Share

03. Canggung

Nadin memasuki rumah Raka yang sekarang menjadi rumah barunya. Sekarang ini statusnya sudah sah menjadi nyonya Raka Argantara maka dari itu ia harus mengikuti kemana suaminya akan membawanya termasuk ke rumahnya dan tinggal satu atap bersama dengan Aurel—kakak ipar yang menjadi madunya.

“Selamat datang, Nyonya,” seorang pelayan menyapa hangat kehadiran Nadin—nyonya barunya yang tentu saja sudah mereka kenal sebelumnya.

Nadin tersenyum tipis lantaran mengangguk. “Mas,” panggil Nadin kepada Raka yang berjalan di depannya.

“Ada apa?” Raka mengentikan langkahnya, memutar tubuhnya menatap Nadin yang sekarang mengatainya.

“Nadin mau ketemu sama mbak Aurel, apakah boleh?” katanya bertanya guba meminta ijin. Bagaimanapun juga ia harus meminta maaf kepada istri pertama suaminya itu.

Raka sejenak terdiam. “Mungkin sekarang dia berada di dalam kamarnya,” balas Raka akhirnya.

Nadin mengangguk. “Aku akan merapikan pakaianku nanti. Sekarang aku ingin menemui mbak auret terlebih dahulu bagaimanpun juga aku sudah melukai hatinya, aku harus memintt maaf,” terang Nadin.

“Dia pasti mengerti,” ujar Raka. Sejujurnya ia sendiri merasa sedih kala harus menikahi perempuan lain yang adalah adik iparnya sendiri dan menyakiti hati istrinya. Namun ia sudah berjanji kepada mendiang adiknya maka dari itu ia harus menepatinya.

Nadin mengangguk. “Ya sudah, Nadin duluan,” pamitnya lantaran melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga, melati Raka yang masih bergeming di tempatnya.

Tangan Nadin terangkat untuk mengetuk pintu yang ada di depannya. Perasaan bersalah semakin menusuk hatinya kala suara Aurel terdengar dari dalam sana. Perlahan, Nadin membuka pintu yang semula itu tertutup dengan sempurna, didapatinya Aurel yang sedang mencoba untuk menidurkan putranya.

“Mbak Aurel,” sapa Nadin. Perempuan itu melangkah mendekati Aurel di tempat tidurnya.

“Ada apa?” tanya Aurel sedikit dingin dan Nadin memaklumi hal itu. Tidak akan ada istri yang bisa menerima dengan mudah kehadiran madunya.

Ditatapnya Reiki yang sudah tertidur dengan pulas. “Nadin minta maaf sama mbak Aurel. Nadin sama sekalt nggak ada niatan untuk merebut mas Raka dari mbak Aurel,” ujar Nadin mulai membuka suara. Dirinya bukan orang tidak tahu diri yang akan diam saja menyadari kesalahannya.

“Aku tahu kamu masih dalam suasana duka dan ini semua juga bukan keinginan kamu. Tapi jujur saja, hari aku sakit banget Nad pas mas Raka bilang mau nikahin kamu, hati aku nggak bisa menerima kalau suamiku harus berbagi cinta dan berbagai ranjang bersama dengan perempat lain apalagi itu adik iparnya sendiri,” tutur Aurel. Aurel memang sosok perempuan yang terus terang maka dari itu ia lebih memilih mengungkapkan apa yang ia rasakan daripada memendamnya sendiri menjadi beban.

Hati Aurel terisis mendengar kejujuran Aurel. Jika ia berada diposisi Aurel pun pastinya ia sama terlukanya dan sama tidak relanya membagi cinta suaminya.

Aurel mengusap kasar air mata yang mengalir tanpa diminta, menganak sungai pada pipi mulusnya.

“Jujur saja, mbak, Nadin sangat mencintai mas Rafa bahkan sampai detik itu perasaan itu masih sama besarnya. Tapi, Nadin pernah berjanji bahwa Nadin akan menerima mas Raka, mencoba untuk membuka hati Nadin untuknya. Nadin bukan bermaksud merebut mas Raka hanya saja Nadin tidak berjanji kepada mbak Aurel jika suatu saat nanti Nadin tidak akan tidak mencintai mas Raka. Nadin berharap Mbak Aurel tidak membenci Nadin meskpun kenyatannya itu sangat kecil.”

“Sudahlah, Nad, Mas Raka juga adalah suamimu, kamu berhak atas itu.”

***

Nadin melangkah memasuki kamar barunya, kamar yang begitu luas namun sepi nan dingin. Malam ini menjadi malam pertama untuk dirinya dan Raka namun malam ini sepertinya akan berlalu begitu saja. Nadin tidak mempermasalahkan itu karena sekarang ini dirinya masih belum mencintai lelaki itu tapi tidak untuk nanti Nadin tidak tahu akan seperti apa perasaan dan hubungan pernikahannya kedepan nanti.

