Share

Bab 4

Penulis: Melvii_SN
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-10 12:57:04

Rasa penasaran dan tidak enak menjalar ke dalam hati Jihan. Pun berbagai pertanyaan satu per satu bermunculan.

"Apa mungkin Pak Reynand punya penyakit jantung, ya? Atau ini hari konsultasi pertamanya? Tidak mungkin 'kan, seseorang menemui spesialis tertentu hanya untuk ngobrol biasa?"

Spekulasi-spekulasi berputar dalam kepala Jihan. Jika benar Reynand memiliki masalah jantung, kenapa dia tidak memberitahu? Andaikata tahu, maka Jihan bisa menawarkan diri untuk jadi pelayan yang melayani secara lahir saja, dibanding batin.

"Kasihan sekali kalau memang Pak Reynand punya riwayat penyakit jantung," ucapnya pelan.

Menghela napas panjang untuk menepis rasa penasaran yang dirasa kurang berguna. Jihan pun memutuskan melihat ke dalam ruang pemeriksaan sekali lagi, lalu mondar-mandir sambil meremas jari-jemari. Hatinya berdebar tidak karuan, rasa cemas menggumpal di dada dan terasa berat seiring waktu berjalan.

"Ya Allah, kalau ternyata uang ini tidak cukup bagaimana? Semalam aku hanya bekerja dua sesi, jadi cuma pegang uang dua juta."

Dua juta, angka yang cukup besar bagi orang biasa, tetapi bagi Jihan yang harus membayar pemantauan rutin bayi dengan kelainan jantung, jumlah itu terasa sangat kecil. Biaya pemantauan tidaklah murah, bahkan bisa lebih dari yang ia bayangkan.

Jihan menggigit bibirnya, sesekali melirik ke arah pintu yang masih tertutup. Waktu terasa berjalan sangat lambat, seolah-olah sengaja mempermainkan kegelisahannya.

"Ya Allah, semoga aja uang ini cukup. Aku tidak tau mau minjam ke siapa seandainya kurang, bantu ringankan ujian hamba saat ini, Ya Allah. Aamiin." Dengan penuh harap Jihan berdoa.

15 menit berlalu, pintu pun terbuka memperlihatkan seorang perawat keluar sambil mendorong kereta bayi dengan bayinya yang tampak tenang di dalam sana. Jihan segera mendekat, memandangi dengan wajah sendu.

"Biaya pemeriksanya sudah keluar, Bu. Totalnya lima juta rupiah. Silakan lunasi pembayarannya dulu, bayinya hanya boleh dibawa kalau tagihannya sudah diselesaikan."

Deg!

Jihan sontak terdiam, tertunduk dalam. Mencoba menekan rasa perih di dadanya, total biaya yang disebutkan perawat seolah ingin mengoyak hati dan jiwa raganya. Lima juta rupiah? Dimana ia bisa mencari pinjaman tiga juta dalam waktu singkat?

Tangan yang sejak tadi menggenggam pegangan kereta bayi mulai gemetar, "Li-lima juta? Sa-saya tidak pegang uang sebanyak itu, Sus. Saya cuma ... cu-cuma punya dua juta," ungkap Jihan sambil mengeluarkan plastik asoy hitam, dengan hati-hati ia mengeluarkan uang di dalamnya.

"Hanya segini yang saya punya, Sus. Tolong ini aja dulu, ya. Sisanya saya bayar besok," imbuh Jihan seraya menyodorkan plastik asoy ke depan suster.

Akan tetapi, suster tersebut hanya terdiam dengan ekspresi iba. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain mengikuti prosedur rumah sakit, terlebih lagi ia hanya suster magang.

"Maaf, ibu, tapi aturan rumah sakit tidak bisa diubah. Ibu harus lunasi pembayarannya dulu baru bisa membawa bayi pulang," ucap suster dengan nada hati-hati, khawatir menyinggung perasaan Jihan.

"Tapi Sus ... saya benar-benar tidak punya uang. Saya janji pasti akan melunasi, tapi mohon beri waktu dan izinkan saya membawa pulang bayi saya."

"Tidak bisa, Bu. Maaf, saya hanya suster yang menuruti aturan rumah sakit."

"Saya tau, tapi saya mohon sekali ini aja Sus, bantu saya. Ba-bayi ini, bayi ini hanya punya saya Sus ...," ucap Jihan, kali ini disertai Isak tangis. Jihan berusaha menahan suaranya agar tidak pecah, tetapi dadanya terlalu sesak.

"Maaf tidak bisa, Bu. Silakan dilunasi terlebih dahulu pembayarannya." Itu bukan suara suster, melainkan dokter yang menangani pemeriksaan. "Diva, bawa bayi itu ke ruangan khusus," imbuhnya pada suster.

