6 Hari yang Lalu....
“Apa kau mengajukan kerja sama dengan perusahaan Mahesa?” tanya David yang melihat Monika menghampirinya. Suara David terdengar marah.
Dia baru saja menerima telepon dari sekretarisnya. Monika mengulum bibir lalu mengangguk pelan. David menggebrak meja. “Apa yang kau pikirkan dengan melakukan itu?”“Aku harus mengambil langka untuk perusahaan Ayah!”“Tapi bukan berarti kau mengajukan kerja sama dengan Mahesa!” David meninggikan suaranya. Dia lantas beranjak menuju pintu depan. “Ayah dengarkan aku dulu. Aku melakukannya dengan bermaksud baik!”“Batalkan perjanjian itu! Tidak ada lagi perdebatan!” David membungkam Monika dengan tatapan tajam.“Kau harus menerima perjanjian itu, Ayah!” Monika menghadang jalan David saat hendak masuk ke dalam mobil.
“Sampai kapan pun ayah tidak akan menjalin kerja sama d
Saat ini lokasi syuting sangat ramai. Ini merupakan sesi terakhir sebelum akhirnya pembuatan film selesai. Rara dari shubuh sudah tiba di lokasi syuting. Dia sudah terbiasa sejak mulai berada di tubuh Aldebaran. Rara bahkan rajin melakukan olahraga agar menjaga tubuh Aldebaran tetap bugar. Hal yang sangat bertolak belakang dengannya. Jam tidurnya juga sangat sedikit. Dalam sehari dia hanya punya waktu istirahat dua jam. Saat tahu syuting ini akan selesai, Rara sangat bersemangat untuk melakukan yang terbaik agar dia bisa beristirahat panjang di rumah. Rara berencana beristirahat di apartemen Aldebaran agar tidak ada yang mengganggunya. Dia tidak tenang tiap kali pulang ke rumah besar itu, seperti ada CCTV yang selalu mengawasi gerak-geriknya.“Al, ada telepon untukmu!” Firman berseru saat memberikan ponsel miliknya.“Dari siapa?”“Entahlah! Tidak ada namanya.” Firman mengangkat bahu.Rara menatap layar
Rara tengah bersiap setelah selesai berpakaian. Dia memakai baju casual yang nyaman baginya. Rara menghela napas sejenak sebelum keluar dari kamar.Pandangannya memperhatikan sekeliling. Penataan ruangan bergaya kontemporer membuatnya sedikit takjub, dari pemilihan warna dan furnitur yang tertata rapi begitu menunjukkan setiap anggota Aldebaran memiliki selera yang berbeda-beda.“Selamat pagi, Al!” Monika menyapa dengan ramah.Rara menoleh sekilas sebelum melanjutkan langkah. Mood nya di pagi hari mendadak buruk. Rara melewati pintu kamar Lusy yang masih tertutup rapat. Apa mungkin pria arogan itu belum bangun? Pikir Rara.Monika mengulum senyum mengikuti langkah Aldebaran menuju ruang makan. Di sana Angga dan Nicole sudah duduk lebih dulu. Diana tengah mempersiapkan sarapan. Begitu sampai, Rara sontak membantu Diana memanggang roti.Semua orang yang berada di situ memandang Aldebaran dengan raut terkejut.“Sejak k
Nicole baru saja menjelaskan program kerja yang akan mereka lakukan. Monika terlihat antusias ingin segera memulai pekerjaan. “Pak, apa setelah ini kita bisa jalan-jalan? Aku merasa bosan. Tidak bisakah kita pergi berdua saja?” Rara berbisik pelan. Aldebaran tidak menanggapi. Dia sejak tadi sibuk berselancar dengan ponselnya. Angga beranjak dari kursi dan menghampiri Rara. “Mau aku ajak jalan-jalan, Jihan?” Rara hendak bersorak, menahan diri. Dia berada dalam tubuh Aldebaran. “Aku juga ingin pergi!” Rara menegaskan ucapannya. “Aku ingin mengajak Jihan berdua, tidak bisakah kau biarkan dia sedikit lebih leluasa? Kau terus membuatnya bekerja!” tanggap Angga sedikit kesal. “Wajar saja, dia asistenku. Sudah sepantasnya dia mengikuti perintahku!” “I gotta head out.” Rara beranjak dari kursi dan melangkah keluar lebih dulu. Lagi-lagi Angga dibuat kagum. Dia memandang punggung Rara dengan senyum manis di wajahnya.
