Home / Rumah Tangga / Sebelum Cinta Itu Hilang / Bab 6 - Luka Yang Terbuka

Share

Bab 6 - Luka Yang Terbuka

Author: Oldbee
last update Last Updated: 2025-06-30 12:26:12

Dalam pelukan anaknya yang masih gemetar, Nadine menutup mata. Ia tahu di sinilah satu-satunya tempat di dunia yang tersisa baginya—dalam dekap Lio, dalam napas kecil yang menenangkan, meski kepalanya sendiri penuh pertanyaan yang tak punya jawaban. Kalau mereka sudah lama saling mencintai, apa yang masih tertinggal untuknya? Apa yang tersisa dari semua janji yang dulu membuatnya percaya bahwa rumah itu akan tetap berdiri, apa pun yang terjadi?

Pagi datang pelan-pelan. Sinar matahari menyusup di sela tirai kamar lamanya. Nadine terbangun dengan mata sembap dan kepala yang berdenyut, seakan semalaman ia tidur sambil menangis. Ia mengusap wajah, meraba pipi yang terasa panas dan bengkak. Lio masih terlelap di sampingnya, menggenggam boneka kecil yang lusuh. Nadine berusaha memejamkan mata lagi, tapi tak ada lagi sisa kantuk. Yang ada hanya kekosongan yang menunggu untuk diisi entah dengan apa.

Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menoleh ke meja kecil di samping ranjang. Ponselnya tergeletak di sana. Sekilas Nadine berharap mungkin semua itu hanya mimpi buruk, bahwa layar akan kosong dari pesan atau panggilan. Tapi ketika ia mengulurkan tangan dan menyalakan ponsel, kenyataan menamparnya lebih telak dari malam sebelumnya.

Deretan panggilan tak terjawab memenuhi layar. Nama Raka muncul berulang-ulang, berkedip seakan mendesak Nadine untuk menjawab. Dada Nadine langsung mengencang, perihnya seperti luka yang dikoyak lagi tanpa belas kasihan. Ia menatap deretan itu beberapa detik, tangannya tak mampu bergerak.

Berapa kali lagi kau akan menelepon untuk mengulang kebohongan yang sama?

Ponsel kembali bergetar, layar menyala terang. Raka menelepon lagi. Nadine mengepalkan jemarinya sampai buku-bukunya memutih. Hatinya separuh ingin menekan jawab, menuntut jawaban, memaki, atau sekadar mendengar suaranya—walau ia tahu suara itu takkan membuatnya lega. Ia menahan napas sampai dering itu berhenti sendiri. Jari telunjuknya gemetar saat menekan tombol senyap. Ia mematikan suara panggilan lalu perlahan meletakkan ponsel ke dalam laci meja, menutupnya cepat seakan dengan begitu ia bisa mengurung semua rasa sakit di dalam sana.

Hening panjang membentang setelah itu. Nadine duduk di pinggir ranjang, menatap lantai. Matanya perih, kepalanya penuh kabut. Suara langkah ibunya terdengar sayup di lorong. Mungkin Sri Ningsih sudah terbangun lebih dulu, membuat sarapan. Mungkin beliau sedang memikirkan cara berbicara padanya tanpa membuat luka yang lain terbuka.

Ketika langkah kaki lain terdengar menuruni tangga, Nadine sempat berharap itu Lio yang bangun lebih dulu. Tapi bel rumah tiba-tiba berbunyi—pelan tapi jelas, memecah keheningan yang sudah terlalu rapuh. Nadine mengangkat wajah, jantungnya langsung berdegup keras. Mungkin Raka datang. Mungkin ia berdiri di teras dengan mata merah, menunggu kesempatan lain untuk memohon pengampunan. Ia tak yakin apakah ia sudah siap melihat wajah itu lagi.

Namun, saat ia turun perlahan, yang ia temukan bukan sosok Raka. Dina berdiri di ambang pintu, rambutnya dicepol rapi, matanya sembap seolah sudah lama menangis sebelum datang. Di tangannya ada kantong belanja besar berisi kotak-kotak makanan.

