Home / Rumah Tangga / Sebelum Kita Bercerai / Bab 6. SEPENGGAL INGATAN

Share

Bab 6. SEPENGGAL INGATAN

Author: Clau Sheera
last update Last Updated: 2023-08-20 18:54:55

"Dia jemput kamu?" tanya Andreas sambil menatap ekspresi wajah Maura yang terlihat kaget.

"Kayaknya iya." Maura mengangguk. "Aku pulang duluan, ya, Mas."

"Oke." Kini giliran Andreas yang mengangguk.

Maura beranjak menenteng tasnya dan meninggalkan sesuatu di meja.

"Maura," panggil Andreas ketika Maura hampir mencapai pintu keluar. "Masakan kamu ketinggalan."

Maura menoleh. Andreas berjalan cepat sambil menyodorkan rantang susun plastik berukuran sedang milik Maura yang berisi gulai ayam khas Minang yang baru dipelajarinya hari ini.

Kelas memasak itu memang memperbolehkan pesertanya membawa pulang masakan yang sudah mereka buat, karena itulah biayanya lumayan mahal bagi Maura.

"Terima kasih banyak, Mas," kata Maura sambil menerima rantang susunnya dan tersenyum lebar. "Aku pulang, ya." Maura melambaikan tangan.

"Ya, hati-hati di jalan."

Dewangga menatap tajam Maura dan Andreas bergantian. Hatinya diliputi rasa tak nyaman, kemudian dia menarik tangan Maura dan pergi begitu saja.

Andreas menatap kepergian Maura bersama pria yang menjemputnya. Tak ada perkenalan dan Maura pun tak mengenalkannya.

Siapa pria itu? Kekasihnya? Suaminya? Atau salah satu anggota keluarganya? Andreas sedikit penasaran.

Sementara itu, Maura berjalan bersama Dewangga di bawah payung yang sama menuju tempat parkir. Maura terdiam karena tak tahu harus berkata apa.

Mengapa Dewangga menjemputnya? Mengapa dia hanya membawa satu payung? Bukankah pria itu membencinya?

Sampai di dekat sebuah mobil, Dewangga membuka pintu belakang mobilnya.

"Naik."

Maura masuk ke dalam mobil itu dan duduk bergeser karena Dewangga pun masuk ke dalam mobil melalui pintu yang sama.

Dilihatnya ada orang yang tak dikenalnya di belakang kemudi, seorang pria muda yang cukup tampan walaupun tak setampan Dewangga. Tapi penampilannya sangat rapi.

"Halo, Nyonya Maura," sapa pria itu sambil menoleh dengan wajah ramah. "Saya Zefan. Pasti Anda lupa dengan saya. Saya asisten bos Dewangga."

"Oh? Halo. Salam kenal," jawab Maura sambil mengangguk kecil.

"Cepat jalan, Zefan," ucap Dewangga yang lebih mirip dengan perintah.

Mobil melaju dibawah guyuran hujan. Suasana di dalam mobil begitu hening.

Maura memilih diam sambil menggenggam pegangan rantang susun di pangkuannya dan menatap hujan di luar. Sementara Dewangga menunduk memainkan ponselnya dan Zefan fokus menyetir.

"Kenapa kamu tak bilang kalau kelas memasaknya diadakan hari ini?" Dewangga memecah sepi sambil tetap menunduk, membuat Maura menoleh sedangkan Zefan takjub tak percaya karena bosnya bersedia memulai pembicaraan dengan Maura. "Bagaimana dengan uang kursusnya? Kamu belum datang meminta uang padaku."

"Udah dibayar semua," jawab Maura singkat sambil kembali menatap ke luar.

"Sudah dibayar?" ulang Dewangga tak percaya sambil menoleh menatap Maura. "Bukannya tabunganmu tinggal sedikit lagi?"

Maura menoleh.

Bukankah pria itu sendiri yang memangkas lebih dari setengah uang bulanannya? Untuk apa dia bertanya lagi?

Maura memilih diam. Dia kembali menatap hujan di luar.

"Kenapa kamu tak datang meminta uang padaku?" tanya Dewangga sambil menatap Maura yang pandangannya terarah ke luar mobil.

"Nggak apa-apa, tabunganku masih cukup buat bayar kursus," jawab Maura menatap ke depan, ke jalanan yang mulai macet.

Dewangga terdiam menatap wanita itu.

