Share

Part 5. Persekongkolan

Mata Hanzel menyipit memandang wanita yang berjalan disamping Finn. Siapa dia?

 

"Finn,"

 

"Hanz,"

 

"Elo disini?" Tanya Hanz

 

" Iya, gue nganter mama gue," 

 

"Mam, kenalin. Ini Hanzel teman Finn kuliah di Harvard," Finn mengenalkan wanita tadi dengan sebutan mama.

 

"Hanzel, Tante," Hanzel mengenalkan diri pada mamanya Finn.

 

Wanita di depannya ini yang tadi membuat Hanzel sedikit tergetar hatinya. Wajahnya seperti mirip seseorang.

 

"Sesama Lawyer ya kalian?" Tanya mama Finn.

 

"Bukan, Tante. Kami beda jurusan. Hanzel kuliah jurusan Managemen Bisnis," jawab Hanz.

 

"Oh, Finn ga mau jadi pengusaha, Hanz. Dia ambil jurusan hukum karena sepupunya ... "

 

"Mam, udah deh. Kok jadi curhat sama Hanzel," Finn cemberut.

 

"Tuh, Hanz. Dia ini sudah jadi Lawyer tapi masih suka merajuk sama mamanya. Hehehe,"

 

"Ngomong-ngomong ngapain elo kesini, Bro?" Finn heran melihat Hanzel datang di Yayasan Tuna Rungu.

 

"Papa gue donatur tetap di Yayasan ini, Finn. Ni gue di suruh papa ke sini,"

 

"Oh, gitu. Ya udah gue duluan ya, Bro. Ni mau nganterin gadis shopping. Hehehe," ucap Finn yang segera di towel lengannya oleh mamanya. Ya jelas, sembarangan aja dia sebut mamanya dengan sebutan gadis. Hehe

 

Dasar Finn.

 

"Okay, Bro. Gue masuk dulu ya," Hanzel berpamitan.

 

"Hanz, gue ada sepupu juga di sini," ucap Finn menghentikan langkah Hanzel.

 

"Finn, ayooo,"

 

"Ya, Mam. Bentar,"

 

"Tar deh kapan-kapan gue kenalin sama sepupu gue, tapi jangan macem-macem. Karena dia spesial banget buat gue," ucap Finn kemudian.

 

"Indomie spesial pakek telor, Finn," Hanzel terkekeh. Membuat Finn melayangkan tinjunya di udara sambil melotot.

 

"Ya udah, gue masuk dulu, bye,"

 

Akhirnya mereka berpisah. Hanzel melangkah masuk. Begitu kakinya masuk di gedung itu, matanya tiba-tiba menangkap sosok gadis yang telah mencuri waktu tidurnya tadi malam, tengah berbincang dengan seorang pria.

 

Bukankah dia Alex.

 

Oh lelaki genit itu gerak cepat rupanya.

 

Hanzel jadi ingat ucapan Papanya tadi malam. Papanya telah memintanya gerak cepat, siapa cepat dia dapat. Oh, shittt.

 

Ternyata nasihat orang tua itu ada benarnya. Mungkin karena Papanya sudah terlalu banyak makan asam garam kehidupan. Hehe

 

Akhirnya Hanzel memutuskan untuk menunggu, dia duduk di kursi depan. Sembari menunggu dua orang itu selesai berbincang. Duh, menyebalkan.

 

Sekian menit telah berlalu, terasa begitu panjang. Jam dinding terasa begitu lambat bergerak, dan begitu lama. Tak ada yang dia lakukan kecuali bermain dengan layar handphone. 

 

Sesekali dia melirik pada dua manusia yang sedang asyik berbincang itu. Seolah dunia milik mereka berdua saja. Entah bagaimana rupa wajahnya kini. Huh ... menyebalkan.

 

Lama-lama Hanzel merasa jenuh menunggu, setelah sekian menit berlalu. Belum ada tanda-tanda Alex akan segera pergi. Dan Anne juga tidak menyadari kedatangannya.

 

Hanzel memutuskan beranjak dari ruangan itu. Lebih baik pulang saja. Daripada tak dianggap di sini. 

