Ketika embun pagi merayap di kaca jendela, Nadine sadar satu hal: kepergiannya bukan akhir—hanya awal dari pertarungan yang lebih panjang. Dan entah bagaimana, ia tahu kebenaran yang sesungguhnya belum sepenuhnya terungkap.
Ia terbaring cukup lama setelah itu, tak segera bergerak meski sinar matahari makin tinggi. Seluruh tubuhnya terasa berat, seolah setiap sendi mengeras oleh luka yang belum sempat ia rawat. Sesekali ia memejamkan mata, mencoba menenangkan napas yang tersengal, tapi yang muncul hanya kilasan demi kilasan: wajah Raka yang tertunduk, tangan Tania yang bertaut di jemari lelaki itu, ransel Lio yang bergoyang pelan saat ia menarik anaknya menjauh dari rumah yang sudah tak lagi menjadi rumah. Ketika akhirnya ia duduk, matanya jatuh pada koper di sudut kamar. Ritsletingnya belum tertutup seluruhnya. Selembar kaus putih menjulur di sela celahnya, seakan menunggu Nadine memutuskan apakah semua barang itu akan kembali ke tempat asalnya, atau akan tetap menjadi tanda pengungsian yang tak tahu kapan selesai. Ia menunduk, meraih ponsel di sisi bantal. Layarnya gelap, tapi seketika ia tahu ada sesuatu menunggunya di sana. Tangannya ragu saat menyentuh tombol daya. Ada keraguan konyol dalam pikirannya—bahwa kalau ia tak menyalakan ponsel, ia bisa menunda semua yang akan datang. Ia bisa tetap di sini, di kamar masa kecilnya, dalam diam yang masih lebih mudah ditanggung daripada menghadapi kenyataan. Tetapi layar menyala juga, mencuatkan sinar putih yang menusuk mata. Pesan masuk berkedip pelan di sudut notifikasi. Nomor yang tak tersimpan, hanya deretan angka asing. Tapi Nadine tak perlu menebak siapa pengirimnya. Dada Nadine mengencang. Ia merasakan hawa di sekelilingnya seolah menipis, membuat napasnya pendek. Kenapa dia harus menulis sekarang? Apa belum cukup aku hancur? Ia membuka pesan itu dengan jari gemetar. Butuh beberapa detik untuk membuat matanya fokus pada tulisan yang pendek, tak lebih dari satu kalimat. Tapi justru kesederhanaannya membuat kata-kata itu terasa seperti sembilu. Maaf kau harus tahu dengan cara ini. Kami sudah lama saling mencintai. —Tania Nadine menutup mulutnya, mendadak ingin memuntahkan sesuatu yang pahit dan busuk dari tenggorokannya. Kepalanya berdenyut, pelipisnya berdenyut, seluruh napasnya tercekat di dada. Saling mencintai. Lama. Seakan setiap waktu yang pernah ia bagi bersama Raka—setiap makan malam, setiap tawa Lio, setiap cium selamat tidur—hanya menjadi selingan di antara kebersamaan mereka. Ia menunduk lebih dalam, tubuhnya gemetar. Pesan itu masih terbuka di layar. Nadine menekannya, berharap itu bisa menghapus huruf-huruf itu dari pikirannya. Tapi yang muncul hanya konfirmasi penghapusan, seakan ponsel pun menertawakannya karena mengira sebaris kalimat bisa hilang semudah itu. Langkahnya goyah ketika ia bangkit dari ranjang. Kamar mandi di sudut rumah menjadi satu-satunya tempat yang terpikir. Ia berjalan dengan pandangan buram, hampir menabrak kursi di samping lemari. Nadine mendorong pintu kamar mandi dan menguncinya cepat. Dinding keramik yang dingin menyambut punggungnya saat ia bersandar. Tangannya meraba wastafel, mencengkeram pinggirannya untuk menahan diri agar tak jatuh. Ponselnya terlepas, jatuh ke lantai dengan suara pelan. Nadine menunduk, matanya basah, lalu tangis itu pecah. Tangis yang keras dan panjang, seakan dadanya retak dan semua luka tumpah keluar. Air mata meluncur tanpa jeda, membasahi pipi, dagu, leher. Suaranya bergema di ruang sempit, menambah perih yang sudah terlalu penuh. Saling mencintai. Lama. Jadi semua waktu bersamaku hanya kebohongan? Ia memeluk diri sendiri, punggungnya melengkung. Getar di bahunya tak berhenti bahkan ketika ia menutup mulut dengan kedua tangan, mencoba meredam tangis yang tak ada ujungnya. Dalam redup lampu kamar mandi, ia merasa kecil, tak berguna, dan kalah. Ia tak tahu berapa lama ia menangis. Mungkin sepuluh menit, mungkin satu jam. Waktu tak lagi punya arti saat satu-satunya yang terasa hanyalah perih yang tak ada habisnya. Di tengah isaknya, suara langkah kecil terdengar mendekat. Ketukan pelan