“Aku tidak tahu harus bawa apa... jadi aku bawa semua yang bisa kau makan.” Suara Dina pelan, serak.

Nadine tak bisa langsung membalas. Melihat sahabatnya berdiri di sana, seolah membawa semua kepedulian yang Nadine butuhkan, membuat pertahanan yang sudah tipis runtuh seketika. Nadine menunduk, menutup wajah dengan telapak tangan. Tubuhnya gemetar sebelum akhirnya ia jatuh dalam pelukan Dina.

Tangisnya pecah, lebih keras daripada semalam. Seakan dada yang semalaman sudah retak benar-benar patah di titik itu. Dina memeluknya erat, satu tangan menopang punggungnya, tangan lain menepuk bahunya perlahan.

“Kau tidak sendiri, Din... kau dengar?” bisik Dina sambil menahan isak.

“Aku merasa... aku tidak berharga,” suara Nadine pecah di antara isak yang tak bisa ia redam.

“Jangan katakan itu. Kau lebih kuat dari yang kau kira.”

Tangisan Nadine tak langsung reda. Ia menunduk dalam pelukan sahabatnya, merasakan perih yang merayap sampai ke ujung-ujung jari. Dalam satu bagian dirinya, ia ingin bisa menahan semua ini sendirian, membuktikan bahwa ia tak lagi bergantung pada siapa pun—terutama pada lelaki yang sudah menghancurkan separuh jiwanya. Tapi ia juga tahu jika Dina tak datang hari ini, ia mungkin akan tenggelam dalam kesunyian yang lebih berbahaya daripada apa pun.

Perlahan mereka berdua melepaskan pelukan. Dina menarik napas panjang, mengusap matanya dengan punggung tangan. Nadine hanya bisa menunduk, merasakan kepalanya berat seperti diisi batu.

“Maaf,” bisik Nadine pelan.

“Tidak perlu minta maaf,” Dina menggeleng cepat. “Kalau kau mau menangis, menangis saja. Aku di sini.”

Mereka duduk di meja makan kecil di pojok ruang tamu. Dina membuka kantong belanja, mengeluarkan kotak nasi, sup ayam, beberapa bungkus kue kecil. Tangannya sibuk menata semua itu, tapi Nadine hanya menatap kosong. Sendok yang Dina letakkan di samping tangannya tak pernah berpindah tempat. Ia bahkan tak mampu mencium aroma apa pun, seakan indra penciumannya ikut mati bersama sisa harapannya.

Dina tidak memaksa. Ia hanya duduk di depannya, menggenggam jemari Nadine yang dingin, menunggu dalam diam yang panjang. Kadang Nadine berkedip, membiarkan air mata baru menggenang. Kadang Dina mengusap punggung tangannya, memberi kehangatan yang sedikit mengendurkan sesak.

Setelah entah berapa lama, Nadine akhirnya bersuara, begitu pelan hingga Dina harus mencondongkan tubuh untuk mendengarnya.

“Aku... aku benci diriku sendiri karena masih berharap dia akan berkata ini hanya kesalahan sesaat.”

“Itu bukan salahmu,” kata Dina cepat, tegas.

“Tapi kenapa rasanya semua harga diriku hilang?” Mata Nadine tak berkedip. Suaranya datar, seperti kekosongan yang tak bisa lagi ia tutupi dengan tangis.

Dina menarik napas panjang, menatapnya dengan sorot iba bercampur amarah. Amarah pada Raka, pada perempuan itu, pada keadaan yang memaksa Nadine merasa tak layak dihargai. Tapi ia tak berkata apa-apa lagi. Karena di saat-saat seperti ini, tak ada kalimat yang bisa betul-betul menyembuhkan.

Matahari turun pelan di luar jendela, menyaput langit senja dengan warna oranye yang dingin. Nadine bersandar di kursi, punggungnya menyentuh sandaran kayu yang keras. Rasanya tak ada yang lunak di dunia ini. Tak ada tempat yang sungguh-sungguh bisa membuatnya merasa aman.

