Share

Mungkin

Mungkin siang tadi Mas Andri telah menyakitiku, namun sebagai wanita aku harus mencari cara untuk menyelamatkan hubungan kami.  Setidaknya aku punya anak yang bisa membuat Mas andri berfikir ulang untuk meninggalkan kami.

Kutelpon ia dengan rencana mengajaknya menghabiskan waktu berdua saja. Semoga itu bisa memperbaiki hubungan kami.

"Iya, Sabrina," jawabnya

"Mas lagi di mana, aku berencana ke taman, apakah mas mau ikut?"

"Gak usah aku mau istirahat saja."

"Istirahat di mana?"

"Ya tentu saja, hotel. Sabrina," jawabnya santai.

"Padahal ada ruang tempat Mas bisa beristirahat dengan nyaman dan tidak perlu membayar."

Hatiku perih mendengar kalimatku sendiri yang terdengar tercekat di tenggorokan.

"Hmm, aku ... Maaf," gumamnya.

"Aku tahu, aku mengerti Mas." Kupotong ucapannya dan kututup telepon itu sambil menyesali kebodohanku, untuk apa aku meneleponnya dan menawarinya sebuah kesempatan untuk memperbaiki keadaan, toh semuanya sudah di ambang kehancuran.

*

"Kita akan kemana, Nyonya?"

"Ke taman hiburan."

Ia mengernyit dan aku menangkap roman mukanya itu dari balik kaca spionnya, seperti biasa.

"Iya, ke tempat di mana wahana bermain terbuka dan kita bebas menikmatinya sesuka hati."

"Nyonya sehat saja, kan?" Katanya.

Kusibak topi lebar yang kukenakan untuk menutupi wajah dari bias mentari sore.

"Memangnya wajahku kelihatan aneh, dan tidak sehat?" 

"Enggak, sebaliknya Nyonya cantik sekali," balasnya tersenyum lebar.

**

Sesampainya di taman, kami membeli karcis masuk dan berjalan beriringan melihat wahana, taman dan stan penjual Anek macam barang.

"Sini, berjalan di dekatku," kataku sambil mengisyaratkan gerakan tangan.

"Tidak usah Nyonya, gaun nyonya yang lebar dan berbunga-bunga cantik sangat indah jika berkibar dan terlihat dari belakang."

"Apa?!" Kataku terkejut sambil melihat-lihat pakaianku.

"Ha ha ha, gaunnya tidak menerawang kok, tidak usah khawatir."

Aku hanya mencibir dan mencucu melihatnya tertawa.

"Kemarilah, anggap saja hari ini kita libur dan anggap aku mentraktirmu hari ini," kataku sambil menggamit lengannya.

"Ditraktir, traktir apa?"

"Naik wahana bianglala dan kora-kora," jawabku setengah mendekat ke telinganya karena suasana sangat ramai.

"Aku gak mau ditraktir yang itu ... Aku maunya ..." Ia menggantung kalimatnya namun aku mengerti, ketika kutatap senyumnya lantas kucubit pinggangnya hingga ia meringis pedih.

"Auw, ini sakit Nyonya."

"Rasain," jawabku sambil membulatkan mata.

"Anda cantik jika bersikap ramah dan centil seperti ini."

"Diam!"

"Cieee, wajahnya bersemu merah," godanya padaku padahal saat itu kami sedang mengantri di loket dan sebagian orang yang antri di sekitar kami melihat dengan senyum-senyum.

"Sudah, diam," bisikku kali ini dengan melotot.

Tiba-tiba seseorang menyerobot antrian membuat kami sedikit terdorong dan oleng ke kiri, untung saja Handy sigap menyambar pinggangku hingga aku tak jadi terjatuh.

"Duh, Maaf," kataku sedikit malu dan salah tingkah.

"Gak usah malu," bisiknya dan caranya itu membuat jantungku semakin bergetar tak karuan. Ah, sial dia mulai lagi.

Kubalikkan badan dengan segera sambil pura-pura sibuk merogoh saku tas mencari dompet untuk membayar tiket.

Tiba-tiba ia topangkan dagunya di bahuku dari belakang dan memeluk pinggangku dengan mesra. Aku merasa melayang ke udara atas sikapnya.

"Aku mencintaimu," bisiknya lalu mencium pipiku degan lembut.

