"Dia jemput kamu?" tanya Andreas sambil menatap ekspresi wajah Maura yang terlihat kaget.
"Kayaknya iya." Maura mengangguk. "Aku pulang duluan, ya, Mas.""Oke." Kini giliran Andreas yang mengangguk.Maura beranjak menenteng tasnya dan meninggalkan sesuatu di meja."Maura," panggil Andreas ketika Maura hampir mencapai pintu keluar. "Masakan kamu ketinggalan."Maura menoleh. Andreas berjalan cepat sambil menyodorkan rantang susun plastik berukuran sedang milik Maura yang berisi gulai ayam khas Minang yang baru dipelajarinya hari ini.Kelas memasak itu memang memperbolehkan pesertanya membawa pulang masakan yang sudah mereka buat, karena itulah biayanya lumayan mahal bagi Maura."Terima kasih banyak," kata Maura sambil menerima rantang susunnya dan tersenyum lebar. "Sampai jumpa nanti." Maura melambaikan tangan."Ya, hati-hati di jalan."Dewangga menatap tajam Maura dan Andreas bergantian. Hatinya diliputi rasa tak nyaman, kemudian dia menarik tangan Maura dan pergi begitu saja.Andreas menatap kepergian Maura bersama pria yang menjemputnya. Tak ada perkenalan dan Maura pun tak mengenalkannya.Siapa pria itu? Kekasihnya? Suaminya? Atau salah satu anggota keluarganya? Andreas sedikit penasaran.Sementara itu, Maura berjalan bersama Dewangga di bawah payung yang sama menuju tempat parkir. Maura terdiam karena tak tahu harus berkata apa.Mengapa Dewangga menjemputnya? Mengapa dia hanya membawa satu payung? Bukankah pria itu membencinya?Sampai di dekat sebuah mobil, Dewangga membuka pintu belakang mobilnya."Naik."Maura masuk ke dalam mobil itu dan duduk bergeser karena Dewangga pun masuk ke dalam mobil melalui pintu yang sama. Dilihatnya ada orang yang tak dikenalnya di belakang kemudi, seorang pria muda yang cukup tampan walaupun tak setampan Dewangga. Tapi penampilannya sangat rapi."Halo, Nyonya Maura," sapa pria itu sambil menoleh. "Saya Zefan. Pasti Anda lupa dengan saya. Saya asisten bos Dewangga.""Oh? Halo. Salam kenal," jawab Maura sambil mengangguk kecil."Cepat jalan, Zefan," ucap Dewangga yang lebih mirip dengan perintah.Mobil melaju dibawah guyuran hujan. Suasana di dalam mobil hening.Maura memilih diam sambil menggenggam pegangan rantang susun di pangkuannya dan menatap hujan di luar. Sementara Dewangga menunduk memainkan ponselnya dan Zefan fokus menyetir."Kenapa kamu tak bilang kalau kelas memasaknya diadakan hari ini?" Dewangga memecah sepi sambil tetap menunduk, membuat Maura menoleh sedangkan Zefan takjub tak percaya karena bosnya itu bersedia memulai pembicaraan dengan Maura. "Bagaimana dengan uang kursusnya? Kamu belum datang meminta padaku.""Udah dibayar semua," jawab Maura singkat sambil kembali menatap ke luar."Sudah dibayar?" ulang Dewangga tak percaya sambil menoleh menatap Maura. "Bukankah tabunganmu tinggal tersisa sedikit?"Maura menoleh. Bukankah pria itu sendiri yang memangkas lebih dari setengah uang bulanannya? Untuk apa dia bertanya lagi?Maura tak ingin menjawab. Dia kembali menatap hujan di luar."Kenapa kamu tak datang meminta uang padaku?" tanya Dewangga sambil menatap Maura yang pandangannya terarah ke luar mobil."Gak apa-apa, tabunganku masih cukup buat bayar kursus," jawab Maura menatap ke depan, ke jalanan yang mulai macet.Dewangga terdiam menatap