Suster Diva pun mengangguk, dan mendorong kereta bayi untuk dibawa ke ruangan khusus. Tersisa Jihan yang tak bisa berbuat apa-apa, selain menangis dan memohon.

"Dokter, saya berjanji akan membayar tagihannya. Tapi mohon beri saya—"

"Sekali tidak bisa, tetap tidak bisa, Bu. Ini sudah peraturan rumah sakit!"

"Tapi, Dok—"

"Ada apa ini?" Suara itu muncul di tengah pembicaraan. Tidak lain ialah Reynand yang telah keluar dari ruangan dokter spesialis jantung.

Tadinya, Reynand ingin langsung pulang dan menunggu Jihan melaksanakan tugasnya. Namun, sepertinya keinginan itu harus ditunda karena wanita penjual ASI tersebut dilanda masalah.

"Pak Reynand?" sebut Jihan lirih, nyaris tak terdengar. Dia langsung bergerak membenarkan rambut juga mengusap wajah untuk mengurangi efek kusam, walau ia tahu itu tidak akan mengurangi aura letihnya.

"Bukan apa-apa, Pak. Cuma saya sedih karena bayi saya demam tinggi," bohong Jihan, yang membuat ekspresi dokter berubah masam.

"Bukan itu," sela Reynand, "Kamu menghalangi jalan saya," imbuhnya.

Sontak Jihan memandang dirinya yang memang berdiri tepat di depan Reynand. Cepat-cepat Jihan menepi dan meminta maaf sekali lagi. Jihan tahu kalau Reynand tidak akan peduli padanya, karena mereka hanya sebatas atasan dan bawahan.

"Ternyata dia menegur bukan karena penasaran, melainkan karena aku menghalangi jalannya," batin Jihan sedikit sedih. "Kenapa aku seperti mengharap perhatian sih?"

Reynand telah berlalu sekitar tiga meter, menyisakan Jihan dan dokter yang masih diambang ketegangan.

"Ibu kenal dengan beliau? Kenapa tidak minta bantuannya saja? Dia CEO muda dan dermawan. Di kota ini tidak ada yang tidak kenal beliau," ujar Dokter menggeleng kecil, "Kalau ibu jujur dari awal, mungkin kami bisa mencarikan solusi sementara. Ini bukan masalah sepele, Bu. Bayi dengan kelainan jantung bawaan harus mendapat perhatian khusus, bukan ditutupi seperti ini."

Langkah Reynand terhenti, telinganya tidak menangkap dengan jelas pembicaraan dokter dan Jihan, namun bagian kalimat 'bayi mengidap kelainan jantung bawaan' itu terasa sangat lantang menggema.

"Bayi dengan kelainan jantung?"

Pikirannya berputar, memproses kata-kata sang dokter. Walaupun tatapan Reynand fokus ke depan, tapi rahangnya mengeras, matanya menyipit. Ada sesuatu yang mengusik benaknya, sesuatu yang seharusnya tidak perlu ia pedulikan, tetapi kini terus mengganggu.

'Apa jangan-jangan itu bayiku? Bayiku ada bersama Jihan? Apakah mungkin?' Hatinya terus bertanya-tanya, tanpa Reynand sadari jemarinya mengepal di sisi tubuh.

Ada dorongan aneh dalam diri untuk menoleh, untuk memastikan sesuatu, tetapi entah kenapa langkahnya terasa berat.

"Pak? Ada apa?" tegur asistennya menepuk pelan pundak Reynand.

Reynand menyerong badan, menatap Faris penuh harap, "Kamu dengar pembicaraan dokter dan Jihan? Dokter berkata Jihan punya bayi dengan kelainan jantung?"

"Ya. Aku juga mendengarnya. Namun aku masih ragu, karena dari informasi sebelumnya bayi Jihan demam tinggi. Ditambah lagi, Jihan juga mengakuinya."

"Masalahnya ini pernyataan dari dokter langsung, Ris."

"Haruskah aku menanyakan pada dokter itu?"

"Tidak perlu. Aku akan menanyakannya langsung pada Jihan."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sejuta Untuk Sekali Menyusui   Bab 78

    Langit malam menggantung kelam di atas rumah kecil bergaya minimalis milik Nayla. Lampu temaram dari ruang tengah menyorot samar bayangan dua wanita yang duduk berdekapan di atas sofa berlapis kain abu-abu. Aroma teh chamomile menyebar hangat, namun tak mampu menyamarkan hawa getir yang menguar dari tubuh Jihan yang gemetar dalam tangis.Tangis itu bukan sekadar sedih. Ia mengandung luka, sesak, dan ketakutan yang tak terucapkan selama ini."Aku... aku benar-benar tidak kuat, Nayla…" Jihan terisak, bahunya terguncang hebat. "Tadi... saat kami bermain, Rangga menatapku dengan matanya yang polos dan bertanya... 'Bunda, Bunda beneran Bunda Rangga?'” Suaranya pecah, lamat-lamat, seakan satu kata pun menambah beban di dadanya yang nyaris meledak.Nayla, yang sedari tadi duduk di sampingnya, hanya bisa merengkuh tubuh sahabatnya ke dalam pelukan. Dibelainya punggung Jihan pelan-pelan, penuh kelembutan, seperti menenangkan seorang anak yang terluka."Jihan... Rangga tidak bermaksud menyakiti

