Fotonya bersama Emily. Dalam gambar itu, Arnold menyandarkan kepalanya di pundak Emily sembari memeluk pinggang wanita itu dengan begitu lembut, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Senyum tipis di bibirnya, tatapan matanya yang damai, serta kehangatan yang tergambar jelas di raut wajah mereka… semuanya tampak begitu alami. "Kau dipaksa berpose seperti itu oleh Emily. Dia selalu memaksamu mengikuti maunya," ujar Giselle, mencoba terdengar meyakinkan meski nada suaranya menggambarkan kepanikan yang mulai menyusup. Arnold menatapnya dengan mata tajam. Ada riak keraguan yang pelan-pelan muncul di hatinya. "Kalau benar kau adalah wanita yang aku cintai, kemarikan handphone-mu dan perlihatkan foto kita. Pasti ada bukan?" tantangnya. Kalimat itu terdengar seperti ujian terakhir bagi Giselle—dan sekaligus vonis jika dia gagal. Giselle mendadak pucat. Darah seakan mengalir deras dari wajahnya. "Aku... handphone-ku baru. Ini handphone baru dan tidak ada lagi foto kita, Arnold," ujarny
Di kediaman Arnold, Giselle menemani Arnold makan malam. Dia tampak cekatan, berusaha bersikap selayaknya istri yang perhatian. Tangannya lincah mengambilkan makanan dan menyusunnya di piring Arnold dengan senyum yang dibuat manis. "Ini makanan kesukaanmu, sayang," ucapnya sambil menyuapkan satu sendok ayam dengan saus pedas. Namun, alih-alih menikmati, Arnold langsung memuntahkan makanan itu. Raut wajahnya berubah kesal. "PEDAS SEKALI! APA-APAAN INI?" bentaknya tajam. Sifat arogan Arnold kembali lagi, menggantikan pribadi lembut yang selama ini dikenal oleh orang-orang dekatnya sebelum kejadian itu. Setelah setahun menjadi sosok suami penyayang dan sabar, kini amnesia membuat sisi kerasnya kembali muncul. Giselle terdiam sejenak, lalu tersenyum kaku. "Maaf sayang, aku hanya mengetesmu. Aku pikir kau masih ingat makanan kesukaanmu," jawabnya dengan nada canggung. Padahal sebenarnya Giselle tak tahu apa-apa tentang selera Arnold. Ia hanya berspekulasi, mencoba menebak-nebak samb
Sesampainya di rumah, seorang pelayan segera membantu Arnold menuju kamar tamu, sesuai instruksi Giselle. Langkah Arnold lambat, matanya mengamati sekeliling rumah yang tampak megah namun asing baginya. Setiap sudut, setiap lukisan, bahkan aroma ruangan… tidak membangkitkan ingatan apa pun. Seolah ini bukan tempat yang pernah ia huni. Sementara itu, Giselle langsung menuju dapur. Wajahnya tenang, tapi matanya menyapu tajam ke arah para pelayan yang sedang bekerja. Ia memanggil mereka satu per satu, lalu menunduk seolah sedang memberikan arahan biasa, namun nadanya tegas dan mengandung ancaman. “Mulai hari ini, kalian tutup mulut rapat-rapat. Tidak ada yang menyebut-nyebut nama Emily di depan Arnold. Dan kalau dia bertanya soal masa lalunya... jawab saja tidak tahu. Paham?!” Beberapa pelayan saling berpandangan, ragu, namun akhirnya mengangguk. Giselle menyelipkan amplop berisi uang di antara tangan mereka. Nilainya tidak kecil—cukup untuk membungkam loyalitas sementara. Tak hanya
Plak! Emily melayangkan tangannya ke arah Giselle. Kerasnya tamparan itu membekas jelas di pipi perempuan licik tersebut. Suaranya nyaring, membuat semua orang yang ada di lorong rumah sakit itu otomatis menoleh ke arah mereka. Beberapa perawat dan pengunjung terdiam di tempatnya, tak tahu harus bereaksi seperti apa. Namun Sally, yang berdiri tak jauh dari Emily, tidak berniat menghalangi. Dia tahu pasti, perempuan yang sedang ditampar oleh majikannya ini adalah wanita ular—licik, penuh siasat, dan tak tahu malu. Giselle tersentak ke belakang, tapi reaksi berikutnya justru lebih dramatis. Dia menangis keras, mengangkat suaranya seolah berharap Arnold mendengarnya dan datang membela. Namun sia-sia. Di dalam kamar, Arnold menutup mata dan telinganya rapat-rapat. Dunia terasa terlalu bising, terlalu menyakitkan. Kepalanya serasa ingin pecah. Ia merasa frustrasi—dengan hidupnya yang mendadak berubah menjadi gelap dan hampa. Seperti layar kosong tanpa petunjuk arah. "Aku ingatkan kau
Giselle bersorak di dalam hati. Senyum samar terselip di sudut bibirnya, meski wajahnya tetap menampilkan ekspresi prihatin. Dalam dirinya, euforia sedang menari. Arnold tidak mengenali istrinya. Dewi Fortuna benar-benar sedang berpihak padanya malam ini. Ini lebih dari sekadar keberuntungan—ini adalah kesempatan hidup yang selama ini ia tunggu. Jika dia bisa menyetir Arnold, mengendalikannya dengan mulus, maka uang Arnold akan sangat mudah ia dapatkan. Hanya perlu sedikit manipulasi dan bujuk rayu, dan pria yang sekarang tak tahu siapa pun itu akan menurut padanya sepenuhnya. Hutang-hutangnya di luar negeri akan segera terbayarkan tanpa perlu bersusah payah. Para penagih yang selama ini membayanginya tak lagi jadi ancaman. Bayangan penjara yang mengintainya pun akan sirna. Dan yang paling penting, dia bisa kembali hidup mewah seperti sebelumnya. Tidak ada lagi tidur di tempat sempit atau mengemis pada orang tua kaya yang tidak peduli. "Siapa Emily?" Suara Arnold terdengar l
Di atas ranjang, Arnold menyandarkan punggungnya pada headboard. Seluruh tubuhnya terasa lemas, sementara matanya nanar menatap langit-langit kamar rumah sakit. Pandangannya kosong, seolah sedang berusaha mengaitkan sesuatu yang tidak bisa dia jangkau—fragmen-fragmen samar dalam pikirannya yang terasa asing.Air mata Emily berhamburan begitu melihat suami tercinta akhirnya membuka mata dan tersadar. Tangisnya pecah dalam diam, penuh rasa syukur bercampur takut. Emily bahkan mengira bahwa ini hanyalah mimpi—mimpi indah di tengah malam-malam penuh tangis yang ia lalui selama sebulan terakhir.“Sayang!” serunya penuh harap dan cinta.Panggilan itu membuat Arnold perlahan menoleh ke arah sumber suara. Pandangannya mendarat pada Emily yang berdiri bersama Sally. Namun ekspresinya datar, bahkan cenderung bingung, seperti melihat orang asing yang terlalu emosional.“Sayang, aku merindukanmu...”Suara Emily parau oleh isak. Pandangannya kabur karena air mata, tapi dia masih bisa melihat denga