Ketika akhirnya ia bangkit dan mematikan lampu ruang tamu, Nadine tahu malam itu tak akan mudah berlalu. Dan besok, saat matahari terbit, ia harus memutuskan bagaimana caranya berdiri di atas puing-puing yang ditinggalkan seseorang yang dulu ia percaya tak akan pernah pergi.
Langkahnya pelan saat memasuki kamar tidur yang masih gelap. Bau sprei yang familiar menusuk hidung, mencampur pahit di kerongkongan. Lemari terbuka, seolah menunggu ia mengambil keputusan. Nadine menarik napas panjang, lalu mulai menarik satu per satu baju dari rak. Tangannya gemetar saat melipat kemeja, celana, dan gaun sederhana yang pernah ia pakai di hari ulang tahun pernikahan mereka. Semua terasa asing, seakan itu milik orang lain. Koper besar tergeletak di lantai, setengah terisi. Ia tidak tahu berapa lama akan pergi. Ia hanya tahu ia tak bisa tinggal di sini malam ini, tidak dengan luka yang masih terbuka. Di atas meja rias, foto pernikahan mereka tergeletak miring, sudut kacanya retak kecil. Nadine menatapnya sejenak sebelum memalingkan wajah, tak sanggup lagi berpura-pura. Suara langkah tergesa terdengar di lorong. Raka muncul di ambang pintu. Matanya sembab, kemejanya kusut seperti dirinya tak pernah pulang sama sekali. “Nadine... jangan lakukan ini,” suaranya serak, nyaris tak terdengar. “Aku harus pergi.” Nadine tak menoleh. Tangannya tetap melipat baju, menatanya di koper seakan itu satu-satunya yang bisa ia kontrol. “Setidaknya... biarkan Lio di sini. Jangan seret dia dalam—” “Jangan bicara seolah ini bukan salahmu.” Nadine menatapnya tajam. Mata mereka bertemu, dan di dalam sorot Raka, ia hanya menemukan penyesalan yang datang terlambat. Bel pintu tiba-tiba berbunyi, memecah kebekuan. Nadine berjalan keluar kamar tanpa ragu, langkahnya mantap melewati lorong rumah yang kini lebih mirip ruang asing. Ia membuka pintu, dan menemukan ibunya berdiri di sana, wajah lelah tapi matanya tegar. Tanpa kata, Nadine meraih ibunya dan memeluknya erat. Kehangatan itu membuat tangisnya yang sejak malam ia tahan pecah seketika. Tubuhnya bergetar saat Sri Ningsih mengusap punggungnya perlahan. “Sudah,” bisik ibunya lembut. “Mari pulang dulu.” Raka berdiri tak jauh, suaranya pecah saat mencoba bicara. “Bu... tolong... bujuk Nadine. Dia salah paham.” Sri Ningsih menatapnya lama. Tatapannya datar, penuh kecewa. “Kalau dia salah paham, itu karena kau memberinya alasan.” Tak ada lagi yang diucapkan setelah itu. Nadine kembali ke kamar, menarik resleting koper sampai menutup seluruh isi di dalamnya. Ia meraih ransel kecil Lio yang tergantung di belakang pintu—ransel bergambar dinosaurus yang selalu ia bawa ke sekolah. Fajar hampir merekah saat Nadine berdiri di depan pintu rumah, koper di tangan, Lio berdiri di sisinya dengan mata masih sembab. Raka mendekat, meraih bahunya. Sentuhan itu membuat Nadine menoleh, hanya sekali, cukup untuk melihat wajah lelaki yang dulu ia cintai dengan seluruh jiwanya. “Kau tak bisa pergi begini saja,” suara Raka bergetar, penuh gentar yang telat datang. “Aku tidak tahu kapan pulang,” ucap Nadine pelan, menatap lurus tanpa gentar. “Nadine...” “Aku butuh ruang,” ia menambahkan dengan suara yang hampir pecah, “dan kau juga.” Raka melepaskan genggamannya perlahan, seakan tak ingin percaya. Nadine menunduk menggenggam tangan Lio, lalu melangkah keluar rumah yang kini tak lagi terasa rumah. Mobil ibunya menunggu di depan. Sri Ningsih membuka pintu belakang, membantu Lio naik lebih dulu. Nadine masuk setelahnya, menoleh sekali ke arah teras yang diterangi lampu kuning pucat. Raka berdiri di sana, tangannya menggantung di sisi tubuh, wajahnya putih dan kosong. Tak ada