Pagi itu, Nadine menata kotak makan siang di atas meja dapur dengan hati-hati, seakan apa yang ia susun di dalamnya bisa menyusun ulang sesuatu yang lama rapuh di antara mereka. Ayam panggang kesukaan Raka sudah terbungkus rapi, nasi masih mengepul. Jemarinya sempat gemetar saat merapikan potongan kecil selada di sisi kotak. Hari ini, ia hanya ingin memberi kejutan kecil. Sesuatu yang sederhana, yang mungkin bisa membuat Raka tersenyum ketika menerima perhatiannya.
Lio berdiri di sisi meja, masih mengenakan jaket sekolah berwarna biru laut. Mata bulat anak itu memandang kotak makan, lalu menatap ibunya seakan bisa menebak apa yang sedang Nadine rasakan. “Mau kasih kejutan buat Ayah, Bunda?” tanyanya polos. Nadine tersenyum kecil, mengusap pipi Lio. “Iya. Biar Ayah senang. Mungkin dia lelah.” “Ayah pasti senang banget!” Lio berseru riang, membuat Nadine berusaha menyimpan keraguan yang sedari tadi berkecamuk di dadanya. Mereka berangkat tidak lama kemudian. Mobil keluarga berjalan pelan menembus lalu lintas yang padat. Nadine berkali-kali menoleh ke kursi belakang, memastikan kotak makan siang tidak tergeser. Rasanya aneh, seperti ia sedang membawa seluruh harapannya di dalam benda kecil itu. Sesekali, ia melirik kaca spion untuk melihat wajah Lio yang menatap keluar jendela dengan kaki bergoyang-goyang. Ketika akhirnya mereka tiba di lobi kantor Raka, Nadine menarik napas panjang sebelum masuk. Udara dingin pendingin ruangan menyambut langkahnya yang ragu-ragu. Gedung tinggi berlapis kaca ini selalu tampak terlalu mewah baginya, selalu membuatnya merasa asing. Kotak makan siang ia dekap erat di dada, kain batik pembungkusnya seakan menjadi pelindung terakhir dari rasa malu yang belum sepenuhnya ia pahami. Resepsionis perempuan menatapnya sopan, dengan senyum yang datar. “Permisi,” suara Nadine terdengar lebih kecil daripada yang ia maksudkan. “Saya istri Pak Raka. Saya ingin menyerahkan makan siang.” Perempuan itu mengetik sesuatu sebentar di komputernya sebelum menoleh lagi. “Maaf, Bu. Pak Raka sedang meeting di luar.” “Di mana?” Nadine mencoba terdengar wajar, meski ada desakan ganjil di dadanya. “Hotel Emerald. Sudah sejak pukul sepuluh tadi,” jawab resepsionis dengan nada datar. Nadine hanya mengangguk pelan. Ia merasakan Lio meraih ujung blusnya, seolah ikut menyadari sesuatu yang tak ia mengerti. Di dalam mobil lagi, Nadine menatap jalanan macet dengan pikiran yang makin kabur. Hotel? Kenapa dia tak bilang akan meeting di hotel? Bukankah Raka selalu memberitahunya kalau harus bekerja di luar kantor? “Bunda, Ayah senang kan kalau kita datang?” suara Lio memecah diam, membuat Nadine hampir tersedak oleh perasaan yang tak punya nama. “Tentu,” ia menjawab, berusaha menegakkan punggung. “Ayah pasti... senang.” Namun suaranya bergetar, dan ia tak sanggup menatap anaknya di kaca spion. Hotel Emerald berdiri tinggi di tepi jalan utama, dengan lampu gantung kristal yang tergantung megah di lobi. Nadine berdiri dekat sofa panjang, matanya menyapu setiap orang yang melintas. Kotak makan siang di tangannya terasa lebih berat daripada tadi pagi. Jantungnya berdetak terlalu cepat. Ia tak tahu pasti apakah itu hanya gugup, atau firasat yang lebih gelap. Detik itu juga, pintu kaca otomatis terbuka. Nadine menoleh refleks—dan waktu seolah berhenti. Raka keluar dari pintu bersama seorang perempuan tinggi berambut hitam bergelombang. Mereka tertawa. Tawa yang lembut, tawa yang Nadine kenal dan rindukan. Tawa yang bukan untuknya. Tangan Raka menggenggam jemari perempuan itu dengan cara yang tak bisa dijelaskan oleh kata “rekan kerja.” Tania. Nadine mengingat namanya dari perkenalan singkat beberapa bulan lalu. Asisten baru. Mereka berjalan begitu dekat, seakan dunia hanya milik mereka. Nadine tak bisa menarik