wanita itu. Jika itu dulu, wanita itu akan terus menempelinya, menjadikannya pusat dunia dan sangat bergantung padanya dalam hal apapun.Tapi sekarang wanita itu tak acuh seolah tak butuh apapun dan tak merengek maupun mengeluh padanya lagi. Apalagi mencari perhatian.Drrttt.Ponsel Maura bergetar. Wanita itu meletakkan rantang plastik di sampingnya dan merogoh tasnya.Dilihatnya layar ponselnya yang retak karena kecelakaan tempo hari menyala. Ada sebuah pesan masuk dari nomor baru.Maura tersenyum membaca isi pesan tersebut yang dikirim Andreas, sementara Dewangga yang masih menatapnya memalingkan wajahnya tak suka."Malam ini kita tidur di kamar yang sama," kata Dewangga sambil menatap lurus ke depan, ke arah jalanan."Hah?!" Maura yang sedang asyik berkirim pesan dengan Andreas menoleh terkejut.Bahkan Zefan yang mendengarnya hampir menginjak rem. Biasanya kalau oma Ambar ingin menginap, pria itu akan mengeluarkan banyak alasan untuk menolak. "Kenapa?" tanya Maura heran."Oma mau menginap malam ini di rumah.""Tapi—" Maura tak sempat bereaksi ketika Dewangga kembali bicara."Tak ada tapi, Maura. Beliau memiliki penyakit jantung. Jangan sampai oma tahu bahwa kita pisah kamar dan akan bercerai."Maura berpikir sejenak.Kalau Dewangga tak ingin oma Ambar tahu masalah mereka, apakah pria itu akan terus merahasiakan perceraian mereka kelak?Lalu, kalau mereka tidur di kamar yang sama, bagaimana dia bisa tidur nyenyak?"Saya datang menjemput kamu karena oma masih ada di rumah. Saya tak ingin membuat oma kecewa hanya gara-gara saya tak pulang bersamamu."Maura tak tahu harus bagaimana menanggapi perintah Dewangga. Apakah dia harus setuju begitu saja?***Oma Ambar menyambut kedatangan Maura dan Dewangga dengan perasaan bahagia."Kamu bawa apa, Maura?" tanya oma Ambar penasaran."Ini gulai ayam khas Minang hasil masakanku di kelas memasak hari ini, Oma," jawab Maura sambil mengangkat rantang di tangannya dan menggoyang-goyangkannya sedikit."Wah, oma gak sabar buat nyicipin," kata oma Ambar dengan mata berbinar sambil mengambil alih rantang di tangan Maura. "Kalau gitu biar nanti Mia yang panasin.""Ya, Oma." Maura mengangguk tersenyum."Makan malam udah siap," ujar oma Ambar sambil menggandeng tangan Maura. "Kalian mandi dan ganti baju, kita makan bareng. Oma udah lama gak nginep di sini. Jadi Oma harap kalian nggak keberatan ."Maura mengangguk. "Aku senang Oma di sini.""Oma tunggu kalian di meja makan, ya." Oma Ambar mengusap lengan Maura dan menatap Maura dan Dewangga bergantian."Kami tak akan lama," ujar Dewangga berjalan lebih dulu sambil melepaskan dasinya.Oma Ambar mengangguk, sementara Maura menyusul Dewangga dan berjalan di belakangnya menuju lantai atas untuk mandi dan berganti pakaian.***Maura dan Dewangga duduk di depan meja makan bersama oma Ambar setengah jam kemudian."Maura, gulai ayamnya enak, lho," puji oma Ambar tulus."Aku bikinnya dibantuin sama chef-nya, Oma," jawab Maura berterus terang. "Jadi wajar kalau rasanya lumayan enak.""Kamu gak mau nyicipin masakan istri kamu, Dewangga?" tanya oma Ambar pada Dewangga yang sedang fokus makan dan tak menyentuh masakan Maura sedikit pun.Dewangga mendongak sambil menatap sejenak oma Ambar dan Maura bergantian. Tangannya hampir