Clara memasuki rumah dengan menggendong Devan. Entah kenapa Devan jadi manja sekali. Clara tidak menyangka jika ia menjadi seorang ibu di usianya yang masih sangat muda. Walaupun bukan sebagai seorang ibu dalam artian yang sebenarnya, tetap saja Clara masih tidak menyangka.
Dimas yang melihat Clara sedikit kesusahan sedikit jadi merasa bersalah. Devan adalah cucu kandungnya sendiri. Seharusnya ia sendiri yang menjemput Devan , bukan orang lain yang bahkan bersama mereka selama kurang dari satu minggu. Dimas jadi merutuki dirinya sendiri yang terlalu pulas jika tertidur.
"Devan kamu sudah pulang,Nak? Maaf kakek tidak sempat menjemputmu. Kakek menyesal sekali." Ucap sang kakek.
"Memangnya Kakek sering menjemput Devan? Tidak tuh. Kakek pernah menjemput Devan satu kali saja selama Devan sekolah. Kakek selalu beralasan tidak sempat. Padahal, kakek selalu tidur dari pagi sa
Clara menghela nafas pelan. Kejadian tadi benar-benar membuatnya senam jantung. Ia tidak bisa berlama-lama dengan Nathan. Ia bisa mati mendadak karena terkena serangan jantung. Ia tidak mau itu terjadi. Untung saja, ia cepat-cepat bisa pergi dari Nathan. Ia bisa mencari alasan yang tepat untuk menjauh dari Nathan. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana kalau ia masih berada di dekat Nathan. Pasti tubuhnya sudah membiru karena mati. Clara mengelus dadanya pelan. Berusahalah menetralkan detak jantungnya yang terlalu cepat. Ia bisa saja terserang penyakit jantung jika sering bersama Nathan. Daripada memikirkan itu, lebih baik ia memikirkan hal lain. Ini tidak baik untuk kesehatan jiwa dan raganya. Ia harus melakukan sesuatu yang bisa membuat fikirannya teralih dari Nathan. Sepertinya membuka sosial medianya yang sudah lama dibuka adalah hal yang bagus. Ia su
Wilda segera bersiap menemui Edgar. Ia sudah mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menemuinya. Walaupun tidak seperti saat ia menemui Nathan. Tapi, setidaknya ia sudah menyiapkannya sebaik mungkin. Ia tetap terlihat cantik walaupun tanpa melakukan perawatan sedikitpun. Terimakasih kepada make up karena telah menyelamatkan wajahnya. Ia harus mensyukuri karena ia terlahir jadi wanita wanita cantik. Jika ia tidak cantik, apa yang bisa diandalkan? Sepertinya tidak ada. Ia menunggu kedatangan Edgar yang telah berjanji akan menjemputnya. Ia sungguh tak sabaran untuk menunggu lebih lama lagi. Pasalnya, ia telah menunggu lebih dari setengah jam. Wilda heran, kenapa Edgar lama sekali? Apakah ia menyelesaikan urusannya terlebih dahulu? Jika iya, seharusnya ia membatalkan saja perjanjian mereka. Sudah ia katakan , bahwa ia malas sekali menunggu. Wilda berulang kali
Clara kembali mengurus cafenya. Ia mengambil alih semua tugas Audrey. Dengan percaya diri, Clara melakukannya dengan sepenuh hati. Ia yakin bahwa ia bisa melakukanna. Walaupun tidak berbekal pengalaman sedikitpun, Clara bisa mengurus semuanya dengan baik. Hampir sama seperti Audrey. Clara mengatur jadwalnya sendiri. Dan merombak hampir semua yang sebelumnya kurang memuaskan. Dari tukang masak, barista, hingga pelayan. Sesuai izin Audrey tentunya. Ia tidak mungkin melakukan hal itu tanpa persetujuan Audrey. Ia terlalu takut jika Audrey akan marah besar jika ia bertindak tanpa pemberitahuannya. Ia masih sayang telingamu. Jika Audrey marah, ia akan menutup telinganya saat itu juga. Suara Audrey begitu menggelegar hingga ia malas untuk mendeskripsikannya. Clara mengelap keringatnya yang mulai menetes dari pelipisnya. Clara merasa begitu sehat saat beker