ucapan salam perpisahan. Hanya pintu mobil yang menutup pelan, seakan menegaskan jarak yang tak akan bisa mereka jembatani malam itu. Mobil melaju pelan melewati jalanan sepi. Lampu-lampu kota tampak buram di balik kaca yang basah oleh embun. Lio bersandar di pangkuannya, matanya terpejam, napas berat. Nadine mengusap rambut anak itu dengan lembut, berusaha menenangkan hatinya sendiri yang masih gemetar. Ia menatap keluar jendela, menolak membayangkan apa yang akan terjadi besok. Malam ini saja sudah cukup berat untuk dihadapi. Rumah ibunya masih sama seperti dulu—sunyi, lapang, penuh bau kayu tua yang membuatnya merasa anehnya lebih aman. Nadine masuk ke kamar lamanya. Seprai bersih, tirai bergambar bunga, suara jangkrik yang datang dari halaman. Semua seolah mengembalikannya pada masa kecil yang jauh sebelum kebohongan menjadi bagian dari hidupnya. Ia duduk di tepi ranjang, menatap jendela yang mulai basah oleh embun pagi. Saat akhirnya berbaring, Nadine memejamkan mata, membiarkan air mata terakhir jatuh diam-diam di atas bantal. Ketika embun pagi merayap di kaca jendela, Nadine sadar satu hal: kepergiannya bukan akhir—hanya awal dari pertarungan yang lebih panjang. Dan entah bagaimana, aku tahu kebenaran yang sesungguhnya belum sepenuhnya terungkap.Pagi yang begitu panjang akhirnya berganti siang. Nadine masih duduk di kursi rotan di teras rumah ibunya, tempat ia tadi membaca surat pengakuan yang membuat jantungnya seperti diremas. Di atas meja kecil, lembaran kertas itu terlipat rapi, seakan sudah menjadi bagian dari perabot rumah yang tak bisa ia singkirkan begitu saja. Ia menatapnya lama, tak tahu apakah lebih baik membuang atau menyimpannya.Tapi hari itu, ia terlalu letih untuk mengambil keputusan. Jadi ia hanya duduk, membiarkan waktu menetes tanpa upaya apa pun untuk menghentikannya. Angin siang bergerak pelan di sela dedaunan. Burung gereja hinggap di pagar, berkicau seakan dunia tak peduli pada luka-luka manusia.Ketika akhirnya ia berdiri dan masuk kembali ke kamar tamu yang sekarang menjadi tempatnya pulang, kepalanya berat. Ia melepas karet rambut, membiarkan helaian panjang itu jatuh berantakan di bahu. Ada denyut perih di pelipis, rasa lelah yang tak hanya datang dari kurang tidur tapi juga dari pikiran yang tak be
Kesunyian pagi itu menenangkan dengan caranya sendiri. Setelah malam yang panjang dan sesak oleh segala percakapan yang tak pernah tuntas di kepalanya, Nadine terbangun tanpa mimpi. Rasanya seperti kosong, tapi bukan kosong yang mematikan. Lebih seperti ruang baru yang masih asing, menunggu diisi sesuatu yang lebih jujur dari kebohongan yang dulu menyesakkan napasnya.Ia duduk lama di tepi ranjang, mendengar detak jam di dinding seakan mengingatkannya bahwa waktu tak menunggu siapa pun. Bahkan bila hidupmu berantakan, pagi tetap akan datang, lampu-lampu tetap padam, suara ayam dari halaman rumah sebelah tetap terdengar. Semua berjalan, entah kau siap atau tidak.Langkah kakinya terasa berat saat menuju pintu depan. Matahari baru saja naik, menebar cahaya lembut di teras rumah ibunya. Nadine membuka pintu, berniat sekadar menarik napas segar, mencoba memulai hari dengan sedikit keberanian. Tapi matanya langsung menangkap sesuatu di atas keset. Sebuah amplop putih, bersih, tak bergeming
