Share

05. Merasa Gagal

Nadin menyusuri seluruh ruangan yang ada di rumahnya dan mendiang suaminya Rafa. Usai menandatangi surat pengalihan nama tadi, dirinya memutuskan untuk menjenguk rumah lamanya yang baru ditinggalkan dua hari ini. Semua masih sama, tidak ada yang berubah meskipun rumah ini sudah tidak lagi ia huni. Yang membedakan adalah jika dulu rumah ini berisikan cintanya dengan Rafa maka sekarang rumah ini sepi menyisakan sunyi dan kenangan yang ababila diingat terasa menyesakkan.

“Nyonya, apakah anda mau saya seduhkan teh?” Rika—yang merupakan maid disana menyapa majikan untuk menawarkan minum.

Nadin menggeleng sebagai jawaban. “Aku kesini hanya sedang rindu sama mas Rafa, bik. Hanya sebentar karena sekarang sudah sore dan sebentar lagi suami Mas Raka akan pulang dari kantor jadi aku harus segera pulang,” tutur Nadin seraya menatap maid di rumahnya itu.

Rika bisa melihat sorot kesedihan di mata majikannya itu. Pasti majikannya itu merindukan hati-hari dimana ia menyambut mendiang tuannya pulang kerja. “Baiklah, Nyonya. Kalau begitu Rika permisi,” serunya lantas berlalu meninggalkan Nadin yang masih setia memandang foto besar yang terpajang di ruang keluarga.

“Mas, aku pulang,” tangan Nadin terangkat untuk mengusap lembut foto Rafa yang terpasang di depannya. Foto tampan suaminya dengan senyum manis yang menghiasi wajahnya, tibuh teganya itu merangkul posesif tubuh kecil Nadin.

“Aku rindu,” lirik Nadin dengan suara bergetar dan mata yang berkaca-kaca. Nadin kemudian terkekeh. “Belum ada seminggu,” sambungnya dengan tawa sumbang. Tangannya terangkat untuk mengusap air matanya yang tiba-tiba jatuh.

Nadin menarik nafas dalam mencoba untuk tetap tegar. Ia harus mencoba untuk mengikhlaskan meskipun ikhlas itu memang tidak mudah. Tidak ingin terus larut dalam kesedihannya, Nadin akhirnya memutuskan untuk segera pulang.

***

“Mas Raka,” Nadin tersenyum hangat melihat mobil suaminya tiba bersama dengan mobilnya. Ia berjalan menghampiri suaminya yang baru saja turun lantaran mencium punggung suaminya seperti dulu ia menyambut kepulangan Rafa.

“Habis darimana?” suara dingin Raka mengintrupsi kepulangan Nadin.

“Maaf ya mas aku tadi lupa tidak meminta ijin terlebih dahulu. Aku tadi habis dari rumah lama,” terangnya.

Raka mengangguk. “Ya sudah, ayo masuk!” ajak Raka kemudian melenggang masuk terlebih dahulu meninggalkan Nadin yang mengekor di belakangnya.

“Jadi suami kamu nikah lagi sama adik iparnya?”

Suara cukup nyaring itu menyambut langkah Nadin dan Raka yang baru saja memasuki rumahnya.

“Iya,” Aurel mengangguk mantap dengan wajah yang sudah berderai air mata. Hari ini mamanya itu berkunjung ke rumahnya karena mendengar kabar kalau adiknya Raka meninggal dalam sebuah kecelakaan. Niat hati ingin mengucapakan bela sungkawa tapi mendengar cerita dari putrinya justru membuat darahnya mendidih.

“Kenapa kamu ijinkan? Apa kamu siap berbagi suami dengan perempuan lain? Harusnya kamu menentang pernikahan itu, Aurel! Wanita jalan itu pasti akan membuat kamu terisisihkan nantinya, dia akan merebut Raka dari sisi kamu dan Reiki sepenuhnya. Jangan sampai kamu berlaku baik kepadanya, dia adalah perusak rumah tangga orang lain!” bentakan keras itu sontak membuat Nadin menundukkan kepala seranya mengigit bibir bawahnya. Hatinya nyeri luas biasa mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut mamanya Aurel.

Raka menghentikan langkahnya tiba-tiba membuat Nadin yang berjalan dengan kepala tertunduk akhirnya menabrak punggungnya. “Maaf, Mas,” cicit Nadin.

Ra memutar tubuhnya, menggenggam lembut tangan Nadin dan menuntut istrinya itu menuju ruangan dimana istri dan mertuanya sedang berbincang.

“Mas, Nadin ke kamar aja, ya,” cicit Nadin namun tidak dihiraukan oleh Raka. Dengan tatapan tegas serta rahang yang mengetat Raka berjalan mengempiri istri dan mertuanya.

