Anita ke kantor seperti biasanya. Ia pergi naik bus kota. Sarapan dengan 3 lapis roti tawar campur susu putih seperti biasa. Dan berdandan ala kadarnya seperti biasa. Yang membedakan hanya satu, dia bangun dari tidur dengan kepala yang agak pening. Dan sulit mengingat kejadian di kafe. Yang ia ingat terakhir, hanya curhatannya pada sahabatnya, Cecilia.
“Pagi, Pak?” sapa Anita pada pak Budi saat memasuki lobi.
“Pagi juga, Bu,” sahut pak Budi. Satpam yang bertugas di lobi.
Anita berjalan dengan elegan. Langkahnya yang bersepatu pantofel menarik banyak mata. Dan saat mereka yang melihat tahu kalau itu Anita. Banyak yang memberi jalan agar Anita bisa berjalan dan masuk ke dalam lift terlebih dahulu. Mereka juga menyapa Anita dengan sopan. Dan Anita selalu menyahuti sapaan mereka dengan senyum hangatnya. Inilah sebabnya kenapa banyak yang menaruh hormat pada Anita. Sosoknya yang ramah memang banyak di kagumi pegawai yang jabatannya berada di bawahnya. Bahkan yang setara dengannya pun juga bersikap sama. Meski pun masih juga ada yang tidak suka terhadapnya. Ini bisa di bilang wajar, karena hitam dan putih, siang dan malam, akan selalu ada di mana pun.
Sesampainya di meja kerjanya yang berada di lantai paling atas gedung DA.crop, Anita langsung melanjutkan pekerjaannya yang kemarin tertunda. Ia membuka file lalu kembali mengisi bagian-bagian yang kosong.
Wajah segarnya terpampang penuh semangat pagi ini. Ya mumpung masih pagi, Anita memang selalu bersemangat. Kecuali jika memasuki sore. Semangatnya itu bisa hilang dalam sekejab. Dan di gantikan dengan wajah lesu yang akan membuat bibirnya selalu mengeluh.
Pak Braham. Kepala manajer perusahaan DA.crop, keluar dari ruangannya. Dengan setelan jas berwarna cream muda dan dasi merah yang tampak sangat serasi, ia menghampiri meja Anita.
Anita yang terlihat begitu fokus pada pekerjaannya tak menyadari kehadiran Pak Braham sebelum akhirnya Pak Braham memanggil namanya.
“Anita?” panggil Pak Braham.
Anita langsung menoleh dan berdiri. Ia cukup terkejut dengan keberadaan Pak Braham yang tiba-tiba ada di depannya.
“I-iya, Pak?” sahut Anita gelagapan.
“Bisa ke ruangan saya sebentar?”
“I-iya pak.”
Pak Braham tersenyum tipis lalu kembali ke ruangannya.
Dengan segera, Anita menyusul Pak Braham ke ruangannya. Ia tak mau sampai membuat orang yang di hormatinya itu menunggu lama.
“Apa ada tugas tambahan Pak?” tanya Anita saat memasuki ruangan Pak Braham. Raut mukanya terlihat begitu bersemangat, meskipun wajahnya terlihat begitu lelah. Bahkan matanya kini terlihat sedikit memerah dan ada kantung di bawah matanya. Namun Anita tetap menunjukkan semangatnya dalam bekerja. Profesional dalam bekerja adalah motto yang selalu dipegangnya.
“Bisa duduk dulu?” kata Pak Braham sebelum memberi tahu tujuan dia memanggil Anita.
Anita segera memenuhi perintah Pak Braham.
Melihat wajah semangat Anita yang dipaksakan membuat Pak Braham tak tega untuk menyampaikan satu hal.
“Jadi ada apa Pak?” tanya Anita kembali.
Pak Braham terdiam sejenak. Wajahnya terlihat gundah. Bibirnya ingin segera mengatakan maksud dirinya memanggil gadis yang masih single itu. Namun ada perasaan berat yang membuatnya sulit dalam berkata.
“Anita, apa kau tahu Pak Sagara, CEO dari perusahaan ini?” pak Brahma mulai membuka suara.
