Share

04. Pengalihan Nama

Raka terlihat berjalan menuju meja makan. Disana sudah ada Aurel yang terlihat sedang menyuapi putranya, Reiki.

“Pagi,” sapa Raka sepert biasanya. Ia mencium singkat puncak kepala Aurel seperti pagi-pagi yang sudah berlalu. Tatapan Raka kemudian tertuju pada Reiki yang sedang tiduran di atas trolinya. “Pagi jagoan papa,” serunya kepada putranya kecilnya.

“Pagi, papa,” balas Reiki dengan suara cadelnya.

Raka kemudian mendudukan dirinya di kursi utama yang biasa menjadi singgasananya membuat Aurel sejenak mengentikan aktivitasnya. “Mas mau sarapan pakai nasi goreng atau roti?” katanya bertanya.

“Roti saja,” balas Raka.

Aurel mengangguk, perempuan itu kemudian mulai mengambil roti dan memberinya nutela seperti biasanya. Di tengah-tengan aktivitasnya, Nadin tiba sudah rapi dan tampak lebih segar.

“Selamat pagi,” sapa Nadin kepada Aurel dan Raka. Sejujurnya ia masih merasa sangat canggung dengan keadaan ini.

“Pagi,” hanya Raka yang menganggapi semenyat Aurel memilih diam dengan aktivitasnya. Dirinya masih belum bisa menerima pernikahan kedua suaminya dan adik iparnya.

“Duduklah dan makan sarapanmu!” seru Raka kala Nadin hanya berdiri menatap makanan di atas meja.

“Iy-iya, Mas,” balas Nadin sedikit tergagap. Ia kemudian menarik kursi yang berada di sebalah Raka lantaran mendudukkan dirinya disana.

“Ini, mas,” Aurel meletakkan piring yang berisikan sarapan Raka itu tepat dihadapan suaminya.

“Terima kasih, sayang,” ujar Raka. Ia tetap membiasakan kebiasannya agar Aurel tidak merasa tersingkirkan karena pernikahan keduanya.

Aurel mengangguk, ia kemudian beralih menatap putranya. “Sayang, kita lanjut makan sarapannya ya,” ujar Aurel seraya mengulas senyum manisnya kepada sang Putra yang dibalas tawa oleh putra kecilnya itu.

“Em, mbak Aurel biar Nadin aja yang suapin Reiki, mbak Aurel makan sarapan mbak aja,” dengan memberanikan diri Nadin akhirnya membuka suara, mencoba mengikis jarak yang tiba-tiba terbentang dengan kakak ipar yang sekarang menjadi madunya.

“Tidak usah, kamu makan saja sarapan kamu biar Reiki mbak yang suapin!” tolak Aurel. Nada bicaranya memang tidak terdengar ketus namun sarat akan ketidaksukaan. Aurel tidak membenci Nadin, ia hanya sedang mencoba untuk menerima keadaan.

Nadin menarik kedua sudut bibirnya mencoba untuk tetap tersenyum. Ia kemudian mulai mengambil sarapannya dan menyantapnya bersama dengan Raka. Hening menyelimuti suasana sarapan pagi ini, baik Nadin, Raka ataupun Aurel sama-sama tidak ada yang membuka suara sampai lima menit berlalu.

“Aku sudah selesai, aku akan berangkat terlebih dahulu,” Raka beranjak berdiri membuat Nadin dan Aurel refleks ikut berdiri.

“Hati-hati, mas,” Aurel mengambil tangan suaminya untuk dicium seperti biasa setelahnya Raka mengecup sayang puncak kepala Aurel.

Setelah dengan Aurel, Raka beralih menatap Nadin lantas mengulurkan tangannya karena melihat Nadin yang sepertinya takut untuk memulai maka ia yang harus mengambil inisiatif. “Hati-hati ya, mas,” ujar Nadin lembut usai mencium punggung tangan Raka 

Raka mengangguk sebagai jawaban dan Nadin hanya menepiskan senyumnya ia tidak berharap lebih pada Raka. Raka berdehem sejenak, ia kemudian menarik kepala Nadin pelan dan mendaratkan ciuman singkat di pelipisnya membuat Aurel segera memalingkan muka.

Mata Nadin membola, untuk kedua kalinya Raka mencium pelipisnya dan hal itu sukses membuat jantungnya berdetak teramat kencang. “Susunya jangan lupa diminum,” ujar Raka seraya menjauhkan tubuhnya.

Nadin mengangguk kaku, ia masih syok dengan perlakuan Raka. Jika itu Rafa mungkin ia akan tersenyum lebar tapi ini Raka dan kecupan lembut itu masoh terasa asing baginya.

Raka mengambil tas kerjanya, berlalu menghampiri putranya. “Papa kerja dulu, ya,” pamit Raka kepada sang putra lantaran mendaratkan kecupan penuh sayang pada pipi gembul putranya. 

“Ocee,” Reiki mengacungkan ibu jari kecilnya membuat senyum Raka mengambang. Senyum yang terasa asing untuk Nadin namun biasa untuk Aurel. Dengan gemas, Raka mengacak lembut puncak kepala putra kecilnya itu.

