Mobil melaju pelan di bawah langit yang mulai menggelap. Lampu-lampu jalan satu per satu menyala, menciptakan pantulan redup di kaca depan. Nadine menatap lurus ke depan, kedua tangannya mencengkeram kemudi dengan keras, seolah hanya itu yang masih bisa ia genggam dari hidup yang terasa tergelincir.
Di kursi belakang, Lio duduk diam sambil memeluk boneka kelincinya, tubuh kecilnya bergoyang lembut mengikuti laju kendaraan. Tak ada kata, hanya dentingan kecil dari klakson kendaraan di kejauhan dan suara napas Nadine yang makin berat. “Bunda...” suara Lio akhirnya terdengar pelan, nyaris seperti bisikan. “Ayah marah sama Bunda?” Nadine menelan ludah, mencoba menjawab dengan suara yang tidak pecah. “Tidak, Nak. Ini bukan salahmu.” “Tapi... Ayah tadi kelihatan takut.” Ia tidak menjawab. Matanya mulai berkaca, tapi pandangannya tetap tertuju ke jalan. Dalam hatinya, pernyataan Lio menggema, mengguncang dinding rapuh yang ia bangun dengan segala pembenaran. Ia menarik napas dalam, menahannya, lalu menghela perlahan—seperti mencoba melepaskan sesuatu yang terlalu sakit untuk dinamai. Sesampainya di rumah, Nadine segera mematikan mesin mobil dan membuka pintu. Suara derit kecil menyambut langkahnya yang terburu. Ia menurunkan Lio tanpa banyak kata. Anak itu masih menatapnya, seperti ingin bertanya lebih jauh, tapi Nadine hanya mengusap kepalanya cepat dan berbalik menuju pintu rumah. Kotak makan siang yang jatuh tadi di hotel masih ada di kursi belakang, tutupnya miring, nasi dan lauknya berantakan di dalam. Nadine tak sanggup melihatnya lebih lama. “Bunda... Bunda mau makan malam?” suara kecil itu kembali memanggilnya dari ambang pintu. Tanpa menoleh, Nadine menjawab lirih, “Bunda mau sendiri dulu.” Pintu kamar tertutup perlahan, memisahkan Nadine dari dunia luar yang terlalu ramai, terlalu menyakitkan. Ia bersandar pada daun pintu, lalu merosot perlahan hingga duduk di lantai. Lututnya ia tekuk, dan lengan melingkar memeluk tubuhnya sendiri. Air mata yang sedari tadi tertahan akhirnya jatuh—diam, perlahan, tanpa suara. Seakan jika ia menangis dengan suara, semua yang ia lihat tadi akan menjadi lebih nyata. Bayangan itu kembali muncul di benaknya: tangan Raka yang menggenggam tangan perempuan itu—Tania. Terlalu dekat. Terlalu nyaman. Nadine memejamkan mata. Ingatan berkelebat tanpa ampun. Dulu, Raka sering pulang lebih cepat, membawa bunga kecil dari pinggir jalan, sekotak kue kesukaannya, atau sekadar pelukan hangat dari balik pintu. Bahkan tanpa kata, kehadirannya cukup untuk membuat hari Nadine terasa penuh. Tapi lama-lama, hal-hal kecil itu hilang. Telepon tak lagi dijawab. Pesan hanya dibaca. Tatapan matanya melewati Nadine, seolah ia hanya bayangan di rumah ini. Ia pernah memaklumi semua itu—berpikir mungkin Raka hanya lelah, mungkin ini fase biasa dalam pernikahan. Ia meyakinkan dirinya bahwa cinta bisa bertahan lewat kesabaran. Bahwa rumah mereka bisa tetap utuh jika ia cukup kuat memegang sisi lainnya. Namun malam ini, kebohongan itu runtuh. Nadine kini duduk di sofa ruang tamu, ditemani lampu temaram dan detak jam dinding yang lambat. Lio sudah tertidur di kamarnya, dan rumah terasa sunyi, seperti tubuh besar yang kehabisan napas. Meja kopi di depannya penuh kertas gambar Lio yang belum dibereskan—gambar rumah, gambar mereka bertiga tersenyum. Di antara kertas itu, selembar foto terselip dalam bingkai putih: potret pernikahan Nadine dan Raka, saat dunia masih terlihat sederhana dan penuh janji. Nadine memalingkan wajah. Jarum jam berdetak, detik