Rara baru saja turun menuju ruang makan. Di sana, keluarga Aldebaran sudah duduk berkumpul untuk sarapan.
“Pagi, Al!” sapa Ivanka ramah.
Kening Aldebaran berkerut samar. Dia merasa terkejut dengan keramahan Ivanka yang terhitung hanya menyapanya beberapa kali selama Rara tinggal sebagai Aldebaran.
Rara tidak menjawab, dia kembali melanjutkan langkah dengan acuh.
“Kau baik-baik saja ‘kan, Al?”
Aldebaran menghentikan langkah, menoleh ke arah Mahesa dengan tatapan dingin.
Seperti yang Ayah lihat. Aku baik-baik saja!”
“Ayah sudah dengar dari Angga, kau hampir saja tertabrak dan pelakunya juga sudah tertangkap!”
Aldebaran berjalan mendekat, satu tangan ia masukkan ke dalam saku celana.
“Kenapa dia berusaha mencelakai dirimu?” tanya Mahesa lagi.
“Dari pengakuan pria itu, dia pernah bekerja di sini dan aku sendi
Angga terus saja mondar-mandir sejak tadi. Dia merasa tidak tenang setelah mendengar perkataan Aldebaran. Angga tidak bisa fokus bekerja. Dia harus memikirkan cara untuk mendapatkan bukti itu. Ponsel Angga berdering. Nomor yang sangat ia kenal memanggil. “Kau sudah menemukannya?” “Mereka sudah membawanya!” kata pria itu di seberang sana. “Apa maksudmu? Bukankah sudah kukatakan bawakan padaku apa pun caranya!” Angga meninggikan suara. Dia tampak gelisah merasa kesal setengah mati. “Maafkan aku, aku tidak tahu mereka bisa mendapatkan lebih dulu. Aku tidak menyadari jika selama ini bukti itu ada di sana. Kata petugas yang menemukannya dia memberikan langsung pada pemilik mobil itu!” “Apa? Kapan dia memberikannya?” Angga makin terlihat frustasi. “Dua minggu setelah kecelakaan itu terjadi.” “Dua minggu?!” Raut bingung kembali menyelimuti wajah tampannya. “Baiklah, aku ak
Aldebaran terus melajukan mobilnya. Dia berharap Dion baik-baik saja.Dion kembali menelepon, kali ini Rara yang lebih dulu menjawab.“Kau baik-baik saja?”“Aku tidak apa-apa. Orang yang aku kejar bukan pria itu. Sepertinya dia menyuruh orang lain. Sejak tadi dia hanya membawaku berputar-putar.”“Apa maksudmu orang lain?” tanya Aldebaran.“Aku menyadari itu saat melihat caranya mengemudikan mobil. Dia tidak cekatan seperti pria itu, orang yang saat ini di dalam mobil pastilah orang lain!”“Ada satu hal lagi, dua mobil yang terus mengejarku memintaku menepikan mobil. Begitu aku menurunkan kaca, mereka menatapku heran lalu kembali melanjutkan perjalanan. Sepertinya mereka salah orang!” kata Dion lagi.Aldebaran menepikan mobilnya. Dia menghela napas.“Baiklah, aku mengerti!” Aldebaran menutup telepon.&ldquo
Kevin yang baru saja sampai di kediaman David berjalan memasuki ruang tamu. Di sana ia mendapati David tengah memandangi Monika yang meratap sedih. “Selamat Sore, Tuan!” sapa Kevin yang sudah berdiri di belakang David. Monika mengangkat muka, mengusap jejak air mata di pipinya. “Apa kau sudah tahu siapa yang mencoba mencelakai, Al? Al tidak tahu rencanaku ‘kan? Dia tidak sempat melihat rekaman kamera ‘kan? Al tidak mungkin curiga padaku ‘kan? Aku tidak melakukan apa pun, aku hanya ingin mencari perhatiannya. Sungguh aku—“ “Tenanglah! Everything will be fine!” David menyela. Mencoba menenangkan Monika yang tiba-tiba mengalami serangan panik. Monika menyentak tangan David yang memegang kedua bahunya. “This not fine, Dad!” Monika mondar-mandir menggigit kuku jari. “What the fuck was I even thinking!” David mengempas napas dengan lemah. Dia menatap iba melihat Monika merasa tid
