Share

Sebatas Rahim Sewaan Tuan CEO
Sebatas Rahim Sewaan Tuan CEO
Penulis: Silvania

Bab 1. Terpaksa

Penulis: Silvania
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-11 10:24:50

“Aku sudah membelimu, jadi lahirkan anak laki-laki untukku.”

Diangkatnya dagu Emily dan ditatapnya mata sayu yang tampak berkaca-kaca tersebut.

Dengan sekali sentak Arnold merobek gaun tidur tipis yang dikenakan Emily.

Sorot matanya berkabut tatkala melihat tubuh polos tanpa cela di hadapannya. Kulit Emily yang putih seputih susu menggugah Arnold untuk melabuhkan jemarinya, halus dan hangat hingga membuat Arnold tak kuasa membendung hasratnya yang menggelora.

Ditelannya salivanya, atensi Arnold kini sepenuhnya tercurah pada keindahan tubuh mungil Emily yang memiliki lekuk yang sangat indah. Ukuran dadanya yang di atas rata-rata membuat keindahan itu semakin sempurna. Ditambah lagi hidungnya lancip dengan bibir penuh berwarna pink menggoda.

Arnold akhirnya mengungkung tubuh Emily di bawahnya. Seringaian terbit di wajah tampannya.

"Buka pahamu!" titahnya dengan mata berkabut.

Emily masih bergeming, dia menutup rapat kedua kakinya dan menyilangkan kedua tangannya di dadanya. Semua yang dikenakannya sudah terlepas akibat perbuatan Arnold, laki-laki yang baru saja menikahinya tadi siang.

Emily baru saja menjadi madu dari Arnold Edgar William. CEO Maurer Corp itu adalah pemimpin perusahaan kontraktor terbesar di London. Wajah tampannya selalu menghiasi cover majalah bisnis dan namanya berada di urutan pertama sebagai CEO paling berpengaruh di Inggris.

Sayangnya, ayah Emily membuat kesalahan fatal pada proyek pembangunan jembatan yang ditangani Arnold, hingga mengalami kerugian yang besar. Pria tua kesayangan Emily itu terancam dipenjarakan kalau tidak bisa mengganti rugi. Emily jelas putus asa karena ayahnya pasti masuk penjara.

Namun saat mereka menemui jalan buntu, Nyonya Ruby, ibu dari Arnold yang mengetahui masalah tersebut, menawarkan sejumlah uang kepada orang tua Emily dengan syarat menyerahkan putrinya untuk menjadi istri kedua dari Arnold.

Bukan tanpa alasan, Arnold sendiri sudah memiliki istri tapi belum kunjung mempunyai keturunan, sedangkan Arnold adalah anak semata wayang.

Nyonya Ruby yang sudah tidak sabar ingin menimang cucu, menawarkan Emily kepada Arnold untuk menjadi istri keduanya, hanya untuk melahirkan pewaris.

Karena cintanya yang begitu besar kepada Sarah, istrinya, Arnold menolak keras tawaran ibunya. Namun, sang ibu mengancam akan menghapusnya dari daftar waris apabila tidak mau menikahi Emily.

"Berhenti menangis!"

Arnold mencengkeram rahang rapuh Emily dan melumat bibirnya.

Arnold sudah dikuasai hasratnya sejak melihat Emily yang keluar dari kamar mandi dengan gaun tidur tipis. Berkali-kali Arnold menelan salivanya, tetapi setelah tubuh polosnya berhasil bersentuhan dengan Emily, kelaki-lakiannya semakin memberontak. Arnold seperti dibutakan dengan gairahnya.

"Bukankah kau sudah biasa melakukannya, hm?" Cibirnya setelah melepaskan tautan bibirnya.

Arnold menarik kedua tangan Emily lalu menahannya di atas kepala, Emily tidak berontak. Arnold adalah suaminya dan Emily mencintainya jauh sebelum pernikahan dengan kesepakatan ini terjadi. Namun hinaan tidak berdasar yang Arnold ucapkan sungguh melukai perasaannya.