“Iya, tentu saja saya tahu beliau, Pak. Saya pernah bertemu dengan beliau sekali, saat menyerahkan berkas salinan pengesahan lahan Resort yang ada di Bali bulan lalu. Em... ada apa ya Pak? Apa ada masalah dengan berkas tersebut?” tanya Anita dengan tutur kata yang sopan.
“Tidak.”
Pak Braham masih tampak ragu untuk langsung menjelaskan ke inti pembicaraan. Ia menatap wajah Anita sesaat sebelum akhirnya membuang pandangan.
Hal itu membuat Anita sedikit berpikir dan merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
“I-ini soal jabatanmu sekarang,” dengan sangat terpaksa, pak Braham mulai membuka topik utama dari tujuannya memanggil Anita kemari.
Kening Anita mengerut. Wajah penuh semangatnya itu membeku sesaat. Perasaannya jadi semakin tak enak. Entah ada apa dengan jabatan asisten manajer yang ia tapaki selama kurang lebih 1 tahun ini. Dalam ingatannya, ia belum pernah melakukan kesalahan sekalipun, selama 1 tahun dia menduduki posisi penting ini.
Pikiran Anita berkecamuk. Namun ia masih tetap berusaha menunjukkan wajah penuh semangatnya dan kembali bertanya.
“A-ada apa dengan jabatan saya Pak? Apa ada kesalahan yang saya timbulkan selama saya menjabat sebagai asisten Bapak?” tanya Anita penuh senyum, namun hatinya saat ini sangat ketir.
“Kau bekerja dengan sangat baik. Selama kau bekerja, belum sekalipun kau melakukan kesalahan. Tapi,,,” Pak Braham menahan kata-katanya.
Anita memasang telinga tajam-tajam. Ia siap mendengar persoalan yang melibatkannya. Jika memang ada yang tak beres, ia juga siap untuk protes.
“,,, kau melakukan kesalahan saat di luar jam kerja, kemarin lusa.”
“Hah?” celetuk Anita sambil memiringkan kepalanya secara spontan.
Di luar jam kerja? Kemarin lusa? Otak Anita langsung berusaha mengingat-ingat kembali kejadian yang mungkin membuat dirinya berbuat kesalahan di luar jam kerja, yang mungkin tak ia sadari. Namun, ia tak mampu mengingat apa-apa selain masalah pekerjaannya yang menumpuk dalam 2 minggu belakangan ini.
“Kesalahan seperti apa ya, Pak? Saya benar-benar tidak mengerti,” tanya Anita meminta penjelasan.
“Untuk pertanyaan itu, saya tak bisa menjawab. Saya tak punya hak untuk menjawab. Tujuan saya memanggil kamu, cuma untuk memberi tahu soal hal ini saja. Untuk masalah detailnya kamu akan diberi tahu sendiri oleh Pak Sagara.”
“Pak Sagara? Apa kesalahan saya ini berhubungan dengan beliau Pak?”
“Bisa dikatakan seperti itu.”
“Kalau begitu tolong katakan apa kesalahan yang sudah saya perbuat Pak. Atau paling tidak, berikan sedikit petunjuk Pak. Saya benar-benar tak mampu mengingat apa-apa selain masalah kerja. Dan lagi, saya cuma sekali bertemu Pak Sagara. Bagaimana saya membuat kesalahan yang berhubungan dengan beliau?” paksa Anita, hatinya ingin menangis.
“Em,,, itu bisa kau tanyakan nanti siang selesai jam istirahat kerja. Jam 1 siang nanti beliau menunggumu di ruangannya.”
Perasaan Anita begitu dilema. Ia tak tahu harus apa. Yang ia rasakan hanya cemas dan takut jika jabatan yang ia perjuangkan selama 2 tahun ini terancam turun. Atau lebih parahnya lagi kena pecat.
Suasana ruangan Pak Braham, yang biasanya selalu terasa nyaman, damai dan hangat. Berubah menjadi begitu asing dan dingin bagi Anita.
Wajah penuh semangat Anita, kini berubah 180° menjadi lesu dan cemas.
“Lalu, apa saya akan turun jabatan Pak? Atau mungkin di pecat?” tanya Anita untuk memastikan seberapa buruk posisinya saat ini.
“Untuk itu,,, saya juga tak tahu.”