 

Mungkin karena hatinya kesal, membuat dia terlalu keras menggeser kursinya. Derit suara kursi yang beradu dengan ubin membuat Anne menoleh.

 

"Hanz,"

 

Anne beranjak tergesa kearah Hanzel. 

 

"Udah lama?"

 

"Cukup lama untuk menanak nasi jadi gosong,"

 

Anne menahan senyum mendengar jawaban Hanzel. Sebenarnya dia mau menjawab, bahwa Hanzel ahli dalam menggosongkan nasi. Tapi melihat raut muka Hanzel sudah ga enak dilihat, sepertinya bukan saatnya dia menanggapi dengan bercanda.

 

"Maaf, aku ga tau," ucap Anne tulus.

 

"Hmmm,"

 

"Jadi?" 

 

Anne mencoba mencairkan suasana.

 

"Jadi apa?"

 

"Maksudku, mari kita bicara," jawab Anne.

 

"Tentang kita?"

 

Tak urung membuat Anne melebarkan senyumnya, lesung Pipit dikedua pipinya terpampang nyata. Membuat hati Hanzel jadi semakin ketar-ketir. Berdebar, dan ah ....

 

Anne menyadari, ternyata Hanzel sedang merajuk.

 

"Kita?" Pancing Anne.

 

Hanzel menatap tajam, sepasang iris biru itu begitu lekat menatap pada Anne. Dalam diam.

 

"Ann, kita belum selesai bicara." Tiba-tiba Alex datang membuat keduanya tiba-tiba mendadak canggung.

 

"Bicara apa sih, sepenting apa?" Hanzel menyela, sebelum Anne menjawab. Membuat Alex memalingkan wajahnya ke arah Hanzel.

 

"Urusan Penting, Pak Hanzel. Ya kan, Ann?"

 

Anne tersenyum canggung, kemudian menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Sementara Hanzel memutar bola matanya malas. 

 

"Sebaiknya jangan terlalu lama bicara dengan calon istri saya, Pak Alex. Saya tidak suka,"

 

Mata Anne mengerjab beberapa kali mendengar jawaban Hanzel. Sementara Alex tampak kaget.

 

"Kalian mau menikah? Kapan?" Kini Alex yang tampak canggung.

 

"Segera kami kabari, Pak Alex. Saya akan mengantarkan undangannya pada Anda secara pribadi," ucap Hanzel dengan senyum miring.

 

"Oh, sebaiknya segera, Pak Hanzel. Karena jika tidak, saya akan membuatnya batal,"

 

Oh, pria ini sangat tidak tahu malu rupanya. Berani menabuh genderang perang secara terang-terangan di hadapanku. Pikir Hanzel.

 

Anne jadi bingung harus bersikap bagaimana pada kedua lelaki didepannya. Dia hanya diam saja, takut salah bersikap.

 

"Baiklah, Ann. Aku pulang dulu ya. Kapan-kapan aku datang lagi,"

 

Anne hanya tersenyum tipis sambil mengangguk.

 

Sepeninggal Alex, Hanzel menarik tangan Anne keluar gedung.

 

"Ikut, Ann!"

 

"Kemana?"

 

"Ikut, jangan banyak bicara."

 

Bibir Anne mengerucut, pria ini sangat egois ternyata. Belum jadi menikah saja sudah berani ngatur-ngatur. Bagaimana kalau sudah. Tapi dia tidak berani menolak. Dia mengekor di belakang Hanzel, meski hatinya kesal.

 

"Naik,"

 

Perintah Hanzel dingin, saat pintu mobil sudah dia bukakan untuk Anne. Anne mengikuti perintah Hanzel dalam diam, masih mengerucutkan bibirnya.

 

Suara mobil Hanzel menderu meninggalkan Gedung Yayasan Tuna Rungu bersama Anne. Sekian menit berlalu, Hanzel hanya berputar-putar tanpa tujuan.

 

Mereka hanya diam tanpa bicara. Anne juga tidak bertanya. Dia hanya menunduk saja berada di sisi Hanzel. Sesekali Hanzel meliriknya.

 

Tik. Tok. Tik. Tok. Tik. Tok.

Kira-kira begitu bunyi jarum jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan Hanzel. Keduanya diliputi kesunyian.