David mengamati rumah yang tampak asri dari kejauhan. Sejak satu jam lalu dia sudah berada di sana. David meminta Kevin pergi setelah menyiapkan keperluan yang ia butuhkan.Setelah pertimbangan yang matang, David menjalankan mobilnya mendekat ke sisi bahu jalan tak jauh dari gerbang rumah itu.Di halaman rumah itu, wanita yang tengah ia rindukan selama ini duduk mengurusi bunga-bunga kesayangannya. Tampak wanita itu berseri-seri sesekali merasakan kepuasan ketika mendapati kembang merah muda begitu subur.David turun dari mobil, dia mengenakan kaca mata berbingkai persegi dengan setelan formal yang sangat rapi. Tak lupa ia mampir sebelumnya ke salon merapikan jambang yang tumbuh mengitari area dagu. Wajahnya begitu menawan walau umur tidak muda lagi. David membawa beberapa paper bag di kedua tangannya.Jantung David berpacu dua kali lipat, rasa gugup menjalar menyebar ke seluruh bagian tubuhnya yang ti
Dion berlari dengan tergesa-gesa menyambangi kediaman Mahesa. Di sana Aldebaran dan Rara baru saja hendak beranjak.“Al! Kau sudah dengar beritanya?” ucap Dion dengan dada naik turun, mencoba mengatur napas.“Ada apa? Kenapa kau buru-buru datang kemari? Kau bisa saja mengatakannya lewat telepon!”Dion menatap sekeliling, di sana dia melihat Ivanka dan Mahesa baru saja selesai sarapan.“Apa terjadi sesuatu?” tanya Mahesa berjalan mendekat.Dion menoleh diam ke arah Rara dan Aldebaran.“Margono tewas bunuh diri, kalian sudah dengar?”“Aku sudah mendapatkan kabar itu!” Aldebaran beraksi. Dia menoleh ke arah Rara yang tampak menggertakan gigi. Aldebaran tahu benar itu bukan sekedar bunuh diri. Itu pembunuhan!“Dan.... pelaku sebenarnya masih dalam pengejaran!” Dion berujar pelan.“Siapa?”
Dion menghentikan mobil tepat di sebuah rumah yang menjadi tujuan mereka. Halaman rumah itu sangat luas, banyak pepohonan rindang yang tumbuh di sekitar.Rara berlari turun lebih dulu. Jiwa Aldebaran mulai goyah. Kenangan lama yang tersimpan jauh di dalam ruang tanpa jendela seketika membuatnya meruntuhkan benteng pertahanan yang sejak lama melekat setelah mimpi buruk itu mendatanginya.Dulu, Aldebaran bukanlah pria yang arogan dan berhati dingin. Dia anak yang ceria, selalu tersenyum. Tawa candanya memenuhi rumah itu. Di sini bersama ibunya, Aldebaran tidak pernah merasakan namanya air mata atau pun kesedihan. Tidak setelah kebahagiaan itu direnggut oleh ayahnya sendiri menikahi Ivanka hanya karena permintaan ibunya yang sudah sekarat.Akibat luka itu, dia tak pernah lagi tertawa, amarah telah menguasainya hingga hati Aldebaran berubah dingin. Hubungan Aldebaran dengan ayahnya sempat renggang untuk beberapa waktu yan
Rara kembali ke kediaman Mahesa. Pikiran Rara masih berserabut mengenai masalah Nirmala.Aldebaran menghampiri Mahesa yang duduk di ruang keluarga.“Aku mau bertanya sesuatu!”Mahesa yang tengah menikmati kopinya sambil menonton acara TV menoleh terkejut.“Ada apa?” Mahesa meletakan cangkir di atas meja.“Di hari aku kecelakaan, apa Ayah menyuruh pelayan untuk membersihkan rumah lama kita?”“Di hari itu?” Mahesa mencoba mengingat. “Ah, ya, Ayah menyuruh beberapa pelayan ke sana!”“Siapa saja mereka?”“Soal itu....”Mahesa menghentikan kalimatnya. Tiba-tiba terdengar suara vas yang terjatuh di lantai.Aldebaran hendak memeriksa, Rara merasa seperti melihat siluet seseorang. Baru beberapa langkah, seekor kucing peliharaan Ivanka muncul begitu saja.“Ya ampun, ternyata Holy. Ay
Malam sebelumnya.... “Pak!” sergah Rara saat mobil Aldebaran baru saja sampai di depan mansion Mahesa. “Ada apa?” “Pak David, boleh aku sendiri yang menemuinya?” Rara menoleh, ada duka dalam tatapannya. “Sebagai diriku?” Rara mengangguk. “Ucapan ibu tadi membuatku kembali berpikir....” “Apa yang kau pikirkan?” “Mengenai ayahku datang di hadapanku!” Suara Aldebaran bergetar, Rara menahan diri untuk tidak menangis. “Apa kau pikir dia ayahmu?” “Entahlah! Tapi aku yakin satu hal, ibu berbohong soal ayahku. Waktu itu, aku tidak sengaja mendengar ucapan ibu dengan bibi yang membicarakan soal ayahku. Aku hanya ingin memastikan!” Aldebaran menghela napas pelan. “Jika itu membuatmu tenang, lakukan saja. Aku tidak masalah.” “Terima kasih.” “Oh, ya, satu hal lagi. Aku ingin kau melakukan sesuatu!” “Melakukan apa?” Rara menahan pegangan pintu hendak ke