Rara terus saja mondar-mandir menunggu Aldebaran. Tak lama kemudian Rara muncul dengan wajah semringah. Bukan karakter Aldebaran!
“Dari mana saja kau?” Nada Aldebaran terdengar dingin.
“Sikap seperti itu tidak cocok untukku, Pak! Aku tadi dari kamar Firman. Dia memberikan aku ini,” jawab Rara menunjukkan dua tiket pesawat kelas bisnis.
Aldebaran lantas mengambil dengan cepat dan melihat arah tujuannya.
“Bali?”
“Iya, bukannya setelah selesai syuting kita liburan?!” Rara terlihat bersemangat.
Tidak ada tanggapan. Tiba-tiba, sudut bibir Rara sedikit terangkat. Sepertinya Aldebaran sedang memikirkan sesuatu.
“Ini pasti liburan yang menyenangkan,” tukasnya sembari menduduki sofa.
Rara mengerutkan dahi. Dia ikut duduk di hadapan Aldebaran.
&ldq
Rara terus saja mengerjapkan mata beberapa kali. Dia sesekali menyapu pandangan melihat para wisatawan asing yang berjemur di pantai Kuta. Bukan tidak biasa, hanya Rara tidak terbiasa melihat pakaian renang yang mereka pakai. Aldebaran sejak tadi hanya diam saja dengan kaca mata hitam yang tertancap di hidung mancung milik Rara. Dia bersandar santai menikmati pemandangan sekitar yang baginya sudah biasa. Bahkan bisa dikatakan bosan. Firman dan asistennya entah melenggang ke mana, mereka malah asyik sendiri dengan wanita-wanita bule. “Darling!” Seseorang berseru dari arah belakang seraya memeluk leher Aldebaran. Rara tersentak dan refleks menjauhkan tangan seorang wanita yang hampir seluruh anggota tubuhnya terekspos sempurna. Hanya bra berbentuk tali dan celana dalam tipis yang menutupi mahkota indahnya. Bahkan belahan bagian bokong pun terpampang jelas. Entah karena kurang bahan atau memang
Aldebaran dan Rara bersama tim baru saja pulang liburan. Rara membuka koper, tepatnya koper kecil—mengeluarkan beberapa potong pakaian yang dibawanya. Tiba-tiba, suara ketukan pintu terdengar. Rara menoleh ke arah pintu, ternyata Angga yang muncul. Angga segera mendekat dengan seuntai senyum yang seakan menyiratkan sesuatu. Rara hanya membalas dengan senyuman singkat yang membuat Angga agak terkejut melihat sifat Aldebaran yang tidak lagi dingin padanya. “Ada perlu apa?” Angga tidak menjawab. Dia lantas duduk di atas sofa tunggal dengan bersandar santai. “Apa kau bisa mengelola perusahaan?” Aldebaran menoleh. “Bukankah itu tugasmu!” “Aku besok harus ke kantor cabang di Paris. Jadi aku mau kau yang handle perusahaan untuk sementara sampai aku kembali!” “Buka
Aldebaran saat ini sedang bersama Dion di apartemen miliknya. Dia memutuskan untuk kembali. Rara masih sibuk menjalani aktivitas Aldebaran seperti biasa. Raut Aldebaran tampak memikirkan sesuatu. “Apa yang kaupikirkan, Al?” tanya Dion setelah kembali dari toilet. “Aku melewatkan sesuatu mengenai kecelakaan itu!” Dion sedikit mendekat. “Apa polisi sudah menemukan bukti?” “Aku meminta mereka untuk menutup kasus ini.” Dion berdecak. “Kenapa? Apa kau sudah tahu penyebab kecelakaanmu dan dalang dari semua itu?” “Semuanya masih samar, karena mungkin sedikit benturan yang membuatku melupakan sesuatu. Tapi aku yakin, ini bukanlah orang luar.” Kedua Alis Dion bertaut. Dia mengaitkan kedua jari tangan dan menumpu dagunya. “Apa ada orang yang kau curigai?” “Masih belum jelas. Dari hasil penyelidikan itu murni kecelakaan!” Aldebaran menyandarkan punggung. Dia menyeruput kopi hitam dengan perlahan
Suara derik pintu terdengar, Rara menoleh seraya bernapas lega. Aldebaran akhirnya datang juga.“Syukurlah Pak Al sudah datang!” Rara berseru senang.Aldebaran hanya menampakkan raut datar. Dia segera duduk di kursi kebesaran Angga dan menaikkan kedua kakinya di atas meja.“Apa yang kaulakukan, Pak?” tanya Rara sedikit bingung. Dia yang hendak memperlihatkan dokumen penting malah diabaikannya begitu saja.“Kau tidak lihat kalau aku sedang duduk?!”“Iya aku tahu kau sedang duduk, Pak! Tapi jika kau bertingkah seperti itu, bagaimana jika ada pegawai yang masuk dan melihatmu? Mereka bukan akan membicarakanmu, melainkan aku!”Aldebaran masih tidak peduli. Rara hanya bisa menghela napas. Dia segera mendekat dan memperlihatkan dokumen yang sama sekali tidak dia pahami apa isinya.“Ini bagaim
