Citra datang di waktu yang sangat tepat, Fazia sudah sangat lemas karena kelaparan. Tadi pagi saja dia tidak sarapan, makan siang pun sudah lewat beberapa jam. Ya, uangnya semakin menipis, hanya tersisa dua ratus ribu yang harus dia hemat sebisa mungkin sampai dia mendapatkan pekerjaan. Setelah sekian lama, akhirnya Fazia bisa menikmati makanan enak dan mewah lagi, itu pun berkat teman kaya rayanya. Sayang, Citra tidak membahas kondisi Mirza, padahal Fazia sangat ingin mendengarnya. Gadis itu lebih antusias menanyakan persoalan kuliah, terutama Kenzo selama satu minggu ini. “Gayanya gak mau gue jemput, taunya makan lo banyak banget.” Citra menatap geli, sementara temannya itu malah girang ketika makanan kedua datang. “Pantesan gemukan, makan lo segini banyaknya.”“Tadinya gue mau ke perpus.” Fazia beralasan. “Belagu aja kalo lo nolak ketemu gue.” Citra sewot sendiri. “Lagian kita udah lama gak makan-makan gini, masa iya lo gak kangen sama gue yang imut.” “Heem.” Fazia manggut-mang
Selesai pesta, semua orang membubarkan diri, termasuk keluarga Rajasa. Beruntung seluruh keluarga langsung pulang ke rumahnya masing-masing, Mirza jadi leluasa menginterogasi adiknya di rumah. Seperti sekarang ini, kepalanya sedang berdenyut mendengarkan penjelasan Citra.“Kenapa kamu gak ngasih tau kalo ternyata kamu salah paham sama dia?” Mirza memijat pangkal hidungnya. “Penting?” Citra malah menyepelekan. “Hampir aja Kakak hajar dia tadi.” Mirza langsung menatap tajam. “Dia punya nama! Kenzo!” Citra mendelik tak suka. “Terserah.” Mirza tak peduli siapa nama pria itu. “Ah, Mama lupa sesuatu.” Tari baru ingat apa yang disampaikan seseorang tempo hari. “Mama dapat laporan dari Pak Imran kalo Zia udah gak kerja di restoran,” ucapnya, lalu melirik kedua anaknya silih berganti. “Hah? Sejak kapan?” Citra kaget bukan main, tapi ibunya hanya melirik sang putra seakan pria itu yang memiliki jawabannya. “Dia ceroboh.” Mirza bersikap seakan dirinya benar. “Maksud?” Citra tak mengerti.
Beberapa saat yang lalu... Pesta tetap berlangsung, padahal mood Citra cukup terganggu mengetahui temannya pulang tanpa pamit, bahkan tanpa menemuinya dulu. Apa boleh buat, dia juga tak tega mendengar penjelasan Delisha yang mengatakan Fazia mengalami mual juga pusing hingga tubuhnya sangat lemas. Tamu-tamu terus berdatangan dari berbagai usia. Pesta itu bukan hanya 'milik' Citra, kedua kakak bahkan ibunya pun turut mengundang beberapa kerabat terdekat mereka, terutama keluarga besar Tari. Hanya saja tidak banyak keluarga dari ayahnya yang datang, hal itu karena Citra memang dikucilkan. Citra sengaja menunda-nunda pembukaan acara, menunggu seseorang yang katanya akan segera datang. Hingga akhirnya dua laki-laki tampan memasuki ruangan, Mirza yang sedari tadi terlihat tenang mendadak mengepalkan tinjunya. Matanya tak sedikit pun teralih, terus memperhatikan mereka. “Mirza!” Delisha mencekal lengan tunangannya yang hendak pergi. “Mau ke mana?” “Lihat dia.” Mirza menunjuk dua laki-l
Fazia memelankan kunyahan hingga terhenti. Kepalanya yang sejak tadi menunduk saking fokusnya pada makanan, kini terangkat secara perlahan. Mirza ada di dekatnya, berdiri sambil menatap ke arah lain seperti sedang bicara sendiri. Namun, Fazia tentu sadar bahwa ucapan itu untuknya.“Setelah manfaatin Citra, sekarang kamu juga mau manfaatin tunangan saya dan kakak ipar saya? Mau kamu apa, By? Uang, kan? Kamu manfaatin kebaikan orang-orang buat kebutuhan kamu sendiri, kan? Terus kenapa waktu itu main pergi? Padahal saya mau kasih uang sebanyak yang kamu minta.“Sekarang, dengan tidak malunya kamu makan sebelum acara dimulai. Baru nyobain sushi? Gak malu makan sebanyak itu? Jangan bilang kamu gak pernah makan sushi, si brengsek itu kan katanya anak orang kaya?” Suara Mirza kembali memenuhi kuping kanan Fazia. Bukannya menjawab, Fazia malah merasa mual yang teramat. Tanpa membalas satu kata pun, dia meninggalkan meja tersebut, berlari tak tentu arah. Tangannya menutupi mulut, berusaha men
“Ngapain kamu belanjain dia?” Mirza baru memprotes tindakan tunangannya ketika sudah berada di dalam mobil. “Kamu gak lihat barang yang ada di keranjang dia?” Delisha mengeluh prihatin. “Kenapa emang?” Mirza menolak berbelas kasih hanya karena sebuah belanjaan. “Tanda dia lagi kekurangan uang.” Delisha yakin itu dan dia mengerti. “Aku pernah ngalamin berhemat waktu kuliah di Surabaya, jadi aku tau banget perasaan Zia sekarang ini. “Asal kamu tau, Papa itu pelit orangnya. Kalo ngasih uang bulanan pasti aja pas-pasan banget. Tapi sekarang aku ngerti kenapa Papa pelit, ya biar aku mandiri dan belajar dewasa, bisa manage keuangan sedini mungkin dan gak hambur-hamburin uang buat yang gak penting,” ungkapnya bercerita. “Masalahnya kamu baik sama orang yang salah. Dia gak kekurangan uang, aku yakin banget itu. Soal belanjaan dia, ya mungkin emang segitu yang dia perlukan, bukan berarti gak punya uang.” Mirza tak setuju pada sudut pandang wanita di sampingnya. “Kamu keberatan bayarin? T
“Zia?” Wanita berpakaian dokter itu mengerutkan dahinya. “Kamu yang mau periksa?” tanyanya hati-hati. “A—aku ....” Fazia tergagap, ingin rasanya melarikan diri dari sana. “Gak apa-apa. Jangan gugup gitu.” Delisha paham keterkejutan pasiennya, berusaha bersikap profesional. “Sini duduk.” Fazia tetap membeku di tempatnya dengan wajah memerah akibat malu. Kakinya terasa kaku, bibirnya pun kelu. Dia tahu Delisha seorang dokter, tapi tak tahu dokter bagian apa dan pertemuan ini sudah menjawabnya tanpa perlu bertanya. Demi apa pun, Fazia sangat menyesal datang ke klinik itu. Klinik tersebut tidak tersemat nama Delisha, jelas karena memang bukan milik perorangan. Siapa yang akan menyangka calon istri dari ayah bayinya bekerja di sana? Fazia benar-benar tak tahu harus berekspresi seperti apa, sedangkan belum ada satu pun yang mengetahui kehamilannya. “Gak perlu tegang gitu, Zia.” Delisha menghampiri, lalu mengajak gadis itu ke mejanya. “Mau cerita sesuatu? Jangan sungkan kalo mau cerita,