Jika itu dulu, wanita itu akan terus menempelinya, menjadikannya pusat dunia dan sangat bergantung padanya dalam hal apapun.

Tapi sekarang wanita itu tak acuh seolah tak butuh apapun dan tak merengek maupun mengeluh padanya lagi. Apalagi mencari perhatian.

Drrttt.

Ponsel Maura bergetar. Wanita itu meletakkan rantang plastik di sampingnya dan merogoh tasnya.

Dilihatnya layar ponselnya yang retak karena kecelakaan tempo hari menyala. Ada sebuah pesan masuk dari nomor baru.

Maura tersenyum membaca isi pesan tersebut yang dikirim Andreas, sementara Dewangga yang masih menatapnya memalingkan wajahnya tak suka.

"Malam ini kita tidur di kamar yang sama," kata Dewangga sambil menatap lurus ke depan, ke arah jalanan.

"Hah?!" Maura yang sedang asyik berkirim pesan dengan Andreas menoleh terkejut.

Bahkan Zefan yang mendengarnya hampir menginjak rem.

"Kenapa?" tanya Maura heran.

"Oma mau menginap malam ini di rumah."

Biasanya kalau oma Ambar ingin menginap, pria itu akan mengeluarkan banyak alasan untuk menolak.

"Tapi—" Maura tak sempat bereaksi ketika Dewangga kembali bicara.

"Tak ada tapi, Maura. Beliau memiliki penyakit jantung. Jangan sampai oma tahu bahwa kita pisah kamar dan akan bercerai."

Maura berpikir sejenak.

Kalau Dewangga tak ingin oma Ambar tahu masalah mereka, apakah pria itu akan terus merahasiakan perceraian mereka kelak?

Lalu, kalau mereka tidur di kamar yang sama, bagaimana dia bisa tidur nyenyak?

"Saya datang menjemput kamu karena oma masih ada di rumah. Saya tak ingin membuat oma kecewa hanya gara-gara saya tak pulang bersamamu."

Maura tak tahu harus bagaimana menanggapi perintah Dewangga. Jadi dia memilih diam.

***

Tiba di rumah, oma Ambar menyambut kedatangan Maura dan Dewangga dengan perasaan bahagia.

"Kamu bawa apa, Maura?" tanya oma Ambar penasaran.

"Ini gulai ayam khas Minang hasil masakanku di kelas memasak hari ini, Oma," jawab Maura sambil mengangkat rantang di tangannya dan menggoyang-goyangkannya sedikit.

"Wah, oma nggak sabar buat nyicipin," kata oma Ambar dengan mata berbinar sambil mengambil alih rantang di tangan Maura. "Kalau gitu biar nanti Mia yang panasin, ya."

"Ya, Oma." Maura mengangguk tersenyum.

"Makan malam udah siap," ujar oma Ambar sambil menggandeng tangan Maura. "Kalian mandi dan ganti baju, kita makan bareng. Oma udah lama nggak nginep di sini. Jadi Oma harap kalian nggak keberatan ."

Maura mengangguk. "Aku senang Oma di sini."

"Oma tunggu kalian di meja makan, ya." Oma Ambar mengusap lengan Maura dan menatap Maura dan Dewangga bergantian.

"Kami tak akan lama," ujar Dewangga berjalan lebih dulu sambil melepaskan dasinya.

Oma Ambar mengangguk, sementara Maura menyusul Dewangga dan berjalan di belakangnya menuju lantai atas untuk mandi dan berganti pakaian.

***

Maura dan Dewangga duduk di depan meja makan bersama oma Ambar setengah jam kemudian.

"Maura, gulai ayamnya enak, lho," puji oma Ambar tulus.

"Aku bikinnya dibantuin sama chef-nya, Oma," jawab Maura berterus terang. "Jadi wajar kalau rasanya lumayan enak."

"Kamu nggak mau nyicipin masakan istri kamu, Dewangga?" tanya oma Ambar pada Dewangga yang sedang fokus makan dan tak menyentuh masakan Maura sedikit pun.

Dewangga mendongak sambil menatap sejenak oma Ambar dan Maura bergantian. Tangannya hampir terulur meraih sendok gulai ketika Maura berbicara.

"Mungkin mas Dewangga hari ini gak berselera makan gulai, Oma. Ini kan udah malam. Oma juga sebaiknya jangan makan gulai terlalu banyak, takut kolesterol," ujar Maura yang berpikiran bahwa Dewangga tak mau memakan masakannya.

