Share

Part 4. Jatuh Cinta

POV Hanzel

 

Siapa pria itu, berani sekali mendekati Anne. Ingin rasanya kuumumkan di sini bahwa wanita itu adalah calon istri Hanzel Adi Wijaya. 

 

Tapi ... dia tadi pagi lari dari rumah karena menolak perjodohan ini. 

 

Diakah pria yang telah melarikan Anne tadi pagi?

 

Huh, aku harus bagaimana?

 

Kesal dihati hanya bisa kutelan sendiri. Bahkan Anne tidak peduli ada aku disini. Harusnya dia tahu aku ada disini, kenapa tidak mencariku. Setidaknya memberi penjelasan kenapa dia harus lari dengan pria lain.

 

Tidak.

 

Tidak boleh begini. Jangan sampai ada seorang gadispun yang berani menolak Hanzel. 

 

Akhirnya tak bisa lagi kutahan, aku berjalan mendekatinya. Oh, shiittt.

 

"Anne."

 

"Hanz."

 

Seolah dunia berhenti berputar, detik waktu juga ikut berhenti. Semua gerakan berhenti. Hanya kami berdua yang saling menatap satu sama lain. Hanya kami berdua yang tetap hidup tak ikut di berhentikan sang waktu. Sepersekian detik.

 

"He emm."

 

Sebuah suara menormalkan kembali, dunia seisinya berputar kembali.

 

"Bapak Hanzel, saya senang sekali bisa hadir dalam konser amal malam ini. Meski hanya bisa menyumbang sedikit. Tapi semoga berguna untuk Anne dan teman-temannya."

 

"Baik, ini dengan Bapak siapa ya?" tanya Hanzel mencoba ramah pada pria itu. Basa-basi.

 

"Kenalkan saya Alex." 

 

Hanzel menyambut uluran tangan Alex. 

 

"Baik, saya pamit dulu. Senang berbincang denganmu, Ann. Lain kali saya akan mampir di yayasan boleh, kan?"

 

Pria itu tersenyum pada Anne, dari senyum buayanya aku tahu dia sedang berusaha menarik perhatian Anne. 

 

Dasar pria genit.

 

"Dengan senang hati, Pak Alex," jawab Anne membalas senyum pria itu.

 

Aduh, Ann. Kamu jangan tersenyum dengan pria lain. Melihatnya aku sungguh ga rela.

 

Kami berdua terjebak dalam kebisuan untuk beberapa waktu, sepeninggal Alex. Aku bingung memulai perbincangan.

 

"Hanz, aku minta maaf ya atas kejadian semalam. Semua kacau karena aku," Anne menunduk.

 

"Kamu berhasil membuat Papa kesal, Ann," gumamku.

 

Anne semakin menunduk malu.

 

"Pastinya aku semalam seperti badut sirkus," cicitnya pelan.

 

Aku menatap Anne dingin.

 

"Aku sungguh menyesal, Hanz."

 

"Apa kau dipaksa untuk perjodohan ini?" aku ingin sekali menumpahkan kekesalanku. 

 

Anne menggeleng. 

 

Kalau tidak dipaksa, kenapa harus lari dengan pria lain, Ann? Kenapa?

 

Entahlah, mendengar dia melarikan diri bersama pria lain sungguh melukai harga diriku. Selama ini para wanita mengantri hanya untuk bisa dekat denganku. Ini pertama kali aku merasakan ditolak. Ternyata rasanya membuat dadaku sesak.

 

"Maaf mengganggu," seorang wanita menghampiri kami berdua.

 

"Pak Hanzel, maaf ada yang harus saya selesaikan dengan Anne," ucap wanita itu.

 

"Baik, silahkan. kami sudah selesai bicara," aku mencoba tersenyum ramah padanya.

 

Bisa kulihat sekilas Anne tersenyum tipis, mengangguk padaku sebelum akhirnya berjalan menjauh.

