Share

Second Marriage
Second Marriage
Penulis: Indri Antika

01. PROLOG

Suara guntur bersahutan, bertalu-talu memekikkan telinga siapa saja yang mendengarnya. Angin berehmbus kencang mengombang ambingkan pepohonan di tepi jalan. Hujan turun dengan derasnya membasahi jalanan kota malam ini.

Sebuah mobil sedan berwarna mewah nampak melaju dengan kecepatan sedang, membalah jalanan malam yang sepi nan sunyi di bawah lebatnya hujan. Di dalamnya, terdapat dua orang lelaki yang berharap akan segera tiba di rumahnya dengan keadaan baik-baik saja.

“Tuan, apa tidak sebaiknya kita mencari penginapan di sekitar sini saja? Hujannya kian lebat tidak aman jika kita memaksakan perjalanan pulang,” seorang supir dengan pakian serba hitam itu bersuara. Kini, hatinya diliputi perasaan yang buruk merasa tidak aman jika perjalanan tetap dipaksakan.

“Tidak! Aku sudah berjanji kepada istriku akan tiba malam ini. Jika aku sampai menginkarinya maka ia akan kecewa,” balasnya dengan nada dingin sedingin suasana mala ini. Dari jawabannya saja sudah bisa ditebak kalau dia sangat menyangi istrinya dan ingin segera menemui bidadari cantinya yang sedang mengandung buah hatinya.

“Tapi, Tuan—”

Perktaan supir itu hanya menggantung di udara kala sang tuannya yang terkenal kejam melemparkan tatapan tajam. “Tidak ada tapi-tapi, tambah kecepatan mobilnya!” titahnya dingin dan menusuk.

“Baik, Tuan,” dengan ragu supir itu mengangguk lalu mulai menginjak pedal gas mobilnya lebih dalam, mobil pun melesat kencang.

Lima menit berselang, hujan tidak kunjung reda. Dalam penglihatan samarnya karena minim pencahayaan ditambah derasnya hujan supir itu dapat melihat sebuah mobil yang melaju kencang ke arahnya dan sepertinya mobil itu hilang kendali.

“Tuan, mohon anda mengenakan sabuk pengaman sepertinya di depan kita ada mobil yang hilang kendali,” peringat supir itu.

Sang Tuan pun menatap kedepan, dan benar telihat sebuah mobil dengan kecepatan tinggi melaju kearahnya. Belum sampai ia mengenakan sabuk pengamannya terlebih dahulu mobil itu menghantam keras mobilnya hingga terdorong kebelakang.

Sudah jatuh, tertimpa tangga pula itulah yang dialami oleh supir dan tuannya kali ini. Setelah mobil itu terdorong kebelakang sebuah truk menbraknya dengan kencang hingga menyebabkan mobil itu berguling tidak beraturan.

Brakkkk

Pyarrrrr

Itulah suara yang ditimbulkan kala mobil sedang itu berkali-kali membentur aspal serta suara yang dihasilkan oleh pecahan kaca jendela.

Mata sayu serta darah segar mengalir dari pelipis sang tuan turut mendominasi keadaanya sekarang dengan posisi yang tercepit di antara kursi supir dan penumpang. Lehernya nampak terkulai lemas bisa dipastikan ia mengalami patah pada tulang lehernya, mulutnya sedikit terbuka dengan lidah yang sedikit keluar. “Nadin, maafin aku, aku mencintaimu,” itulah kalimat terkahir yang sempat terucap oleh batinnya sebelum kelopak mata sayunya menutup dengan sempurna.

***

Seorang wanita terlihat berdiri menatap keluar balkon dengan kedua tangan yang memeluk tubuhnya.

Pyarrrrr

Suara bising yang tercipta dari sebuah vigura yang terjatuh membentur lantai hingga membuat kaca bercecerah membuat atensinya tersita, kakinya perlahan mendekati benda yang tergelak di lantai itu tangannya kemudian terulur untuk memungutnya.

Sebuah potret dirinya terpampang nyata bersama dengan seorang lelaki tampan bertubuh tegab yang adalah suaminya. Guratan cemas tercetak jelas menghiasi wajah cantiknya. “Semoga ini bukan pertanda apa-apa. Semoga kamu lekas tiba dengan selamat, Mas,” gumamnya.

Hatinya yang sudah kalut kian kalut dan semakin diliputi perasaan takut, perasaanya sudah tidak enak sejak tadi. Sebuah dering ponsel tiba-tiba terdengar mengalihkan atensinya untuk meraih bendak pipih yang tersimpan di atas nakas. Sebuah nomor tidak di kenal mengiasi layar ponselnya yang masih setia menyala.

“Selamat malam, dengan ibu Nadin Maharani?” itulah suara pertama yang menyabut pendengaran Nadin kala benda pipih itu menempel pada daun telinganya.

“Malam, saya sendiri dengan siapa?” balas Nadin. Kepanikan semakin mendominasi perasaan dan wajahnya. Dalam benaknya ia berharap ini hanyalah sebuah telfon iseng saja bukan telfon yang membawakan kabar buruk seperti pada kebanyakan drama atau sinetron yang dilihatnya.