napas. Ia hanya berdiri, membiarkan kakinya memaku dirinya di lantai marmer. Lio merapat padanya, tangan kecilnya menempel di blus. Tania tersenyum pada Raka. “Jangan lupa nanti kirim aku draft presentasinya.” “Tenang saja. Hari ini aku puny—” suara Raka terputus begitu matanya bertemu mata Nadine. Ia langsung melepaskan genggaman tangan Tania, tapi itu tak menghapus apa yang sudah Nadine lihat. “Na...Nadine?” Raka memanggil dengan suara tercekat. “Kau... kau di sini dengan dia?” suara Nadine serak, hampir tak terdengar oleh dirinya sendiri. “Ini tidak... tidak seperti yang kau pikirkan.” Nadine menahan napas, menatapnya tanpa berkedip. “Lalu seperti apa? Katakan padaku... seperti apa?” Tania menarik tangannya pelan, menunduk sedikit. “Mungkin... kita bisa bicara lain waktu.” Nadine tidak memedulikan Tania. Matanya hanya tertuju pada Raka yang tampak lebih pucat daripada siapa pun yang pernah ia lihat. “Tidak perlu,” ia berbisik. “Semua sudah jelas.” Kotak makan siang tergelincir dari tangannya, jatuh menghantam lantai dengan bunyi tumpul yang entah bagaimana terdengar lebih nyaring daripada suara apa pun di lobi hotel itu. Nasi dan ayam panggang tumpah di lantai marmer, berantakan seperti yang sekarang ia rasakan di dalam dadanya. Raka melangkah setengah mendekat. Nadine mundur satu langkah. Ada sesuatu di dalam dirinya yang patah, sesuatu yang ia tahu tak akan bisa utuh lagi meski Raka bersumpah seribu kali bahwa semua ini hanya salah paham. Saat Raka menoleh dan menatapku, aku tahu: rumah kami baru saja runtuh.Pagi yang begitu panjang akhirnya berganti siang. Nadine masih duduk di kursi rotan di teras rumah ibunya, tempat ia tadi membaca surat pengakuan yang membuat jantungnya seperti diremas. Di atas meja kecil, lembaran kertas itu terlipat rapi, seakan sudah menjadi bagian dari perabot rumah yang tak bisa ia singkirkan begitu saja. Ia menatapnya lama, tak tahu apakah lebih baik membuang atau menyimpannya.Tapi hari itu, ia terlalu letih untuk mengambil keputusan. Jadi ia hanya duduk, membiarkan waktu menetes tanpa upaya apa pun untuk menghentikannya. Angin siang bergerak pelan di sela dedaunan. Burung gereja hinggap di pagar, berkicau seakan dunia tak peduli pada luka-luka manusia.Ketika akhirnya ia berdiri dan masuk kembali ke kamar tamu yang sekarang menjadi tempatnya pulang, kepalanya berat. Ia melepas karet rambut, membiarkan helaian panjang itu jatuh berantakan di bahu. Ada denyut perih di pelipis, rasa lelah yang tak hanya datang dari kurang tidur tapi juga dari pikiran yang tak be
Kesunyian pagi itu menenangkan dengan caranya sendiri. Setelah malam yang panjang dan sesak oleh segala percakapan yang tak pernah tuntas di kepalanya, Nadine terbangun tanpa mimpi. Rasanya seperti kosong, tapi bukan kosong yang mematikan. Lebih seperti ruang baru yang masih asing, menunggu diisi sesuatu yang lebih jujur dari kebohongan yang dulu menyesakkan napasnya.Ia duduk lama di tepi ranjang, mendengar detak jam di dinding seakan mengingatkannya bahwa waktu tak menunggu siapa pun. Bahkan bila hidupmu berantakan, pagi tetap akan datang, lampu-lampu tetap padam, suara ayam dari halaman rumah sebelah tetap terdengar. Semua berjalan, entah kau siap atau tidak.Langkah kakinya terasa berat saat menuju pintu depan. Matahari baru saja naik, menebar cahaya lembut di teras rumah ibunya. Nadine membuka pintu, berniat sekadar menarik napas segar, mencoba memulai hari dengan sedikit keberanian. Tapi matanya langsung menangkap sesuatu di atas keset. Sebuah amplop putih, bersih, tak bergeming