Tentu saja aku terkejut, antara bahagia dan malu, dan orang-orang sekitar kami serentak mengatakan "ciee ..." Lalu tepuk tangan menggemuruh di udara.

Ya Allah, absubditas macam apa ini?

Tak ayal hal itu membuatku salah tingkah lagi, andai aku masih muda tentu kunikmati adegan ini dengan membalasnya pelukannya mesra, tapi umurku nyaris empat puluh,. Dan kenyataan itu membuatku minder dan memilih kabur saja.

"Nih, uangnya, belikan tiket, aku tunggu di tempat duduk," kataku kau berlari meninggalkannya.

Duh, malunya.

*

"Indah, kan pemandangan dari atas sini," katanya sambil menunjuk pemandangan kota dari atas wahana yang kami naiki. 

Kelap-kelip lampu taman hiburan di tambah tebaran sinar lampu kota di kejauhan sana membuat suasana menjadi semarak di hatiku, apalagi di langit saat ini bulan bersinar dengan indahnya.

"Iya indah sekali."

"Aku ingin selalu melihatmu tersenyum seperti ini, Nyonya," katanya.

"Ah, kau ini," aku kembali tersipu oleh kata-kata dan tatapnya itu. Andai tak berada di wahana yang tinggi ingin sekali aku berlari untuk menyembunyikan semu merah wajahku.

Ia sedikit mendekat dan mengikis jaraknya hingga posisi kami duduk berdampingan. Diraihnya bahuku lalu di rangkulnya lembut.

"Anda, wanita yang kuat dan sangat bijak, Pak Andri sangat beruntung mendapatkan anda," katanya.

"Ah, Mas Andri ...." Desahku, ada perih yang mengiris ketika mengingat namanya.

"Aku tidak ingin membicarakannya."

"Baik," katanya sambil menepuk lembut punggungku lalu sedikit menjauh.

"Tapi ... Aku sungguh penasaran, apa yang membuatmu kini begitu tertarik padamu?" Tanyaku.

"Kau mempesona, dan kuat," jawabnya tetap dengan tatapan lembut itu.

"Darimana kau tahu aku kuat, aku juga kerap menangis tanpa sepengetahuan orang lain," imbuhku pelan sambil membuang pandangan.

"Ya, hanya wanita kuat yang mampu menyembunyikan penderitaannya dan tidak mengumbarnya ke ruang publik untuk mendapatkan simpati," terangnya pelan juga.

"Tapi ... Aku menderita," ratapku sambil menahan air mata.

"Kalo begitu mari berlari, tinggalkan tempat ini," katanya.

"Tidak semudah itu, aku istri seseorang yang punya nama besar dan cukup terkenal, skandal membuat segalanya hancur, dan yang lebih akan menyakitkan adalah reaksi anakku mengetahui semua ini," ratapku lagi sambil menutup wajah dengan kedua belah tangan.

"Maafkan aku nyonya," katanya sambil menyentuh ujung jemariku.

"Iya, tak mengapa."

Aku menyeka air mata dan hening seketika hadir di antara kami.

*

Baru saja turun dan berjalan beberapa langkah dari wahana, tiba-tiba kutangkap sosok yang cukup familiar sedang menaiki kereta dan tertawa bahagia, ia tidak sendiri, melainkan bersama asisten pribadinya, sekretarisnya.

Mereka duduk berdampingan dengan dekat, bahkan sangat dekat, suamiku bahkan merangkul bahu wanita itu dan ketika keretanya menukik di rel yang menurun wanitanya menyembunyikan wajah di dada suamiku dan suamiku membelai rambut panjang itu dengan penuh kasih.

Seketika napasku terasa berat, jantungku seperti ingin pecah dan tenggorokanku terasa kering bahkan untuk mengucap satu kata saja. Hanya mampu berdiri tertegun sambil berlinangan air mata.

"Ada apa Nyonya," kata Handy menyentakku dari belakang.

Sungguh saat ini, aku tak kuasa menjawab pertanyaannya, aku baru saja datang kemari untuk menghibur kesedihanku setelah mendengar Mas Andri ingin poligami. Namun kini kusaksikan pemandangan yang tidak kalah mengerikan seluruh hati dan sendi tubuhku.