terulur meraih sendok gulai ketika Maura berbicara."Mungkin mas Dewangga hari ini gak berselera makan gulai, Oma. Ini kan udah malam. Oma juga sebaiknya jangan makan gulai terlalu banyak, takut kolesterol," ujar Maura yang berpikiran bahwa Dewangga tak mau memakan masakannya.Dewangga mengurungkan niatnya. Dia kembali makan dengan tenang tanpa mau terlibat banyak pembicaraan dengan kedua wanita di dekatnya."Maura, ikut saya ke ruang baca," kata Dewangga setelah mereka selesai makan malam.Maura yang masih menikmati tehnya sambil mengobrol ringan dengan oma Ambar menoleh, begitu juga dengan oma Ambar."Oma, sebaiknya Oma segera beristirahat. Dari rumah Oma ke sini perjalanannya lebih dari satu jam, kan? Oma pasti lelah," ujar Dewangga.Oma Ambar tersenyum. "Baik, baik. Oma istirahat sekarang. Oma nggak akan gangguin kalian berdua," kata wanita tua itu sambil meletakkan cangkir tehnya dan berdiri.Yanti, perawat oma Ambar segera mendekat dan menggandeng tangan wanita itu."Kalian berdua juga segera istirahat, ya." Oma Ambar menoleh sejenak.Maura mengangguk. Dia segera berdiri mengikuti Dewangga ke ruang baca, sementara oma Ambar pergi ke kamar tamu.Di ruang baca, Dewangga duduk di kursi kerjanya, sementara Maura duduk di seberang meja."Untuk apa kamu minta aku ke sini?" tanya Maura saat Dewangga tengah membuka laci sebelah kanan paling bawah meja kerjanya. "Apa ada tanda tangan yang terlewat?""Tanda tangan?" Dewangga balik bertanya dengan alis berkerut sambil mengeluarkan sebuah amplop coklat panjang dan meletakkannya di atas meja. "Tanda tangan apa?""Dua hari lalu aku udah tanda tangan berkas perceraian kita," jawab Maura. "Aku pikir kamu udah periksa."Dewangga memeriksa lacinya yang paling atas. Di sana ada berkas perceraian mereka."Dua hari ini aku sibuk dan pulang larut. Jadi tak sempat datang ke ruangan ini," ujar pria itu sambil membuka lembaran demi lembaran untuk memastikan bahwa Maura tak melewatkan satu pun tanda tangannya di berkas itu.Maura mengerutkan alisnya. "Kalau kamu gak ke sini, kenapa berkas itu bisa ada di dalam laci? Perasaan waktu itu aku simpan berkasnya di atas meja supaya bisa langsung kamu lihat.""Mungkin mbok Narti atau Bu Asih yang memindahkan berkas ini saat datang untuk bersih-bersih."Maura mengangguk mengerti."Ini ... ambillah," kata Dewangga sambil menyodorkan amplop yang tadi dikeluarkannya setelah pria itu meletakkan kembali berkasnya di laci."Ini apa?" Maura bertanya dengan bingung dan rasa sedikit penasaran."Buka saja.""Uang? Untukku?" tanya Maura memastikan ketika dia melihat isinya."Untuk mengganti biaya kursus.""Ohh." Maura tak menyangka Dewangga akan berbuat seperti itu. "Aku rasa kamu gak perlu-""Kamu mau menolak? Bukankah uangmu sudah tak banyak lagi?" tanya Dewangga dengan ekspresi datar. "Saya hanya tak ingin kamu membuat alasan untuk tetap tinggal di rumah ini setelah tiga bulan. Bukankah kamu sendiri yang meminta waktu untuk tetap tinggal karena belum siap pindah?"Maura terdiam. Dewangga benar. Dia sedang membutuhkan uang saat ini, jadi tak seharusnya dia menolak uang pemberian pria itu."Baiklah, terima kasih.""Pergilah, saya ada sedikit pekerjaan. Malam ini kamu tidur lebih dulu di kamar saya."Maura menatap pria itu gamang. Apakah dia benar-benar harus tidur di tempat tidur yang sama dengan pria itu?"Ada apa? Apa saya harus mengulang perkataan saya?"Maura menggeleng dan segera beranjak dari sana tanpa berbicara lagi.