“Kami dari rumah sakit kota ingin menyampaikan suami anda mengalami kecelakaan.”

Bagai tersambar petir yang sejak tadi menggelegar, tubuh Nadin menegang, ponsel dalam genggamannya pun sudah luruh membentur lantai hingga menimbulkan keretakan. Lelehan kristak itu tanpa aba-aba menaganak suangai di pipinya. Bibirnya bergetar ingin melafalkan nama suaminya namun lidahnya terlalu kelua untuk bersuara.

“M-mas Rafa,” histerisnya kemudian. Nadin segera berlalu keluar dari kamarnya, menunruni satu persatu anak tangga dengan air mata yang masih berlinang di wajahnya.

“Arman!” teriak Nadin seperti orang kesetanan.

Seorang lelaki bertubuh tegab dengan pakaian serba hitam menghampirinya. “Ada apa Nyonya? Kenapa anda menangis?” tanya lelaki yang disapa Arman itu.

“Antar saya ke rumah sakit kota sekarang! Mas Rafa mengalami kecelakaan!”

Syok tentu saja respon yang diberikan oleh Arman. Dengan cepat ia mengikuti majikannya yang sudah berlalu keluar menuju garasi mobilnya dan mulai mengantarkan majikannya itu menuju tempat tujuannya. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, air mata Nadin tak terbendung, dalam hati ia terus merapalkan doa semoga suaminya itu baik-baik saja.

***

“Suster, dimana ruangan pasien kecelakan atas nama Rafa Argantara?” seorang lelaki tampan bertubuh tegab dengan paras yang hampir menyerupai Rafa mengeluarkan pertanyaannya pada seorang suster yang berjaga di ruang receptionis.

“Tuan Rafa berada di ruang UGD, Tuan,” balas suster itu sopan.

“Terima kasih,” setelah mengucapkan itu, lelaki itu berlalu menuju ruang yang tadi disebutkan. Sebuah suara tiba-tiba mengintrupsi namanya membuat langkah kakinya terhenti lantas membalikkan badannya, disana ia melihat seorang perempuan dengan tagisnya berlai ke arahnya.

“Mas Raka, bagaimana keadaan Mas Rafa?” Nadin yang baru saja tiba langsung melemparkan pertanyaan kepada Raka yang adalah kakak iparnya.

“Mas baru saja sampai, kita lihat bareng-bareng ya,” ujarnya yang dibalas anggukan oleh Nadin. Keduanya kemudian bergegas menuju ruang UGD dimana Rafa berada sedang memperjuangkan hidup dan matinya.

Setibanya Nadin dan Raka di depan UGD, seorang dokter tiba-tiba keluar yang langsung mendapatkan semprotan pertanyaan dari Nadin. “Dokter, bagaimana keadaan suami saya?”

“Syukurlah anda segera tiba, Tuan Rafa sejak tadi memanggil nama anda sepertinya beliau ingin mengatakan sesuatu,” jelasnya.

Nadin dan Raka yang mendengar itu langsung menerobos masuk ke dalam ruangan bernuansa putih dengan bau obat-obatan yang cukup pekat. Pemandangan pertama yang tertangkap matanya adalah suaminya yang terbaring dengan berbagai macam alat medis di tubuhnya. Bahkan lehernya pun dipasangi cervical collar sebegitu parahkah kondisi suaminya? Hati Nadin nyeri melihatnya.

Perlahan, kaki melangkah Nadin menghampiri suaminya yang terbaring tidak berdaya. “Sayang,” lirih Nadin memanggil Rafa membuat atensi laki-laki itu tersita kearahnya. Senyum tipis tersunggir di bibirnya.

Tangan Rafa terangkat dengan bergetar untuk melepaskan masker oksigen yang menmbuatnya kepayah untuk berbicara namun dengan cepat Nadin menahannya.

“Jangan dibuka,” serunya.

“Jang-an men-na-ngis,” lirih Rafa dengan suara terbata. Sekujur tubuhnya terasa sakit namun sekuat tenanga ia menahan kesakitan pada dirinya.

“Ma-af,” lirihnya lagi.

“Sudah ya, kamu jangan banyak bisacara biar dokter segera tangani kamu,” pinta Nadin namun Rafa menggelengkan kepalanya tanda ia masih ingin berbicara dengan istri tercintanya.

“Ak-kuh men-cin-taihkah-mu,” dengan susah payah Rafa mengutarakan perasaanya.

Nadin mengangguk ia mengerti ia, ia tahu suaminya itu mencintainya, sangat malah. “Aku juga mencintai kamu, maka dari itu kamu harus sembuh demi aku,” Nadin menggengam tangan Rafa yang terbebas dari selang infus, mengecupnya penuh cinta.

Tatapan Rafa kini beralih menatap Raka—kakaknya yang sejak tadi memperhatikan dirinya. “Mhas,” panggilnya pelan.

Raka pun mendekati adiknya, hatinya hancur melihat kondisi adiknya namun ia tidak boleh menangis seperti Nadin. Ia harus menjadi pihak yang kuat untuk menguatkan. “Mas disini,” ujar Raka, ia mengusap lembut tangan Rafa.

