Udara dingin malam semakin menusuk kulit mereka saat mendekati rumah terbengkalai itu. Setelah menempuh perjalanan menggunakan kendaraan dan berakhir berjalan kaki akhirnya mereka akan sampai di lokasi. Namun, semak belukar yang lebat di sepanjang jalan membuat perjalanan mereka semakin sulit, namun Liam dan Ethan dengan cekatan membuka jalan menggunakan senjata mereka. Liam mendengus, mengelap keringat di dahinya. "Jalan pintas ini memang pintas, tapi rasanya lebih panjang dari jalan biasa," keluhnya.
Ethan tertawa kecil. "Sabar, Liam. Setidaknya kita tidak ketahuan." Ia menunjuk ke arah rumah yang mulai terlihat di kejauhan. "Lihat, target kita sudah di depan mata." Akhirnya, rumah itu terlihat. Bangunan tua yang kokoh berdiri tegak di tengah kegelapan, menampilkan siluet yang menyeramkan namun juga menarik perhatian. Di beberapa sudut rumah, Azena berhasil melihat beberapa CCTV yang masih berfungsi. Cahaya redup dari monitor CCTV itu berkedip-kedip di kegelapan. "Ada CCTV," bisik Azena, suaranya hampir tak terdengar. Aiden mengangguk, mengerutkan keningnya. "Mereka cukup waspada." Dan benar saja, gerakan mencurigakan terlihat. Beberapa orang berpakaian hitam berlalu-lalang di sekitar rumah, masuk dan keluar membawa sesuatu yang terbungkus rapi. Dua orang lainnya berjaga di luar, memantau keadaan sekitar dengan waspada. Salah satu penjaga tampak menguap, menggosok matanya dengan lelah. Azena dan timnya bersembunyi di balik semak-semak yang lebat, mengamati setiap pergerakan orang-orang misterius itu. "Mereka membawa sesuatu yang cukup besar," bisik Liam, menunjuk ke arah dua orang yang baru saja masuk ke rumah. "Sepertinya bukan barang ringan." Ethan mengamati dengan binokular-nya. "Sepertinya peti kayu. Terbungkus kain hitam. Aneh." Aiden berbisik, "Kita perlu tahu isinya. Azena, bagaimana menurutmu? Kita serang sekarang atau kita tunggu sampai mereka lengah?" Azena mengamati situasi dengan cermat. "Serangan langsung terlalu berisiko. Kita belum tahu jumlah mereka di dalam. Lebih baik kita tunggu sampai mereka lengah," katanya. Ia melirik ke arah penjaga yang tampak mengantuk. "Itu kesempatan kita." "Tapi kita harus cepat," kata Ethan. "Kalau mereka sadar, kita akan kesulitan." "Jangan khawatir," Azena menenangkan. "Aku punya rencana." Ia berbisik menjelaskan rencananya kepada Aiden, melibatkan Liam dan Ethan dalam strategi penyusupan dan pengumpulan informasi. Mereka terus mengamati, menunggu saat yang tepat untuk bertindak. Kegelapan malam menjadi saksi bisu atas rencana mereka, menunggu saat yang tepat untuk mengungkap misteri di balik rumah terbengkalai itu. Detik-detik terasa berjalan lambat, ketegangan semakin meningkat. Malam ini, mereka akan berhadapan dengan sesuatu yang jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan. Dan di antara mereka, terjalin kerjasama tim yang solid, diuji oleh tantangan yang semakin menegangkan. Azena berbisik menjelaskan rencananya. "Kita manfaatkan kelemahan mereka. Penjaga yang mengantuk itu adalah celah kita. Liam, kau akan mengalihkan perhatian penjaga di pintu depan. Buat keributan kecil, cukup untuk menarik perhatiannya, tapi jangan sampai dia berteriak." Liam mengangguk, matanya berbinar. "Aku mengerti. Tinggal tunggu perintah." Ia meraba pisau kecil yang terselip di