"Itu... Pak Andri ... Ehm ... Sebaiknya ayo kita pergi," katanya sambil menarik pergelangan tanganku.

Sungguh aku tak tahan berada di tempat ini sedang kereta itu terus berputar di hadapanku. Kutinggalkan dengan setengah berlari tempat itu, tak peduli pada penglihatan orang atau panggilan supir tampanku itu.

Hingga sampai di lokasi parkir, entah bagaimana bisa tiba-tiba telapak kakiku terasa disetrum lalu perih dan pedih menjalari syaraf-syaraf ku. Ketika kuperiksa tapak sepatu flat milikku, ternyata pecahan beling menembus dan melukai kakiku hingga darahnya mengalir deras..

"Entah siapa yang telah membuang botol minuman dengan sembarangan sehingga menusuk kakiku," gumamku.

Aku yang memang memiliki ketakutan terhadap darah seketika menjerit dan merasa langsung berkunang-kunang melihat cairan kental berbau anyir tersebut dari kakiku.

Lamat-lamat pandanganku mengabur dan kepalaku pusing sehingga semuanya terasa berputar-putar, aku hendak terjatuh ketika kurasakan Handy menangkap tubuhku dan semuanya gelap.

*

"Nyonya," Handy, menepuk-nepuk pipiku.

"Iya,"jawabku lemah sambil mengerjap-erjapkan mata.

"Kita sudah sampai di rumah, mari saya bantu," katanya sambil mengulurkan tangannya.

"Kakiku ... Ah ," kataku meringis.

"Kaki anda sudah diobati dan aku telah membawanya pada klinik kesehatan yang tidak jauh dari taman hiburan.

"Oh, syukurlah terima kasih."

Ia meraih tubuhku degan lembut lalu membantuku berdiri. Lalu sedetik berikutnya ia menggendongku.

*

Di kamar,

"Makasih, Hand," kataku.

Ia menangkap senyum getir yang kugambarkan, perlahan ia maju dan membelai wajahku dengan lembut, lalu didekatnya air mata yang kini menganak sungai di kelopak mataku.

"Maaf, andai aku tak mengajak anda ke tempat hiburan itu, tentu, semuanya akan baik-baik saja," tangkapnya dengan nada sedih.

"Tidak, tidak apa, bukan salahmu," desahku lemah.

Ia turun dan berlutut mensejajarkan posisi dengan diriku yang duduk di ranjang. Perlahan ia menarik kepalaku dan membawanya ke dalam pelukannya.

"Sungguh, aku tak tega melihat Anda selalu tersakiti," bisiknya kali ini air matanya luruh dan itu terasa menetes di pipiku.

"Handy, jangan menangis gara-gara aku," kataku.

"Aku tak bisa melakukan apapun, untukmu," imbuhnya.

Kucium dia dengan lembut di pipinya, "Semua yang kamu lakukan itu sudah yang terbaik Handy," kataku menenangkan.

Ia terdiam sejenak lalu diangkatnya daguku dengan kedua belah tangan hingga membingkai wajahku.

"Aku mencintaimu," bisiknya. Lalu perlahan aliran napasnya semakin terasa mendekat dan menghangatkan wajahku, hingga wangi mint yang khas itu menempel di bibirku, kami saling berciuman, membagi rasa dan bertukar cinta dan kasih sayang. 

Reaksi tubuhku seolah pasrah dengan semua perlakuannya, bagaimana ia menyentuhku, menyusuri tiap inchi bagian tubuh dengan belaian yang membangkitkan hasrat, dia  menyingkap penutupnya dengan mesra bak pengantin baru, dan semuanya ... terjadi begitu saja, dengan indah.

Sejenak rasa sedih itu menguap, untuk sesaat aku tenggelam dalam romansa dan madu asmara bersama pria yang jarak umurnya jauh dariku. 

Sedikitpun aku tak merasa ini hanya pelampiasan atau bentuk pelecehan belaka, mengingat siapa aku dan siapa dia, mungkin aku harus merasa bersalah. Tapi ketika mengingat bahwa masih banyak gadis belia yang kuyakin antri untuk menawarkan cinta pada Handy, sesaat rasa bangga hadir dalam diriku. 

Meski kutahu itu semu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
gak papa umur beda karena cinta tak pandang umur jika handy 30 sedang nyonya 38 berarti seperti Luna dan maxim
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status