Emily meringis menahan sakit ketika Arnold melesakkan inti tubuhnya di bawah sana. Arnold yang merasa kesulitan menghentikan sesaat aktivitasnya. Ditatapnya wajah Emily yang basah karena keringat dan air mata.

"Pertama kali?" tanyanya dengan suara seraknya.

Emily tidak menjawab, Arnold pasti tahu tanpa harus bertanya.

Seringaian kembali terbit di wajahnya. Arnold mengentak keras, hingga membuat Emily meloloskan teriakan dari bibir mungilnya.

Dengan cepat Arnold menyambar bibir Emily untuk membungkam suaranya.

Setelah puas dengan bibirnya, Arnold mengayunkan tubuhnya bergerak cepat.

“Arnold, bisakah kau--”

Emily ingin meminta keringanan, setidaknya memohon agar Arnold melakukannya dengan perlahan. Tetapi, Emily tak punya kesempatan untuk mengutarakannya karena Arnold telah menguasai tubuhnya.

Semakin Emily kesakitan, semakin liar gerakannya. Ini adalah harga yang pantas untuk uang yang mereka berikan kepada orang tua Emily.

Arnold mempercepat temponya saat merasakan gelombang kenikmatan itu siap meledak. Bibirnya bergerak lincah di puncak dada Emily, menggigit dan merematnya kuat.

“Arnold, aku belum pernah melakukan ini. Kumohon--”

Alih-alih menjawab, Arnold dengan napas memburunya terus memacu gerakannya.

Emily kembali meringis, tidak ada sedikit pun kelembutan yang didapatnya dari Arnold. Tapi di bagian terdalam dari sudut hatinya, Emily tidak mempermasalahkan perlakuan kasar Arnold padanya, Emily mencintainya dan Emily bahagia bisa menikah dengan laki-laki pujaan hatinya walaupun hanya sebagai istri kedua.

Hingga saat pelepasan itu didapatkan Arnold, dijatuhkannya dirinya di samping Emily, sesaat Arnold tersenyum puas. Emily terasa berbeda, mungkin karena dia masih perawan. Tapi itu tidak ada artinya di mata Arnold. Emily tetaplah wanita murahan yang menjual tubuhnya demi uang.

"Tidak sia-sia aku membayarmu mahal, kalau saja ibuku tidak mengancamku, aku tidak akan pernah mau menyentuhmu!"

Arnold menarik tubuhnya dan melenggang ke dalam kamar mandi, meninggalkan Emily yang terisak menahan perih. Bukan hanya tubuhnya yang merasakan sakit akibat perbuatan kasar Arnold, tapi hatinya jauh lebih sakit akibat hinaan dari laki-laki yang dicintainya sepenuh hati tersebut.

Keesokan paginya.

Emily masih meringkuk di ranjangnya. Tubuhnya sangat lelah, terutama bagian intinya. Semalam, Arnold benar-benar tidak melepaskannya. Arnold terus melakukannya sampai pagi, dan membuatnya sangat kelelahan.

Dengan mata mengantuk, Emily menarik selimut menutupi tubuhnya. Dia bisa mendengar langkah kaki Arnold keluar dari kamar mandi. Aroma sabun menguar, tetapi anehnya itu membuat Emily semakin mengantuk dan matanya terpejam.

Ketika dia membuka matanya lagi, Emily bisa mendengar suara pintu terbuka. Mungkin Arnold sudah meninggalkan ruangan, tapi Emily tak bisa berbuat apa-apa, ia tak berdaya, dan ditutupnya matanya kembali sambil mengencangkan selimut.

Tak berselang lama, selimut itu tersentak. Emily menggigil karena tubuh polosnya itu tidak tertutupi oleh apa pun.

Sebelum dia bisa membuka matanya, seseorang berkata, “Enak sekali pagi-pagi masih tidur nyenyak!”

Sontak Emily membuka matanya, tubuhnya menegang.

Sampai akhirnya.

