Perjalanan ke wilayah barat memakan waktu lima jam. Saat mobil Lexus-nya memasuki gerbang kamp militer, udara pegunungan langsung menyambut dengan kesejukan yang berbeda dari atmosfer kota. Aroma tanah lembap dan pinus menyeruak.
Tiga pria menyambutnya di halaman markas, Komandan Aiden, Liam, dan Ethan. Mereka bertiga adalah agen pilihan Jenderal Jeremy—kakek Azena—dan hanya muncul saat keadaan sangat genting dan fokus mereka melatih para tentara pilihan di barak ini. “Agen Azena,” sapa Aiden. Wajahnya tegas, sorot matanya penuh perhitungan. “Komandan,” Azena membalas dengan anggukan. “Saya butuh bantuan kalian.” Mereka masuk ke ruang brifing. Di dalam, Azena mengeluarkan dokumen, peta, dan foto-foto intelijen terbaru. “Ini bukan kasus biasa. Jaringan mafia ini terhubung langsung dengan transaksi senjata di pelabuhan utara. Saya butuh tim pengintai komandan Aiden untuk bergabung dengan tim saya yang tengah mengintai pelabuhan utara.” Aiden mengangguk tegas. “Ethan, panggil tim elang kemari.” “Siap komandan,” balas Ethan, langsung keluar dari ruang briefing di barak itu. Aiden mengeluarkan peta seluruh titik di pengunungan tempat barak ini berada dan menaruhnya di atas meja. Semua mata fokus pada peta itu, tanpa mengalihkan pandangan. Aiden memerhatikan peta dan menunjukkan titik yang menjadi lokasi mencurigakan. “Kami sudah mencurigai tempat itu. Ada sinyal radio frekuensi rendah yang aktif tiap malam. Diduga jadi tempat koordinasi penyelundup. Dan di titik ini terdapat rumah terbengkalai yang sudah berpuluh tahun tidak di huni.” “Kita harus bertindak malam ini,” potong Liam, semangat menyala di matanya. “Tunggu dulu! Kalian sudah memastikan bahwa tempat ini mencurigakan?” Tanya Azena memastikan lagi. “Ya, kami sudah memastikan semua, dan saya juga sudah mendiskusikan dengan Jenderal Jeremy,” jawab Aiden. “Baiklah, kita bergerak malam ini,” putus Azena. “Ethan, siapkan tim. Kita bergerak pukul dua puluh dua nol-nol. Pakai mode siluman penuh,” perintah Aiden. Azena menatap mereka satu per satu. “Kita tidak tahu apa yang menunggu di sana. Tapi satu hal pasti, kita harus bongkar akar dari semua ini. Dan aku yakin, rumah itu menyimpan jawabannya.” Pintu ruangan itu terbuka, Ethan bersama enam orang tim Elang dibelakangnya. “Tim elang disini Komandan,” hormat ketua tim elang pada Aiden. “Tugas kalian mengikuti apa yang di perintahkan oleh Agen Azena, mengerti?” “Siap mengerti Komandan,” jawab mereka serempak. “Silahkan Nona,” Aiden mempersilahkan Azena untuk memerintahkan anggotanya. “Baik, terima kasih Komandan. Tugas kalian bantu tim saya untuk mengintai pelabuhan terbengkalai di Wilayah Utara. Kalian tidak perlu bergabung dengan tim saya, cukup intai dari jauh. Mengerti?” “Siap, mengerti Agen Azena!” balas mereka serempak. “Terima kasih, kalian boleh berangkat dari sekarang dan pastikan tim saya tidak tau keberadaan kalian!” “Baik.” Tim Elang bergegas keluar dari ruangan briefing dan berangkat menuju pelabuhan utara. Azena kembali fokus dengan peta wilayah yang berada di atas meja, memperhatikan peta itu dengan seksama. “Jarak barak ini dengan rumah terbengkalai itu, apakah cukup jauh, Komandan?” tanya Azena menatap serius Aiden sesekali melirik peta di atas meja. “Jarak dari sini ke sini sekitar tiga kilometer menggunakan kendaraan, jika berjalan kaki bisa menempuh jarak lima kilometer,” jelas Aiden. Azena mengangguk mengerti serta menatap peta itu dan memikirkan cara yang tepat untuk sampai ke tempat lokasi. “Bagaimana kalau kita naik kendaraan, lalu sekitar satu kilometer kita akan berjalan kaki agar tidak ada yang tau keberadaan kita.” “Dengan cara ini juga menghemat tanaga kita nantinya,” jelas Azena. “Saya setuju dengan Agen