Pagi itu Jean melihat wajah Maddox yang terlihat kusut dan muram. Saat ini Foxy masih mendapat perawatan, sementara Maddox memilih untuk diam di kantornya. Seharusnya Maddox menunggu Foxy untuk mendapatkan cerita yang benar dari mulut pengacara tersebut. “Apa yang telah kalian lalui, Mad? Bajingan yang menculik Foxy sudah tertangkap, tapi seperti ada sesuatu yang terjadi di luar peristiwa penculikan.” Insting Jean begitu tajam dan pengamatannya sangat jeli. Maddox menghabiskan kopi dan meraba-raba saku jaketnya. Mulut si detektif mulai mengeluarkan makian karena tidak menemukan bungkus rokok tersebut. Jean menarik laci dan melemparkan sebungkus rokok baru padanya disertai tatapan kesal. Dengan sigap Maddox menangkap. “Joe Black mendatangi kami.” Kalimat itu membuat Jean tersentak, ia mengurungkan ketikannya. “Maksudmu, pembunuh bayaran yang diutus Russel?” Detektif itu mengangguk sementara mulutnya mengisap batang nikotin dalam-dalam. “Ada sesuatu yang disembunyikan Foxy dan
Permintaan Tim untuk mengawasi Foxy sempat membuat Maddox merasa enggan. Banyak ganjalan yang mengisi hatinya. Akan tetapi, baru kali ini pria itu tidak mampu menguak semua sekaligus. Bahkan menghadapi Foxy untuk mencari penjelasan saja, membuat Maddox begitu muak. Entah kenapa, tapi jika ia mau jujur, rasa muak yang ia rasakan saat ini lebih condong pada kecewa. Sedari awal Maddox yakin, jika Foxy tidak menyimpan apa pun dari dia. Tidak biasanya ia begitu naif dan ceroboh, hingga melupakan detail kecil yang mungkin terlewatkan darinya. Kenapa dirinya begitu mudah percaya dan tidak mencari tahu lebih dulu? Dari kaca yang memiliki tirai lipat sedikit terbuka, Maddox melihat Foxy terbaring dengan kedua tangan dan kaki kiri terbalut gips. Dari keterangan polisi yang berjaga, Maddox mendapatkan informasi jika wanita itu menjalani operasi yang tidak sebentar. Kedua tangannya harus dibenahi total dikarenakan ada sebagian tulang yang retak parah. Jari-jari Foxy harus kembali disusun se
Maddox membeku di kursinya. Kisah itu tidak pernah ada dalam bayangannya selama ini. Berharap semua dugaan adalah hasil dari imajinasinya semata, ternyata apa yang Maddox perkirakan benar-benar terjadi. “Perempuan yang menculikku adalah kekasih Joe yang dendam, karena aku selalu membuat kekasihnya berkhianat. Aku tidak pernah tahu jika Joe memiliki wanita yang begitu mencintainya.” Foxy menatap Maddox. “Rasanya memalukan untuk mengakui, bahwa aku pernah menjalani hubungan dengan seseorang yang akhirnya menjadi pembunuh Josh. Aku hanya ingin menjauhi masalah, Mad. Berbohong adalah kesempatanku untuk tetap memiliki nama bersih.” Perasaan detektif itu benar-benar kebas dan hatinya bingung, harus memilih reaksi yang mana? “Jadi Joe adalah bekas kekasihmu?” tanyanya. “Aku … ya, dia adalah orang yang pernah dekat denganku.” Foxy tidak bisa mengelak. Maddox mengusap wajah, menggelengkan kepala seperti ingin menyingkirkan segala hal yang membuatnya berspekulasi liar. “Alasan dia mengej
Pria yang seharusnya sudah menikmati masa tua dengan tenang itu tampak bersantai di teras rumah mewahnya, di sebuah kota yang tersembunyi. Tidak ada satu pun yang mengetahui keberadaan dia, sebab Russel memiliki begitu banyak musuh yang mengincar dirinya. Sebagai pria yang tidak pernah memiliki keluarga apalagi menikah, Russel hanya mempunyai Joe sebagai satu-satunya anak asuh. Joe telah mendapat didikan yang begitu keras dan mungkin menjadi manusia yang paling mengerti juga paham akan dirinya. Semenjak ia mengangkat Joe menjadi orang kepercayaan, Russel selalu melihat jika pria itu bisa menjadi sosok anak yang dirinya inginkan. Joe memiliki sifat pemberani dan tidak pernah peduli akan bahaya. Caranya mencapai tujuan juga begitu unik sekaligus menakutkan. Joe Black tidak akan pernah mewakilkan siapa pun juga untuk menuntaskan keinginannya. Russel menyukai prinsip dan kepribadian Joe. Akan tetapi, sejak puluhan tahun berlalu, Russel mulai ingin mewariskan semua yang telah ia bangu
