Mag-log inSetelah ciuman singkat itu, mereka sama-sama terdiam. Nora menunduk, masih merasakan debar yang asing sekaligus menenangkan di dadanya. Raksa tidak buru-buru bicara, tidak mendesak jawaban yang lebih, hanya membiarkan keheningan itu mengalir bersama desir angin sore.Mereka duduk bersebelahan di bangku taman dengan tangan masih saling menggenggam. Jemari Nora yang dulu selalu dingin, kini hangat. Meski masih sedikit gemetar. Raksa menoleh, menatapnya dalam diam, lalu berbisik pelan, seakan takut merusak momen itu.“Dulu, aku pikir tugasku hanya menemukan kebenaran dalam kasus-kasus,” ucap Raksa lirih. “Tapi ternyata kebenaran itu tidak selalu tentang hitam dan putih. Kadang kebenaran adalah seseorang yang duduk di samping kita, yang kita pilih untuk percaya dan lindungi.”Nora menoleh perlahan. Ada senyum samar di wajahnya, samar tapi nyata. “Aku dulu berpikir hidupku sudah berakhir. Sejak semua keburukan itu menelanku. Tapi ternyata, masih ada yang tersisa. Masih ada ruang untuk bern
Ruang tamu rumah Pak Harsanta yang mewah dihiasi foto-foto lama keluarga. Beberapa di antaranya menampilkan Nora kecil. Tertawa polos, digendong sang ibu, atau duduk di pangkuan ayahnya. Kini foto-foto itu seperti artefak dari masa lain, mengingatkan betapa jauh jarak antara masa lalu dan kenyataan sekarang.Raksa duduk tegak di kursi tamu. Kemejanya rapi meski wajahnya sedikit lelah. Tangannya diletakkan di atas lutut, kaku, seolah dia sedang menghadapi sidang internal kepolisian, padahal yang ada di hadapannya hanya seorang ayah dengan rambut yang memutih.Pak Harsanta menuangkan teh hangat ke cangkir, lalu mendorongnya ke arah Raksa. “Silakan diminum dulu,” katanya pelan.Raksa mengangguk sopan. Tapi teh itu tetap dibiarkan mengepul tanpa tersentuh, karena kata-kata yang mengganjal jauh lebih panas daripada cairan di cangkir. Dia menarik napas, menatap lurus.“Pak,” ucapnya hati-hati, “saya datang bukan hanya untuk mengunjungi. Ada hal yang ingin saya sampaikan.”Pak Harsanta menga
Suasana kantor polisi siang itu jauh dari biasa. Ruangan yang biasanya berisi percakapan datar antaranggota kepolisian kini dipenuhi ketegangan yang kental. Pak Wirya, atasan Raksa, sudah berdiri di sana, berusaha menjaga agar percakapan tidak berubah menjadi ledakan yang lebih besar.Di hadapannya, pasangan suami istri itu, orang tua Janu, duduk dengan wajah merah padam, suara mereka meninggi hampir tanpa henti.“Anak kami dibunuh, dan pelakunya malah dilindungi di tempat perawatan!” suara Ibu Janu pecah, penuh dengan kemarahan bercampur air mata. “Apakah ini yang disebut keadilan? Dia seharusnya di penjara! Diadili layaknya penjahat!”Pak Wirya mencoba menenangkan, “Bu, saya mengerti perasaan Anda. Proses hukum tetap berjalan, tapi ada prosedur khusus—”“Prosedur?!” Pak Janu menghantam meja dengan telapak tangannya. “Prosedur macam apa yang membuat seorang pembunuh hidup nyaman sementara anak kami sudah mati?! Polisi macam apa kalian ini?”Raksa, yang sejak tadi berdiri di sisi ruan
Mobil polisi meluncur perlahan meninggalkan gedung pengadilan. Langit sore tampak redup. Awan menebal seolah ikut menyerap suasana muram dari ruang sidang tadi.Nora duduk di kursi belakang, diapit dua dunia yang sama-sama asing tapi anehnya memberi rasa aman. Raksa di sampingnya, ayahnya, Pak Harsanta, di sisi lain.Tangannya terkunci di pangkuan. Tubuhnya tegak tapi lunglai. Nira merasa begitu lelah sampai-sampai bergerak pun terasa sulit.Dari kaca jendela, kota berjalan mundur. Bangunan, pohon, dan orang-orang yang tak tahu apa-apa tentang kisah kelamnya.Raksa membuka percakapan lebih dulu, suaranya rendah tapi terukur. “Terima kasih sudah ikut mendampingi, Pak. Tidak semua orang tua bisa setegar Bapak.”Pak Harsanta menarik napas panjang, lalu tersenyum samar. “Kalau bukan saya, siapa lagi? Nora satu-satunya putriku. Mau bagaimanapun kondisinya, tetap anak saya.” Suaranya berat, namun kali ini tanpa getir yang biasanya muncul setiap kali Nora mendengar ayahnya bicara tentang dir
Satu hari sebelum persidangan, Raksa berjalan menyusuri koridor menuju ruang isolasi khusus. Udara di dalam ruangan itu selalu dingin, lebih karena kesunyian yang menempel di dinding-dindingnya. Setiap kali dia melangkah ke sana, selalu ada perasaan asing yang menekan dada. Perasaan bahwa dia bukan sedang mengunjungi seorang tersangka, melainkan seseorang yang tersesat jauh dalam dirinya sendiri.Pintu berlapis besi itu dibuka petugas. Raksa melangkah masuk. Di dalam, Nora duduk di sudut ranjang dengan tubuh tegak namun lemah, seperti boneka yang kehilangan benang pengikat. Meski begitu, wajahnya lebih segar dibanding beberapa hari lalu. Tidak lagi pucat, meski matanya tetap kosong.Raksa menarik kursi dan duduk di hadapannya. Ada jeda panjang sebelum dia bersuara, membiarkan keheningan berbicara lebih dulu.“Kamu kelihatan lebih sehat,” katanya akhirnya, suaranya tenang tapi berat.Nora menoleh perlahan. Senyuman tipis terbit di bibirnya, tapi itu bukan senyum. Lebih tepatnya sepert
Raksa berdiri di depan pintu ruang kerja atasannya cukup lama sebelum akhirnya mengetuk. Ketukan tiga kali itu terdengar mantap. Namun, di dalam dadanya, jantungnya berdegup seperti genderang perang.“Masuk,” suara berat Pak Wirya terdengar jelas.Raksa mendorong pintu perlahan, lalu masuk sambil membawa map tebal berisi berkas-berkas. Dia berdiri tegak di depan meja, memberi hormat singkat, kemudian duduk setelah dipersilakan.“Jadi,” Pak Wirya membuka percakapan tanpa basa-basi, “kamu sudah temukan sesuatu yang bisa mengakhiri teka-teki ini?”Raksa menarik napas panjang. Dengan hati-hati dia meletakkan map itu di atas meja, membuka halaman demi halaman.“Saya harus jujur. Dari semua bukti yang ada, dari alur kronologi hingga pengakuan samar, semuanya mengarah pada satu nama. Nora Lituhayu.”Wirya terdiam. Tatapannya yang tajam menancap ke wajah Raksa, seolah hendak menembus isi kepalanya. “Lanjutkan.”Raksa menunduk sejenak, lalu menjelaskan. “Catatan laboratorium membuktikan adany