“Aakkhh…” teriak Emily terkesiap. Air dingin menerpa tubuhnya, membasahi tubuh polosnya hingga basah kuyup!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sebatas Rahim Sewaan Tuan CEO   Bab 262. Cheesecake

    "Aku tidak mempunyai kesan apa pun, Robert," desah Arnold pelan, menatap kosong ke arah lantai kayu yang mengilap di bawah kakinya."Saya mengerti, Tuan. Dan pastinya itu sangat berat," jawab Robert dengan nada empati yang tulus.Arnold menyerahkan kembali ponsel milik Robert, lalu menekan pelipisnya. Kepalanya mulai berdenyut hebat, terlebih saat ia memaksa otaknya untuk menggali memori yang hilang entah ke mana. Seperti menggenggam pasir, semakin erat ia mencoba menggenggamnya, semakin cepat semuanya menghilang."Oh iya, kemana orang tuaku? Aku belum bertemu dengan mereka," tanyanya tiba-tiba, mencoba mengalihkan pikirannya dari rasa frustasi.Pertanyaan itu menyisakan kekosongan lain di hatinya. Sejak sadar dan pulang ke rumah, tidak ada satu pun wajah orang tua yang muncul di hadapannya. Aneh, pikirnya. Seharusnya mereka adalah orang pertama yang datang menjenguk."Nyonya Ruby ke New York, sedangkan Tuan William ada di rumah. Beliau sakit," jawab Robert hati-hati."Ruby dan Willia

  • Sebatas Rahim Sewaan Tuan CEO   Bab 261. Sebahagia Itukah?

    Sesampainya di rumah, Arnold langsung disambut oleh suasana yang lebih tenang dari biasanya. Langkah kakinya terhenti saat melihat sosok pria berdiri di depan pintu masuk, mengenakan jas rapi, wajahnya menyiratkan kelegaan luar biasa. Ternyata Robert sudah menunggunya. Arnold mengerutkan dahi sejenak. Wajah itu tampak familiar, tapi tak membangkitkan emosi atau ingatan apa pun. Meski begitu, dia memutuskan untuk berpura-pura bersikap seperti biasa. Tidak ingin memperlihatkan kebingungannya. "Tuan," sapa Robert dengan suara parau, lalu tanpa ragu langsung memeluk Arnold erat. Pelukan itu begitu emosional. Robert bahkan tak peduli dengan tatapan para penjaga rumah yang menyaksikan adegan itu. Matanya mulai basah, dan suaranya bergetar menahan rasa haru. Arnold membalas seadanya, menepuk pelan pundak Robert—sebuah gestur sopan yang lebih bersifat basa-basi. Sama seperti pada Emily, ia tidak merasakan kedekatan apa pun terhadap Robert. Tak ada kenangan yang membekas. Hanya kehampaan

  • Sebatas Rahim Sewaan Tuan CEO   Bab 260. Mencoba Mengembalikan Memori

    Emily mendengus pelan, menahan gejolak amarah yang sudah sampai di ubun-ubun. "Wanita tidak tahu malu," ujarnya tajam, menatap Giselle penuh kebencian. "Kalau ibu mertuaku tahu apa yang kau lakukan, dia pasti akan sangat marah!" Giselle mendengus sinis. Matanya menyipit, ekspresi congkak muncul di wajahnya yang mulai kehilangan kendali. "Kau perebut kebahagiaanku dan Arnold. Dasar wanita sinting tidak tahu ma—" "DIAM!" Suara Arnold menggelegar memecah ketegangan yang membeku di udara. Tubuhnya tegak berdiri dari kursi, ekspresi wajahnya berubah drastis, tak lagi tenang seperti sebelumnya. Matanya yang tadinya menyimpan keraguan, kini dipenuhi amarah membara. "Berani sekali kau menghina istriku!" ucapnya lantang, suaranya seperti petir yang menghantam bumi. Sorot matanya tajam menusuk, membuat Giselle refleks mundur setengah langkah. Emily menunduk, terkejut, namun ada seberkas kehangatan di matanya. Kata 'istriku' itu menggema di dadanya, menguatkan luka yang sebelumnya m

