"Maura, kamu nggak apa-apa, Nak?? Maura? Maura?" Panggilan lembut beberapa kali membuat Maura membuka matanya perlahan.
Dia menatap langit-langit kamar dan mulai teringat bahwa sebelum terjatuh dia berada di sisi ranjang Dewangga. Di sampingnya, oma Ambar duduk menggenggam tangannya dengan wajah khawatir. Kemudian Maura merasakan pijatan lembut dan hangat di kakinya. Mia ada di ujung ranjang sambil mengoleskan minyak dan memijat kakinya, sementara Yanti datang membawa teh hangat. "Syukurlah kamu udah sadar." Kekhawatiran di wajah oma Ambar sedikit berkurang. "Kamu kenapa? Bagian mana yang sakit?" "Oma?" Maura mencoba bangkit untuk duduk, kepalanya masih sedikit pusing ditambah sakit akibat benturan. "Jangan bergerak terlalu banyak. Kamu minum dulu tehnya. Dewangga lagi menghubungi dokter," kata oma Ambar sambil menyodorkan teh yang dibawa Yanti. Maura menoleh ke tempat lain, kemudian meminum setengah cangkir. Di dekat jendela, Dewangga masih berbicara dengan seseorang di telepon. "Saya tunggu, Dok," ujar pria itu mengakhiri panggilan teleponnya, dan berjalan ke arah oma Ambar. "Dokter akan segera datang." "Baguslah." Oma Ambar mengangguk. "Ayo, kamu tiduran dulu," lanjut wanita tua itu sambil menepuk punggung tangan Maura dan membantu Maura berbaring di tumpukan bantal yang dibuat lebih tinggi. "Kenapa kamu bisa jatuh? Apanya yang sakit?" tanya oma Ambar dengan wajah yang masih cemas. "Aku ...." Maura ragu ketika sepotong kecil ingatan asing hadir di kepalanya. Dia melirik Dewangga yang memasang wajah datar sambil menatapnya. "Aku nggak apa-apa, Oma. Cuma sedikit kecapekan dan kayaknya kurang darah juga, deh." "Kecapekan? Kurang darah? Apa kamu nggak makan dengan baik? Nggak istirahat dengan baik?" Oma Ambar semakin terlihat cemas. "Ada apa sebenarnya, Maura? Apa kelas memasaknya terlalu berat?" "Nggak, Oma, kelas memasaknya seru. Sekarang aku udah baik-baik aja, kok. Oma jangan khawatir, ya." "Untung tadi Mia masuk ke kamar ini sambil bawa baju Dewangga yang udah disetrika. Kalau nggak, mungkin kamu jatuh nggak ada yang tahu sebelum Dewangga kembali ke sini," ujar oma Ambar dengan ekspresi wajah sedih. "Apa kita ke rumah sakit aja buat periksain kamu?" "Oma nggak usah khawatir. Aku udah baikan sekarang. Cuma butuh tidur aja kayaknya. Kebetulan juga aku udah ngantuk," kata Maura sambil berpura-pura menguap. "Ini, tangan kamu lecet-lecet begini kenapa?" tanya oma Ambar sambil meraih tangan Maura yang lecet kemerahan. "Kalau tangan oma kayak gini biasanya dari panasnya detergent pas nyuci baju sendiri waktu dulu. Kamu nggak mungkin nyuci baju sendiri, kan?" "Eh? Nggak, kok, Oma," sanggah Maura berbohong. "Aku nggak mungkin nyuci baju sendiri. Buat apa coba? Kan ada Mia." Oma Ambar menatap Mia yang tersenyum kecut sambil tetap memijat kaki Maura. "Beneran kamu nggak nyuci baju sendiri?" tanya oma Ambar memastikan. Maura mengangguk. "Beneran, kok, Oma. Mungkin ini karena aku sempat ganti sabun cuci tangan. Sabunnya udah aku ganti lagi kemarin, kok, ke sabun yang biasa dipakai." Oma Ambar mengangguk sambil menghela napasnya panjang. "Oma, ini udah malam. Oma istirahat aja. Biar saya yang urus Maura. Lagipula