Anita mengumpat dalam hati. Bahkan pertanyaan seperti itu saja, pak Braham tak mampu memberi jawaban. Hal ini membuatnya merasa kecewa dan semakin takut.
“Untuk sekarang, kau bisa istirahat sejenak di mejamu sampai jam istirahat kerja. Kau tak perlu melakukan apa-apa dulu sampai bertemu dengan pak Sagara."
Anita tertunduk, matanya kini basah dan berkaca-kaca.
"Aku tahu ini berat untukmu, tapi Bapak yakin kau akan sanggup untuk menerima segala macam resiko yang akan di berikan Pak Sagara. Bapak yakin, kau masih akan tetap bekerja di sini," tutur pak Braham berusaha menguatkan hati Anita.
“Baik pak,” sahut Anita lalu kembali ke meja kerjanya dengan langkah lesu.
Pak Braham menghela nafas berat usai Anita menutup pintu. Ia merasa tak tega melihat raut wajah sedih Anita. Wajah yang selalu tampak ceria dan penuh semangat itu harus berubah menjadi lesu dan sedih karena hal konyol.
“Yah, mungkin ini sedikit berlebihan. Tapi Pak Sagara, pasti memiliki alasan untuk persoalan seperti ini,” pikir Pak Braham di atas kursi empuknya sambil menyandarkan kepala dan menatap langit-langit bercat putih cerah.
Anita memesan nasi campur dan es jeruk untuk menu makan siangnya di kantin kantor.“Ini, Bu. Silakan,” ucap seorang pramusaji wanita yang usianya hampir sepantaran dengan Anita.Anita yang tampak muram jadi kian muram karena panggilan pramusaji kantin itu padanya.“Ina, bukannya sudah aku kasih tahu untuk tak memanggilku seperti itu? Aku belum cukup tua untuk kau panggil seperti itu!” protes Anita.“Maaf kak,,, tapi jabatan kakak yang tinggi itu membuatku harus memanggil seperti itu,” kilah Ina sambil tersenyum lebar.“Jabatan itu hanya di saat jam kerja, se
“A-apa?! Jadi dia CEO di perusahaan tempatmu bekerja?” pekik Cecilia begitu terkejut saat mendengar cerita Anita. Wanita cantik dengan tubuh ideal dan rambut panjang sepinggang yang selalu memakai sebuah bando berwarna merah itu sudah merasakan firasat buruk saat Anita mengoceh di depan 3 pria berjas kemarin. Apalagi saat melihat wajah kesal pria berwajah dingin yang sekarang ia ketahui bernama Sagara itu.Anita tersenyum kecut melihat reaksi Cecilia setelah dirinya bercerita mengenai dirinya yang dipindah tugaskan dari asisten manajer menjadi OB pribadi.“Sungguh sial nasibku, bukan? Tapi mau bagaimana lagi. Nasi sudah terlanjur menjadi bubur. Ya, walaupun mungkin besok menjadi hari yang berat, tapi paling tidak aku masih ada pekerjaan untuk memenuhi kehidupanku,” ujar Anita menghibur diri
Pukul 7:55 pagi. Dari arah pintu masuk kantor, Anita berlari sambil memeluk sebuah tas seharga ninja 250cc. Beberapa orang yang juga hendak masuk ke kantor, di serobotnya.“Maaf,,, permisi, permisi,,,” ucapnya saat menyerobot beberapa karyawan yang berjalan santai di depannya.Beberapa pegawai yang di serobot secara tidak sopan menjadi geram. Namun saat mereka tahu orang yang menyerobot adalah Anita, mereka malah cepat-cepat memberi jalan sekaligus memberi salam.“Pagi, Bu,,,” ucap beberapa dari mereka dengan penuh hormat.Tak ada yang tidak menyapa Anita. Satpam yang berjaga pun juga melepas senyumnya untuk Anita.
