya gugup sambil mencoba bangkit dari tempat tidur.Bagas berjalan masuk, menutup pintu di belakangnya dengan sedikit keras. Ia menatap Maya tajam, membuat wanita itu semakin merasa kecil dihadapannya.Maya terkejut saat tangan Bagas dengan cepat meraih tangannya dan menariknya hingga tubuhnya terjatuh dalam pelukan pria itu. Napasnya memburu, matanya melebar menatap kosong ke arah bahu Bagas yang kini memeluknya erat. Ia terlalu bingung untuk berkata apa-apa."Tuan... apa yang Anda lakukan?" tanya Maya dengan suara gemetar, mencoba menjauh, namun pelukan Bagas justru semakin erat.Bagas menghel
Saat makan malam berlangsung, suasana di meja makan terasa sedikit canggung. Clara duduk di sebelah Bagas, dengan ekspresi tenang namun penuh kewaspadaan. Aminah duduk di seberang mereka, memperhatikan kedua anak itu dengan tatapan lembut tapi penuh rasa ingin tahu.Bagas berusaha menjaga suasana tetap ringan. Ia menyendokkan makanan ke piringnya sambil tersenyum kecil. "Ibu, bagaimana masakan Maya hari ini? Tadi dia bilang mencoba resep baru."Aminah menatap piringnya sejenak sebelum mengangguk. "Masakan Maya selalu enak. Tapi, Bagas, aku merasa ada sesuatu yang berbeda di rumah ini akhir-akhir ini."Clara yang tengah menyuap makanan tiba-tiba berhenti. Ia meletakkan sendoknya dengan perlahan, lalu menatap Aminah dengan senyum tipis. "Oh, Ibu, apa maksudnya? Maksud Ibu suasananya berbeda seperti apa?" tanyanya dengan nada lembut, meskipun sorot matanya penuh arti.Aminah tersenyum kecil. "Entahlah, mungkin
Clara membuka pintu rumah dengan keras dan langsung masuk ke dalam, suaranya menggema di seluruh ruangan.“Mas! Mas Bagas, di mana kamu?!” serunya dengan nada tinggi, membuat suasana rumah yang semula tenang berubah tegang.Di belakang Clara, Maya berjalan dengan kepala tertunduk. Air mata mengalir di pipinya, tapi ia berusaha menahan isakanya agar tidak terdengar. Tangannya gemetar, memegang sudut jilbabnya, mencoba menenangkan diri.Clara menoleh sekilas ke arah Maya, wajahnya penuh dengan emosi. “Jangan hanya diam di situ, Maya! Kau ikut ke sini.”Clara mendengus kesal, lalu kembali berteriak, “Mas Bagas! Keluar sekarang juga!”Dari arah tangga, langkah kaki terdengar mendekat. Bagas muncul dengan wajah kebingungan, melihat Clara berdiri dengan tatapan penuh amarah, sementara Maya di belakangnya terlihat menangis.“Ada apa ini, Sayang?” tanya Bagas dengan nada datar,