Clara terkejut saat tangan besar tiba-tiba berada di depan wajahnya. Tangan bibi tidak jadi melayang pada wajahnya. Ia bersyukur orang di depannya ini datang dalam waktu yang tepat. Mungkin jika pria di depannya ini tidak datang pipinya sudah memerah karena ditampar oleh bibinya. Clara mengamati punggung kekar pria itu. Sepertinya ia kenal dengan postur tubuh itu. Ia adalah pria yang setiap malam mengganggu fikirannya. Tunggu. Apakah ini Nathan? Ia yakin bahwa pria di depannya ini adalah Nathan. Ia sempat ternganga beberapa saat karena menyadari Nathan datang ke tempatnya secara tiba-tiba."Tolong, Anda jangan main tangan. Sata tidak akan segar melaporkan Anda ke kantor polisi atas tuduhan kekerasan." Ucap Nathan. Suara berat Nathan membuat Clara merinding sendiri. Jika ia biasanya mendengar cara bicara yang lembut, sekarang i
Clara tersenyum melihat Lidya pergi begitu saja. Ia yakin bahwa Lidya tengah merasakan kekesalan. Ia yakin bahwa orang itu terus saja menggerutu di dalam hatinya. Jika ia tidak malu dengan orang-orang di sekitarnya, mungkin ia akan tertawakan sekencang mungkin. Namun, ia harus menjaga image nya. Ia tidak mau di cap sebagai gadis arogan yang tak memiliki sopan santun sedikitpun. Clara menatap Nathan yang masih tampak menahan emosinya. Ia jadi merasa bersalah, karenanya Nathan harus mengeluarkan sedikit tenaganya untuk mengusir Lidya. Tapi tidak apa, lagipula Clara tidak menyuruh Nathan untuk melakukannya."Terimakasih." Ucap Clara sembari tersenyum."Sama-sama. Apakah dia sering mengunjungimu? Saya tidak yakin bahwa dia merupakan salah satu keluargamu." Jawab Nathan."Saya sendiri tidak yakin mengenai itu. Sudahlah, lupakan saja
Devan tersenyum lebar saat mendapati Clara dan Nathan menghampitinya. Akhirnya, kebosanan yang menghinggapinya segera hilang. Namun, senyum itu tiba-tiba luntur saat mengingat bahwa mereka telah membuat Devan lama menunggu. Ia memasang wajah masam saat Clara dan Nathan mendekatinya."Kenapa wajahmu masam begitu? Bukankah seharusnya kamu senang, kalau kami yang menjemputmu?" Tanya Nathan."Sebenarnya Devan senang, tapi kalian telah membuat Devan menunggu. Sampai Devan kebosananku sendiri. Kalian kenapa lama sekali?" Tanya Devan dengan nada sewot."Kami tidak bermaksud membuatmu menunggu. Tadi ada kejadian yang membuat kamu harusnya menyelesaikannya terlebih dahulu. Kamu mengerti kan?" Ucap Nathan berusaha memberi penjelasan."Bukan karena tante genit kan,Papa?""Tentu saja bukan. Papa tidak pernah berurusan dengan dia. Sekarang kita pulang." 
Edgar tersenyum culas. Ia membayangkan sosok Wilda. Ternyata membodohi wanita itu benar-benar mudah. Ia tidak menyangka, sosok seorang anak konglomerat bisa juga terlalu bodoh. Ia kira, Wilda merupakan sosok cerdas yang berpendidikan tinggi. Hal itu semakin membuat Edgar puas. Ia tidak perlu repot-repot untuk mengatakan hal ini dan itu untuk membodohi Wilda. Wanita itu tidak akan curiga tentang sifat liciknya. Ia yakin itu. Setelah malam tadi ia berhasil mencicipi tubuh Wilda. Ia jadi ingin mencicipinya lagi. Ia tidak menyangka jikw Wilda sangat bisa membuat napsunya membucah. Ia juga bisa memuaskan nafusnya. Tadi, malam Wilda terus saja menjerit di bawah kungkungannya. Edgar yakin, bahwa Wilda begitu menikmatinya. Edgar jadi ingin mencobanya lagi. Erangan Wilda tidak kalah dengan jalang sewaan yang telah ia bayar mahal. Edgar juga tidak perlu mengeluark
Devan memasuki rumahnya dengan terburu. Ia tak sabar untuk menunjukkan sesuatu yang ia lupakan karena menahan kesal tadi. Padahal rencananya Devan akan memberitahu Clara dan Nathan pada saat Clara dan Nathan menjemputnya. Namun, harus ia urungkan karena Clara dan Nathan datang terlambat sampai membuatnya sedikit menahan kesal. Nathan mengernyit heran. Tak biasanya Devan mendahuluinya masuk ke dalam rumah. Ia menatap Devan yang sudah berlari masuk ke dalam rumah. Cepat sekali. Ia melirik Clara yang juga menatap Devan heran. Mungkin ia juga heran melihat tingkah Devan yang ajaib."Kenapa dia lari begitu cepat? Apakah dia memang terkadang seperti itu?" Tanya Clara heran."Entahlah. Sepertinya tidak. Saya tidak pernah melihat dia berlari secepat itu saat memasuki rumah. Mungkin dia ingin melakukan sesuatu." Jawab Nathan."Oh, seperti itu