 

Oh, shittt. Kacau. 

 

 

***

 

 

"Bagaimana acaranya malam ini, Hanz?" Papa sudah menyambutku di ruang keluarga begitu aku masuk rumah.

 

"Tentang apa nih?" 

 

Papa tersenyum. Papa-papa, pandai sekali dia memancing pendapatku. Aku tahu Papa sudah melihat rekaman video acara malam dari orang suruhannya.

 

"Penggalangan dananya sukses besar. Selamat, Hanz. Usulmu tentang konsep acara malam ini luar biasa," Papa memberi komentar.

 

"Alhamdulillah, semua juga karena dukungan Papa," balasku sembari merebahkan diri di sofa.

 

"Kau bertemu dengannya?" pertanyaan Papa cukup membuatku terhenyak.

 

"Siapa?"

 

Papa tertawa. Entah apa yang dipikirkan pria separuh baya di hadapanku ini. 

 

"Tentu saja Anne. Siapa lagi?" aku hanya membuang nafas kasar mendengar jawaban Papa.

 

"Memangnya ada yang menarik hatimu selain Anne di sepanjang acara konser amal tadi, hmm?" Papa tertawa melihatku. 

 

Mukaku sepertinya sudah seperti udang rebus. Merah.

 

"Sejak kapan Papa jadi genit begini?"

 

"Sejak Papa sadar, anak Papa sedang jatuh cinta, hahaha ...."

 

"Udah ah. Hanzel mau mandi. Gerah."

 

Lama-lama aku bisa mati kutu. Bicara dengan Papa kadang menyebalkan. Huh ...

 

"Kau harus gerak cepat, Hanz. Papa lihat si Alex tadi berniat merebutnya darimu. Hahaha ...." Papa tergelak melihatku melotot.

 

"Papa genit ...." Kataku sambil berdiri dari sofa.

 

"Hahaha, Kau harus belajar pada Papamu ini, bagaimana caranya menakhlukkan hati mamamu dulu, Hanz. Hahahah ...."

 

Dasar orang tua jaman sekarang. Seenaknya sendiri. Aku segera masuk ke kamarku sebelum Papa semakin berbuat onar. Menyebalkan.

 

"Hanz, siapa cepat dia dapat. Hahahaha ...."

 

Aku memutar bola mata malas.

 

Dikiranya lagi jualan barang. Mentang-mentang pengusaha. Mikirnya gerak cepat terus. Dasar Papa.

 

Tapi aku jadi heran sejak kapan orang tua ini memasang CCTV. Kenapa hal sekecil itu juga tidak luput dari pantauannya. Papa bikin aku mati gaya aja sih. Duh papa, anakmu ini sudah dewasa, kenapa masih harus diikuti mata-mata sih. Hiks ....

 

 

***

 

 

Gawai yang tergelatak di nakas nyaring berdering. Rupanya ada panggilan masuk.

 

"Hallo, Bro. Gimana?"

 

"Oh, datang aja ke rumah gue. Hari ini gue libur."

 

"Hmmm, baiklah gue tunggu ya."

 

Pagi-pagi udah ngajak jalan aja si pengacara ini. Padahal aku pengen rebahan di kamar aja hari ini. Mumpung libur.

 

Tak berapa lama kemudian Finn sudah menyembul dari balik pintu kamar Hanzel.

 

"Selamat Pagi, Hanzel Si Pangeran Kodok," Finn dengan wajah menyebalkan menyapaku sambil merebahkan tubuhnya di ranjang ku.

 

"Sialan Lo, sembarangan aja nyebut gue pangeran kodok," umpat Hanzel

 

"Hahahaha, habisnya pagi ini elo aneh banget deh, Hanz."

 

"Aneh gimana? Gue berubah jadi kodok gitu?" Jawabku yang refleks membuat Finn tergelak.

 

"Hahaha, mungkin lama-lama wujud elo bisa berubah tuh, Hanz."