demi detik berjalan dengan kejam, seperti mengingatkannya bahwa ia masih di sini, menunggu sesuatu yang mungkin tak akan pernah kembali. Jari-jarinya meremas ujung blusnya, dan ia mulai berbicara dalam hati—kalimat-kalimat yang berusaha menjadi jangkar bagi pikirannya yang kacau: Mungkin ada penjelasan. Mungkin hanya salah paham. Tapi kalau hanya salah paham... mengapa mereka tampak sebahagia itu? Air mata kembali menggenang. Tak ada bunyi dari ponsel yang tergeletak di atas meja. Tak ada pesan. Tak ada telepon. Jam hampir menunjukkan tengah malam ketika angin malam mulai menyelinap dari celah jendela yang tak sepenuhnya tertutup. Udara terasa dingin, dan Nadine masih duduk di tempat yang sama, tak bergeming. Rumah yang biasanya menjadi tempatnya pulang, kini terasa asing. Dinding-dindingnya seakan berbisik pelan, penuh luka yang belum menganga tapi siap pecah. Dan dalam keheningan itu, Nadine merasakan sesuatu mulai retak. Bukan hanya hatinya. Tapi juga fondasi rumah yang selama ini ia coba pertahankan dengan seluruh jiwanya.Pagi yang begitu panjang akhirnya berganti siang. Nadine masih duduk di kursi rotan di teras rumah ibunya, tempat ia tadi membaca surat pengakuan yang membuat jantungnya seperti diremas. Di atas meja kecil, lembaran kertas itu terlipat rapi, seakan sudah menjadi bagian dari perabot rumah yang tak bisa ia singkirkan begitu saja. Ia menatapnya lama, tak tahu apakah lebih baik membuang atau menyimpannya.Tapi hari itu, ia terlalu letih untuk mengambil keputusan. Jadi ia hanya duduk, membiarkan waktu menetes tanpa upaya apa pun untuk menghentikannya. Angin siang bergerak pelan di sela dedaunan. Burung gereja hinggap di pagar, berkicau seakan dunia tak peduli pada luka-luka manusia.Ketika akhirnya ia berdiri dan masuk kembali ke kamar tamu yang sekarang menjadi tempatnya pulang, kepalanya berat. Ia melepas karet rambut, membiarkan helaian panjang itu jatuh berantakan di bahu. Ada denyut perih di pelipis, rasa lelah yang tak hanya datang dari kurang tidur tapi juga dari pikiran yang tak be
Kesunyian pagi itu menenangkan dengan caranya sendiri. Setelah malam yang panjang dan sesak oleh segala percakapan yang tak pernah tuntas di kepalanya, Nadine terbangun tanpa mimpi. Rasanya seperti kosong, tapi bukan kosong yang mematikan. Lebih seperti ruang baru yang masih asing, menunggu diisi sesuatu yang lebih jujur dari kebohongan yang dulu menyesakkan napasnya.Ia duduk lama di tepi ranjang, mendengar detak jam di dinding seakan mengingatkannya bahwa waktu tak menunggu siapa pun. Bahkan bila hidupmu berantakan, pagi tetap akan datang, lampu-lampu tetap padam, suara ayam dari halaman rumah sebelah tetap terdengar. Semua berjalan, entah kau siap atau tidak.Langkah kakinya terasa berat saat menuju pintu depan. Matahari baru saja naik, menebar cahaya lembut di teras rumah ibunya. Nadine membuka pintu, berniat sekadar menarik napas segar, mencoba memulai hari dengan sedikit keberanian. Tapi matanya langsung menangkap sesuatu di atas keset. Sebuah amplop putih, bersih, tak bergeming