“Wanita yang anda sebut adalah istri saya dan dia mempunyai nama. Jadi, jangan sekali-kali anda menyebutkan kata kotor itu untuk menyebut istri saya!”

Suara dingin Raka membuat tubuh Devi yang adalah ibu dari istrinya—Aurel itu seketika menengang dengan nafas yang tercekat.

“Mas Raka,” seru Aurel kala mendapati suaminya kini sudah berdiri tepat di depannya dengan netra yang menghunus tajam mamanya. Dengan segera, Aurel mengusap air matanya, mendekati suaminya lantas mencium punggung tangan Raka.

“Maaf mas, kita tidak bermaksud untuk—”

Suara Aurel menggantung di udara kala Raka dengan cepat menukasnya. “Ini adalah urusan rumah tangga saya dengan istri saya. Jadi, mohon mama tidak perlu ikut campur dalam hal ini!”

“Baru dua hari menikah saja kamu sudah berbicara seperti itu kepada saya, Raka!” balas Devi dengan amarah yang menyelimuti dirinya.

“Itu bukan urusan mama. Aurel san Nadin adalah istri saya, tanggung jawab saya jadi mohon anda tidak membujuk rayu istri saya dengan kalimat setan anda barusan!”

“Tapi istri kamu itu adalah putri saya! Bagaimana saya bisa diam saja melihat putri saya terluka karena pernikahan kedua suaminya?!”

Nadin memejamkan matanya, kata-kata yang Devi keluarkan semakin menusuk hatinya membuatnya ingin enyah dari tempat ini sekarang juga.

“Saya memang melukai hati putri anda dengan pernikahan ini tapi saya akan tetap berusaha untuk bersikap adil kepada mereka. Jika anda sudah tidak memiliki kepentingan lain, anda bisa keluar dari rumah saya!”

Mata Devi membola mendengar penuturan menantunya sementara Aurel menatap tidak percaya pada Raka. “Mas,” seru Aurel pelan namun jelas terdengar nada penuntutan.

Devi mendengus kesal, ia menyahut tas miliknya kemudian bergegas pergi dari rumah anak dan menantunya.

“Kita perlu bicara!” ucap Raka jelas ditujukan kepada Aurel. Setelahnya ia melepaskan genggaman tangannya dari tangan kecil Nadin. “Kamu pergi ke kamar sekarang!” titahnya.

“I-iya, mas,” balas Nadin kemudian berlalu meninggalkan suaminya dan Aurel.

Raka melangkahkan kakinya terlebih dahulu menuju kamarnya yang berada di lantai dua diikuti dengan Aurel yang mengekor di belakangnya.

Setibanya di dalam kamar, Raka menyimpan tas kerjanya di atas meja, tangannya tergarak untuk menarik dasi yang terasa mencekik lehernya. Ditatapnya Aurel yang berdiri di depannya membuat helaan nafas akhirnya keluar dari mulutnya.

Raka menarik Aurel untuk dipeluknya dengan erat membuat isak tangis Aurel memecah dalam dekapan hangat suaminya. “Jangan terpengaruh dengan ucapan mama, jangan berfikiran yang tidak-tidak!”

“Aku hanya takut, Mas. Aku hanya takut jika suatu saat nanti aku benar-benar akan tersisihkan.”

Raka mengusap sayang surai pirang Aurel. Istrinya ini sebenarnya begitu ceria namun sejak ia menikah dengan Nadin sifatnya menjadi berbeda. “Itu tidak akan terjadi, kamu adalah istriku, cinta pertamaku maka selamanya akan tetap seperti itu sekalipun Nadin sudah menjadi istriku,” Raka mengecup sayang puncak kepala Aurel.

“Jujur mas, ini berat buat aku harus berbagi suami seperti ini. Dia adik ipar kamu loh mas! Aku benar-benar susah untuk ikhlas. Aku mencoba untuk percaya sama kamu tapi aku tidak yakin suatu hari nanti perasaan kamu juga akan terbagi, aku tidak yakin kamu tidak akan mencintai Nadin!” adu Aurel dengan sangat pilu.

Raka memejamkan matanya, sejujurnya ia peduli dengan Nadin bukan karena cinta melainkan simpati semata. Dihatinya masih terisi penuh dengan Aurel membuat tidak yakin jika suatu hari ia bisa mencintai Nadin.

“Aku tidak tahu, yang sekarang ini aku rasakan hanyalah perasaan cinta aku sama kamu. Dan yang aku inginkan sekarang kalian tetap menjadi seperti yang dulu, tidak saling bersikap dingin, tidak saling menyakiti. Jangan membuat ku merasa menjadi suami yang gagal juga tidak becus menjalankan amanah dari Rafa.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status