“Ya Tuhan,” gumam Nadin dalam hatinya kala melihat Raka tersenyum secara perdana di depannya. Meskipun menjadi kakak ipar kala itu namun ia sangat jarang bertemu dengan Raka kecuali pada saat hari-hari tertentu dan Raka sama datarnya dengan Rafa tidak pernah memamerkan senyum.

“Aku berangkat,” ujar Raka sekali lagi. Ia menegakkan tubuhnya lantas melenggang meninggalkan meja makan menyisakan kedua istri dan anaknya.

“Mbak Aura kalau mau sarapan sarapan aja, biar Nadin yang jagain Reiki,” ujar Nadin kembali.

“Tidak perlu,” tolak Aura, perempuan itu kembali mendudukan dirinya pada kursi yang semula.

“Sayang, mama sarapan dulu ya, Reiki yang anteng,” ujar Aurel. Ia kemudian mulai mengambil sarapan miliknya lantas menyantapnya mengabaikan Nadin yang menatapnya. Sejujurnya hati Nadin merasakan nyeri melihat hubungannya dengan Aurel menjadi seperti ini. Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Nadin akhirnya memilih pergi.

***

Nadin akhirnya di landa bosan, sudah sejak pagi dirinya hanya berdiam diri di dalam kamar tanpa melakukan apa-apa. Jika biasanya ia memiliki banyak aktivitas di rumahnya bersama Rafa maka sekarang ia tidak memiliki apapun untuk di lakukan. Nadin enggan keluar jika pada akhirnya hanya akan mendapati tatapan tidak suka dari Aurel.

Suara ketukan pintu membuat Nadin menghentikan aktivitasnya yang hanya mondar-mandir tidak jelas. Seorang maid kini berdiri di depan kamarnya kala ia membuka pintu bercat coklat itu.

“Ada apa, Bik?” kata Nadin bertanya kala maid yang ia kenal bernama Bi Ida itu tidak kunjung membuka suara.

“Nyonya di luar ada orang yang ingin bertemu dengan anda,” ujarnya.

“Baiklah aku akan turun, terina kasih, Bik,” ujar Nadin. Maid itu mengangguk sopan lantas berlalu meninggalkan kamar Nadin. Sementara Nadin terlebih dahulu menutup pintu kamarnya kemudian bergegas untuk turun, menemui tamunya.

“Albern, Tuan Andrew,” sapa Nadin kepada kedua tamunya.

Nadin mendudukan dirinya pada kursi kosong yang berada di sebelahnya dua lelaki berbaju formal yang tadi sempat disapanya. “Ada apa kalian berdua kesini?” tanya Nadin. Netranya bergantian menatap Albern yang adalah sahabat Rafa yang merangkap menjadi sekertaris Rafa dan juga Andrew yang adalah pengacara Rafa.

“Kita berdua kesini untuk membahas mengenai perusahaan mendiang suami kamu, Bu,” ujar Albern yang memulai terlebih dahulu.

“Nadin saja, kenapa kamu terlalu formal seperti itu!” seru Nadin yang merasa tidak nyaman kala sahabat sekaligus sekertaris mendiang suaminya itu memanggilnya dengan embel-embel bu.

Albern terkekeh sementara Andrew terus menatap Nadin. “Baiklah Nadin. Jadi gini, karena Rafa sudah meninggal dan juga pewarisnya masih belum siap maka untuk sekarang ini kamu yang hendle perusahaan Rafa. Dan juga aku sudah menyiapkan pemindahan nama perusahaan menjadi nama kamu untuk sementara sampai nanti anak kamu lahir dan siap untuk memimpin perusahaan,” terang Albern.

Mendengar itu, Andrew selaku pengacara pun segera membuka tasnya dan mengambil berkas yang sidah disiapkannya untuk ditanda tangani Nadin.

“Tapi aku tidak begitu mengerti tentang perusahaan, Bern,” seru Nadin kemudian.

“Kamu tenang saja, aku akan membantumu untuk mengendel perusahaan Rafa.”

“Mas Raka sudah tahu soal ini?”

Albern mengangguk. “Katanya tidak apa-apa di atas namakan sama kamu. Selama anak kamu belum lahir dia juga akan turun tangan untuk mengurus perusahaan mendiang suami kamu.”

Nadin sedikit merasa tentang. “Baiklah, tapi aku hanya mau berperan di balik layar saja, aku tidak ingin menampakkan diri di publik. Aku juga tidak ingin datang ke perusahaan, kalau ada yang harus aku tanda tangani utuskan seseorang untuk mengirimkan dokumen ke rumah.”

“Oke setuju,” balas Albern mantap.

“Ini nyonya silahkan anda tanga tangani,” Andrew menyerahkan berkat yang dibawanya kepada Nadin yang langsung diterima olehnya. Disana, Nadin menorehkan tanda tangannya hingga detik itu juga perusahaan yang selama ini dipimpin oleh suaminya akhirnya berganti nama menjadi miliknya.

“Terima kasih,” ujar Andrew yang dibalas anggukan oleh Nadin.

“Oke, kalau begitu kita balik dulu,” Albern bangkit dari posisinya diikuti dengan Albern juga Nadin.

“Hati-hati,” seru Nadin. Albern mengangguk, ia dan Andrew lantas bergegas meninggalkan rumah baru Nadin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status