Share

Bab 8 Terhimpit

Author: Vargsagen
last update Last Updated: 2025-06-19 16:10:06

Nora masih duduk di meja makan, tangannya menyentuh cangkir teh yang kini tinggal ampasnya. Sarapan di depannya sudah dingin.

Pagi ini, Janu bersikap manis. Terlalu manis. Terlalu sempurna. Terlalu mendadak.

Tentu, bagian dari dirinya ingin percaya bahwa laki-laki itu memang menyesal dan benar-benar ingin berubah. Tapi Nora sudah terlalu lama hidup dengan Janu untuk tahu, perubahan sebesar itu tak akan datang hanya dari satu malam permintaan maaf.

Dia menunduk. Matanya tak sengaja menangkap botol putih kecil di dekat gelas jus.

Minyak ikan. Kapsul yang biasa dia konsumsi tiap pagi.

Nora meraihnya pelan. Tutupnya terasa masih rapat. Tapi tadi pagi, saat pertama kali dipegang, tutup itu longgar. Bukan terbuka, hanya terasa seperti sudah dibuka, lalu dipasang kembali tanpa benar-benar dikunci. Dia masih ingat jelas. Jemarinya yang pelan-pelan memutar ulang, mencari suara klik yang biasa.

Perasaan tak nyaman menjalar perlahan ke kulitnya.

Mungkinkah hanya kebetulan?

Mungkinkah hanya tangannya sendiri yang tadi pagi ceroboh?

Nora mendesah dan memejamkan mata. Dia tidak bisa langsung melompat ke kesimpulan. Dia bukan detektif. Bukan pula wanita paranoid. Tapi satu hal pasti, dia butuh kejelasan. Dan untuk itu, dia butuh bukti.

Nora menyalakan ponsel. Membuka daftar kontaknya.

Di antara deretan nama, satu nama membuatnya berhenti: dr. Anggia Dira.

Ada jeda saat Nora menatap layar. Tapi Nora tahu, jika ingin menggali informasi tanpa terlihat mencurigakan, lebih baik datang sebagai teman lama. Bukan sebagai istri cemburu.

Dia mulai mengetik pesan:

“Hai, Anggi. Bagaimana kabarmu? Tiba-tib aku ingin mampir ke rumah sakit. Kangen ngobrol-ngobrol, sekalian ingin tanya-tanya soal nutrisi, hehe. Bisa ketemu kamu hari ini?”

Nora ragu sejenak, lalu kirim. Kali ini, dia tak akan pasif.

Jika Janu berpikir bisa mempermainkannya hanya dengan sikap manis dan senyum palsu, maka dia belum benar-benar mengenal Nora.

*

Lorong rumah sakit masih setia dengan wangi antiseptik dan suara sepatu yang bergema di lantai. Seperti biasa, tempat itu ramai, tapi semua orang bergerak cepat dan sibuk. Tak banyak yang benar-benar memperhatikan siapa yang masuk atau keluar dan itu cukup menguntungkan bagi Nora.

Setibanya di pintu dengan papan nama "dr. Anggia Dira, Sp.PD", Nora mengetuk dua kali.

Tak lama, pintu terbuka.

“Nora?” Anggia tampak sedikit terkejut, tapi senyumnya segera terbentuk. “Ya ampun, kamu benar-benar datang. Kupikir cuma basa-basi.”

“Aku tidak pernah cuma basa-basi,” jawab Nora pelan, lalu memeluk sahabat lamanya sebentar.

“Ayo masuk.” Anggia menyingkir ke samping. “Aku cuma ada waktu sekitar dua puluh menit, setelah ini ada pasien kontrol. Tapi untuk kamu, tentu aku sempatkan.”

Ruangannya bersih dan hangat. Ironisnya, ada aroma teh melati di cangkir meja.

“Anggi ... kamu masih sering lihat Janu, kan?”

Anggia memiringkan kepala. “Iya. Kadang. Kenapa?”

Nora menatap tembok sejenak sebelum kembali menatap sahabatnya. “Aku merasa ada yang berubah. Dia berubah. Terlalu manis, terlalu cepat berubah. Dan biasanya, perubahan mendadak seperti itu bukan datang dari kesadaran.”