Dewangga mengurungkan niatnya. Dia kembali makan dengan tenang tanpa mau terlibat banyak pembicaraan dengan kedua wanita di dekatnya.

***

"Maura, ikut saya ke ruang baca," kata Dewangga setelah mereka selesai makan malam.

Maura yang masih menikmati tehnya sambil mengobrol ringan dengan oma Ambar menoleh, begitu juga dengan oma Ambar.

"Oma, sebaiknya Oma segera beristirahat. Dari rumah Oma ke sini perjalanannya lebih dari satu jam, kan? Oma pasti capek," ujar Dewangga.

Oma Ambar tersenyum. "Baik, baik. Oma istirahat sekarang. Oma nggak akan gangguin kalian berdua," kata wanita tua itu sambil meletakkan cangkir tehnya dan berdiri.

Yanti, perawat oma Ambar segera mendekat dan menggandeng tangan wanita tua itu.

"Kalian berdua juga segera istirahat, ya." Oma Ambar menoleh sejenak.

Maura mengangguk. Dia segera berdiri mengikuti Dewangga ke ruang baca, sementara oma Ambar pergi ke kamar tamu.

Di ruang baca, Dewangga duduk di kursi kerjanya, sementara Maura memilih berdiri.

"Untuk apa kamu minta aku ke sini?" tanya Maura saat Dewangga tengah membuka laci sebelah kanan paling bawah meja kerjanya. "Apa ada tanda tangan yang terlewat?"

"Tanda tangan?" Dewangga balik bertanya dengan alis berkerut sambil mengeluarkan sebuah amplop coklat panjang dan meletakkannya di atas meja. "Tanda tangan apa?"

"Dua hari lalu aku udah tanda tangan berkas perceraian kita," jawab Maura. "Aku pikir kamu udah periksa."

Dewangga memeriksa lacinya yang paling atas. Di sana ada berkas perceraian mereka.

"Dua hari ini aku sibuk dan pulang larut. Jadi tak sempat datang ke ruangan ini," ujar pria itu sambil membuka lembaran demi lembaran untuk memastikan bahwa Maura tak melewatkan satu pun tanda tangannya di berkas itu.

Maura mengerutkan alisnya. "Kalau kamu gak ke sini, kenapa berkas itu bisa ada di dalam laci? Perasaan waktu itu aku simpan berkasnya di atas meja supaya bisa langsung kamu lihat."

"Mungkin mbok Narti atau Bu Asih yang memindahkan berkas ini saat datang untuk bersih-bersih."

Maura mengangguk mengerti.

"Ini ... ambillah," kata Dewangga sambil menyodorkan amplop yang tadi dikeluarkannya setelah pria itu meletakkan kembali berkasnya di laci.

"Ini apa?" Maura bertanya dengan bingung dan rasa sedikit penasaran.

"Buka saja."

"Uang? Untukku?" tanya Maura memastikan ketika dia melihat isinya.

"Untuk mengganti biaya kursus."

"Ohh." Maura tak menyangka Dewangga akan berbuat seperti itu. "Aku rasa kamu nggak perlu-"

"Kamu mau menolak? Bukankah uangmu sudah tak banyak lagi?" tanya Dewangga dengan ekspresi kesal. "Saya hanya tak ingin kamu membuat alasan untuk tetap tinggal di rumah ini setelah tiga bulan. Bukankah kamu sendiri yang meminta waktu untuk tetap tinggal karena belum siap pindah? Karena kamu tahu keuanganmu buruk?"

Maura terdiam membenarkan ucapan Dewangga. Dia sedang membutuhkan uang saat ini, jadi tak seharusnya dia menolak uang pemberian pria itu.

"Baiklah, terima kasih."

"Pergilah, saya ada sedikit pekerjaan. Malam ini kamu tidur lebih dulu di kamar saya."

Maura menatap pria itu gamang. Apakah dia benar-benar harus tidur di tempat tidur yang sama dengan pria itu?

"Ada apa? Apa saya harus mengulang perkataan saya?"

Maura menggeleng dan segera beranjak dari sana tanpa berbicara lagi.

***

Di dalam kamar Dewangga, Maura masih berdiri di balik pintu yang sedikit terbuka. Ini pertama kalinya dia memasuki kamar itu setelah kecelakaan.