Rara sedang berdiri di balik pagar besi yang berada di teras kamar Aldebaran. Suasana pagi yang begitu tenang, Rara sesekali menghirup napas dalam merasakan sentuhan udara yang belum terjamah dengan polusi udara. Tempat tinggal kediaman Mahesa di kelilingi dengan taman hijau yang begitu asri. Ivanka yang begitu menyukai bunga, menjadi satu-satunya orang yang mendominasi dalam penataan bangunan megah itu. Rara menyapu pandangan, selama dia tinggal di rumah itu, Rara tidak pernah mengamati kediaman keluarga terpandang itu. Dia hanya sibuk dengan dunia Aldebaran. Matanya mengamati dengan saksama pemandangan menakjubkan. Banyak tumbuhan cemara jarum mengitari pekarangan luas itu, di sisi lain bangunan ada sebuah kolam kecil yang pastinya habitat ikan hias yang memenuhinya. Di ujung bangunan yang menjorok ke arah belakang terdapat kandang burung yang berjejer rapi. Tentunya siulan yang bersahutan sudah biasa Rara dengar setiap harinya. Rara memutar lagi ki
Aldebaran mengambil langkah panjang begitu mobil mewahnya memasuki kediaman Mahesa. Kemarahan terlihat jelas terpancar dari wajah mungil Rara.Ya, beberapa saat lalu setelah Rara bertemu dengan Monika sebagai Aldebaran, tentu saja membuat Aldebaran sangat geram, mengingat senyum Monika di taman itu terus mengusik pikirannya.Dia melihat beberapa asisten sedang membersihkan rumah, tanpa kata atau sapaan, Aldebaran melewati mereka begitu saja. Salah satu asisten rumah tangga Aldebaran yang sangat cerewet, melirik sinis ke arah Rara dan mendekat ke Asisten rumah lainnya.“Eh, Seroja, lihat itu sikap asisten pribadinya Pak Al. Berlaku seenaknya masuk keluar rumah ini, mentang-mentang Pak Al memberikan kuasa, dia makin besar kepala dan angkuh,” cibirnya menyunggingkan bibir.“Benar! Apalagi saat dia tinggal di rumah ini, merasa kayak pemilik rumah, main perintah!” tambah Seroja iku
Aldebaran menggeliatkan tubuh Rara kesana kemari. Rasa kantuk masih menyergap. Dia menguap, memaksa tubuh mungil itu untuk bangun. Rasanya sangat berat, mungkin karena beberapa hari dia tidak melakukan olahraga.Dia mengedarkan pandangan melihat ke sekeliling, kamar dengan nuansa identik perempuan. Aldebaran berada di kamar Rara, kemarin dia diminta Nirmala untuk pulang ke rumah. Mau tidak mau, Aldebaran harus menerima itu.“Apa begini bentuk kamar gadis lambat itu?”Matanya masih mengedar menelisik tiap inci ruangan. Kamar yang hanya berukuran seperti kamar mandinya di rumah dan beberapa interior yang memiliki satu warna dengan tembok. Begitu juga seprei beserta bantal dan selimut. Semuanya berwarna biru muda.Nirmala mengaturnya dengan sangat baik. Itu warna kesukaan Rara.Suara ketukan terdengar. Nirmala menyembulkan kepala memeriksa Rara.Seny
Rara saat ini bersama Angga tengah mengantre untuk membeli popcorn. Tepatnya, Aldebaran yang berada dalam tubuh Rara. Dia berdandan sangat cantik hingga membuat Angga bahkan tidak berkedip ketika menjemput Rara di rumah Nirmala. Rara yang biasa memakai kaos dan celana jeans, kini berubah menjadi gadis feminin dengan dress di bawah lutut dan flat shoes berwarna hitam dipadukan dengan sling bag berwarna peach. Rambutnya juga digerai dan memakai jepitan kecil di samping kiri. Benar-benar sangat berbeda dari sebelumnya. Senyum Angga terus terukir setiap kali memandanginya. Tentu saja, Aldebaran mengubah penampilan Rara untuk sesuatu yang sudah dia pikirkan sebelumnya. “Dasar kaum bedebah! Mereka bahkan tidak bisa melihat yang bening!” gerutu Aldebaran dengan sedikit memelankan suaranya. Angga menoleh. “Kenapa Jihan? Ada yang membuatmu tidak nyaman?” Rara menunjuk dengan dagunya. Angga melihat ke sekeliling, beberapa le