Share

02. Kenyataan Pahit

Nadin berjongkok di depan pemakaman suaminya dengan tangan yang terus menabur kelopak mawar. Tangisnya masih tidak kunjung reda.

“Kenapa harus secepat ini?” batin Nadin bertanya. Lidahnya terlampau kelu untuk mengeluarkan suara.

“Maaf mas, kalau saja aku tidak egois dan mencegahmu untuk kembali malam itu pasti ini semua tidak akan terjadi.”

“Dirimu ini pasti sekarang sedang berada di sisiku dan kita saling melepaskan rindu.”

“Jujur, hatiku sakit melepas mu, bagaimana bisa kamu meninggalkan ku?”

Isakan Nadin semakin terdengar kencang hingga sesegukan. Ia benar-benar merasakan kehancuran. Keluarga kecil yang baru saja dibangunnya hancur dalam sekejap mata.

Raka yang berada disebelah Nadin menarik bahu perempuan itu untuk menyandar pada bahunya. “Rafa akan sangat sedih melihat kamu seperti ini,” bisiknya lembut berharap hal itu bisa sedikit melegakan hati Nadin dan mengikhlaskan suaminya itu.

***

Mobil yang membawa Nadin dan Raka kini berhenti tepat pada pelataran rumah besar miliknya dan Rafa. Nadin berlalu turun, kehadirannya itu disambut puluhan lelaki berbadan kekar dengan pakaian serba hitam serta kacamata yang menutupi kelopak matanya. Orang-orang itu membungkuk memberi hormat kala Nadin melangkah memasuki rumahnya, wanita itu menyapu seluruh isi dalam rumahnya yang terasa sepi.

Dada Nadin kembali merasakan sesak, begitu banyak kenangan manis yang sudah ia lewati bersama Rafa, begitu banyak foto mesra dirinya dengan Rafa yang terpajang disana.

“Mas, Nadin, kalian sudah kembali,” seoranng wanita cantik menyapa dengan seorang lelaki kecil dalam gendongannya.

Raka dan Nadin mengehentikan langkahnya, menatap wanita cantik yang adalah Aurel kakak iparnya.

“Mas Raka, Mbak Aurel, Nadin ke atas dulu,” pamitnya kemudian melangkahkan kakinya menuju anak tangga, menapaki satu persatu undakan kecil yang akan membawanya menuju kamarnya dan suaminya—Rafa.

“Aurel,” suara Raka mengintrupsi membuat atensi Aurel terista untuk menatap suaminya.

“Ada yang ingin aku sampaikan kepadamu,” ujarnya. Ia kemudian melangkahkan kakinya meninggalkan Aurel yang menatap punggungnya menuju sebuah kamar yang berada di lantai dasar.

Aurel tahu suaminya sekarang masih dalam keadaan duka, pun dengan adik iparnya. “Rika!”

Seorang ART yang kebetulan melintasi dirinya seketika menghentikan langkahnya kala suara Aurel terdengar memanggil namanya. “Iya, Nyonya?”

“Tolong kamu jaga Reiki sebentar ya!” pintanya seraya menyrahkan bayi kecil berusia dua tahun itu kepada Rika.

“Baik, Nyonya,” Rika menerima Reiki untuk digendongnya sementara Aurel bergegas menemui Raka yang sudah terlebih dahulu memasuki sebuah kamar yang tidak jauh dari posisinya.

“Mas,” suara Aurel menyapa lembut indera pendengaran Raka yang sednag mendudukkan dirinya di tepi ranjang.

Reiki menatap istrinya yang berjalan mendekatinya, ia kemudian menepuk sisi tempat tidur meminta Aurel untuk duduk disebelahnya.

“Ada apa, Mas?” tanya Aurel lembut kala ia sudah mendudukkan dirinya. Ia mengusap lembut bahu kekar suaminya.

Raka menatap dalam manik teduh Aurel, bibirnya terasa berat untuk diangkat, lidahnya sangat kelu untuk mengeluarkan suara. Ia tidak ingin menyakiti hati istrinya tapi mau bagaimanapun juga ini adalah amanat dari adik satu-satunya, Raka tidak mungkin mengingkarinya.

Raka menarik nafas dalam, menyiapkan diri untuk membuka suara. “Sebelum Rafa meninggal dunia, Rafa berpesan kepada Mas untuk menikahi Nadin.”

Nafas Aurel terkcekat, tubuhnya menegang di tempat, bibirnya bungkam terasa sulit untuk digerakkan.

“Itu adalah permintaan terakhirnya dan mas tidak bisa mengingkarinya,” sambung Raka.

Lolos sudah berlian bening dari mata indah aurel yang sudah sembab. “Mas Raka mau menikah lagi?” lirih Aurel. Dadanya terasa sesak hatinya berdenyut nyeri, sakit sekali.