pinggangnya. "Ethan," Azena melanjutkan, "kau akan menyusup dari belakang. Cari celah di dinding, mungkin ada jendela atau pintu yang tidak terkunci. Setelah masuk, cari informasi sebanyak mungkin tentang apa yang mereka lakukan dan apa isi peti-peti itu." Ethan memeriksa senjatanya. "Aku akan berhati-hati. Tidak akan meninggalkan jejak." "Komandan Aiden," Azena menatap Aiden, "Anda dan saya akan mengamati dari sini. Kita akan memberikan bantuan jika diperlukan. Jika ada sesuatu yang tidak beres, kita langsung bertindak." Aiden mengangguk, memahami rencana tersebut. "Baiklah. Kita mulai sekarang juga."Suasana pagi di halaman utama mansion Hailey begitu tenang, hanya diselingi desir angin dan suara anak panah menghantam target. Azena fokus menarik busur, matanya menajam, lalu melepaskan anak panah dengan presisi. Panah menancap tepat di tengah sasaran. Dua pengawal berbadan tegap berdiri tak jauh darinya, mengawasi dengan seksama."Bagus sekali, Nona Azena," puji salah satu pengawal.Azena hanya mengangguk tipis, tanpa mengalihkan pandangannya dari target. Ia kembali menarik anak panah berikutnya, namun gerakan di sudut matanya membuatnya berhenti. Kakeknya, yang selama ini menjadi sosok paling penting dalam hidupnya dan juga satu-satunya yang menjaga dirinya, berjalan mendekat dengan tongkat di tangan.Azena segera menurunkan busurnya. "Kakek.""Latihanmu semakin sempurna, Azena," ujar sang Kakek dengan senyum bangga."Tapi sepertinya ada hal yang lebih penting pagi ini."Azena mengangguk, meletakkan busur dan anak panahnya. "Baik, Kek."Mereka berdua berjalan menuju sebuah gazebo
Malam telah larut, namun kamar Azena masih terang benderang. Ia duduk di meja kerjanya, di hadapan layar tablet yang menampilkan berbagai data misi dan laporan. Namun, pikirannya tidak tertuju pada deretan angka dan kode di tablet itu. Matanya menerawang, menatap kosong ke dinding, seolah mencoba menembus pikiran yang ada dibenaknya.Pengkhianat. Kata itu terus berputar di kepalanya. Siapa pengkhianat sesungguhnya di departemen intelejen atau justru di timnya sendiri.Satu per satu wajah anggota timnya melintas di benaknya, Evangeline gadis yang ceria, ekspresif, terkadang terlalu banyak bicara, namun loyal. Jonathan pria yang tenang, cerdas, ahli teknologi, dan selalu bisa diandalkan. Jonathan adalah pilar yang kuat dalam tim. Rachel gadis yang teliti, dan seorang analis data yang brilian. Ia selalu memastikan setiap detail misi tercover. Daniel pria yang kuat, sigap, dan ahli dalam pengintaian lapangan walaupun terkadang ceroboh dan bertingkah konyol, tapi keahliannya cukup bisa di
Azena segera menghubungi sopirnya, meminta mobilnya dibawa ke bengkel utama seperti yang diminta Alex. Dalam waktu singkat, terdengar deru mesin mobil Azena yang menjauh, diikuti keheningan sesaat di mansion. Azena kembali fokus pada Edward dan Alex yang masih sibuk dengan denah dan skema."Jadi, apa langkah selanjutnya?" tanya Azena, mendekati layar besar.Edward menunjuk ke beberapa titik di denah mobil. "Alex akan fokus pada penguatan struktur dan pemasangan kaca anti peluru. Sementara aku akan memprioritaskan integrasi sistem elektronik. Aku perlu memastikan semua kamera, mikrofon, dan pelacak tersembunyi dengan sempurna dan terhubung ke sistem kontrol di laptop mu.""Dan jam tangan?" Azena menatap jam tangan vintage yang tergeletak di meja Edward."Aku sudah pilih salah satu," Edward mengangkat jam tangan kulit berwarna cokelat tua. "Desainnya klasik, tidak mencolok, dan ada cukup ruang untuk menyematkan perangkat. Aku akan mulai mengerjakannya setelah ini."Alex mengangguk setuj