menembus pintu kayu yang tipis. Nadine menahan napas. Ketukan itu datang lagi, lembut, penuh ragu. “Ibu... kenapa?” suara Lio pelan, lebih mirip bisikan ketakutan daripada pertanyaan. Nadine menggigit bibir, menutup mulut lebih rapat agar anaknya tak mendengar tangis yang kembali meninggi. Air mata menetes deras ke lantai keramik, bercampur dengan embun pagi yang masih melekat di ujung rambutnya. “Ibu... aku takut...” suara Lio terdengar lagi. Lebih kecil. Lebih patah. Nadine memejamkan mata, menahan sesak yang terasa seperti lubang tak berdasar di dada. Ia mengusap pipinya, mengatur napas yang masih kacau. Lio tak boleh melihatnya seperti ini terlalu lama. Anak itu sudah kehilangan cukup banyak dalam semalam—ia tak akan menambah ketakutan yang tak perlu. Dengan susah payah, ia menegakkan tubuh. Tangannya meraih keran wastafel, memutarnya. Air dingin mengalir deras, menyiram telapak tangan, pergelangan, lalu ia basuh wajah berkali-kali, sampai kulit pipinya perih. Ia menatap pantulan diri sendiri di cermin. Mata bengkak. Pipi merah. Bibir bergetar. Aku harus kuat. Setidaknya... untuk Lio. Ia menarik napas panjang, satu kali, dua kali. Perlahan menutup keran. Tangannya gemetar saat meraih ponsel di lantai, tapi ia tak berani membaca pesan itu lagi. Ia hanya menggenggamnya erat, seakan benda mati itu bisa memberinya sisa keberanian. Ia berjalan ke pintu dan memutarnya perlahan. Daun pintu terbuka beberapa sentimeter, cukup untuk melihat Lio berdiri di lorong. Boneka dinosaurus menempel di dadanya. Mata anak itu besar dan basah, penuh takut yang lebih tua dari usianya. Nadine berjongkok. Tangannya terulur, menepis rambut halus di kening Lio. “Maafkan Ibu, Nak,” suaranya serak, parau, tapi kali ini ia berhasil menahan isak. “Ibu jangan menangis...” Lio bergeser mendekat, memeluk leher Nadine dengan kedua tangan kecilnya. Pelukan itu membuat dinding rapuh dalam dada Nadine retak sekali lagi. Ia membalas pelukan itu erat, menutup mata. Hanya di sini, dalam genggaman anaknya, ia masih merasa ada sesuatu yang belum hilang seluruhnya. Dan untuk pertama kalinya, ia bertanya dalam hati: jika mereka saling mencintai, apa yang tersisa untukku?Pagi yang begitu panjang akhirnya berganti siang. Nadine masih duduk di kursi rotan di teras rumah ibunya, tempat ia tadi membaca surat pengakuan yang membuat jantungnya seperti diremas. Di atas meja kecil, lembaran kertas itu terlipat rapi, seakan sudah menjadi bagian dari perabot rumah yang tak bisa ia singkirkan begitu saja. Ia menatapnya lama, tak tahu apakah lebih baik membuang atau menyimpannya.Tapi hari itu, ia terlalu letih untuk mengambil keputusan. Jadi ia hanya duduk, membiarkan waktu menetes tanpa upaya apa pun untuk menghentikannya. Angin siang bergerak pelan di sela dedaunan. Burung gereja hinggap di pagar, berkicau seakan dunia tak peduli pada luka-luka manusia.Ketika akhirnya ia berdiri dan masuk kembali ke kamar tamu yang sekarang menjadi tempatnya pulang, kepalanya berat. Ia melepas karet rambut, membiarkan helaian panjang itu jatuh berantakan di bahu. Ada denyut perih di pelipis, rasa lelah yang tak hanya datang dari kurang tidur tapi juga dari pikiran yang tak be
Kesunyian pagi itu menenangkan dengan caranya sendiri. Setelah malam yang panjang dan sesak oleh segala percakapan yang tak pernah tuntas di kepalanya, Nadine terbangun tanpa mimpi. Rasanya seperti kosong, tapi bukan kosong yang mematikan. Lebih seperti ruang baru yang masih asing, menunggu diisi sesuatu yang lebih jujur dari kebohongan yang dulu menyesakkan napasnya.Ia duduk lama di tepi ranjang, mendengar detak jam di dinding seakan mengingatkannya bahwa waktu tak menunggu siapa pun. Bahkan bila hidupmu berantakan, pagi tetap akan datang, lampu-lampu tetap padam, suara ayam dari halaman rumah sebelah tetap terdengar. Semua berjalan, entah kau siap atau tidak.Langkah kakinya terasa berat saat menuju pintu depan. Matahari baru saja naik, menebar cahaya lembut di teras rumah ibunya. Nadine membuka pintu, berniat sekadar menarik napas segar, mencoba memulai hari dengan sedikit keberanian. Tapi matanya langsung menangkap sesuatu di atas keset. Sebuah amplop putih, bersih, tak bergeming