“Mhas, Rafa mauh min-ta sesuatu samah mash Raka, bo-leh?”

“Apapun, apapun yang kamu mau mas akan kasih. Tapi, kamu harus sembuh dulu. Masa ketua mafia terbaring lemah kaya ginih sih,” Raka sedikit menggurai tapi dalam hatinya jelas merasakan kepiluan yang dalam. Rafa yang mendengar itu mencoba mengeluarkan kekehan namun yang terlihat hanya seulas senyum yang tidak lebar.

“Ka-lauh Rafa tt-idak sel-la-mat nan-tih, Raf-ah mauh Mahs jan-jih b-buat nikah sam-ah Nad-in,” tuturnya terbata yang kemudian dibalasa gelengan oleh Nadin dan Raka.

“Nggak, Mas, Nadin selamanya menjadi istri Mas Rafa,” tolaknya disela isak tangisnya.

“Kamu pasti sembuh, harus sembuh! Emang kamu nggak mau lihat anak kamu nanti lahir?”

Rafa menggelengkan kepalanya lemah, bukan menggeleng karena tidak ingin melihat anaknya lahir melainkan menggelang karena ia merasa sudah tidak kuat untuk bertahan hidup. Sekujur tubuhnya remuk redam dan itu sangat menyakitkan.

“Mash jan-ji sa-mah Rafa dul-u!”

Raka terdiam, ia menatap Nadin yang masih menangis sesegukan. Tidak ingin adiknya banyak berbicara yang semakin membuatnya lama untuk ditangani, Ia akhirnya memutuskan untuk menganggukan kepalanya.

Rafa tersenyum tipis, kini hatinya turut merasakan sakit. Ia sangat mencintai istrinya sejujurnya mana rela ia berbagi dengan kakaknya. Tetapi, istrinya itu butuh seseorang yang menjaganya, mencintainya dan juga anaknya dan orang yang tepat adalah kakaknya.

“Mash jag-a Nad-in ya, sa-yangi dia dan cin-tahi dia seper-ti mash say-ang dan cin-tah sam-ma mbak Au-rel!”

Raka lagi-lagi mengangguk. “Sudahlah kamu diam jangan banyak biacara!” titah Raka.

“Teri-mah anak-kuh deng-an thul-lush yah mash. Behrih dhia chintah dan khasih shayang sheorang papa shperti kamu mehnyahyangi Reiki!”

Raka lagi-lagi menangguk. “Itu pasti, sudah kamu jangan khawatirkan hal itu!”

Rafa tersenyum, ia kembali menatap Nadin. “Shayang, kamuh janjih samah mas bakhal nerima mash Rakha sebahghai shuami khamuh. Mash Rakha orang bhaikh, belajarlah menchitnthai dhia dan mhenerima dia!”

Sama halnya dengan Raka kali ini Nadin pun turut mengangguk hanya untuk membuat suaminya itu diam. Hal itu membuat Raka merasa lega. “Prahyoga Arganthara, papah istirhat dhulu, jhaga mama khelak khamu adalah pewaris tunggal shemua ashet papa,” setelah mengatakan itu kelopak mata Rafa mulai tertutup perlahan. Beberapa detik kemudian semuanya masih normal hingga detik ke tiga puluh elektrokardiograf itu menampilkan garis panjang dan mengeluarkan suaranya yang memekakkan telinga, nafas Rafa berhenti detik itu membuat tangis Nadin semakin memecah dan Raka pun tidak lagi kuasa menahan air matanya.

Dokter yang berjaga segera memeriksa keadaan Rafa dan detik itu juga ia menggelengkan kepalanya. “Tuan Rafa sudah meninggal dunia.”

Jdaarrrrrr

Petir menyambar dengan keras diiringi tangis Nadin yang kian pilu. “Mas Rafa bangun mas!” Nadin mengguncang tubuh suaminya berharap laki-laki yang sangat dicintainya itu membuka mata.

“Mas Rafa!!!” Nadin tidak menyerah namun hasilnya sama saja.

Raka dengan sigap langsung menarik tubuh Nadin untuk di dekapnya namun perempuan itu terus meronta. “Aku mau mas Rafa, aku mau mas Rafa!” teriak Nadin, ia menatap pilu tubuh suaminya yang terbujur kaku.

“Mas Raka cepat bangunin Mas Rafa sekarang juga, dia tidur kan? Dia Cuma tidur kan?” Nadin seperti orang gila yang terus meracau membuat Raka semakin tidak kuasa untuk tidak mengeluarkan air matanya. Adik satu-satunya yang sangat ia sayangi sudah berpulang bersama kedua orang tuanya, tentu saja hal itu menghancurkan perasaanya. Dan perasaanya semakin hancur menyaksikan adik iparnya yang menangis pilu.

“Mas Rafa,” suara Nadin mulai melemah, tubuhnya lemas ia lehabisan tenaga dan tak berselang lama tubuh rapuh itu mulai luruh dalam dekapannya dengan kelopak mata yang terpejam sempurna, Nadin kehilangan kesadarannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status