Share

Dua sisi berlawanan

**

Duduk bersender pada sofa panjang dengan tatapan gamang, kemudian berkali-kali kubuang napas kasar lalu memejamkan mata, mengingat kembali rentetan kejadian demi kejadian yang kerap membuatku mengulangi dosa yang sama.

"Ah, Handy, Mas Andri ...." Dua nama itu, seperti dua sisi mata uang yang berbeda tapi selalu saling menyertai. Entah sosok yang telah halal bersamaku atau seseorang yang diam-diam menyembunyikan kekagumannya pada milik orang lain, itu membuatku gamang, jujur dilema ini bukanlah hal mengenyangkan selain dari kenyamanan sesaat.

Kualihkan pandangan pada jejeran tanaman bunga dan kolam kini air mancur yang bersebrangan langsung dengan tempat dudukku, satu ketukan remote control panel kaca yang mendindingi ruang santai, perlahan terbuka dengan otomatis. Lalu udara berebut masuk mengedarkan hawa sejuk yang menurutku sama sekali tak menyejukkan hatiku.

Atau bunyi gemericik air yang meluncur ke fountain mini di tengah kolam ikan yang menurut orang-orang akan mendatangkan energi positif yang menenangkan. Ah, runyam. Semua itu, tak bisa membuat ketenanganku kembali.

Hanya berfikir lalu menghelaa napas, berfikir lagi, mendengkus lagi. Bosan!

Tring ...

Kuraih ponsel yang jaraknya tak jauh dariku laku kuangkat dengan nada malas.

"Halo," kataku.

"Anda sudah siap?" Tanya suara dari seberang sana. Bukan, mungkin dari paviliun Billbiard suamiku.

Tempat semalam kami ....

"Ah, aku lelah," desahku sambil menyibak anak rambut yang menutupi mata sendiri.

"Apakah semalam saya membuatmu tidak bisa tidur, Nyonya?" Balasnya dengan nada yang kutangkap menggoda.

"Kumohon, aku tidak ingin membahas itu," selaku menghindar.

"Jadwal rapatnya jam delapan pagi," katanya mengingatkanku.

"Sungguh aku lelah," balasku.

"Kenapa anda tidak membuka pintu dan membiarkan saya masuk?"

"Apa yang kamu inginkan?" Tanyaku heran.

"Tidak ada. Saya hanya membawakan sarapan Bubur ayam dan mocca low fat kegemaran anda, boleh kan, saya masuk?" 

Dia begitu perhatian bahkan jenis kopi yang aku minum, dan hal-hal sedetail itu membuatku tersentuh dan percikan semangat yang berbunga-bunga dalam hati ini bagai bertunas lagi.

"Terima kasih," kataku sambil menerima pemberiannya dari balik pintu.

"Nikmati sarapan Anda, dan bersiaplah, Nyonya," katanya lembut dengan tatapan yang selalu melelehkan.

"Kurasa aku tidak perlu ke kantor hari ini," imbuhku pelan.

"Apa aku harus memberimu sedikit suntikan semangat?" Katanya sambil mendekat padaku.

"Gak usah." Kututup pintu utama secepat mungkin untuk menghindarinya.

Tok .. tok 

"Hei nyonya, anda tidak sopan menutup pintu ketika orang lain bicara," katanya sambil menggedor pintu, sesaat kudengar langkah kakinya menjauh sambil tertawa kecil dari luar sana.

"Saya tunggu di mobil," teriaknya, namun samar karena posisinya jauh di gerbang sana.

Sedang, aku di sini masih berdiri di balik pintu mengatur detak jantungku yang rasanya ingin melompat dari rongga dada. Andai aku tidak menghindar, mungkin sentuhan lembut dan belaiannya akan membuatku semakin lupa diri dan waktu.

Setidaknya bayang hal itu yang sedang melintas dalam benakku. Mesum, bukan? memalukan.