ada Mia juga di sini, yang bantuin," ucap Dewangga membujuk. "Nggak. Oma pengen nungguin dokter datang. Kalau dokternya udah di sini dan bilang sendiri kalau Maura baik-baik aja, baru oma kembali ke kamar," tolak wanita tua itu. "Oma, sebaiknya Oma istirahat." Maura juga ikut membujuk. "Aku udah agak apa-apa, Oma." "Nggak. Pokoknya oma mau di sini." Dokter tiba tak lama kemudian. Dia segera memeriksa keadaan Maura. "Dokter, gimana keadaan cucu menantu saya?" tanya oma Ambar dengan wajah gusar. "Keadaan ibu Maura—" "Dokter, mari kita bicara sebentar," pinta Dewangga memotong pembicaraan. Dokter wanita itu berdiri sambil mengangguk dan mengikuti Dewangga ke dekat pintu balkon. "Apa keadaannya baik-baik saja?" tanya Dewangga dengan suara perlahan sambil mengamati oma Ambar, memastikan suaranya tak sampai pada wanita tua itu. "Saat ini dia dalam keadaan amnesia, Dok." "Keadaan ibu Maura sekarang sudah lebih baik. Hanya saja, sebaiknya besok dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Pasien amnesia butuh perawatan yang tepat dan dukungan dari orang-orang terdekatnya. Biasanya mereka lebih rentan mengalami stress dan tekanan walaupun keadaan tubuhnya baik-baik saja." Dewangga mengangguk. "Tolong katakan pada oma saya bahwa Maura baik-baik saja. Beliau mengidap penyakit jantung. Jangan sampai beliau terkejut dan jatuh sakit," pinta pria itu penuh harap. "Baiklah." Dokter itu mengangguk setuju dan menjelaskan perihal kondisi Maura pada oma Ambar sehingga wanita tua itu sedikit lega. Setelah mengantar dokter sampai pintu depan, dia kembali ke kamar. "Oma, Maura tak apa-apa," ujar pria itu. "Sebaiknya Oma segera beristirahat." "Tapi, Dewangga—" "Besok pagi saya akan bawa Maura ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Jadi untuk sekarang Oma istirahat dulu. Saya tak mau Oma juga masuk ke rumah sakit sebagai pasien gara-gara tak mau istirahat." "Iya, iya. Oma istirahat sekarang. Oma akan kembali ke kamar tamu," ujar wanita itu sambil berdiri. "Maura, kamu lekas sehat, ya, Nak, ya." "Ya, Oma." Maura mengangguk sambil tersenyum. "Yanti, antar Oma ke kamarnya. Hati-hati saat di tangga," pinta Dewangga dengan nada tegas. "Baik, Tuan." Yanti segera mengangguk dan berjalan di sisi oma Ambar, diikuti Mia yang juga berpamitan. Ketika oma Ambar, Yanti, dan Mia telah berlalu, Maura menyibak selimut yang menutupi tubuhnya dan turun dari ranjang. "Mau ke mana kamu?" tanya Dewangga dingin. "Aku ... mau kembali ke kamar," jawab Maura sambil berdiri mengenakan sandalnya. "Diam di sini, kembali lagi ke ranjang," ucap Dewangga setengah memerintah. Maura tertegun sesaat dan menatap pria itu ragu. "Tapi bukannya kamu nggak suka aku ada di sini?" tanya Maura hati-hati. "Memang iya," jawab Dewangga terus terang. "Lantas kamu pikir oma Ambar tak akan kembali ke sini untuk memeriksa keadaanmu tengah malam nanti?" "Memangnya oma Ambar akan melakukan hal itu?" Maura kembali tertegun sambil berpikir. "Naik lagi ke ranjang dan tidur di sana," perintah Dewangga dengan lebih tegas lagi. Maura melepas sandalnya dan kembali naik. Dia berbaring dengan penuh keraguan. Sepotong ingatan itu, membuatnya sangat waspada dan ingin