***Di dalam kamar Dewangga, Maura masih berdiri di balik pintu yang sedikit terbuka. Ini pertama kalinya dia memasuki kamar itu setelah kecelakaan.Kamar itu lebih luas dari kamarnya saat ini, juga lebih rapi dan bersih. Ada satu set sofa tak jauh darinya, satu kursi santai di samping jendela besar, dan walking closet yang juga lebih luas dari yang ada di kamarnya.Tempat tidurnya pun ukuran king size dengan penataan lampu ruangan yang apik.Maura masih kebingungan. Apakah dia langsung tidur atau bagaimana? Tubuhnya sudah cukup lelah. Dua malam terakhir dia kurang tidur karena sibuk mengambil foto produk yang ingin dijualnya.Maura berjalan ke arah tempat tidur, menginjak karpet lantai yang empuk.Aroma wood dan amber tercium di udara, entah dari aroma parfum yang tertinggal, ataukah mungkin pengharum ruangannya yang beraroma seperti itu. Entah mengapa dia merasa sangat familiar.Ketika dia mengangkat satu lututnya dan naik ke tempat tidur, bayangan asing menghantam pikirannya diikuti rasa sakit di kepala yang tak bisa dia jelaskan."Turun dari tempat tidurku sekarang, Maura!! Tidakkah kau lihat dirimu yang seperti jalang?!"Maura tercekat mematung di sisi tempat tidur sambil memegangi kepalanya."Turun sekarang juga!! Saya tak sudi kamu ada di kamar ini!!"Siapa? Siapa yang berbicara?Denyutan sakit di kepalanya semakin menjadi. Maura limbung kehilangan keseimbangan. Kepalanya terbentur nakas sebelum dia jatuh ke atas karpet."Maura, kamu gak apa-apa, Nak?? Maura? Maura?" Panggilan lembut beberapa kali membuat Maura membuka matanya perlahan.Dia menatap langit-langit kamar dan mulai teringat bahwa sebelum terjatuh dia berada di sisi ranjang Dewangga. Di sampingnya, oma Ambar duduk menggenggam tangannya dengan wajah khawatir.Kemudian Maura merasakan pijatan lembut dan hangat di kakinya. Mia ada di ujung ranjang sambil mengoleskan minyak dan memijat kakinya, sementara Yanti datang membawa teh hangat."Syukurlah kamu udah sadar." Kekhawatiran di wajah oma Ambar sedikit berkurang. "Kamu kenapa? Bagian mana yang sakit?""Oma?" Maura mencoba bangkit untuk duduk, kepalanya masih sedikit pusing ditambah sakit akibat benturan."Jangan bergerak terlalu banyak. Kamu minum dulu tehnya. Dewangga lagi menghubungi dokter," kata oma Ambar sambil menyodorkan teh yang dibawa Yanti.Maura menoleh ke tempat lain, kemudian meminum setengah cangkir. Di dekat jendela, Dewangga masih berbicara dengan seseorang di telepon."Saya t
Lontaran pertanyaan dari Alena membuat Maura gugup.Mungkin dia telah melakukan kesalahan di masa lalu. Tapi sekarang, jangan sampai dia membuat Dewangga dan Alena bertengkar karenanya."Maaf, Alena. Aku bisa jelasin," kata Maura tak enak hati sambil berdiri.Wanita itu benar-benar mengira Dewangga dan Alena memiliki hubungan khusus."Duduk, Maura. Kakimu harus istirahat," ujar Dewangga menekan pundak Maura sehingga wanita itu kembali duduk. "Diam di sini. Tak ada yang perlu dijelaskan," lanjut pria itu dengan tegas. Dia mengerti dengan jelas maksud perkataan Maura yang mengira dirinya ada hubungan khusus dengan Alena."Tapi Dewang—""Saya yang membawa Maura ke sini." Dewangga memotong ucapan Maura sambil berdiri tegak, sekaligus menjawab pertanyaan Zefan dan Alena.Zefan maupun Alena semakin terkejut. Keduanya saling melempar pandang, sementara Maura semakin tak enak hati."Maura, kamu tunggu di sini. Aku akan memastikan pertemuan ini tak akan lebih dari satu jam," kata Dewangga sambi