Cklekk

Suara pintu terbuka membuat atensi Nadin tersita. Ia tersenyum lembut menatap suaminya yang kini berjalan ke arahnya.

“Mas mau istirahat disini?” kata Nadin bertanya.

“Hm,” Raka hanya menanggapi dengan gumaman setelahnya ia segera merebahkan diri di atas tempat tidur membiarkan Nadin yang masih bergeming di posisinya.

“Kamu tidak tidur?” suara Raka menyentak Nadin membuat perempuan itu lantas menoleh ke arahnya.

“Em, aku akan tidur,” Nadin menjawab pelan kemudian berjalan menuju ranjang dan merebahkan diri disana dengan posisi telentang.

Canggung, itulah satu kata yang mewakili perasaan Nadin sekarang. Rasanya sangat aneh tidur satu ranjang dengan kakak iparnya meskipun itu sudah menjadi suaminya.

Nadin memutar lehernya menatap Raka yang sudah memejamkan mata. “Em, mas Nadin tidur di sofa saja,” Nadin berujar ragu dan pelan. Perlahan ia bangkit dari posisinya dan hal itu sukses membuat mata Raka kembali terbuka.

“Tidur!” titah Raka menyentak suara telinga Nadin.

“Nadin akan tidur di sofa,” Nadin tetap kekeuh dengan keinginannya.

Raka merubah posisinya menjadi duduk, menatap Nadin sejenak. “Kenapa?”

Nadin menggeleng pelan tidak ingin mengatakan alasannya kalau ia merasa sangat tidak nyaman. “Mas kenapa tidak tidur sama mbak Aurel?” kata Nadin bertanya mengalihkan topik pembicaraannya dengan Raka.

“Karena dia yang minta,” balas Raka tenang dan hal itu sukses membuat hati Nadin merasakan setitik rasa bersalah.

“Mas kembali saja ke kamar mbak Aurel,” pinta Nadin kemudian.

Raka tidak menanggapi, ia bangkit dari posisinya tanpa menimbulkan suara dan berlalu begitu saja dari kamarnya dengan Nadin.

“Setidaknya ini lebih baik,” gumam Nadin kala tubuh tegap Raka mulai menghilang di balik pintu kamarnya yang kembali tertutup.

Nadin kembali merebahkan tubuhnya, ia menerima selimut sebatas dada, netranya terus tertuju pada langit-langit kamarnya, terasa sulit untuk di pejamkan.

Kerinduan akan mendiang suaminya kembali menyelinap ke dalam hatinya membuat setitik air mata menembus sudut matanya. “Rindu tanpa pertemuan ini aja udah sangat menyakitkan bagaimana bisa aku menjalalani sebuah hubungan tanpa didasari cinta satu sama lain,” monolog Nadin dalam hatinya.

Cklekk

Pintu kamar kembali terbuka membuat Nadin buru-buru mengusap air matanya. Si tatapnya lembut Raka yang kembali memasuki kamarnya dengan segelas susu di tangannya.

“Kau belum meminum susumu,” ujarnya seraya menyodorkan gelas dalam genggamannya itu kepada Nadin.

“Terima kasih, Mas, sekarang kembalilah ke kamar mbak Aurel aku bisa mengembalikan gelasnya sendiri,” ujar Nadin.

“Cepat habiskan!” seru Raka. Nadin pun akhirnya menurut saja, meneguk susu itu hingga tandas.

“Sudah,” ujar Nadin seraya menatap Raka yang juga menatapnya.

Raka mengambil alih gelas kosong itu, menyimpannya di atas nakas kemudian kembali merebahkan tubuhnya membuat Nadin membeku seketika.

“Cepat tidur!” titah Raka.

“O-oke,” balas Nadin pelan. Dengan gerakan kaku dan perlahan ia merebahkan tubuhnya dengan posisi telentang serta selimut yang menutupi hingga dadanya. Sejenak ia menatap Raka yang sudah memejamkan matanya. Hidung mancung, bibir tipis, bulu mata lentik, rahang tegas serta alis tebal semuanya juga merupakan milik Rafa. Kakak adik ini memang seperti pinang dibelah dua meskipun kenyataannya mereka terpaut usia 3 tahun.

“Hanya parasnya yang serupa, perasaanya tidak. Hanya raganya yang menjadi milikku tapi hatinya tidak. Dia tetap Raka tidak akan berubah menjadi Rafa,” monolog Nadin dalam hatinya. Ia kemudian merubah posisinya menjadi miring membelakangi Raka, mencoba untuk memejamkan matanya berharap memasuki alam mimpi indah bersama mendiang suaminya.

“Kamu harus terbiasa tanpa pelukan hangat itu, Nadin,” gumam Nadin untuk yang terkahir kalinya sebelum akhirnya ia benar-benar terlelap dan mulai menyelami mimpi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status