Rara berjalan mengendap-endap keluar dari kamar. Dia menoleh sekeliling—tidak ada siapa pun. Rara berjalan cepat menuju kamar Lusy. “Pak? Kau ada di dalam?” Rara menajamkan telinga, berharap Aldebaran ada di dalam sana. “Pak! Jika kau di dalam, tolong keluar. Ada yang ingin aku bicarakan!” Rara berdecak kesal. Aldebaran tidak menyahut. Ponselnya juga tidak bisa dihubungi. Lima menit berlalu tidak ada jawaban. Rara menghela napas sebelum akhirnya kembali ke kamar tamu. Rara terus mondar-mandir di dalam kamar. Sejak makan siang tadi, Rara tidak bisa menemui Aldebaran. Angga dan Nicole membuatnya terjebak dengan pekerjaan—bahkan di rumah dia juga harus ikut berdiskusi dengan mereka bersama Roy. Rara tidak mengerti apa pun mengenai hal yang mereka diskusikan, dia hanya duduk diam dan mendengarkan. Rara kembali keluar dari kamar tamu dan memutuskan langsung masuk ke kamar Lusy. Rara menahan langkah—menatap sejenak pintu kamar yang tertutup
Aldebaran bangun lebih dulu. Dia terbiasa bangun pagi untuk berolahraga. Segera setelah mencuci muka, Aldebaran keluar dari kamar. Langkahnya berhenti saat melewati kamar Lusy. Tangan Rara hendak mengetuk, mengambang di udara. Rara sudah lebih dulu membuka pintu. “Pak Al? Apa yang kaulakukan di sini?” “Aku ingin menganjakmu jogging!” Aldebaran berdalih. Bukan itu alasannya, dia hanya ingin memastikan keadaan Rara. “Sepagi ini?” Pandangan Rara jatuh pada jam dinding yang menyentuh angka enam kurang lima belas menit. “Iya, ayo keluar! Sekalian ada yang ingin aku bicarakan.” Rara kembali menutup pintu, mempersiapkan diri. Setelah lima menit menunggu di halaman, Rara keluar dengan celana training dan kaos putih polos serta handuk kecil melingkar di leher. Aldebaran menghela napas melihat penampilan tubuhnya versi Rara. “Kau memang tidak tahu mode! Biasanya aku mengenakan celana pendek.” “Jangan
Aldebaran tengah bersiap untuk berangkat ke kantor. Dia masih kesal dengan chat beruntun Angga yang membuatnya sulit tidur semalam. Belum juga semenit, bunyi notifikasi kembali masuk. Aldebaran membuang napas kesal menatap layar ponselnya. Jika saja bisa, dia sudah langsung memblokir nomor Angga. Sayangnya saat ini dia berada dalam tubuh Rara, tidak ada pilihan lain selain membiarkan begitu saja. Angga : Jihan sudah tidur? Angga : Apa aku mengganggu? Angga : Kenapa tidak membalas? Kau membacanya. Angga : Besok aku ingin mengajakmu jalan berdua! Angga : Apa kau sudah tidur, Jihan? Angga : Ya sudah, sweet dream. Isi chat Angga semalam langsung di hapus seketika itu juga. Angga : Ayo sarapan, Jihan! Aldebaran melempar asal ponsel ke atas kasur. Dia merasa frustasi meng
Di sinilah Rara berakhir, bersama Angga di depan sebuah pusat perbelanjaan. Beberapa saat lalu, Aldebaran mengikuti keinginan Angga untuk jalan berdua setelah dari lokasi proyek. Sementara Rara harus beralasan merasa kurang enak badan dan pulang lebih dulu. Aldebaran tidak bisa membiarkan Rara dekat dengan Monika apalagi tanpa dirinya. “Kau suka es krim kan? Kita mampir di sini sebentar.” Angga menepikan mobil. “Es krim?” “Iya, kau menyukainya ‘kan. Dulu saat kau menemaniku membeli hadiah ibuku kau memintaku membeli es krim!” Ah... maksudnya Rara. Dia menyukai es krim? Aldebaran memicingkan mata. Apa ini termasuk salah satu triknya bersikap romantis? Dasar payah... kau bahkan tidak tahu romantis itu apa! Angga segera turun dan berlari kecil masuk ke dalam sebuah mini market. Aldebaran melepas sabuk pengaman dan turun dari mobil. Dia mengamati keadaan sekitar. Tidak begitu ramai, matahari
Suasana pagi yang hangat, di ruang makan, penghuni rumah tengah berkumpul untuk sarapan.“Kami akan kembali hari ini, Paman. Ada pekerjaan lain yang sudah menunggu di sana,” ucap Angga memulai percakapan.“Kenapa cepat sekali! Tinggal lah lebih lama di sini. Besok Lusy akan kembali dari wisata pikniknya,” sahut Diana sedikit sedih.“Tadinya ingin begitu, sayangnya ayah sudah meminta kami untuk kembali. Kami akan terus mengawasi proyek ini dari sana.”“Iya, Bi. Film aku juga akan tayang Minggu depan, ada kontrak iklan juga yang harus diselesaikan.” Aldebaran menambahkan.“I will miss you so much!” ucap Nicole mengerucutkan bibirnya.Roy mengulas senyum, menepuk punggung Nicole.Diana menghela napas pelan. “Baiklah, kalian jangan lupa berkunjung lagi jika ada waktu senggang.”Aldebaran dan Angga mengangguk bersamaan.“