Maura menoleh menatap Zefan, mempertanyakan apa yang Dewangga katakan."Oh, itu ... jadwalnya udah ditetapkan, Nyonya. Jam empat sore nanti Nyonya harus udah tiba di sana," kata Zefan."Kenapa kamu gak tanya dulu ke saya? Saya belum menyetujui apapun," protes Maura. "Sore ini saya ada kelas memasak.""Maaf, Nyonya. Saya yang salah. Saya gak tahu kalau nyonya udah ada rencana. Tapi ... gak mudah bikin janji sama psikolog ini, Nyonya." Zefan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dia sudah terbiasa menjadi kambing hitam bosnya, tetapi kejadian hari ini sedikit membuatnya kesal karena dia belum siap."Saya gak mau pergi ke psikolog hari ini," tolak Maura. "Jadwalnya ganti aja jadi besok pagi. Saya mau ikut kelas memasak aja.""Tidak bisa. Kakimu terkilir. Pastikan kondisi kakimu baik dulu baru ikut kelas memasak lagi," ujar Dewangga tegas, kemudian tatapannya berubah mengancam. "Jangan membuat oma selalu mencemaskanmu, Maura."Maura menarik napasnya. Ya, oma Ambar pasti akan semakin mencema
Alena dengan cepat menguasai perasaannya. Wanita itu tersenyum begitu manis dan memikat, dengan senyuman tulus dan polos."Jangan menuduhku sembarangan, Zefan. Itu bisa menjadi fitnah," kata Alena dengan sikap yang tenang sambil memperbaiki dasi Zefan yang sedikit miring. "Apa kamu punya buktinya?"Zefan mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa Alena mampu menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. Dia juga tahu senyum wanita itu saat ini adalah senyuman palsu."Aku belum memiliki bukti apapun. Tapi, kalau benar itu perbuatanmu, bukti pasti akan mengarah padamu, Alena," jawab Zefan sambil menyingkirkan tangan wanita itu."Kalau begitu, cari aja dulu buktinya," kata Alena sambil tersenyum. "Tapi bukti itu tak akan pernah ada karena memang aku tak melakukan apapun."Alena berlalu dari sana dengan tenang seolah tak pernah terjadi apapun, sementara Zefan mematung memikirkan hal yang baru saja Alena katakan."Semakin menyangkal, semakin besar dugaannya, dan semakin aku tak percaya," gumam Zefan
Meja penuh dengan beragam menu karena Maura memesan makanan lain lagi bersama Andreas.Obrolan mengalir didominasi oleh Maura dan Andreas. Sementara Dewangga hanya sedikit bicara sambil mempertahankan kesabarannya."Mas Andreas, bagaimana kelas memasak sore tadi? Apa menyenangkan?" tanya Maura penasaran.Andreas mengangguk sambil tersenyum. "Lumayan. Hanya saja ada cerita memilukan dari salah satu peserta.""Cerita memilukan? Apa ada peserta yang sakit?" tanya Maura penasaran sambil mengunyah makanan.Andreas menggeleng. "Ketika seluruh peserta kelas ditanya alasan mereka mengikuti program kelas memasak ini, salah satu peserta—bu Maya—menceritakan bahwa alasan dia ikut kelas memasak karena dia butuh hiburan.""Hiburan?" Maura masih tak mengerti letak memilukannya di mana."Ya. Saat ini bu Maya sedang menghadapi sidang perceraian dengan suaminya karena suaminya terbukti berselingkuh. Anak mereka hanya ada satu. Kedua belah pihak memperebutkan hak asuh anak, jadi sidangnya cukup alot dan