Dan ia sadar, meski sudah pergi dari rumah itu, lukanya tetap ikut bersamanya.

Dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar mengakui pada diri sendiri: yang paling menyakitkan bukan pengkhianatan Raka—tapi bagaimana, di sudut hatinya yang terluka, ia masih mencintainya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sebelum Cinta Itu Hilang    Bab 12 - Adrian Yang Menawarkan Bahu

    Pagi yang begitu panjang akhirnya berganti siang. Nadine masih duduk di kursi rotan di teras rumah ibunya, tempat ia tadi membaca surat pengakuan yang membuat jantungnya seperti diremas. Di atas meja kecil, lembaran kertas itu terlipat rapi, seakan sudah menjadi bagian dari perabot rumah yang tak bisa ia singkirkan begitu saja. Ia menatapnya lama, tak tahu apakah lebih baik membuang atau menyimpannya.Tapi hari itu, ia terlalu letih untuk mengambil keputusan. Jadi ia hanya duduk, membiarkan waktu menetes tanpa upaya apa pun untuk menghentikannya. Angin siang bergerak pelan di sela dedaunan. Burung gereja hinggap di pagar, berkicau seakan dunia tak peduli pada luka-luka manusia.Ketika akhirnya ia berdiri dan masuk kembali ke kamar tamu yang sekarang menjadi tempatnya pulang, kepalanya berat. Ia melepas karet rambut, membiarkan helaian panjang itu jatuh berantakan di bahu. Ada denyut perih di pelipis, rasa lelah yang tak hanya datang dari kurang tidur tapi juga dari pikiran yang tak be

  • Sebelum Cinta Itu Hilang    Bab 11 - Surat Pengakuan

    Kesunyian pagi itu menenangkan dengan caranya sendiri. Setelah malam yang panjang dan sesak oleh segala percakapan yang tak pernah tuntas di kepalanya, Nadine terbangun tanpa mimpi. Rasanya seperti kosong, tapi bukan kosong yang mematikan. Lebih seperti ruang baru yang masih asing, menunggu diisi sesuatu yang lebih jujur dari kebohongan yang dulu menyesakkan napasnya.Ia duduk lama di tepi ranjang, mendengar detak jam di dinding seakan mengingatkannya bahwa waktu tak menunggu siapa pun. Bahkan bila hidupmu berantakan, pagi tetap akan datang, lampu-lampu tetap padam, suara ayam dari halaman rumah sebelah tetap terdengar. Semua berjalan, entah kau siap atau tidak.Langkah kakinya terasa berat saat menuju pintu depan. Matahari baru saja naik, menebar cahaya lembut di teras rumah ibunya. Nadine membuka pintu, berniat sekadar menarik napas segar, mencoba memulai hari dengan sedikit keberanian. Tapi matanya langsung menangkap sesuatu di atas keset. Sebuah amplop putih, bersih, tak bergeming

  • Sebelum Cinta Itu Hilang    Bab 10 - Titik Balik Pertama

    Kesunyian yang tertinggal di dalam rumah itu berbeda dari yang biasa Nadine rasakan. Ada ruang kecil di dadanya yang tidak lagi penuh amarah, meski belum juga diisi ketenangan. Barangkali itu yang disebut orang-orang sebagai awal dari pemulihan—ruang kosong yang pelan-pelan siap dihuni keberanian. Malam berlalu tanpa mimpi, hanya kelelahan yang mendekapnya hingga pagi.Saat sinar matahari merayap di lantai ubin, Nadine terbangun dengan jantung yang masih berdebar. Di dalam kepalanya, suara-suara masa lalu masih sering berbisik—Tania yang menelpon dengan nada lembut penuh kemenangan, Raka yang memohon maaf, bayang-bayang malam saat ia mengepak koper sambil menahan tangis. Tetapi pagi ini, sesuatu di dalam dirinya mendesak untuk tidak hanya diam. Ada sisa harga diri yang enggan mati.Ia menarik selimut, duduk di pinggir ranjang sempit kamar tamu. Pandangannya jatuh pada meja kecil di sudut, tempat laptop lama tergeletak berdebu. Sudah berapa lama sejak terakhir kali ia menyalakannya? Mu

