Aldebaran terus melajukan mobilnya. Dia berharap Dion baik-baik saja.
Dion kembali menelepon, kali ini Rara yang lebih dulu menjawab.
“Kau baik-baik saja?”
“Aku tidak apa-apa. Orang yang aku kejar bukan pria itu. Sepertinya dia menyuruh orang lain. Sejak tadi dia hanya membawaku berputar-putar.”
“Apa maksudmu orang lain?” tanya Aldebaran.
“Aku menyadari itu saat melihat caranya mengemudikan mobil. Dia tidak cekatan seperti pria itu, orang yang saat ini di dalam mobil pastilah orang lain!”
“Ada satu hal lagi, dua mobil yang terus mengejarku memintaku menepikan mobil. Begitu aku menurunkan kaca, mereka menatapku heran lalu kembali melanjutkan perjalanan. Sepertinya mereka salah orang!” kata Dion lagi.
Aldebaran menepikan mobilnya. Dia menghela napas.
“Baiklah, aku mengerti!” Aldebaran menutup telepon.
&ldquo
Kevin yang baru saja sampai di kediaman David berjalan memasuki ruang tamu. Di sana ia mendapati David tengah memandangi Monika yang meratap sedih. “Selamat Sore, Tuan!” sapa Kevin yang sudah berdiri di belakang David. Monika mengangkat muka, mengusap jejak air mata di pipinya. “Apa kau sudah tahu siapa yang mencoba mencelakai, Al? Al tidak tahu rencanaku ‘kan? Dia tidak sempat melihat rekaman kamera ‘kan? Al tidak mungkin curiga padaku ‘kan? Aku tidak melakukan apa pun, aku hanya ingin mencari perhatiannya. Sungguh aku—“ “Tenanglah! Everything will be fine!” David menyela. Mencoba menenangkan Monika yang tiba-tiba mengalami serangan panik. Monika menyentak tangan David yang memegang kedua bahunya. “This not fine, Dad!” Monika mondar-mandir menggigit kuku jari. “What the fuck was I even thinking!” David mengempas napas dengan lemah. Dia menatap iba melihat Monika merasa tid
David mengamati rumah yang tampak asri dari kejauhan. Sejak satu jam lalu dia sudah berada di sana. David meminta Kevin pergi setelah menyiapkan keperluan yang ia butuhkan.Setelah pertimbangan yang matang, David menjalankan mobilnya mendekat ke sisi bahu jalan tak jauh dari gerbang rumah itu.Di halaman rumah itu, wanita yang tengah ia rindukan selama ini duduk mengurusi bunga-bunga kesayangannya. Tampak wanita itu berseri-seri sesekali merasakan kepuasan ketika mendapati kembang merah muda begitu subur.David turun dari mobil, dia mengenakan kaca mata berbingkai persegi dengan setelan formal yang sangat rapi. Tak lupa ia mampir sebelumnya ke salon merapikan jambang yang tumbuh mengitari area dagu. Wajahnya begitu menawan walau umur tidak muda lagi. David membawa beberapa paper bag di kedua tangannya.Jantung David berpacu dua kali lipat, rasa gugup menjalar menyebar ke seluruh bagian tubuhnya yang ti
Dion berlari dengan tergesa-gesa menyambangi kediaman Mahesa. Di sana Aldebaran dan Rara baru saja hendak beranjak.“Al! Kau sudah dengar beritanya?” ucap Dion dengan dada naik turun, mencoba mengatur napas.“Ada apa? Kenapa kau buru-buru datang kemari? Kau bisa saja mengatakannya lewat telepon!”Dion menatap sekeliling, di sana dia melihat Ivanka dan Mahesa baru saja selesai sarapan.“Apa terjadi sesuatu?” tanya Mahesa berjalan mendekat.Dion menoleh diam ke arah Rara dan Aldebaran.“Margono tewas bunuh diri, kalian sudah dengar?”“Aku sudah mendapatkan kabar itu!” Aldebaran beraksi. Dia menoleh ke arah Rara yang tampak menggertakan gigi. Aldebaran tahu benar itu bukan sekedar bunuh diri. Itu pembunuhan!“Dan.... pelaku sebenarnya masih dalam pengejaran!” Dion berujar pelan.“Siapa?”