melarikan diri sejauh mungkin dari Dewangga. Jelas, pria itu membencinya. Lampu utama kamar telah dimatikan. Penerang ruangan hanya dari lampu tidur di kedua sisi ranjang. Dewangga naik ke ranjang yang sama dan berbaring di sisi Maura, namun masih ada jarak yang cukup jauh di antara mereka. "Kamu mau tidur di sini?" Maura terkejut sambil bangun dan duduk. "Ini ranjangku. Memangnya kalau saya tak tidur di sini mau tidur di mana? Di lantai?" Dewangga menutup matanya sambil menjadikan salah satu lengannya sebagai bantal. Maura menghela napasnya panjang, kemudian dia bergeser lebih jauh dan menatap langit-langit kamar. "Kamu takut?" tanya Dewangga sambil membuka matanya dan menoleh menatap Maura. Maura terdiam meremas selimut yang dipakainya, yang juga dikenakan Dewangga. "Asal kamu tahu, Maura. Dulu kamu selalu ingin naik ke ranjangku," ujar Dewangga datar. "Tapi dulu kamu mengusirku dengan kasar," ucap Maura sambil menatap Dewangga. Kedua pasang mata itu saling bertatapan. "Jadi kamu ingat itu?" tanya Dewangga. "Aku baru mengingatnya tadi, sedikit." "Oh, baguslah. Aku bahkan bisa mengusirmu dari rumah ini lebih cepat jika oma Ambar tahu kita pisah ranjang selama ini." Dewangga kembali memejamkan matanya. "Ini sudah malam. Aku tak peduli kamu mau tidur atau tidak. Tapi aku tak ingin diganggu." *** Keesokan harinya, Maura dan Dewangga sudah berada di rumah sakit. Setelah menjalani beberapa tes dan pemeriksaan, Maura duduk di depan seorang dokter bersama Dewangga. "Keadaan ibu Maura cukup baik. Tak ada gangguan kognitif. Perawatan yang dijalani di Perancis sudah tepat," kata seorang dokter sambil membaca hasil pemeriksaan yang baru dilakukan maupun laporan kesehatan Maura yang sebelumnya. "Namun, ibu Maura masih membutuhkan psikolog atau konselor, juga dukungan dari orang-orang terdekatnya agar stress dan tekanannya jauh berkurang." "Baik, Dok. Terima kasih." Dewangga menatap Maura sejenak. "Kalau begitu kami permisi." Dokter itu mengangguk dengan ramah serta memberikan sedikit kalimat dukungan untuk Maura sebelum mereka benar-benar beranjak pergi. Maura dan Dewangga berjalan meninggalkan lobi rumah sakit setelah mengambil obat dan vitamin. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. "Ayo, Maura. Satu jam setengah lagi saya ada pertemuan penting. Jangan berjalan terlalu lama, saya tak ingin terlambat." Langkah Dewangga yang besar dan panjang, membuat Maura yang mengenakan heels 5 sentimeter sedikit kesusahan menyesuaikan langkah kakinya yang kecil. Beberapa kali wanita itu harus sedikit berlari agar dia tak ketinggalan. Ketika keduanya baru mencapai pintu keluar, pijakan kaki Maura goyah dan pergelangan kakinya tertekuk ke samping. Sontak membuat tubuhnya ambruk menabrak tubuh Dewangga yang tegap. Dengan sigap, pria itu menangkap bahu dan pinggang Maura, kemudian menatapnya tajam. Desiran aneh yang asing namun familiar menjalar di dasar hati Maura ketika dia menatap sepasang mata tajam milik Dewangga. Tak! Jentikan jari di dahinya membuat Maura terperanjat. "Jangan bengong," kata Dewangga sambil membantu Maura berdiri tegak. "Kakimu baik-baik saja?" "Aku nggak apa-apa," jawab Maura berbohong menahan