Kamar itu lebih luas dari kamarnya saat ini, juga lebih rapi dan bersih. Ada satu set sofa tak jauh darinya, satu kursi santai di samping jendela besar, dan walking closet yang lebih luas dari yang ada di kamarnya.

Tempat tidurnya pun ukuran king size dengan penataan lampu ruangan yang apik.

Maura masih kebingungan. Apakah dia langsung tidur atau bagaimana? Tubuhnya sudah cukup lelah. Dua malam terakhir dia kurang tidur karena sibuk mengambil foto produk yang ingin dijualnya.

Maura berjalan ke arah tempat tidur, menginjak karpet lantai yang empuk.

Aroma wood dan amber tercium di udara, entah dari aroma parfum yang tertinggal, ataukah mungkin pengharum ruangannya yang beraroma seperti itu. Entah mengapa dia merasa sangat familiar.

Ketika dia mengangkat satu lututnya dan naik ke tempat tidur, bayangan asing menghantam pikirannya diikuti rasa sakit di kepala yang tak bisa dia jelaskan.

"Turun dari tempat tidurku sekarang, Maura!! Tidakkah kamu lihat dirimu yang seperti jalang?!"

Maura tercekat mematung di sisi tempat tidur sambil memegangi kepalanya.

"Turun sekarang juga!! Saya tak sudi kamu ada di kamar ini!!"

Siapa? Siapa yang berbicara?

Denyutan sakit di kepalanya semakin menjadi. Maura limbung kehilangan keseimbangan. Kepalanya terbentur nakas sebelum dia jatuh ke atas karpet.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 77. Ini Anakku

    “Maura, dokter bilang katanya kandunganmu lemah. Jadi kamu harus istirahat total seenggaknya selama trimester pertama ini.”Maura terdiam sambil menggigit bibirnya dan menatap Andreas yang duduk di samping ranjang pasien yang ditempatinya.“Maaf udah ngerepotin, Mas,” ucapannya perlahan. “Sebenarnya aku malu, karena hanya aku satu-satunya orang yang paling sering mengambil libur.”Andreas tersenyum lembut sambil menepuk punggung tangan Maura.“Nggak perlu malu, Maura. Aku paham keadaan kamu. Jadi mulai besok, sebaiknya kamu jangan masuk kerja dulu sampai kandunganmu cukup kuat. Kalau kamu tetap memaksakan bekerja, kemungkinan anak dalam kandunganmu nggak bisa bertahan.”“Mas, aku dipecat, ya?” tanya Maura dengan mata berkaca-kaca.Andreas tertawa pelan. “Nggak, lah. Kamu bisa kerja lagi kalau kandunganmu cukup kuat. Oke?”Maura terdiam sambil berpikir sejenak, lalu mengangguk.

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 76. Kabar dari Mawar

    Maura segera membaringkan tubuhnya begitu dia tiba di kamar. Dia sangat lelah hingga tak sanggup untuk melakukan apapun lagi. “Kondisi awal kehamilan seperti ini rentan keguguran. Sebaiknya Anda perbanyak istirahat, ya, Bu. Jangan terlalu banyak bekerja dan jangan terlalu lelah.” Nasihat dari dokter sebelum Maura meninggalkan ruang pemeriksaan terngiang-ngiang di telinganya. Haruskah dia menambah aktivitasnya agar kandungannya keguguran? Maura menggelengkan kepalanya begitu pemikiran itu terlintas di benaknya. Tak semudah itu dia memaksakan diri bekerja. Pulang dari rumah sakit saja sudah membuatnya kerepotan dan malas bergerak lagi. Wanita itu menatap foto janin yang dilihatnya tadi di monitor. Seukuran apakah anak itu sekarang? Pasti masih sangat kecil. Dia sangat penasaran sebenarnya. “Kasihan kamu kalau harus sampai lahir. Pasti kamu nggak dapat kasih sayang seorang ayah, sama sepertiku,” gumam Maura perlahan. Wanita itu meletakkan foto janinnya di atas nakas, lalu meraih

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 75. Jangan Sampai Dewangga Tahu