Anggia terdiam, menunggu kalimat selanjutnya.

“Aku tahu soal Chalia,” ujar Nora pelan. “Aku pernah lihat mereka mengobrol. Terlalu dekat. Dan aku tidak buta dengan nada suara perempuan yang ingin merebut sesuatu yang bukan miliknya.”

Wajah Anggia menegang sedikit. Dia tak mencoba menyangkal.

“Chalia memang tipe yang licin,” gumamnya. “Dia pintar menempatkan diri. Banyak orang dibuat nyaman, termasuk rekan kerjanya. Termasuk laki-laki yang tidak tahu kapan harus menarik garis.”

Nora mengangguk perlahan. “Aku bukan cuma curiga soal dia. Ada nama-nama lain yang mulai terdengar samar. Asisten magang. Mantan pasien. Perempuan-perempuan yang dulu kupikir tidak ada urusannya sama sekali.”

“Dan kamu sedang mencari bukti?” tanya Anggia, hati-hati.

“Aku mencari kebenaran,” jawab Nora. “Karena kalau semua ini hanya cemburu buta, aku ingin bisa tidur tenang. Tapi kalau ternyata dia memang selama ini pakai topeng di rumah, aku perlu tahu.”

Anggia terdiam. Ada rasa bersalah dalam sorot matanya, seolah menyiratkan dia tahu lebih banyak dari yang bisa diucapkan.

“Aku tidak bisa cerita apa yang aku dengar di ruang staf atau dari suster kalau tidak melihat sendiri,” ujar Anggi akhirnya. “Tapi aku tahu satu hal, Ra. Kamu tidak gila. Insting perempuan yang disakiti itu sering kali lebih akurat dari laporan investigasi.”

Nora tersenyum hambar. “Sayangnya, akurasi saja tidak cukup. Aku butuh bukti. Dan mungkin kamu bisa bantu aku dari sisi itu. Tidak secara langsung, cuma cukup beri tahu kalau kamu lihat sesuatu yang salah.”

Anggia menatap Nora lama sebelum akhirnya mengangguk.

“Kalau kamu kuat,” katanya lirih, “aku akan jadi mata kamu di sini.”

*

Janu berjalan cepat melewati lorong timur, lalu mengetuk ruang rehat staf. Hanya satu ketukan ringan. Itu kode mereka. Tak lama, pintu dibuka dari dalam oleh Chalia yang menyelipkan senyum kecil. Seolah mereka baru saja berbagi rahasia kecil yang manis.

“Aku pikir kamu tidak akan datang,” bisik Chalia sambil menutup pintu kembali.

“Aku cuma punya lima menit,” sahut Janu singkat. Wajahnya tampak letih, jauh dari pria penuh semangat yang beberapa minggu lalu memulai hubungan terlarang ini.

Chalia mendekat, menyentuh kerah jas putih Janu, lalu merapikannya dengan pelan. “Kamu tidak tidur lagi, ya?” tanyanya, setengah manja, setengah curiga.

“Aku begadang,” jawab Janu, menghindari tatapan. “Aku harus memastikan Nora tidak curiga.”

“Dan itu berarti kamu datang ke sini cuma lima menit? Tanpa ciuman? Tanpa… apa pun?” Nada suara Chalia terdengar menggoda, tapi ada ketegangan samar di balik senyumnya.

Janu menghela napas. “Chal, jangan mulai.”

“Aku tidak memulai apa-apa,” balas Chalia. Dia merapat, tangannya menyentuh dada Janu perlahan. “Aku cuma ingat kamu pernah bilang, kamu muak sama Nora. Kamu ingin hidup bebas. Kamu ingin aku.”

Janu menatap matanya, kosong. “Aku tetap ingin semua itu. Tapi kita harus hati-hati. Satu langkah salah, semua bisa berantakan.”

Chalia menunduk sejenak, lalu tersenyum lagi. Senyum yang tak sehangat dulu. “Jadi semua ini masih bagian dari rencana?”

Janu tak menjawab langsung. Dia memalingkan wajah, lalu menjawab datar. “Selama kamu tetap di pihakku.”