sakit. "Baguslah." Pria itu kembali berjalan, dan Maura kembali mengikuti dengan langkah pincang. "Katamu kakimu baik-baki saja," gerutu Dewangga ketika dia melihat langkah Maura yang terseok-seok. Pria itu segera membantu Maura duduk di salah satu kursi tunggu, kemudian berjongkok melihat pergelangan kaki Maura yang kemerahan. "Kalau dipaksakan berjalan mungkin akan tambah sakit dan bengkak," kata Dewangga. "Aku nggak apa-apa, Dewangga. Tadi kamu bilang kalau kamu lagi buru-buru. Kamu pergi duluan aja, aku bisa pulang sendiri pakai taksi online nanti," ujar Maura sambil menarik kakinya yang masih disentuh pria itu. Dewangga menarik napasnya sambil menatap Maura, kemudian dia berdiri. "Kita masih di rumah sakit. Ayo, periksakan dulu kakimu," ucapnya sambil membantu Maura berdiri. "Nggak usah," tolak Maura cepat. "Cuma butuh istirahat satu atau dua hari, nanti juga sembuh sendiri." *** "Kamu ikut dulu ke kantor," kata Dewangga saat keduanya sudah berada di dalam mobil dan dia duduk di belakang kemudi, sementara Maura duduk di sampingnya. Kakinya baru saja diolesi minyak gosok aroma terapi. "Aku udah bilang kalau aku bisa pulang sendiri," jawab Maura keberatan ketika Dewangga membawanya serta. "Kamu sepertinya ingin sekali aku bermasalah dengan oma," ujar Dewangga sehingga membuat Maura menoleh terkejut. "Aku nggak-" "Kamu lupa apa yang oma katakan sebelum kita berangkat ke rumah sakit tadi?" tanya pria itu mengingatkan dengan nada sedikit tinggi. "Dia bilang aku sendiri yang harus mengantarmu pulang dalam keadaan baik-baik saja." "Oh, itu ... aku bisa jelasin ke oma nanti." "Aku akan antar kamu pulang setelah pertemuan selesai," kata Dewangga menutup pembicaraan. Setelah lebih dari saru jam dalam perjalanan, mobil masuk ke area parkir khusus. Dewangga memapah Maura turun dari mobil dan masuk ke lift. Pria itu memeriksa jam di pergelangan tangan. waktunya sudah tak banyak lagi dan ponselnya berbunyi entah yang keberapa kali. "Ya, Alena?" kata Dewangga mengangkat panggilannya dan Alena berbicara sesuatu, namun Maura tak dapat mendengarnya dengan jelas. "Jangan khawatir. Saya sudah berada di lift. Lima menit lagi saya sampai." Dewangga mematikan panggilannya. "Aku akan mengantarmu ke ruang kerjaku," ucapnya sambil merapikan dasinya, tepat ketika pintu lift berhenti dan terbuka di lantai tempatnya bekerja. "Ayo." Dewangga keluar dari lift sambil memapah Maura. Beberapa pasang mata memperhatikan keduanya sambil saling melirik diam-diam dan bergosip ketika keduanya telah berlalu. Dewangga mendorong pintu ruang kerjanya dan membawa Maura masuk. "Duduklah aku akan—" "Bos, saya pikir Anda akan—" Zefan langsung mendorong pintu ruang kerja Dewangga yang tak tertutup rapat ketika Maura baru saja duduk di sofa. Dia tak meneruskan lagi kalimatnya namun wajahnya berubah syok. "Nyonya Maura?! Bagaimana Anda bisa ada di sini?!" Keterkejutan tak dapat Zefan sembunyikan. Selama Dewangga menikah, baru kali ini bosnya membiarkan Maura datang ke kantor. Padahal dulu, pria tak berperasaan itu tak pernah sekalipun mengizinkan Maura menginjakkan kakinya walaupun hanya di tempat parkir. Tapi hari ini dia melihatnya duduk di sofa ruangan kerja bosnya. Bagaimana bisa? Apa yang sebenarnya terjadi? "Oh? Aku ...." Maura hendak berdiri, tapi Dewangga menahan bahunya agar dia tetap duduk. "Zefan, apa Dewangga udah .... Oh, Dewangga. Baguslah kamu udah dat—" Alena datang dengan beberapa berkas di tangannya. Wajahnya berubah syok sama seperti Zefan ketika dia melihat Maura di sana. "Maura?! Kamu ngapain di sini?!"