Pagi harinya, Azena bangun lebih awal, guna mempersiapkan segala sesuatu yang telah menjadi diskusi semalam. Ia memutuskan untuk menemui Edward yang sudah berada di ruang kerja sementara yang disediakan untuknya, sebuah ruangan yang dulunya perpustakaan pribadi Hailey namun kini telah disulap Edward menjadi lab mini dadakan dengan laptop, peralatan elektronik kecil, dan beberapa gadget yang belum diketahui oleh Azena.Azena mengetuk pintu dan masuk. Edward sudah sibuk dengan tablet dan beberapa chip kecil di meja."Pagi, Ed," sapa Azena, membawa dua cangkir kopi. "Aku bawakan kopi."Edward mendongak, tersenyum. "Pagi, Ze. Wah, kebetulan sekali. Terima kasih." Ia menerima salah satu cangkir. "Aku sudah mulai menyusun daftar komponen. Untungnya beberapa bagian kunci bisa dipesan secara online dan tiba cepat. Tapi ada beberapa komponen khusus yang harus aku buat sendiri.""Bagaimana dengan mobilku?" tanya Azena. "Aku bisa mengantarmu ke garasi mobil untuk melihat-lihat.""Boleh, nanti
Malam harinya, suasana makan malam di mansion Hailey terasa hangat. Azena, Julian, dan Edward, Jeremy dan kedua orang tua Julian duduk di meja makan yang luas, ditemani hidangan lezat yang disiapkan koki mansion. Edward, yang sudah berganti pakaian santai, terlihat lebih rileks."Jadi, Azena," Edward membuka percakapan setelah suapan terakhirnya, "mengenai alat-alat itu, aku sudah punya gambaran kasar." Ia meletakkan garpunya dan menatap Azena serius. "Untuk pena perekam suara, aku bisa buatkan model yang persis seperti pena mahal yang biasa kamu pakai. Jadi tidak akan ada yang curiga. Mikronya akan sangat sensitif, bisa menangkap percakapan bahkan di ruangan yang cukup bising. Untuk transfer datanya, kita bisa pakai sistem enkripsi. Jadi, hanya ponselmu yang bisa mengakses rekaman itu."Azena mengangguk, matanya berbinar. "Kedengarannya sempurna, Ed." "Tapi, pakai pena yang biasa saja."Edward mengangguk mengerti, "baiklah.""Untuk modifikasi mobilmu," lanjut Edward, "kita akan butu
Azena melangkah masuk ke ruang tamu utama mansion Hailey, rambutnya masih sedikit lembap dan kulitnya terasa hangat setelah berjemur di tepi kolam renang. Ia mengenakan baju santai setelah berganti pakaian. Di sofa besar, Azena melihat Julian sedang berbicara dengan seorang pria. Pria itu adalah Edward, sepupu Azena yang ia minta Julian untuk menghubunginya. Edward baru saja tiba dari luar negeri, khusus datang memenuhi panggilan Azena."Edward?!" seru Azena, terkejut sekaligus senang melihatnya sudah tiba. Ia mempercepat langkahnya menghampiri.Edward tertawa, bangkit berdiri dan memeluk Azena singkat. "Azena! Astaga, sudah lama sekali kita tidak bertemu. Kamu makin cantik saja, sepupuku."Julian, yang sedari tadi hanya tersenyum tipis, akhirnya angkat bicara. "Dia baru saja tiba dan langsung ke sini. Aku sudah sampaikan kalau kamu ingin bertemu secepatnya.""Terima kasih sudah datang jauh-jauh, Ed," ucap Azena tulus. "Aku tahu kamu pasti sibuk.""Tidak masalah, Ze. Julian bilang ini