Kesunyian yang tertinggal di dalam rumah itu berbeda dari yang biasa Nadine rasakan. Ada ruang kecil di dadanya yang tidak lagi penuh amarah, meski belum juga diisi ketenangan. Barangkali itu yang disebut orang-orang sebagai awal dari pemulihan—ruang kosong yang pelan-pelan siap dihuni keberanian. Malam berlalu tanpa mimpi, hanya kelelahan yang mendekapnya hingga pagi.Saat sinar matahari merayap di lantai ubin, Nadine terbangun dengan jantung yang masih berdebar. Di dalam kepalanya, suara-suara masa lalu masih sering berbisik—Tania yang menelpon dengan nada lembut penuh kemenangan, Raka yang memohon maaf, bayang-bayang malam saat ia mengepak koper sambil menahan tangis. Tetapi pagi ini, sesuatu di dalam dirinya mendesak untuk tidak hanya diam. Ada sisa harga diri yang enggan mati.Ia menarik selimut, duduk di pinggir ranjang sempit kamar tamu. Pandangannya jatuh pada meja kecil di sudut, tempat laptop lama tergeletak berdebu. Sudah berapa lama sejak terakhir kali ia menyalakannya? Mu
Tangannya masih gemetar saat menyeka pipi yang basah, memeluk Lio lebih erat. Anak itu hanya diam, wajahnya tertunduk di bahu Nadine, tubuh mungilnya hangat meski dunia di sekitar mereka terasa dingin dan remuk. Di ruang tamu yang hening, waktu berjalan pelan seperti ragu hendak bergerak maju.Tapi Nadine tahu: ia tak bisa terus seperti ini. Tangis, marah, dan rasa terhina bisa membuatnya hancur. Tapi jika ia diam saja, ia akan tenggelam di dalamnya.Malam itu, Nadine tidur dengan mata terbuka di ranjang kecil kamar tamu. Suara pesan suara Tania masih bergema di kepalanya, berulang-ulang, seperti lagu pahit yang tak mau berhenti. Bukan hanya kata-katanya yang menyakitkan, tapi nada suaranya. Lembut. Tenang. Penuh rasa menang."Aku minta maaf kau harus tahu begini. Tapi Raka lebih mencintaiku."Begitu mudah, begitu ringan ia mengatakannya. Seakan cinta bisa dicuri, seakan hati seseorang adalah milik umum yang bisa dimiliki siapa pun yang cukup berani merampasnya. Dan yang lebih menyaki
Malam yang panjang itu meninggalkan sisa kelelahan di seluruh tubuh Nadine. Pagi datang tanpa belas kasihan, menyingkap segala yang semalam hanya bisa ia sembunyikan dalam gelap. Ketika sinar matahari menembus tirai tipis, Nadine terbaring di ranjang kecil kamar tamu, menatap plafon yang bercak catnya menguning. Ia merasa seakan baru saja melewati berhari-hari di dalam satu malam saja.Beberapa saat ia hanya diam, membiarkan napasnya berhembus panjang, mencoba memastikan ia belum sepenuhnya hancur. Lalu pelan-pelan ia bangkit. Di ujung tempat tidur, buku jurnal terbuka menunggunya. Sampul cokelat yang usang seakan menjadi satu-satunya tempat di mana ia masih bisa mengaku pada dirinya sendiri sejujurnya.Ia duduk bersila, meraih pena, dan mulai menulis kalimat-kalimat yang tak sempat keluar dari bibirnya semalam. Tangannya bergerak cepat, tinta hitam meninggalkan jejak marah, sedih, dan penghinaan yang bercampur menjadi satu. Halaman demi halaman penuh coretan yang goyah. Jemarinya gem
Langit belum sepenuhnya gelap saat Nadine mendengar suara mobil berhenti di depan pagar. Ia sedang duduk di ruang tamu, mengenakan kaus longgar dan celana rumah, kakinya terlipat di atas sofa. Rambutnya diikat asal, wajahnya tanpa riasan, hanya sisa lelah yang melekat di mata dan kulit yang belum sempat disentuh pelembap sejak pagi. Ia terlalu letih untuk peduli siapa yang datang, terlalu penuh oleh keheningan yang menggema seperti gema di dalam kepalanya.Langkah-langkah pelan mendekat ke pintu. Sri Ningsih yang sedang menyiram tanaman di belakang rumah berjalan tergesa ke depan dan membukanya. Nadine tak langsung bangkit. Tapi begitu sosok di ambang pintu muncul, tubuhnya menegang tanpa sadar.Adrian.Ia berdiri dengan raut lelah, jasnya masih rapi, dasi dilonggarkan, rambutnya sedikit acak seperti baru saja melewati hari panjang yang buruk. Tapi matanya menatap Nadine seperti seseorang yang baru menemukan kembali sesuatu yang hilang.“Boleh aku masuk?” tanyanya pelan.Nadine tidak