“Menikahlah dengan Dewangga.”Satu kalimat yang dilontarkan oma Ambar itu meruntuhkan sunyi, namun membangun keraguan di hati Maura.Maura mendongak, menatap wanita baya yang masih cantik dan anggun itu, yang duduk di sofa tepat di depannya sambil tersenyum menikmati secangkir teh hangat yang terhidang.Sudah empat hari berlalu sejak saat itu. Dia pun sudah menjelaskan detail kejadian menurut ingatannya. Bahkan dia sudah melakukan visum.Tak ada aktivitas fisik yang dicurigai. Tak ada kejadian apapun. Mereka murni hanya tidur bersama walau tanpa sehelai benangpun.Meski begitu, Dewangga tetap marah padanya.“Oma, tapi ‘kan menurut keterangan dokter, aku ….”“Oma tahu.” Oma Ambar mengangguk, masih tersenyum. “Tapi Maura, kalau kejadian ini bocor ke publik, citra keluarga kita akan rusak. Dan kemungkinan buruk, bisa berdampak pada perusahaan yang tengah dikelola Dewangga sekarang. Ini semua bukan demi oma atau siapapun, tapi demi kebaikan Dewangga. Kamu mau, 'kan, nikah sama dia?”Maura
“Maura, lihat.” Alena datang membuka pintu kamar Maura tanpa permisi. “Ini gaun baru yang aku dan mama pilih buatmu. Cantik, ‘kan?” Dengan wajah sumringah, dia memperlihatkan sebuah gaun merah anggur yang ditaburi kilauan sekuin, saat Maura tengah menulis sesuatu di buku diary-nya sambil telungkup di atas ranjang di kamarnya. Maura menoleh dengan wajah datar menatap gaun di tangan Alena yang masih sama seperti gaun-gaun lain yang mereka berikan untuknya. Gaun dengan potongan rendah dan pendek. Gaun seksi yang menonjolkan lekuk tubuhnya. “Gaun buat apa?” tanyanya acuh tak acuh sambil menopang dagunya. “Kamu lupa? Malam ini kita harus menghadiri undangan pernikahan. Papa bilang, semua anggota keluarga harus ikut.” “Eh? Aku lupa!” seru Maura terkejut sambil bergegas duduk dan menerima gaun dari Alena. “Tapi … gaun ini terlalu seksi dibandingkan dengan gaun lainnya yang pernah kamu kasih, Alena. Aku malu kalau harus pakai ini.” “Apanya yang seksi? Gaun ini biasa aja, tahu,” ujar Ale
“Udah puas?” Maura menatap tajam Dewangga sambil melipat kedua tangannya di dada, menahan kekesalan.Tak pernah sebelumnya dia melihat sisi Dewangga yang seperti itu, impulsif seenaknya masuk ke rumah memeriksa segala sudut meski sudah dilarang.Pria itu dengan wajah acuh tak acuh hanya melirik Maura sekilas, kemudian lanjut memeriksa setiap jendela dan pintu yang tersisa.Dia tak hanya mencari keberadaan seseorang di sana, juga memastikan bahwa tempat wanita itu tinggal sangat aman.“Udah puas belum?” Maura mengulang pertanyaannya.“Udah.”“Kalau gitu kamu cepetan pulang,” kata Maura sambil mendorong punggung pria itu menuju pintu.“Tunggu, Maura. Ada yang mau aku bicarakan,” ucap Dewangga memutar tubuhnya, melepaskan diri dari dorongan Maura.“Masalah apa? Apa kamu ke sini buat nganterin surat panggilan dari pengadilan?”“Surat panggilan dari pengadilan?” Pria itu mengerutkan alisnya.“Aku nungguin surat panggilan buat sidang perceraian kita,” kata Maura lebih jelas.“Aku belum meng