  • Sebatas Rahim Sewaan Tuan CEO   Bab 259. Sedikit Demi Sedikit

    Hening sejenak. Arnold menatap putrinya dengan dalam. Tapi pada akhirnya, dengan berat hati, dia menggeleng. “Belum,” ucapnya pelan. “Hanya… nama Cassie. Itu muncul begitu saja di kepalaku.” Emily mencoba tersenyum, menahan air mata. Bagi perempuan yang hampir kehilangan segalanya, bahkan setitik memori yang muncul dari suaminya adalah hadiah tak ternilai. Arnold mencium kening bayi mungil itu lembut, menahan emosi yang menyeruak. Saat bibirnya menyentuh kulit hangat putrinya, ia merasakan sesuatu—entah apa—yang begitu dalam menyentuh hatinya. “Kapan kalian boleh pulang?” tanyanya, masih menatap Cassie seolah enggan berpisah. “Besok Nyonya boleh pulang, Tuan,” jawab Sally yang berdiri tak jauh dari ranjang. Emily sendiri tampak belum tahu mengenai kepulangan itu. “Bagus,” kata Arnold dengan mantap. “Besok aku akan menjemput kalian.” Kalimat sederhana itu membawa kehangatan yang membungkus seluruh ruangan. Untuk pertama kalinya sejak ia kehilangan ingatannya, Arnold terse

  • Sebatas Rahim Sewaan Tuan CEO   Bab 258. Bolehkah Aku Menggendongnya?

    "Iya benar, Tuan. Apa Tuan ingin bertemu dengannya?" tawar Sally penuh harap. Matanya menatap Arnold dengan antusias yang disembunyikan rapi dalam nada sopan. Ia bisa melihat ada gelombang emosi dalam diri majikannya itu—gelisah, penasaran, dan... mungkin sedikit rindu? Arnold menatap Sally sejenak. Pandangannya tampak jauh, seperti tengah bertarung dengan sesuatu di dalam hatinya. "Aku..." Kalimat itu menggantung. Hening. Bahkan detak jarum jam pun terasa lebih keras dibanding suaranya yang tertahan. Ia menunduk sebentar, menelan kekosongan yang memenuhi benaknya. "Bagaimana, Tuan?" tanya Sally lagi dengan hati-hati, tidak ingin menekan, tapi juga tak kuasa menyembunyikan harapannya. 'Mau, mau, mau…' mohon Sally dalam hati, nyaris menggigit bibirnya agar tidak bersuara. Akhirnya, Arnold menghela napas berat. "Baiklah, bawa aku ke rumah sakit. Aku hanya ingin memastikan bahwa bayi itu milikku atau bukan." Sally hampir melonjak dari tempatnya. Tapi ia hanya mengusap dad

  • Sebatas Rahim Sewaan Tuan CEO   Bab 257. Apa Ini Anakku?

    "Nyonya, beristirahatlah. Besok pagi saya akan pulang ke rumah. Saya akan mencoba berbicara dengan Tuan Arnold. Semoga wanita ular itu tidak ada di dekat Tuan."Dengan lembut, Sally menyelimuti tubuh Emily yang terbaring lemah. Ia memastikan selimut menutup hingga ke bahu majikannya, menjaga kehangatan tubuh yang tampak begitu rapuh itu.Sebelum duduk, Sally menyempatkan diri menengok si kecil di dalam box bayi. Bayi perempuan itu tampak tenang, sesekali menggeliat kecil sambil mengisap jempolnya dalam tidur. Sally tersenyum kecil sebelum akhirnya duduk di sofa yang terletak di antara tempat tidur Emily dan box itu. Ia ingin tetap siaga, menjaga kedua sosok berharga itu."Terima kasih, Sally. Saat ini aku hanya bisa berharap padamu. Sungguh aku menyesal karena menurut saja waktu ibu mertuaku menyuruhku pulang," ucap Emily pelan, matanya mulai terasa berat.Dia memejamkan mata, namun pikirannya tidak bisa langsung tenang. Seandainya saja kemarin dia bersikeras tetap di rumah sakit, mun

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status