 

"Hanz,"

 

"Ann,"

 

Keduanya saling menatap. Senyuman pun akhirnya terbit dari bibir keduanya.

 

"So?"

 

"Jadi kemarin pagi kamu lari dari rumah dengan seorang pria?"

 

Anne mengernyitkan dahinya. Tak mengerti arah pembicaraan Hanzel.

 

"Maksudnya?"

 

"Kamu menolak perjodohan kita?"

 

"Aku tidak bicara apapun tentang perjodohan kita, Hanz. Aku memang pergi dari rumah, sekarang tinggal di Yayasan. Karena ada beberapa alasan."

 

"Pria itu?"

 

"Pria yang mana?"

 

"Yang melarikanmu dari rumah,"

 

Anne terkekeh sambil menggelengkan kepalanya. Pria dihadapannya ini sangat unik. Baru tiga kali ini mereka bertemu, pertama saat makan malam konyol itu. Kedua saat malam Konser Amal kemarin. Ketiga hari ini. Tapi pria ini tampak sangat posesif seolah sudah mengenal Anne lama.

 

"Jadi kau merahasiakan pria kurang ajar itu?" Hanzel menatap Anne tajam.

 

"Ga ada, Hanz,"

 

Hanzel mendengus panjang. Seberapa penting pria ini dihatimu, Ann. Sampai kau merahasiakannya dariku. Pikirnya.

 

 

***

 

 

Sepulang dari Gedung Yayasan Tuna Rungu, Alex duduk menyendiri di sebuah kafe. Tangannya memutar-mutar Handphonenya di meja, sementara salah satu tangannya menjadi alas kepalanya bersandar di atas meja. Berkali-kali dia membuang nafas kasar.

 

Raut mukanya menampakkan dirinya sedang tidak bersemangat.

 

"Jadi dia sudah mau menikah?"

 

"Jadi aku kalah cepat mendekatinya."

 

Alex benar-benar tampak kehilangan gairah hidup. 

 

"Lex, elo kenapa sih, kok bete gitu?"

 

Seorang gadis berambut blonde berjalan mendekatinya, kemudian duduk di samping Alex.

 

"Gimana, elo berhasil ga deketin, Anne?"

 

"Pokoknya tugas elo, deketin Anne. Bikin Anne jatuh cinta sama elo. Habis itu terserah elo. Mau elo nikahin atau tinggalin. Bukan urusan gue,"

 

Alex hanya diam saja, tidak berminat menjawab ataupun merespon.

 

"Lex, elo denger ga sih. Diajak ngomong malah bengong," protes Miska.

 

"Berisik banget sih Lo," gertak Alex.

 

"Lex, kok gitu. Lo nyuekin gue," gadis di samping Alex tampak kesal.

 

"Kenapa elo ga bilang kalau Anne mau nikah sama Hanzel?"

 

"Justru itu, Lex. Elo harus gagalin perjodohan bodoh ini, Denger ya, gue mau Hanzel. Elo mau Anne. Jadi impas kan," terang gadis itu.

 

"Oh, jadi elo manfaatin gue buat kepentingan elo," Alex menjawab kasar seraya berdiri dari kursi tempat dia duduk.

 

"Lex, dengerin gue. Gue punya rencana bagus buat kita," tukas Miska.

 

"Maksud Lo rencana apa?"

 

Gadis berambut blonde itu tersenyum jahat. 

 

"Rencana besar, buat kita dapetin apa yang kita mau," ujar Miska sambil tersenyum miring.

 

"Bisa ga lo, bicara yang jelas gitu, Miska. Jangan bikin gue makin bete," protes Alex.

 

"Sini gue bisikin!"

 

Kemudian Miska mendekatkan bibirnya di telinga Alex, dan membisikkan sesuatu. Entah apa yang di ucapkan Miska. Yang jelas, mata Alex membelalak. Duh, apa ya?

 

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ovie Maria
baca part ini, pikiranku terbuka. wkwk sebelumnya kukira Finn bakalan jadi saingan hanzel, tapi kayaknya enggak deh. si Alex ini yg bisa jadi.. ikut rencana Miska Krn rasa sukanya sm Anne. duh, apapun itu, semoga anne-hanzel bersatu. aamiin ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status