Kesunyian yang tertinggal di dalam rumah itu berbeda dari yang biasa Nadine rasakan. Ada ruang kecil di dadanya yang tidak lagi penuh amarah, meski belum juga diisi ketenangan. Barangkali itu yang disebut orang-orang sebagai awal dari pemulihan—ruang kosong yang pelan-pelan siap dihuni keberanian. Malam berlalu tanpa mimpi, hanya kelelahan yang mendekapnya hingga pagi.Saat sinar matahari merayap di lantai ubin, Nadine terbangun dengan jantung yang masih berdebar. Di dalam kepalanya, suara-suara masa lalu masih sering berbisik—Tania yang menelpon dengan nada lembut penuh kemenangan, Raka yang memohon maaf, bayang-bayang malam saat ia mengepak koper sambil menahan tangis. Tetapi pagi ini, sesuatu di dalam dirinya mendesak untuk tidak hanya diam. Ada sisa harga diri yang enggan mati.Ia menarik selimut, duduk di pinggir ranjang sempit kamar tamu. Pandangannya jatuh pada meja kecil di sudut, tempat laptop lama tergeletak berdebu. Sudah berapa lama sejak terakhir kali ia menyalakannya? Mu
Tangannya masih gemetar saat menyeka pipi yang basah, memeluk Lio lebih erat. Anak itu hanya diam, wajahnya tertunduk di bahu Nadine, tubuh mungilnya hangat meski dunia di sekitar mereka terasa dingin dan remuk. Di ruang tamu yang hening, waktu berjalan pelan seperti ragu hendak bergerak maju.Tapi Nadine tahu: ia tak bisa terus seperti ini. Tangis, marah, dan rasa terhina bisa membuatnya hancur. Tapi jika ia diam saja, ia akan tenggelam di dalamnya.Malam itu, Nadine tidur dengan mata terbuka di ranjang kecil kamar tamu. Suara pesan suara Tania masih bergema di kepalanya, berulang-ulang, seperti lagu pahit yang tak mau berhenti. Bukan hanya kata-katanya yang menyakitkan, tapi nada suaranya. Lembut. Tenang. Penuh rasa menang."Aku minta maaf kau harus tahu begini. Tapi Raka lebih mencintaiku."Begitu mudah, begitu ringan ia mengatakannya. Seakan cinta bisa dicuri, seakan hati seseorang adalah milik umum yang bisa dimiliki siapa pun yang cukup berani merampasnya. Dan yang lebih menyaki
Malam yang panjang itu meninggalkan sisa kelelahan di seluruh tubuh Nadine. Pagi datang tanpa belas kasihan, menyingkap segala yang semalam hanya bisa ia sembunyikan dalam gelap. Ketika sinar matahari menembus tirai tipis, Nadine terbaring di ranjang kecil kamar tamu, menatap plafon yang bercak catnya menguning. Ia merasa seakan baru saja melewati berhari-hari di dalam satu malam saja.Beberapa saat ia hanya diam, membiarkan napasnya berhembus panjang, mencoba memastikan ia belum sepenuhnya hancur. Lalu pelan-pelan ia bangkit. Di ujung tempat tidur, buku jurnal terbuka menunggunya. Sampul cokelat yang usang seakan menjadi satu-satunya tempat di mana ia masih bisa mengaku pada dirinya sendiri sejujurnya.Ia duduk bersila, meraih pena, dan mulai menulis kalimat-kalimat yang tak sempat keluar dari bibirnya semalam. Tangannya bergerak cepat, tinta hitam meninggalkan jejak marah, sedih, dan penghinaan yang bercampur menjadi satu. Halaman demi halaman penuh coretan yang goyah. Jemarinya gem
Langit belum sepenuhnya gelap saat Nadine mendengar suara mobil berhenti di depan pagar. Ia sedang duduk di ruang tamu, mengenakan kaus longgar dan celana rumah, kakinya terlipat di atas sofa. Rambutnya diikat asal, wajahnya tanpa riasan, hanya sisa lelah yang melekat di mata dan kulit yang belum sempat disentuh pelembap sejak pagi. Ia terlalu letih untuk peduli siapa yang datang, terlalu penuh oleh keheningan yang menggema seperti gema di dalam kepalanya.Langkah-langkah pelan mendekat ke pintu. Sri Ningsih yang sedang menyiram tanaman di belakang rumah berjalan tergesa ke depan dan membukanya. Nadine tak langsung bangkit. Tapi begitu sosok di ambang pintu muncul, tubuhnya menegang tanpa sadar.Adrian.Ia berdiri dengan raut lelah, jasnya masih rapi, dasi dilonggarkan, rambutnya sedikit acak seperti baru saja melewati hari panjang yang buruk. Tapi matanya menatap Nadine seperti seseorang yang baru menemukan kembali sesuatu yang hilang.“Boleh aku masuk?” tanyanya pelan.Nadine tidak