Azena, Komandan,” timpal Liam. Aiden terdiam sejenak, menimang keputusan yang tepat untuk tim ini. Setelah terdiam akhirnya Aiden mengangguk setuju dengan usulan Azena. Sedangkan Azena tersenyum tipis. “Baiklah, kita akan berangkat nanti malam, sesuai rencana kita tadi. Dan jangan lupa bawa senjata kalian nanti malam.” “Siap Komandan,” jawab mereka serempak. Mereka kembali membahas rencana-rencana untuk nanti malam dan mempersiapkan semuanya. Mereka menunggu waktu sampai malam tiba dengan beristirahat maupun mempersiapkan perbekalan mereka. Angin gunung berdesir lewat jendela. Semilir angin menerpa wajah cantiknya yang kini tengah berdiri di depan jendela, dan pandangan matanya tertuju ke arah hutan. Pikirannya kini bercabang antara misi nanti malam dan kasus yang tengah ia tangani. Semakin memikirkan kasus, semakin berdenyut nyeri kepalanya dan itu semakin menyiksa Azena. Tangan Azena bergerak lirih memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri. Ringisan kecil keluar dari mulut Azena. “Astaga....” desahnya pelan. Demi mengurangi rasa sakit di kepalanya, Azena mengistirahatkan tubuhnya di tempat tidur yang ada di ruangan itu. Azena berharap saat malam tiba, dirinya merasa lebih baik lagi. Untuk saat ini Azena tidak ingin memikirkan kasus mafia itu, Azena harus mengistirahatkan tubuhnya demi memulihkan tenaganya untuk nanti malam. Malam nanti akan menjadi malam yang panjang dan melelahkan bagi Azena dan timnya nanti.Azena segera menghubungi sopirnya, meminta mobilnya dibawa ke bengkel utama seperti yang diminta Alex. Dalam waktu singkat, terdengar deru mesin mobil Azena yang menjauh, diikuti keheningan sesaat di mansion. Azena kembali fokus pada Edward dan Alex yang masih sibuk dengan denah dan skema."Jadi, apa langkah selanjutnya?" tanya Azena, mendekati layar besar.Edward menunjuk ke beberapa titik di denah mobil. "Alex akan fokus pada penguatan struktur dan pemasangan kaca anti peluru. Sementara aku akan memprioritaskan integrasi sistem elektronik. Aku perlu memastikan semua kamera, mikrofon, dan pelacak tersembunyi dengan sempurna dan terhubung ke sistem kontrol di laptop mu.""Dan jam tangan?" Azena menatap jam tangan vintage yang tergeletak di meja Edward."Aku sudah pilih salah satu," Edward mengangkat jam tangan kulit berwarna cokelat tua. "Desainnya klasik, tidak mencolok, dan ada cukup ruang untuk menyematkan perangkat. Aku akan mulai mengerjakannya setelah ini."Alex mengangguk setuj
Pagi harinya, Azena bangun lebih awal, guna mempersiapkan segala sesuatu yang telah menjadi diskusi semalam. Ia memutuskan untuk menemui Edward yang sudah berada di ruang kerja sementara yang disediakan untuknya, sebuah ruangan yang dulunya perpustakaan pribadi Hailey namun kini telah disulap Edward menjadi lab mini dadakan dengan laptop, peralatan elektronik kecil, dan beberapa gadget yang belum diketahui oleh Azena.Azena mengetuk pintu dan masuk. Edward sudah sibuk dengan tablet dan beberapa chip kecil di meja."Pagi, Ed," sapa Azena, membawa dua cangkir kopi. "Aku bawakan kopi."Edward mendongak, tersenyum. "Pagi, Ze. Wah, kebetulan sekali. Terima kasih." Ia menerima salah satu cangkir. "Aku sudah mulai menyusun daftar komponen. Untungnya beberapa bagian kunci bisa dipesan secara online dan tiba cepat. Tapi ada beberapa komponen khusus yang harus aku buat sendiri.""Bagaimana dengan mobilku?" tanya Azena. "Aku bisa mengantarmu ke garasi mobil untuk melihat-lihat.""Boleh, nanti