Mau bagaimana lagi, aku mabuk kepayang, dan tanpa bersikap munafik, kebahagiaan yang kudapatkan darinya berhasil membuat jiwaku yang tadinya meranggas kekeringan bagai di siram hujan yang syahdu.

"Dasar, tua bangka lupa diri," sisi gelap ku mengejek dan itu membuatku tertawa getir, Lagi dan lagi.

*

"Anda cantik," katanya sesaat ketika aku masuk ke mobil dan siap meluncur ke tempat aku bekerja.

"Kamu terlalu sering memuji," balasku dingin.

"Hal yang unik, anda bisa menjadi sosok yang begitu rapuh tapi di sisi lain anda kaku dan dingin, seolah tegar dan baik-baik saja, tapi aku menyukainya."

Blak-blakan sekali dia.

"Kalo kamu masih mengoceh, aku akan turun dan naik taksi online saja."

"Ah, iya, Maaf," imbuhnya pelan lalu hening seketika.

Lima belas menit kemudian, sesaat setelah mobil melaju memasuki jalan bebas hambatan.

Tring ...

Gawaiku berbunyi dan kurogoh tas kerja untuk menjawab panggilan tersebut.

"Halo, selamat pagi," sapaku.

"Halo, Ma. Ini Reza."

"Hai, Nak, apa kabar, Sayang?" Kataku lembut pada putra satu-satunya yang telah membawa cahaya dalam hidupku ini.

"Baik, Ma. Aku ada free Minggu depan, Mama dan Papa bisa datang ke asrama gak?"

"Tentu saja, Sayang, bahkan sesibuk apapun Mama akan sempatkan waktu buat kamu," pungkasku.

"Benarkah, tapi beberapa kali aku hubungi Papa jawabannya selalu sama, gak bisa, sibuk, ada rapat, ada klien dan banyak lagi, alasannya," balas putraku yang cerdas itu dengan anda sendu.

"Mama janji, kali ini kita semua kumpul dan piknik bareng," balasku berjanji.

"Oke kalo gitu, Ma. Aku masuk kelas dulu, ya, daah."

"Dah, Sayang, yang giat belajarnya, peluk dan cium buat Reza selalu dari Mama."

*

Siang hari pukul 14:10

Pertemuan dengan para donatur dan pengurus yayasan telah berakhir dan setelah berpamitan aku memutuskan untuk langsung pulang saja.

"Sabrina," panggil seseorang.

Kutolehkan wajah ke arah panggilan dan kudapati suamiku telah menunggu di depan pintu depan.

"Mas, kok, Mas gak masuk?" Tanyaku.

"Gak usah, kan, sudah ada perwakilan saya. Elina datang kan?"

"Iya, ada."

"Dia memang selalu bisa saya andalkan," kata suamiku sambil tersenyum puas.

"Lalu, Mas mampir kemari ...."

"Untuk menjemputmu."

"Menjemputku?"

"Untuk makan siang, sudah lama kan, gak makan siang bersama?" Katanya.

Jujur dalam hati aku merasa sangat bahagia karena dia mau meluangkan waktu untuk mengajakku makan siang, tapi di sisi lain aku sedikit merasa tak enak hati, entah oleh apa, aku juga tak mengerti.

Dia memilihkan sebuah restoran bernuansa oriental yang cukup mewah dan nyaman untuk lokasi makan siang kami kali ini.

Suasana yang tidak begitu ramai dan sejuk serta gaya penataan restoran beserta ornamen khas negeri tirai bambu membuatku terkesan.

"Selera Mas bagus sekali," pujiku.

"Sesekali ingin mencoba, mari, kita pesan makanan," katanya dengan senyuman. Senyum yang jarang sekali kulihat akhir akhir ini.

*

"Uhm, boleh bicara serius," ucapnya ketika makan siang telah selesai dan ditutup dengan kami menikmati teh manis.

"Boleh, Mas, ada apa?"

"Aku ... uhm ... Kamu dan Reza adalah yang terpenting dalam hidupku, dan tetap akan seperti itu, apapun yang terjadi," ucapnya lembut sambil menyentuh tangan dan menatap mataku.