    Sore itu sebelum jam kerja berakhir, di dalam ruang kantor Dewangga, Alena duduk tenang menghadapi atasannya. “Kamu tahu alasan saya memintamu datang ke sini?” tanya Dewangga dengan nada dingin. “Apa karena saya ngambil sesuatu dari laci Anda?” tebak Alena, yang sudah menyiapkan diri jauh-jauh hari. “Lebih tepatnya saya mengambil sesuatu dari map biru tua yang Anda simpan di sana.” “Kenapa kamu lakuin itu?” tanya Dewangga, yang tak perlu repot memaksakan pengakuan dari wanita itu padahal dia sudah menyiapkan rekaman CCTV apabila wanita itu menyangkal. “Udah lama Anda ingin bercerai dari Maura. Udah tiga tahun, kan? Entah karena alasan sibuk, entah karena alasan lain, Anda menunda perceraian Anda. Anda yang dulu biasanya tak pernah ragu mengambil keputusan. Tapi Anda yang sekarang seolah bimbang. Saya cuma sedikit membantu mengirimkan dokumen itu,” kata Alena dengan nada suara yang tanpa ragu. “Mungkin … hari ini atau besok, Maura akan dapat undangan untuk mediasi.” Dewangga b

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 74. Garis Dua

    Jam menunjukkan waktu sekitar setengah sembilan malam.Dewangga menghentikan mobilnya di depan pintu pagar rumah Maura.Sepanjang perjalanan tak ada obrolan apapun di antara mereka.Bahkan mereka tak membahas soal oma Ambar yang meminta mereka menginap, namun mereka tolak dengan berbagai alasan dan memilih pulang.Dia yang dulu biasanya menurunkan Maura di jalan setelah jauh dari kediaman oma Ambar, kini rela mengantarkannya pulang. Padahal rumah mereka tak searah.Ternyata tak hanya Maura yang berubah, dia juga turut berubah.Maura segera membuka sabuk pengaman dan turun dari mobil, masih tanpa sepatah katapun.“Maura,” panggil Dewangga dengan ragu.Maura menoleh sebelum dia sempat menutup pintu mobil dengan bibir tertutup rapat.Hening sejenak, kemudian Dewangga menggelengkan kepalanya.“Nggak jadi,” ujarnya.Maura menutup pintu mobilnya segera, kemudian berjalan memasuki halaman rumahnya tanpa kata, tanpa mengucapkan terima kasih, tanpa menoleh apalagi berbasa-basi. Sementara itu,

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 73. Berjarak

    Sudah berlalu lebih dari seminggu sejak saat itu. Tak ada komunikasi apapun di antara Maura dan Dewangga.Istirahat siang itu, Dewangga yang berada di dalam ruang kantornya masih duduk di depan meja kerja.Di tangannya terdapat seberkas persyaratan yang sudah lengkap.“Mau di kirim sekarang?” Zefan yang berada di ruangan itu, mengalihkan perhatian pria itu.“Apanya?”“Berkas perceraian itu,” tunjuk Zefan dengan dagunya ke arah kertas-kertas di tangan Dewangga.“Nanti,” jawab Dewangga sambil membereskan berkasnya, lalu memasukkannya ke dalam map biru tua.“Ragu?” tebak pria berkacamata itu.Dewangga hanya mengangkat kelopak matanya, menatap Zefan sejenak, kemudian meletakkan map biru tua itu di atas tumpukan dokumen lain.“Anda tak pernah seperti ini sebelumnya,” kata Zefan meneruskan. “Biasanya Anda tak pernah ragu mengambil keputusan apapun.”D

  • Sebelum Kita Bercerai   Bab 72. Wanita Pengacau Pikiran

    Maura terburu-buru menuruni tangga dan berdiri di depan pintu.Di luar sana, Dewangga masih mengetuk, menunggu Maura membukakan pintunya.“Maura, buka pintunya!”“Nggak, Dewangga. Aku bilang, aku nggak leluasa ketemu siapapun,” ujar wanita itu, yang berdiri dengan gugup sambil menatap pintu yang terkunci.Ketukan di pintu berhenti.“Maura, kita harus membicarakan masalah semalam sampai jelas,” kata Dewangga dengan suara yang lebih rendah.“Masalah semalam udah jelas, Dewangga. Kita lupain aja semuanya,” ucap Maura sambil menelan ludahnya dan berjalan semakin mendekati pintu.“Lupain? Kamu benar-benar lupa kejadian semalam?” Suara Dewangga kali ini lebih rendah lagi, namun masih terdengar jelas.Maura bersandar di pintu, sambil menoleh ke samping seolah dia bisa melihat sosok pria itu di balik tubuhnya.“Aku nggak ingat,” jawab wanita itu sambil meremas ujung roknya. “Aku nggak tahu kenapa bisa ada di ka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status