Seorang wanita panggilan yang sepertinya berkelas memasuki sebuah kamar hotel bintang lima. Dengan dandanan yang seronok dan tubuh hasil dari goresan pisau operasi, wanita itu tersenyum samar pada Joe. “Kau terlambat,” ucap Joe, sembari memandang dengan wajah angkuh serta dingin. “Jangan terlalu cepat emosi. Kau tahu aku harus menyelesaikan beberapa hal. Kau bukan dan tidak akan pernah jadi prioritasku, Joe.” Wanita itu segera melepas bajunya satu persatu hingga tinggal baju dalam. Dengan sepatu hak tinggi berujung runcing, ia berjalan menuju ke meja bar dan menuangkan minumannya sendiri. “Tidak kusangka kau masih saja mau melayani mereka.” Joe melepas jaket dan melemparkan bantal begitu saja di lantai. Shelby, nama perempuan itu, menoleh dan melirik Joe dengan senyum sinis. “Aku selalu butuh materi untuk membiayai hidupku. Lagi pula, jika aku berhenti, kalian akan kesepian.” Bentuk tubuh yang indah itu begitu menawan dan mengundang hasrat Joe yang memang sengaja mengundangnya u
Joe Black Mobil pickup itu berhenti dan menyebabkan debu beterbangan. Dengan langkah pelan dan siaga, Joe keluar serta memandang dengan mata terpicing ke arah pondok yang temboknya terbuat dari batu tersebut. Suasana sekeliling tampak sepi dan rumah itu hanya satu-satunya yang berdiri di sana. Ada beberapa pohon besar yang menaungi dan sedikit memberi keteduhan di tengah teriaknya matahari. Pintu kayu itu tertutup rapat dan tidak ada tanda-tanda keberadaan penghuni. Joe mengintip ke dalam kaca jendela kotak. Gelap. Tangannya mengetuk hingga berulang kali dan tidak ada jawaban. Joe dengan kesal mengumpat dan kesabarannya habis. Ia berjalan memutar dan tidak menemukan satu pun pertanda keberadaan Maowi. Hatinya semakin jengkel dan kesal. Akhirnya, dia menendang pintu dapur dan masuk ke dalam. Tungku yang masih menggunakan kayu bakar itu terlihat baru saja dipadamkan. Asapnya mengepul dalam kabut putih tipis. Joe mencabut pistolnya sembari terus melangkah ke satu persatu ruang
Tangan Maddox masih mengetik dengan cepat untuk membuat laporan sementara di dalam kamar tamu, rumah Tim. Sudah hampir sebulan ia tidak kembali ke apartemennya dan itu membuat Maddox geram. Begitu banyak hal yang ia lakukan demi Foxy, tapi wanita itu kini menjadi manusia yang paling ingin dia hindari. Maddox tidak bisa menerima, jika Foxy ternyata terlibat cukup serius dalam kemelut ini. Memang awal mula dulu Maddox mencurigai, namun seiring dia mengenal dan bersama-sama dengannya, pikiran itu berubah. Foxy tidak lebih dari seorang wanita yang terjebak oleh hutang budi. Dia terlanjur terjerumus ke dalam dunia gelap Josh tanpa memiliki kesempatan untuk menghindar. Antara khawatir ia akan menemui kenyataan yang lebih pahit lagi, Maddox membiarkan semua hal mengenai Foxy tersimpan dalam-dalam. Ia ingin menemui Jimmy kembali untuk menyelusuri di mana Russel berada. Di tengah dia berpikir tentang daftar pertanyaan untuk Jimmy, lintasan Foxy melintas. Maddox mengumpat pelan, atas rasa pe
Malam baru saja menyingkirkan sore. Maddox kembali dari tempat Jimmy dengan tampang kusut. Pamela menawari untuk makan malam, tapi pria itu justru membereskan semua pakaian dan berpamitan untuk kembali ke apartemennya. Tim yang baru saja selesai menelepon, mengernyitkan dahi dengan tatapan menyelidik. “Ada apa, Mad? Peter baru saja memberitahu jika Chris yang sekarang menjadi penjaga Foxy. Ada apa ini? Kenapa aku baru tahu? Aku adalah kapten kalian, tapi semua terjadi seperti di luar kendaliku!” Tim juga terdengar kecewa. Maddox menghela napas dengan raut yang masih muram, ada sesuatu yang menganjal dalam hatinya. “Kau harus tanya pada Peter dan Foxy sendiri. Aku tidak akan mencampuri lagi urusan tentang perlindungan saksi.” Maddox tidak sedikit pun menatap Tim. “Tapi kau bisa memberitahuku siang tadi, Mad!” tuntut kaptennya. “Sejak kapan aku menjadi siswa teladanmu, Tim? Bukan aku yang menyalahi dan mengubah aturan! Chris dan Peter, bosmu, yang mengacaukan segalanya!” pekik Mad