"Iya ... makasih, tapi ... Tumben sekali," kataku berusaha membalas tersenyum padahal sedang menetralkan sesuatu yang terasa pilu dalam hati ini, sekali lagi, entah kenapa.

"Aku hanya ... Tolong beri aku izin untuk menikah lagi," pungkasnya.

"Apa?" Aku berusaha memastikan pendengaranku.

"Aku tetap akan memprioritaskan kalian," jawabnya bersungguh-sungguh.

Aku terpana mendengar penuturannya sedang dia menundukkan wajahnya sambil terus menggenggam tanganku.

Kutarik perlahan tanganku dari genggamannya dengan hati remuk redam, dengan kekecewaan yang kian menggulung dan menggelegak dalam dada.

"Kenapa, boleh aku tahu alasan, Mas?" tanyaku dengan bibir bergetar.

Ia menghela napas sejenak lalu berkata, "aku hanya jenuh, Sabrina, aku hanya ... Aku merasa tidak bahagia."

"Lalu aku?"

"Kau tetap yang utama."

"Bagaimana mungkin, siapa yang telah mengisi hatimu tanpa sepengetahuanku?" Kataku sambil menyeka dengan air mata yang sudah membasahi pipi.

"Maaf ... Aku tidak menjalin hubungan dengan siapapun aku hanya ingin ...." gumamnya pelan dengan nada sedikit ragu.

"Memang kita dijodohkan, Namun aku selalu berusaha agar Mas mencintaiku. Benarkah tidak ada kesempatan lagi dalam hubungan ini, bahkan jika Reza juga ikut terluka?" Tanyaku dalam kepedihan yang semakin tersayat-sayat. 

Ia kembali membuang napas sambil mengusap wajahnya dengan ekspresi yang sama galaunya denganku.

"Benarkah, ki-kita harus berakhir seperti ini ... benarkah, katakan, Mas?" Ucapku dengan suara yang nyaris terdengar samar.

"Aku tidak bermaksud ingin mengakhiri ...."

"Aku mau pulang Mas," ratapku sambil meraih tas lalu segara meninggalkan tempat itu.

Kuedarkan pandangan ke seluruh sudut jalan dan trotoar, berharap ada taksi atau apa saja yang bisa meluncur membawaku pergi dari restoran itu.

Kuraih ponsel dan kuhubungi Handy.

"Halo," sapanya.

"Jemput aku, di Cing's Cafe and Resto, sekarang juga!" Aku nyaris berteriak padanya.

"Baik."

*

Kuhenyakkan diri ke dalam mobil dengan perasaaan yang luar biasa sakitnya.

"Jalan."

Lalu mobil meluncur membelah jalanan dengan kecepatan sedang berkali sorot mataku yang sedih tertangkangnoleh Handy dari kaca di hadapannya.

Mungkin tak sanggup lagi ku menahan rasa, lima menit berikutnya buliran bening ini meleleh lalu tangis pun meledak pilu di kursi belakang, sepuasnya, sekuat yang aku mampu.

"Setiap kali bertemu Pak Andri anda selalu menangis," ucapnya lirih sambil menyodorkan tissu.

Seperti yang selalu ia lakukan.

Aku tak menanggapi, hanya tergugu sedih dan memang hanya itu satu-satunya yang saat bisa kulakukan.

"Itulah sebabnya ... Aku tak pernah ingin membiarkan Anda sendiri," imbuhnya lagi dengan lembut.

Aku menangis, menumpahkan semua luka dan rasa yang entah apa namanya ini? Nestapa? Neraka? Apalah. Yang pastinya air mata dan uang tak kan bisa membeli rasa sakit yang demikian menusuk ini.

Dan yang lebih menyakitkan lagi, ketika menyadari, Semua ini juga salahku, karma perbuatanku, aku juga menciptakan noda yang sama dalam mahligai yang seharusnya kujaga kesuciannya.

Apa yang harus aku lakukan?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
cerai aja udah beres
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status