Dengan berat hati Raka mengangguk. “Aku minta maaf,” cicit Raka.

Aurel menggelengkan kepalanya, ia tidak rela, ia tidak ikhlas berbagi suami dengan adik iparnya. Ia tidak rela melihat suaminya memberikan perhatian, cinta dan kasih sayang kepada perempuan lain terlebih itu adalah Nadin, sungguh ia tidak bisa akan hal itu.

Dengan air mata yang berderai, Aurel menatap Raka. “Jika aku menolak berbagi suami, jika aku melarangmu menikah lagi, apakah kamu akan menurutiku, Mas?” kata Aurel bertanya.

Raka membisu namun ia menggeleng, Aurel semakin menangis. “Maka ceraikan saja aku!”

***

Nadin berjalan perlahan dengan mata yang menyapu lembut kamarnya, kamar yang menjadi tempatnya berbagi ranjang dengan suaminya tercinta, kamar yang menjadi tempat beristirahat kala ia dan Rafa lelah, kamar yang menjadi tempat berbagi cinta dan segala keluh kesah, kamar yang menjadi saksi bisu bagaimana mereka berdua menjalani kehidupan pernikahannya yang baru satu tahun lamanya.

“Kenapa sesingkat ini, Mas?” tangan Nadin tergerak untuk mengusap lembut bingakai foto yang terpasang di dinding kamarnya. “Kenapa secepat ini kamu pergi?” Nadin masih terus menangis, air matanya seakan tidak pernah ada habisnya untuk membasahi pipinya.

Nadin menatap tempat tidurnya, di atas ranjang king sizenya terdapat pakaian Rafa yang terlipat rapi. Nadin berjalan perlahan menghampiri ranjangnya, ia mendudukkan diri disana dengan tangan yang terulur untuk mengambil pakian itu.

“Aku rindu, Mas,” Nadin memejamkan matanya, dipeluknya erat pakaian milik suaminya. “Aku rindu,” Nadin mencium pakaian Rafa sangat lama seakan ia dapat merasakan kehadiran sosok suaminya.

***

“Bagaimana aku bisa menjalni hari-hariku tanpa kamu?” Nadin terus menangis pilu. Ia lantas membaringkan tubuhnya, tidur dengan posisi meruingkuk seraya memeluk erat baju Rafa berkhayal kalau itu adalah tubuh tinggi suaminya.

“Dari banyaknya orang di dunia, kenapa harus kamu? Kenapa Tuhan harus mengambilmu?” lirih Nadin sebelum akhirnya kelopak mata bengkaknya itu terpejam sempurna. Nadin lelah, tubuhnya lemas, menangis membuat tenanganya terkuras hingga kantuk pun mulai menyerangnya. Perlahan, Nadin mulai memasuki alam mimpinya.

Raka berjalan perlahan memasuki kamar Nadin dan Rafa. Disana, di atas tempat tidur Raka mendapati Nadin yang tidur dengan posisi meringkuk memeluk baju Rafa. Jujur saja Raka merasa tidak tega dengan kondisi adik iparnya yang sebentar lagi akan berganti status menjadi istrinya.

Dengan langkah pelan, Raka menghampiri Nadin, mendaratkan tubuhnya di tepi tempat tidur, menatap dalam Nadin yang sedang terlelap. Tangan besarnya terulur, mengusap lembut surai Nadin yang tergerai. Ia tidak memiliki rasa kepada adik iparnya hanya saja ia merasa iba. Ia tidak mencintai Nadin karena sampai detik ini ia masih sangat mencintai istrinya—Aurel. Tapi, ia sudah berjanji kepada Rafa akan menikahi Nadin, memberikan cinta dan kasih sayang maka dari itu ia tidak akan mengingkarinya.

***

Raka mendudukkan dirinya pada sofa besar yang berada di ruang keluarga rumah Rafa. Ditatapnya dua lelaki dengan pakaian serba hitam yang kini berdiri dihadapannya. “Bagaimana hasil dari penyelidikan kalian?”

“Seperti yang anda duga Tuan kecelakaan itu bukan tanpa sengaja terjadi. Mobil yang menabrak mobil Tuan Rafa memang dengan sengaja diputus seseorang remnya sehingga hilang kendali. Kita sudah mengamankan pengemudi dari mobil tersebut, apakah Tuan Raka ingin menemuinya segera?”

“Hem,” Raka bergumam dingin. Ia kemudian bangkit dari duduknya lantaran bergegas menuju garasi untuk mengambil mobilnya.

Kematian adiknya sudah membuat menderita iparnya yang sebentar lagi akan menjadi istrinya maka dari itu ia tidak bisa tinggal diam. Setidaknya orang itu harus menanggung akibat dari perbuatannya yang sudah berani bermain-main dengan keluarga Argantara.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status