 

"Sembarangan elo nyumpahin gue berubah wujud," bantal melayang mengenai kepala Finn.

 

"Aduh, jangan mukul kepala gue dong. Tar kalau gegar otak begimane nih?" Finn ngedumel.

 

"Biarin jadi somplak sekalian," jawabku sambil ketawa puas melihatnya manyun.

 

"Sejak kapan elo berubah jadi melow gini sih, Hanz. Kenapa coba muter lagu roman picisan gini, biasanya bukannya suka musik metal," 

 

Finn mengeluarkan jurus introgasi tingkat tinggi. Apes memang punya temen lawyer gini.

 

"Kenapa? Apa gara-gara Cewek yang lari sama pria lain itu?" tanyanya lagi.

 

Sejak semalem gue jadi muter lagu Bidadari tak bersayapnya Hanin Dhiya. Gara-gara Anne semalem bernyanyi lagu itu. Duh, kok jadi gini banget sih gue. Bucin.

 

"Suka-suka gue dong, emang selera ga boleh berubah," kesel banget aku sama Finn. Kalau nebak suka bener. Hahaha

 

Kenapa coba harus nanya kenapa gue muter lagu Bidadari Tak Bersayap coba. Kan gue jadi inget Anne lagi. Ish ish ish, kesel banget kan.

 

"Biasanya sih, jika ada yang sanggup mengubah selera orang, itu pasti karena orang itu sedang jatuh cinta,"

 

"Jatuh cinta apaan, sok sok an kayak elo udah pernah jatuh cinta aja," jawabku 

 

"Hahaha, jadi bener nih, elo jatuh cinta sama cewek itu, duh gue jadi pengen kenal deh sama dia,"

 

Tatap mata Finn tajem banget bikin aku jadi bergidik ngeri. Emang bener sih, orang ini punya bakat buat bikin introgasi orang. Buktinya aku aja sampai klepek-klepek, ga bisa mangkir. Ga salah dia pilih jurusan hukum di Harvard University.

 

"Udah ah, ngapain sih ngomongin itu. Males gue, jadi pergi ga, nih?"

 

"Jadi dong."

 

Tapi baru saja kami mau beranjak, gawai Finn berdering.

 

"Ya, Mam."

 

"Baik, Finn segera pulang."

 

Finn menutup panggilannya. Sepertinya ada hal yang penting, akhirnya dia memilih untuk pulang.

 

"Sorry, Bro. Gue harus anter mama gue. Mau ketemuan sama sepupu gue."

 

"Its okay, Bro. Tar kapan-kapan kita bisa hang out bareng."

 

Sepeninggal Finn. Aku benar-benar berubah menjadi kaum rebahan. Guling sana guling sini, sambil muter Bidadari Tak Bersayap berulang-ulang. Untung aja suaranya Hanin Dhiya ga serak aku puter berulang-ulang. Hehehe ....

 

 

***

 

 

Hari menjelang sore, aku baru berniat keluar kamar. Merasa sudah bosan sendiri muter satu lagu berulang-ulang, kuputuskan untuk datang ke Yayasan Tuna Rungu tempat Anne bekerja.

 

Kulakukan mobilku sesuai alamat yang diberikan Papa. Ga tau kenapa Papa seperti sengaja menyuruhku datang kesana.

 

Alamat Yayasannya cukup mudah dicari. Iyalah, kan sekarang ada aplikasi G-maps. Hehehe.

 

'Tempat yang anda tuju ada disebelah kanan,'

 

Akhirnya sampai juga, ku parkirkan mobilku dengan riang gembira.

 

Tapi ketika aku mau keluar dari mobil, tak sengaja aku melihat Finn mau masuk mobil. Sepertinya dia barusan juga datang di Yayasan ini. 

 

Bersamanya ada seorang wanita yang ketika aku melihatnya, aku jadi ingat seseorang. Siapa dia ....

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ovie Maria
kan kan kaaannn...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status