Dion menghentikan mobil tepat di sebuah rumah yang menjadi tujuan mereka. Halaman rumah itu sangat luas, banyak pepohonan rindang yang tumbuh di sekitar.Rara berlari turun lebih dulu. Jiwa Aldebaran mulai goyah. Kenangan lama yang tersimpan jauh di dalam ruang tanpa jendela seketika membuatnya meruntuhkan benteng pertahanan yang sejak lama melekat setelah mimpi buruk itu mendatanginya.Dulu, Aldebaran bukanlah pria yang arogan dan berhati dingin. Dia anak yang ceria, selalu tersenyum. Tawa candanya memenuhi rumah itu. Di sini bersama ibunya, Aldebaran tidak pernah merasakan namanya air mata atau pun kesedihan. Tidak setelah kebahagiaan itu direnggut oleh ayahnya sendiri menikahi Ivanka hanya karena permintaan ibunya yang sudah sekarat.Akibat luka itu, dia tak pernah lagi tertawa, amarah telah menguasainya hingga hati Aldebaran berubah dingin. Hubungan Aldebaran dengan ayahnya sempat renggang untuk beberapa waktu yan
Rara kembali ke kediaman Mahesa. Pikiran Rara masih berserabut mengenai masalah Nirmala.Aldebaran menghampiri Mahesa yang duduk di ruang keluarga.“Aku mau bertanya sesuatu!”Mahesa yang tengah menikmati kopinya sambil menonton acara TV menoleh terkejut.“Ada apa?” Mahesa meletakan cangkir di atas meja.“Di hari aku kecelakaan, apa Ayah menyuruh pelayan untuk membersihkan rumah lama kita?”“Di hari itu?” Mahesa mencoba mengingat. “Ah, ya, Ayah menyuruh beberapa pelayan ke sana!”“Siapa saja mereka?”“Soal itu....”Mahesa menghentikan kalimatnya. Tiba-tiba terdengar suara vas yang terjatuh di lantai.Aldebaran hendak memeriksa, Rara merasa seperti melihat siluet seseorang. Baru beberapa langkah, seekor kucing peliharaan Ivanka muncul begitu saja.“Ya ampun, ternyata Holy. Ay
Malam sebelumnya.... “Pak!” sergah Rara saat mobil Aldebaran baru saja sampai di depan mansion Mahesa. “Ada apa?” “Pak David, boleh aku sendiri yang menemuinya?” Rara menoleh, ada duka dalam tatapannya. “Sebagai diriku?” Rara mengangguk. “Ucapan ibu tadi membuatku kembali berpikir....” “Apa yang kau pikirkan?” “Mengenai ayahku datang di hadapanku!” Suara Aldebaran bergetar, Rara menahan diri untuk tidak menangis. “Apa kau pikir dia ayahmu?” “Entahlah! Tapi aku yakin satu hal, ibu berbohong soal ayahku. Waktu itu, aku tidak sengaja mendengar ucapan ibu dengan bibi yang membicarakan soal ayahku. Aku hanya ingin memastikan!” Aldebaran menghela napas pelan. “Jika itu membuatmu tenang, lakukan saja. Aku tidak masalah.” “Terima kasih.” “Oh, ya, satu hal lagi. Aku ingin kau melakukan sesuatu!” “Melakukan apa?” Rara menahan pegangan pintu hendak ke
Suara bel terdengar saat Aldebaran baru saja selesai sarapan. Aldebaran mendekat ke arah pintu, dia tahu itu pasti Rara. Rara sudah menelepon dan mengatakan akan mampir ke sana. Raut wajah Rara seketika berubah kaku saat mendapati Angga yang berdiri di hadapannya seraya mengulurkan buket bunga berukuran sedang. Aldebaran menerima dengan diam, detik selanjutnya dia menarik bibir membentuk senyum manis. “Kak Angga! Kenapa tidak mengabariku jika mau ke datang kemari?” “Aku ingin memberimu kejutan!” “Ayo, masuk!” Aldebaran menaruh bunga dalam vas. Kebetulan sekali dia baru membuang bunga yang sudah mengering beberapa saat lalu. “Hari ini aku mau mengajakmu kencan. Boleh luangkan waktumu seharian? Katakan pada Al untuk izin tidak bekerja!” “Kencan? Aku pikir besok.” “Aku tidak sabar melakukannya, kebetulan hari ini aku sengaja mengajukan libur bekerja sehari untuk mengaj
Rara baru saja tiba di depan sebuah restoran. Rara meminta bertemu dengan David secara pribadi. Dia sengaja reservasi rooftop hotel agar pertemuan mereka tidak diganggu. David sudah datang lebih dulu. Rara mengeluarkan ponsel, membuka kotak masuk. Aldebaran : Tidak perlu mampir! Aku akan keluar dengan Angga. Rara : Aku akan bertemu dengan Pak David hari ini. Aldebaran : Kau sudah yakin dengan keputusanmu? Rara : Keputusanku sudah bulat! Rara menarik napas panjang, menguatkan batinnya, mengumpulkan keberanian untuk menanyakan langsung. Langkah Aldebaran beranjak masuk. Rara melihat David duduk memunggunginya. “Maaf membuat Anda lama menunggu!” ucap Aldebaran begitu duduk berseberangan di hadapan David. “Saya juga baru sampai!” jawabnya singkat. Aldebaran memanggil waitress mendekat. “Mau