  • Sebelum Cinta Itu Hilang    Bab 9 - Tekad Yang Tumbuh

    Tangannya masih gemetar saat menyeka pipi yang basah, memeluk Lio lebih erat. Anak itu hanya diam, wajahnya tertunduk di bahu Nadine, tubuh mungilnya hangat meski dunia di sekitar mereka terasa dingin dan remuk. Di ruang tamu yang hening, waktu berjalan pelan seperti ragu hendak bergerak maju.Tapi Nadine tahu: ia tak bisa terus seperti ini. Tangis, marah, dan rasa terhina bisa membuatnya hancur. Tapi jika ia diam saja, ia akan tenggelam di dalamnya.Malam itu, Nadine tidur dengan mata terbuka di ranjang kecil kamar tamu. Suara pesan suara Tania masih bergema di kepalanya, berulang-ulang, seperti lagu pahit yang tak mau berhenti. Bukan hanya kata-katanya yang menyakitkan, tapi nada suaranya. Lembut. Tenang. Penuh rasa menang."Aku minta maaf kau harus tahu begini. Tapi Raka lebih mencintaiku."Begitu mudah, begitu ringan ia mengatakannya. Seakan cinta bisa dicuri, seakan hati seseorang adalah milik umum yang bisa dimiliki siapa pun yang cukup berani merampasnya. Dan yang lebih menyaki

  • Sebelum Cinta Itu Hilang    Bab 8 - Percikan Dendam

    Malam yang panjang itu meninggalkan sisa kelelahan di seluruh tubuh Nadine. Pagi datang tanpa belas kasihan, menyingkap segala yang semalam hanya bisa ia sembunyikan dalam gelap. Ketika sinar matahari menembus tirai tipis, Nadine terbaring di ranjang kecil kamar tamu, menatap plafon yang bercak catnya menguning. Ia merasa seakan baru saja melewati berhari-hari di dalam satu malam saja.Beberapa saat ia hanya diam, membiarkan napasnya berhembus panjang, mencoba memastikan ia belum sepenuhnya hancur. Lalu pelan-pelan ia bangkit. Di ujung tempat tidur, buku jurnal terbuka menunggunya. Sampul cokelat yang usang seakan menjadi satu-satunya tempat di mana ia masih bisa mengaku pada dirinya sendiri sejujurnya.Ia duduk bersila, meraih pena, dan mulai menulis kalimat-kalimat yang tak sempat keluar dari bibirnya semalam. Tangannya bergerak cepat, tinta hitam meninggalkan jejak marah, sedih, dan penghinaan yang bercampur menjadi satu. Halaman demi halaman penuh coretan yang goyah. Jemarinya gem

  • Sebelum Cinta Itu Hilang    Bab 7 - Adrian Yang Hadir

    Langit belum sepenuhnya gelap saat Nadine mendengar suara mobil berhenti di depan pagar. Ia sedang duduk di ruang tamu, mengenakan kaus longgar dan celana rumah, kakinya terlipat di atas sofa. Rambutnya diikat asal, wajahnya tanpa riasan, hanya sisa lelah yang melekat di mata dan kulit yang belum sempat disentuh pelembap sejak pagi. Ia terlalu letih untuk peduli siapa yang datang, terlalu penuh oleh keheningan yang menggema seperti gema di dalam kepalanya.Langkah-langkah pelan mendekat ke pintu. Sri Ningsih yang sedang menyiram tanaman di belakang rumah berjalan tergesa ke depan dan membukanya. Nadine tak langsung bangkit. Tapi begitu sosok di ambang pintu muncul, tubuhnya menegang tanpa sadar.Adrian.Ia berdiri dengan raut lelah, jasnya masih rapi, dasi dilonggarkan, rambutnya sedikit acak seperti baru saja melewati hari panjang yang buruk. Tapi matanya menatap Nadine seperti seseorang yang baru menemukan kembali sesuatu yang hilang.“Boleh aku masuk?” tanyanya pelan.Nadine tidak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status