Untuk sesaat, ruangan sunyi.

Lalu Chalia menarik tangan Janu, menggenggamnya. “Aku tetap di pihakmu. Tapi kamu harus janji. Setelah ini, kamu cuma milik aku.”

Janu memaksa tersenyum. “Janji, ya?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 8 Terhimpit

    Nora masih duduk di meja makan, tangannya menyentuh cangkir teh yang kini tinggal ampasnya. Sarapan di depannya sudah dingin. Pagi ini, Janu bersikap manis. Terlalu manis. Terlalu sempurna. Terlalu mendadak. Tentu, bagian dari dirinya ingin percaya bahwa laki-laki itu memang menyesal dan benar-benar ingin berubah. Tapi Nora sudah terlalu lama hidup dengan Janu untuk tahu, perubahan sebesar itu tak akan datang hanya dari satu malam permintaan maaf. Dia menunduk. Matanya tak sengaja menangkap botol putih kecil di dekat gelas jus. Minyak ikan. Kapsul yang biasa dia konsumsi tiap pagi. Nora meraihnya pelan. Tutupnya terasa masih rapat. Tapi tadi pagi, saat pertama kali dipegang, tutup itu longgar. Bukan terbuka, hanya terasa seperti sudah dibuka, lalu dipasang kembali tanpa benar-benar dikunci. Dia masih ingat jelas. Jemarinya yang pelan-pelan memutar ulang, mencari suara klik yang biasa. Perasaan tak nyaman menjalar perlahan ke kulitnya. Mungkinkah hanya kebetulan? Mungkin

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 7 Yang Penuh Sandiwara

    Janu pulang lebih awal dari biasanya. Jam delapan malam, dia sudah berdiri di depan pintu, membawa tas kerja dan satu botol kecil yang disembunyikan rapi dalam saku jas. Begitu membuka pintu, aroma masakan hangat menyambutnya. Nora sedang di dapur. Dia menoleh. Senyum mengambang lembut di wajahnya.“Kamu pulang cepat,” sapa Nora.Janu tersenyum. “Aku janji, kan? Mau lebih sering di rumah.” Dia bahkan mengecup kening Nora sekilas.“Masih hangat, mau langsung makan?” tawar Nora.“Boleh, tapi aku mau mandi sebentar.” Janu melangkah pelan ke kamar.Tapi bukan ke kamar tujuan sebenarnya. Dia memutar lewat ruang tengah, menyelinap ke dapur sebentar ketika Nora sibuk menata meja. Dengan tenang, Janu membuka laci. Menyelipkan botol kapsul minyak ikan berisi thallium yang telah disiapkan, lalu menutup rak itu kembali. Rapi. Tak ada yang berubah.Seakan tak terjadi apa pun.Malam itu mereka makan bersama. Janu bicara lebih banyak dari biasanya. Menanggapi cerita Nora dengan tawa ringan. Bahkan

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 6 (Bukan) Permainan Kecil

    Chalia menutup pintu rapat-rapat. Wajahnya masih ditekuk dan matanya menyimpan bara. “Apa maksudmu tadi?” bisiknya tajam.“Menyingkirkan Nora? Kamu gila, ya?” Janu menyandarkan punggung ke dinding, menyeka wajah dengan tangannya. “Aku tidak tahan lagi, Chal. Dia berubah. Dia curiga. Dia tahu! Kalau sampai dia bertindak, semua bisa berakhir. Aku bisa kehilangan semuanya.” Chalia melipat tangan di dada. “Ya, lalu solusimu adalah membunuh dia?” “Aku tidak bilang ‘bunuh’,” kata Janu lirih. “Aku cuma ingin dia pergi. Dengan cara yang tidak akan bisa ditelusuri. Pelan-pelan. Seperti sakit biasa. Tidak ada yang kecurigaan.” Chalia tertawa sinis, tapi tanpa humor. “Kamu pikir aku segila itu? Kamu pikir aku mau jadi bagian dari kejahatanmu?” Janu menatapnya, penuh desakan. “Dengarkan dulu. Cuma kamu yang bisa bantu. Kamu bekerja di sini. Kamu tahu caranya. Dan setelah semua ini selesai…” Janu mendekat, suaranya melembut. “Aku akan menikahimu. Kita bisa hidup bebas. Tidak ada lagi perma

