Kali ini pria yang turun dari mobil tampak berantakan, ada luka memar di wajahnya dan juga bibirnya."Maaf, Pak. Ijin bertanya, di daerah sini apakah ada penginapan?" tanya pria itu yang tak lain adalah Hanzel.Handoko tampak berpikir, sebelum kemudian dia menjawab pertanyaan pemuda itu."Kalo di sini ga ada penginapan, Nak," jawab Handoko.Hanzel tampak menghembuskan napas pasrah. Mungkin memang sebaiknya dia putar balik, dirinya juga tidak tahu kenapa tadi Hanzel ingin belok ke arah sini. Padahal jauh dari jalan utama.Dia hanya mengikuti perasaannya saja, berharap jika mobil yang membawa Anne memang ke arah sini."Huft.""Baiklah, terima kasih, Pak. Mungkin saya kembali ke arah jalan utama saja," pamit Hanzel, kemudian melangkah menuju mobilnya."Nak, jika berkenan dengan rumah Abah yang sederhana
"Carol, aku akan ke puncak Bogor, setelah mengantarmu pulang," ucap Alex."Aku ikut," jawab Caroline.Alex bimbang, antara mengajak serta Caroline atau tidak.Tapi saat melihat tatapan mata memelas milik Caroline, tatapan permohonan. Alex seolah luluh, mau tidak mau dia harus mengabulkan permintaan gadis itu."Baiklah, tapi besok saat aku ketemu mereka, kamu tetap di dalam mobil, jika keadaan berbahaya, langsung pergi. Mengerti!" ucap Alex.Caroline mengangguk mengerti.Alex belum tahu siapa mereka, sebengis dan sejahat apa orang yang telah menculik Anne.Sebenarnya Alex merasa heran, kenapa si penculik mencoba memeras dia. Bukankah keluarga Atmaja lebih kaya, dari keluarga Alex.Atau, kenapa tidak memeras keluarga Hanzel saja, kenapa harus Alex?
Pagi ini Alex bersiap berangkat ke Green Villa Bidadari sesuai arahan dari penculik yang baru saja menghubunginya. Dia mengetuk pintu kamar Caroline untuk mengajaknya bersiap.Saat tangan Alex hampir mendaratkan ketukan di pintu, terdengar suara Caroline sedang berbicara dengan seseorang dari dalam."Aku sekarang ada di Bogor, Hanz," ucap Caroline."Nanti kalo urusannya sudah selesai kita ketemu," lanjutnya.Itu pembicaraan yang bisa ditangkap oleh pendengaran Alex. Setelahnya hening, mungkin panggilan sudah dimatikan.Alex mendaratkan ketukan di pintu. Beberapa detik kemudian pintu terbuka dari dalam, menampilkan sosok Caroline dengan senyuman termanisnya."Sudah siap?" tanya Alex mengalihkan perhatian.Caroline mengangguk dan tersenyum tipis. Kemudian mereka melangkahkan kaki menuju mobil.
"Jadi semua ini rencana kamu sama Alex, buat misahin Aku dan Anne?" geram Hanzel.Hanzel berkata setengah berteriak kepada Caroline, ketika Anne dan Hanzel sudah berada di dekat Finn yang sedang berbincang dengan Caroline."Hanz, kamu di sini?" tanya Caroline heran."Kamu pikir, saat calon istriku diculik orang, aku bisa berdiam diri di rumah, begitu?" jawab Hanzel geram."A-apa? Maksud kamu Anne adalah calon istrimu?" tanya Caroline kaget."Iya, dan Alex mencoba untuk memisahkan kami, dengan bantuanmu, dan jika terbukti Alex yang melakukan penculikan ini, lihat saja nanti," ucap Hanzel emosi.Tangan Caroline yang memegang amplop coklat, tampak tergetar. Dia tidak menyangka, dua orang pria yang sedang dekat dengannya, ternyata mencintai wanita yang sama, yaitu Anne."Tapi aku tidak bersalah, Hanz," ucap Caroline memelas."Simpan penjelasanmu itu di pengadilan," balas Hanzel dingin."Bro, gue balik duluan, ya. Anne butuh
Mobilrange rover sportberwarna metalik baru saja terparkir di mansion Atmaja, pemiliknya seorang pemuda yang menampilkan wajah angkuh dan tatapan mata berkilat di penuhi muslihat.Ya, pemuda itu adalah Raka. Sepulang dari Bogor, dia langsung pulang ke rumah mewah lantai 2 bergaya Eropa itu.Begitu menginjak ruang keluarga, Momy Sandra dan Papi Erick sedang duduk di sofa dalam kebisuan."Aku pulang, Mom, Pap," sapa Raka seraya berjalan mendekat."Darimana kamu, Raka?" tanya Sandra dingin."Dari rumah teman, Mom," jawab Raka.Sandra mendesah panjang."Adikmu beberapa hari ga mau keluar kamar, kamu enak-enak main diluar," sindirnya pada Raka.Raka berpaling, seringai jahat terbit dari bibirnya.