Dewangga duduk di tepi ranjang kosong di kamar yang pernah Maura tempati di rumahnya sendiri. Semenjak wanita itu pergi dari sana, dia sering sekali memasuki kamar itu hanya untuk duduk diam dan merenung. Terkadang, dia juga tertidur di sana ditemani aroma stroberi yang tertinggal. Aroma kesukaan Maura. Bukankah bagus karena Maura sudah pergi dari rumahnya? Bukankah ini berita menggembirakan? Mengapa dia tetap saja merasa tak senang padahal sudah lewat dua minggu? Berkali-kali dia menghibur dirinya sendiri, namun selalu gagal. Ditatapnya sebuah gaun pink yang dibelinya untuk wanita itu. Gaun itu tergantung rapi dan bersih di atas standing hanger sebelah meja rias. Mengapa wanita itu meninggalkan gaunnya? Apakah dia tak menyukainya? Beberapa kali pria itu sempat meraih ponselnya, mengetik sebuah pesan untuk Maura, berniat menanyakan kabar atau keberadaannya. Namun berkali-kali pula dia urung melakukannya. ‘Apakah kamu benar-benar rela pergi gitu aja?’ gumamnya ratusan kali saat
Dua minggu berlalu, namun Maura masih belum mendapatkan surat panggilan untuk sidang perceraian, meski dia rutin memeriksa kotak surat maupun surelnya.Selama dua minggu itu, dia sibuk melakukan banyak hal di restoran, yang membuat pikirannya teralihkan dari masalah perpisahannya sehingga saat pulang nanti, dia sudah tak punya tenaga untuk memikirkan apapun lagi dan bisa langsung tidur pulas setelah mandi.“Sebaiknya besok kamu libur,” ujar Andreas begitu Maura hendak berpamitan untuk pulang sore itu bersama beberapa orang lainnya.“Tapi aku masih semangat kerja, Mas,” kata Maura keberatan.“Udah dua minggu kamu kerja terus tanpa ngambil libur, Maura. Kamu mungkin merasa sanggup, tapi lama-lama badan kamu bakal drop, lho,” protes Andreas dengan raut wajah khawatir. “Kamu terlalu memaksakan diri. Di sini, kamu banyak ngerjain apapun. Andy lagi nyuci piring aja kamu ambil alih dengan paksa. Pokoknya besok kamu libur, titik.”Maura membuka mulutnya hendak melayangkan protes, namun urung
“Seperti yang pernah kamu bilang dulu, sekarang aku benar-benar menyesal karena kita menikah. Jadi, ayo kita bercerai, Dewangga.”Bagi Maura, tak mudah mengatakan hal itu. Dia memang sangat mencintai Dewangga.Tentu saja Maura menyesal. Dia menyesal karena tak bisa melihat dengan jelas bahwa hati Dewangga benar-benar tertutup untuknya.Mengapa dia terus menerus melambungkan harapan untuk tetap bersama hingga berharap Dewangga akan membalas cintanya?‘Dewangga tertekan dan tak bahagia bersamaku.’Kenyataan itu sebenarnya sudah disadarinya sejak awal. Namun harapannya yang terlalu tinggi memaksanya untuk bertahan dalam pernikahan yang tak bahagia.Maura juga menyadari bahwa dia tak benar-benar bahagia melihat Dewangga tak bahagia.Dia ingat, mereka selalu bertengkar setiap kali bertemu. Dia juga ingat bahwa dia terlalu menuntut Dewangga agar memperlakukannya seperti seorang istri.Tentu saja Dewangga tak sanggup karena dia terpaksa menikahi Maura.Maura juga tahu, ada banyak kesalahpaha