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 5 Pertanyaan Beracun

    Makan malam disajikan tanpa kata-kata. Hanya suara sendok bertemu piring dan langkah pelan dari dapur ke meja makan. Janu duduk seperti biasa, tapi pandangannya tak pernah benar-benar bertemu mata Nora. Dia sibuk mengunyah, menatap sup seolah ada jawaban hidup di dalamnya. Nora duduk di seberangnya. Tidak tergesa. Tidak gugup. “Janu, akhir-akhir ini, kamu terlihat seperti orang yang ingin kabur dari rumah ini setiap pagi.” Janu menarik napas. “Nora…” “Aku tidak akan marah,” potong Nora, lembut. “Aku cuma ingin kamu jujur. Apa yang berubah, Jan?” Janu menghindari tatapan itu. “Mungkin aku yang berubah. Aku merasa terkekang. Kita terlalu rapi. Kamu terlalu baik. Kadang, aku merasa seperti hidup dalam rutinitas yang tidak pernah berakhir. Dan aku tipe orang yang butuh … kebebasan.” Nora mengangguk perlahan, menatap suaminya dalam-dalam. “Lalu kamu memilih mencari kebebasan itu di ranjang perempuan lain?” Janu tidak menjawab. “Chalia, ya?” Masih tidak ada jawaban. Tapi s

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 4 Jejak Yang Tertinggal

    Nora menutup pintu perlahan, menaruh tas tangan di atas meja makan. Dia baru saja pulang dari rumah sakit, setelah menitipkan makan siang pada Chalia. Chalia. Perempuan muda itu menyambutnya dengan hangat, terlalu hangat, mungkin. Dengan senyum yang manis, tapi terasa terlatih. "Saya sudah anggap Bu Nora seperti kakak sendiri." Ucapan itu terngiang. Dan kini, terasa seperti sindiran yang dibungkus plastik bening. Nora berjalan pelan ke kamar, membuka lemari pakaian. Tangannya menyisir ruang cuci, mencari satu kemeja biru muda yang dikenakan Janu kemarin. Yang baunya sempat menyengat samar saat dia ambil dari lantai. Dia menemukannya, tergantung belum sempat masuk ke keranjang cucian. Nora mengangkat kemeja itu, mendekatkannya ke wajah. Dia menghirup perlahan, nyaris tanpa suara. Ada aroma lembut, samar, manis dan agak menyengat di ujung hidung. Bukan parfum miliknya. Bukan deterjen yang mereka pakai. Bukan pula parfum Janu. Dan di sela ingatan samar tentang pelukan pag

  • Secangkir Teh Untuk Suamiku   Bab 3 Yang Tersembunyi

    Di balik pintu belakang ruang penyimpanan alat radiologi, ada satu ruangan kecil dengan jendela setengah tertutup dan lemari tua berisi dokumen usang. Tak banyak orang tahu ruangan itu masih dipakai, kecuali dua orang: Chalia dan Janu. Chalia sudah lebih dulu tiba. Dia duduk di tepi meja, kaki terayun pelan. Kotak makan dari Nora diletakkan begitu saja di sampingnya. Pintu terbuka pelan. Janu masuk tanpa suara, menutup pintu kembali dengan punggungnya. “Makanannya sudah kuterima,” ujar Chalia tanpa menoleh. “Katanya: ‘Tolong sampaikan supaya langsung dimakan.’ Manis, ya?” Janu mendesah pendek. “Kamu mulai lagi." Chalia tersenyum lebar, tapi senyumnya tak hangat. “Aku tidak sedang menyindir. Istrimu itu luar biasa.” Dia mengambil kotak makan itu, lalu mengangkatnya sedikit. “Lihat. Nasi dibentuk pakai cetakan daun. Buahnya dipotong hati-hati. Ada catatan kecil juga. Ditulis dengan spidol pink. Dia sangat mencintaimu, ya?” Janu menarik kursi dan duduk, wajahnya lelah.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status