Kesunyian yang tertinggal di dalam rumah itu berbeda dari yang biasa Nadine rasakan. Ada ruang kecil di dadanya yang tidak lagi penuh amarah, meski belum juga diisi ketenangan. Barangkali itu yang disebut orang-orang sebagai awal dari pemulihan—ruang kosong yang pelan-pelan siap dihuni keberanian. Malam berlalu tanpa mimpi, hanya kelelahan yang mendekapnya hingga pagi.Saat sinar matahari merayap di lantai ubin, Nadine terbangun dengan jantung yang masih berdebar. Di dalam kepalanya, suara-suara masa lalu masih sering berbisik—Tania yang menelpon dengan nada lembut penuh kemenangan, Raka yang memohon maaf, bayang-bayang malam saat ia mengepak koper sambil menahan tangis. Tetapi pagi ini, sesuatu di dalam dirinya mendesak untuk tidak hanya diam. Ada sisa harga diri yang enggan mati.Ia menarik selimut, duduk di pinggir ranjang sempit kamar tamu. Pandangannya jatuh pada meja kecil di sudut, tempat laptop lama tergeletak berdebu. Sudah berapa lama sejak terakhir kali ia menyalakannya? Mu
Tangannya masih gemetar saat menyeka pipi yang basah, memeluk Lio lebih erat. Anak itu hanya diam, wajahnya tertunduk di bahu Nadine, tubuh mungilnya hangat meski dunia di sekitar mereka terasa dingin dan remuk. Di ruang tamu yang hening, waktu berjalan pelan seperti ragu hendak bergerak maju.Tapi Nadine tahu: ia tak bisa terus seperti ini. Tangis, marah, dan rasa terhina bisa membuatnya hancur. Tapi jika ia diam saja, ia akan tenggelam di dalamnya.Malam itu, Nadine tidur dengan mata terbuka di ranjang kecil kamar tamu. Suara pesan suara Tania masih bergema di kepalanya, berulang-ulang, seperti lagu pahit yang tak mau berhenti. Bukan hanya kata-katanya yang menyakitkan, tapi nada suaranya. Lembut. Tenang. Penuh rasa menang."Aku minta maaf kau harus tahu begini. Tapi Raka lebih mencintaiku."Begitu mudah, begitu ringan ia mengatakannya. Seakan cinta bisa dicuri, seakan hati seseorang adalah milik umum yang bisa dimiliki siapa pun yang cukup berani merampasnya. Dan yang lebih menyaki
Malam yang panjang itu meninggalkan sisa kelelahan di seluruh tubuh Nadine. Pagi datang tanpa belas kasihan, menyingkap segala yang semalam hanya bisa ia sembunyikan dalam gelap. Ketika sinar matahari menembus tirai tipis, Nadine terbaring di ranjang kecil kamar tamu, menatap plafon yang bercak catnya menguning. Ia merasa seakan baru saja melewati berhari-hari di dalam satu malam saja.Beberapa saat ia hanya diam, membiarkan napasnya berhembus panjang, mencoba memastikan ia belum sepenuhnya hancur. Lalu pelan-pelan ia bangkit. Di ujung tempat tidur, buku jurnal terbuka menunggunya. Sampul cokelat yang usang seakan menjadi satu-satunya tempat di mana ia masih bisa mengaku pada dirinya sendiri sejujurnya.Ia duduk bersila, meraih pena, dan mulai menulis kalimat-kalimat yang tak sempat keluar dari bibirnya semalam. Tangannya bergerak cepat, tinta hitam meninggalkan jejak marah, sedih, dan penghinaan yang bercampur menjadi satu. Halaman demi halaman penuh coretan yang goyah. Jemarinya gem
Langit belum sepenuhnya gelap saat Nadine mendengar suara mobil berhenti di depan pagar. Ia sedang duduk di ruang tamu, mengenakan kaus longgar dan celana rumah, kakinya terlipat di atas sofa. Rambutnya diikat asal, wajahnya tanpa riasan, hanya sisa lelah yang melekat di mata dan kulit yang belum sempat disentuh pelembap sejak pagi. Ia terlalu letih untuk peduli siapa yang datang, terlalu penuh oleh keheningan yang menggema seperti gema di dalam kepalanya.Langkah-langkah pelan mendekat ke pintu. Sri Ningsih yang sedang menyiram tanaman di belakang rumah berjalan tergesa ke depan dan membukanya. Nadine tak langsung bangkit. Tapi begitu sosok di ambang pintu muncul, tubuhnya menegang tanpa sadar.Adrian.Ia berdiri dengan raut lelah, jasnya masih rapi, dasi dilonggarkan, rambutnya sedikit acak seperti baru saja melewati hari panjang yang buruk. Tapi matanya menatap Nadine seperti seseorang yang baru menemukan kembali sesuatu yang hilang.“Boleh aku masuk?” tanyanya pelan.Nadine tidak