"Maaf, Alena. Kamu bisa bersama Dewangga nantinya," kata Maura perlahan dengan perasaan yang semakin bersalah. "Aku ... sudah menanda-tangani surat perceraian itu. Setelah tiga bulan, kalian bisa bersama secara resmi.""Begitukah?" Alena menatap Maura dengan pandangan rumit. Dalam hatinya, wanita itu bersorak karena tiba-tiba dia memiliki sebuah ide. "Mengapa harus menunggu tiga bulan? Mengapa tidak sekarang?""Itu karena aku—""Alena? Mengapa kamu ada di sini?"Di atas tempat tidur, Dewangga telah bangun dan duduk menatap keduanya yang tengah berada di ambang pintu."Hai, Dewangga. Selamat pagi," sapa Alena dengan senyum hangat. "Aku datang buat jemput kamu. Kenapa kamu baru bangun? Ini udah siang.""Kalian ngobrol aja dulu. Aku mau mandi di kamar sebelah," kata Maura sambil terburu-buru pergi dengan menyeret kakinya yang masih terasa sakit."Apa yang kamu katakan padanya?" tanya Dewangga dingin sambil menatap tajam Alena.Alena tersenyum kaku. "Aku nggak bilang apapun.""Benarkah?" D
Alena memegangi pergelangan kakinya dengan wajah sendu dan berurai air mata."Alena, kamu baik-baik saja? Apanya yang sakit?" tanya Dewangga panik sambil berjongkok di depan wanita itu. "Apa kakimu terkilir?""Sepertinya begitu, Dewangga," jawab Alena sambil mengangguk penuh kasihan. "Pinggangku juga sakit."Maura menyaksikan adegan itu. Hatinya kembali berdenyut, lebih sakit dari sebelumnya."Kalau begitu kita ke rumah sakit sekarang," ajak Dewangga sambil membantu Alena berdiri."Aku gak apa-apa, Dewangga," jawab Alena sambil menggeleng. Dia berdiri dengan pincang sambil berpegangan kuat pada tangan Dewangga. "Maura cuma gak sengaja dorong aku."Maura tercengang. Mengapa Alena berbohong dan menuduhnya? Terlebih wanita itu mengadu pada Dewangga seperti itu.Maura mempertahankan kesabarannya. "Alena, mengapa kam—""Segera minta maaf, Maura," potong Dewangga dengan tatapan dingin yang menghujam.Hati Maura memanas, juga berdarah. Maura menggeleng. "Mengapa aku harus meminta maaf?""Sud
Di rumah sakit, Dewangga kembali memakai jasanya ketika Alena telah selesai melakukan pemeriksaan tahap awal."Kamu mau pergi?" tanya Alena yang berbaring di ranjang pasien."Saya sudah menghubungi orangtuamu. Sebentar lagi harusnya mereka tiba," ujar Dewangga sambil mengecek arlojinya. "Besok kamu harus menemui dokter ortopedi untuk memeriksakan tulang kaki dan pinggangmu—""Jadi, kamu gak mau nemenin aku di sini?" tanya Alena dengan wajah memelas."Kamu bukan lagi anak kecil, Alena." Dewangga mengecek ponselnya sebelum beranjak. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari Mia. Entah apa yang terjadi di rumah.Alena mengepalkan tangannya. Hatinya terasa pilu mendengar jawaban pria itu."Saya akan pulang sekarang," ujar pria itu sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku jas bagian dalam, kemudian dia berjalan menuju pintu."Apa kamu mencintainya?" Lontaran pertanyaan dari Alena membuat Dewangga mematung. Dewangga tahu siapa yang Alena maksud. Pria itu tak menoleh meski tangannya baru men