Anita sedang berdiri di depan meja pantri sambil melihat satu persatu jenis kopi hitam yang di belinya kemarin sepulang kerja. Ada sekitar 7 merek kopi yang ia beli. Ia melihat kopi-kopi itu dengan saksama, sambil memikirkan kopi mana yang akan ia buat terlebih dahulu.“Waduh mau jualan nih Bu ceritanya?” sapa Jaka menghampiri Anita sambil cengengesan.Jaka baru saja menyelesaikan tugasnya mengisi galon air di lantai 25 sampai 29. Dan kini sedang istirahat sejenak untuk mengatur kembali nafasnya.“Bisa di bilang seperti itu,” jawab Anita tanpa melirik Jaka yang berdiri disampingnya.Jaka beranjak menjauh dan duduk kembali di kursi sofa yang
Anita mulai menyajikan satu demi satu kopi yang iya beli. Mulai dari Moccacino,“Silakan Pak,,,” dengan senyum lebar.Lalu Cappuccino,“Selamat menikmati, Pak,,,” senyum merekah.Lanjut ke kopi hitam dengan kombinasi gula aren,“Semoga Bapak suka,” masih dengan senyum.Lalu kopi Gajah,“,,,,” hanya senyumDan yang terakhir kopi Ekspresso.“Se-la-mat me-nik-ma-ti Pak,” dengan senyum lebar yang di kombinasikan dengan wajah mengerut menahan amarah.Dan dari semua jenis kopi yang menghabiskan gaji hariannya menjadi OB. Tak ada satu kopi pun yang di teguk habis oleh Sagara. Semua cuma di minum seteguk-seteguk.Jaka, Bu Ida dan Lendra yang sedang di pantri merasakan aura mematikan dari arah Anita
Dalam kamar yang sepi dan sendiri, Anita duduk bersandar pada tembok kamarnya. Laptop yang baru ia beli 3 bulan lalu, yang tergeletak di antara rak buku dan gelas pensil, dipandangnya muram.“Haahh.... Padahal baru saja kau aku beli dengan susah payah. Sampai-sampai aku tidak beli stok jajan bulanan hanya agar aku bisa segera membelimu. Tapi kini kau malah hanya tergeletak di sana tanpa melakukan apa-apa,” kata Anita merasa kecewa.Masih dalam ketermenungan, Anita kembali berpikir tentang semua usaha dan pencapaian yang ia lalui selama bekerja di DA.crop. Semua jerih payah dan pengorbanan yang ia lakukan, kini terasa bagai mimpi yang hanya lewat dalam pikirannya. Semua kenyataan yang beberapa waktu lalu ia rasakan begitu nyata. Kini terasa begitu semu dan menyedihkan.&
Pagi hari, di kantor. Sagara sedang memeriksa beberapa dokumen penting di atas mejanya yang kemarin sempat tertunda. Ia membaca dokumen-dokumen itu dengan teliti dan penuh konsentrasi. Namun konsentrasinya menjadi pecah saat ia mulai menyadari bahwa sudah lebih dari 10 menit Anita berdiri sambil memandanginya.“Ada apa kau melihatku seperti itu terus? Aku tahu aku sangat tampan. Tapi bukan berarti kamu boleh melihatku selama hampir 15 menit tanpa berpaling,” seloroh Sagara yang seketika membuyarkan tatapan kasihan Anita padanya.Sejak pagi Anita tak henti memikirkan kondisi hati Sagara. Anita yang pernah merasakan putus cinta tentu merasa prihatin dengan Sagara. Namun rasa prihatinnya seketika melebur saat Sagara melontarkan kata-kata yang mampu membuat urat kesal Anita muncul ke permukaan kulit kepala
Jam istirahat kerja masih tersisa 15 menit. Anita pun masih duduk mengobrol lepas dengan pak Braham. Namun di tengah obrolan yang terdengar bagai obrolan anak dan ayah, sebuah panggilan telepon masuk di handphone Pak Braham dan menghentikan obrolan keduanya.Pak Braham segera mengangkat teleponnya.Wajah Pak Braham terlihat serius dan tegang saat mendengar pembicaraan orang di balik telepon itu. Sesekali, ia melirik ke arah Anita. Seolah-olah, yang sedang di bicarakan oleh penelepon itu berkaitan dengannya.“Ah, iya Pak. Baik, iya baik, Pak,”Anita memandang wajah Pak Braham selidik. Ia menebak-nebak dalam hati, siapa orang yang telah menelepon Pak Braham sam