Finn masih berkutat dengan banyak dokumen penting yang bertumpuk di meja kerjanya, saat seorang OB kantornya mengetuk pintu ruang kerjanya."Pak, ada paket untuk anda," ucapnya."Baik, Mas. Tolong taruh di meja, ya," jawab Finn sambil tersenyum pada pria itu.Finn mengernyit sambil membolak-balik bungkusan paket yang ada di tangannya. Mencari nama pengirim, tapi tidak ada."Dari siapa?" gumamnya.Sebuah paket dia terima dari seseorang yang tidak diketahui namanya. Hanya ada namanya sebagai penerima paket, tapi tidak ada nama pengirim. Rasa heran bercampur penasaran merajai hatinya.Siapakah gerangan pengirim paket ini?Isinya apa?Hal ini berkecamuk dalam benaknya, menuntut jawaban yang belum dia temukan, Finn tampak masih menimbang-nimbang untuk membukanya. Beberapa menit berlalu dia habisnya memindahkan paket itu dari tangan kanan ke tangan kiri, terus aja seperti itu sampai lebaran monyet. HeheheGurat keraguan tamp
"Menurut Om Federick, apakah Raka sudah mengetahui fakta ini?" tanya Finn. "Harusnya sudah, Finn. Raka tidak mungkin memanfaatkan Miska jika dia belum tahu hal ini, kan?" jawab Federick. "Iya, sih," balas Finn manggut-manggut. Hening, tidak ada yang keluar dari mulut keduanya. Mereka tampak berpikir beberapa saat, sampai sebuah ketukan pintu terdengar. Di ambang pintu, seorang pria muda membawakan secangkir kopi untuk Federick. Aroma harum kopi segera menguat memenuhi ruangan. Menebarkan aroma yang menggugah selera. "Terima kasih, Mas," ucap Federick ketika pria itu menaruh secangkir kopi di meja yang ada di depan ayah Hanzel itu. Setelah selesai dengan tugasnya, pria muda itu mengangguk dan berpamitan keluar ruangan. "Om, silakan diminum," tawar Finn. Federick menyeruput kopi itu perlahan.
Mobil polisi memasuki mansion keluarga Atmaja, beberapa menit sebelumnya mereka terlihat berbicara dengan Security penjaga gerbang. Setelah penjaga membuka gerbang dan mereka memasuki mansion, beberapa orang petugas turun dari mobil. Mereka mengekori security yang sedang melangkah untuk melaporkan pada pemilik rumah. Tak berapa lama kemudian tampak Erick keluar menemui para petugas dengan wajah penuh tanya. Ekspresi heran bercampur khawatir menyeruak dari wajahnya yang tampak kebingungan, demi melihat petugas kepolisian di depan rumahnya. "Ada apa, ya, Pak?" tanya Erick heran. "Kami membawa surat pemanggilan saudari Miska untuk kami bawa ke kantor, Pak," jawab salah satu petugas itu pada Erick. "Maaf, Pak. Saya Erick, papinya Miska, jika boleh tahu, ini tentang kasus apa, ya?" tanya Erick. "Perihal kasus penculikan sa