Kesunyian yang tertinggal di dalam rumah itu berbeda dari yang biasa Nadine rasakan. Ada ruang kecil di dadanya yang tidak lagi penuh amarah, meski belum juga diisi ketenangan. Barangkali itu yang disebut orang-orang sebagai awal dari pemulihan—ruang kosong yang pelan-pelan siap dihuni keberanian. Malam berlalu tanpa mimpi, hanya kelelahan yang mendekapnya hingga pagi.Saat sinar matahari merayap di lantai ubin, Nadine terbangun dengan jantung yang masih berdebar. Di dalam kepalanya, suara-suara masa lalu masih sering berbisik—Tania yang menelpon dengan nada lembut penuh kemenangan, Raka yang memohon maaf, bayang-bayang malam saat ia mengepak koper sambil menahan tangis. Tetapi pagi ini, sesuatu di dalam dirinya mendesak untuk tidak hanya diam. Ada sisa harga diri yang enggan mati.Ia menarik selimut, duduk di pinggir ranjang sempit kamar tamu. Pandangannya jatuh pada meja kecil di sudut, tempat laptop lama tergeletak berdebu. Sudah berapa lama sejak terakhir kali ia menyalakannya? Mu
Tangannya masih gemetar saat menyeka pipi yang basah, memeluk Lio lebih erat. Anak itu hanya diam, wajahnya tertunduk di bahu Nadine, tubuh mungilnya hangat meski dunia di sekitar mereka terasa dingin dan remuk. Di ruang tamu yang hening, waktu berjalan pelan seperti ragu hendak bergerak maju.Tapi Nadine tahu: ia tak bisa terus seperti ini. Tangis, marah, dan rasa terhina bisa membuatnya hancur. Tapi jika ia diam saja, ia akan tenggelam di dalamnya.Malam itu, Nadine tidur dengan mata terbuka di ranjang kecil kamar tamu. Suara pesan suara Tania masih bergema di kepalanya, berulang-ulang, seperti lagu pahit yang tak mau berhenti. Bukan hanya kata-katanya yang menyakitkan, tapi nada suaranya. Lembut. Tenang. Penuh rasa menang."Aku minta maaf kau harus tahu begini. Tapi Raka lebih mencintaiku."Begitu mudah, begitu ringan ia mengatakannya. Seakan cinta bisa dicuri, seakan hati seseorang adalah milik umum yang bisa dimiliki siapa pun yang cukup berani merampasnya. Dan yang lebih menyaki
Malam yang panjang itu meninggalkan sisa kelelahan di seluruh tubuh Nadine. Pagi datang tanpa belas kasihan, menyingkap segala yang semalam hanya bisa ia sembunyikan dalam gelap. Ketika sinar matahari menembus tirai tipis, Nadine terbaring di ranjang kecil kamar tamu, menatap plafon yang bercak catnya menguning. Ia merasa seakan baru saja melewati berhari-hari di dalam satu malam saja.Beberapa saat ia hanya diam, membiarkan napasnya berhembus panjang, mencoba memastikan ia belum sepenuhnya hancur. Lalu pelan-pelan ia bangkit. Di ujung tempat tidur, buku jurnal terbuka menunggunya. Sampul cokelat yang usang seakan menjadi satu-satunya tempat di mana ia masih bisa mengaku pada dirinya sendiri sejujurnya.Ia duduk bersila, meraih pena, dan mulai menulis kalimat-kalimat yang tak sempat keluar dari bibirnya semalam. Tangannya bergerak cepat, tinta hitam meninggalkan jejak marah, sedih, dan penghinaan yang bercampur menjadi satu. Halaman demi halaman penuh coretan yang goyah. Jemarinya gem
Langit belum sepenuhnya gelap saat Nadine mendengar suara mobil berhenti di depan pagar. Ia sedang duduk di ruang tamu, mengenakan kaus longgar dan celana rumah, kakinya terlipat di atas sofa. Rambutnya diikat asal, wajahnya tanpa riasan, hanya sisa lelah yang melekat di mata dan kulit yang belum sempat disentuh pelembap sejak pagi. Ia terlalu letih untuk peduli siapa yang datang, terlalu penuh oleh keheningan yang menggema seperti gema di dalam kepalanya.Langkah-langkah pelan mendekat ke pintu. Sri Ningsih yang sedang menyiram tanaman di belakang rumah berjalan tergesa ke depan dan membukanya. Nadine tak langsung bangkit. Tapi begitu sosok di ambang pintu muncul, tubuhnya menegang tanpa sadar.Adrian.Ia berdiri dengan raut lelah, jasnya masih rapi, dasi dilonggarkan, rambutnya sedikit acak seperti baru saja melewati hari panjang yang buruk. Tapi matanya menatap Nadine seperti seseorang yang baru menemukan kembali sesuatu yang hilang.“Boleh aku masuk?” tanyanya pelan.Nadine tidak