Malam harinya, suasana makan malam di mansion Hailey terasa hangat. Azena, Julian, dan Edward, Jeremy dan kedua orang tua Julian duduk di meja makan yang luas, ditemani hidangan lezat yang disiapkan koki mansion. Edward, yang sudah berganti pakaian santai, terlihat lebih rileks."Jadi, Azena," Edward membuka percakapan setelah suapan terakhirnya, "mengenai alat-alat itu, aku sudah punya gambaran kasar." Ia meletakkan garpunya dan menatap Azena serius. "Untuk pena perekam suara, aku bisa buatkan model yang persis seperti pena mahal yang biasa kamu pakai. Jadi tidak akan ada yang curiga. Mikronya akan sangat sensitif, bisa menangkap percakapan bahkan di ruangan yang cukup bising. Untuk transfer datanya, kita bisa pakai sistem enkripsi. Jadi, hanya ponselmu yang bisa mengakses rekaman itu."Azena mengangguk, matanya berbinar. "Kedengarannya sempurna, Ed." "Tapi, pakai pena yang biasa saja."Edward mengangguk mengerti, "baiklah.""Untuk modifikasi mobilmu," lanjut Edward, "kita akan butu
Azena melangkah masuk ke ruang tamu utama mansion Hailey, rambutnya masih sedikit lembap dan kulitnya terasa hangat setelah berjemur di tepi kolam renang. Ia mengenakan baju santai setelah berganti pakaian. Di sofa besar, Azena melihat Julian sedang berbicara dengan seorang pria. Pria itu adalah Edward, sepupu Azena yang ia minta Julian untuk menghubunginya. Edward baru saja tiba dari luar negeri, khusus datang memenuhi panggilan Azena."Edward?!" seru Azena, terkejut sekaligus senang melihatnya sudah tiba. Ia mempercepat langkahnya menghampiri.Edward tertawa, bangkit berdiri dan memeluk Azena singkat. "Azena! Astaga, sudah lama sekali kita tidak bertemu. Kamu makin cantik saja, sepupuku."Julian, yang sedari tadi hanya tersenyum tipis, akhirnya angkat bicara. "Dia baru saja tiba dan langsung ke sini. Aku sudah sampaikan kalau kamu ingin bertemu secepatnya.""Terima kasih sudah datang jauh-jauh, Ed," ucap Azena tulus. "Aku tahu kamu pasti sibuk.""Tidak masalah, Ze. Julian bilang ini
Beberapa hari telah berlalu dengan cepat, dan pagi ini di halaman belakang mansion Harley yang luar biasa luas, di tengah lapangan hijau yang terawat apik, Azena berdiri dengan tegap. Rambut hitamnya yang biasanya terikat rapi kini dibiarkan tergerai.Penutup telinga khas orang tengah melakukan latihan menembak, Kacamata yang bertengger di hidungnya memantulkan kilau mentari, tak lupa matanya menatap lurus kearah target menambah kadar kecantikan Azena.Ia mengenakan kaus hitam lengan pendek yang pas di tubuh, menonjolkan bentuk atletisnya yang terbentuk dari latihan keras bertahun-tahun. Celana kargo hitam dan sepatu bot taktis melengkapi penampilannya, pakaian khas saat Azena tengah bertugas di lapangan. Di depannya, di atas sebuah meja kokoh, terpasang senapan laras panjang dengan teleskop bidik yang tampak sangat presisi.Azena mengangkat senapan, bahunya rileks dan penuh kendali. Napasnya teratur, matanya menyipit saat ia membidik target yang berada di ujung terjauh halaman. Jari
Sore hari, suasana di ruang keluarga Azena terasa begitu hangat dan tenang. Aroma teh melati semerbak di udara, berpadu dengan hangatnya sinar matahari sore. Azena duduk di sofa empuk, menyandarkan punggungnya, sementara Julian dengan telaten mengganti perban di lengan kirinya. Luka tembak akibat insiden beberapa hari lalu itu kini mulai mengering."Nah, sudah selesai," ucap Julian lembut, menepuk pelan lengan Azena. "Jangan terlalu banyak bergerak dulu, ya. Biar cepat pulih."Azena tersenyum tipis. "Terima kasih, Lian. Kamu ini selalu sigap membantu ku.""Sudah kewajibanku, dong. Apalagi kalau menyangkut sepupu kesayangan." Julian terkekeh, lalu mengambil posisi duduk di sofa di hadapan Azena. "Bagaimana harimu selama masa cuti ini? Apakah menyenangkan?"Azena tertawa kecil. "Sejauh ini menyenangkan, walaupun hanya berdiam diri di rumah. "Dan aku merasa semakin nyaman," ucap Azena lirih tapi Julian masih bisa mendengar ucapan Azena, Julian tersenyum tipis mendengarnya.Azena melirik