  • Sejuta Untuk Sekali Menyusui   Bab 77

    Langit mulai menggelap saat mobil Reynand berhenti di gang sempit yang penuh kenangan. Hujan belum turun, tapi awan kelabu menggantung berat di atas kepalanya, seolah ikut merunduk bersama dadanya yang sesak.Ia turun dari mobil, langkahnya terburu, hampir tersandung batu kecil yang mencuat di jalan tanah. Nafasnya memburu. Jaketnya hanya menggantung separuh bahu karena tergesa keluar rumah tadi.Matanya menyapu barisan rumah-rumah kontrakan di kiri jalan. Matanya menangkap satu pintu yang tak asing, berwarna biru pudar dengan bekas goresan di sisi kanan.Di situlah dulu Jihan tinggal. Sendirian. Mengasuh anak. Bertahan hidup. Tanpa siapa pun.Tangannya mengepal."Kenapa kamu balik ke tempat ini, Jihan? Kalau pun iya, kenapa kamu gak bilang?"Langkahnya terhenti tepat di depan pintu kontrakan. Ia mengetuk cepat. Sekali. Dua kali.Tak lama, daun pintu terbuka, menampakkan wajah seorang wanita paruh baya yang sudah akrab di ingatannya."Bu Rani?" sapanya buru-buru, suaranya terdengar be

  • Sejuta Untuk Sekali Menyusui   Bab 76

    Jihan terdiam. Suara tawa yang sejak tadi memenuhi ruangan kini menguap, digantikan senyap yang mencekam dan aneh. Pertanyaan polos itu, yang terucap ringan dari bibir mungil Rangga, menghantamnya lebih keras dari pukulan mana pun."Bunda beneran Bunda Rangga?"Tidak ada yang salah dengan pertanyaannya. Tidak ada nada tuduh, tidak ada makna tersembunyi. Tapi di telinga Jihan, itu terdengar seperti dunia yang menanyakan hakikat dirinya. Menanyakan keberadaannya. Menanyakan apakah cinta yang ia berikan selama ini sah?Ia menunduk, memandang wajah polos Rangga yang penuh harap menanti jawaban. Jihan ingin menjawab “ya,” ingin memeluk anak itu dan meyakinkan bahwa dirinya adalah tempat paling aman di dunia ini. Tapi suara itu tak sanggup keluar. Tenggorokannya tercekat. Jiwanya gamang.Air matanya tak tumpah, tapi dadanya basah oleh duka yang tak memiliki bentuk."Rangga masih kecil, dia tidak tahu," batinnya mencoba menenangkan diri. Tapi justru karena Rangga masih kecil, karena ia belu

  • Sejuta Untuk Sekali Menyusui   Bab 75

    Riko membuka map di tangannya—memperlihatkan beberapa lembar bukti cetak dan dokumen digital yang ia lampirkan. Ia menarik napas sebelum menjelaskan."Berdasarkan hasil penyelidikan lanjutan yang saya lakukan bersama tim, kami menemukan beberapa hal yang mencurigakan terkait penyebaran isu plagiarisme terhadap Ibu Jihan."Reynand mengangguk pelan, menyimak dengan saksama."Awalnya, kami kira penyebar isu ini hanyalah akun-akun anonim biasa. Namun setelah kami telusuri lebih dalam, ternyata terdapat pola konsisten pada waktu unggahan, gaya bahasa, serta kemiripan struktur konten yang disebarkan. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka tidak bekerja sendiri, melainkan terorganisir."Ia menyodorkan satu lembar grafik pada Reynand, "Dari penelusuran alamat IP serta riwayat perangkat, ditemukan bahwa sebagian besar aktivitas berasal dari satu kelompok jaringan yang saling berkaitan. Bahkan, kami mendapati salah satu akun tersebut memiliki koneksi transaksi digital dengan nama yang tidak asing

  • Sejuta Untuk Sekali Menyusui   Bab 74

    "Kenapa, Sayang? Apa hasratmu mulai bangkit, hm?" Alira merasa ini akan jadi kemenangan baginya, ia pun tersenyum miring. Namun tepat saat bibir Alira nyaris menyentuhnya, Reynand mencengkeram kedua bahunya dan menahan tubuh itu agar menjauh."Berhenti!" desisnya keras.Alira terpaku, terengah, matanya menyiratkan keterkejutan dan kekecewaan.Reynand menatap tajam wajah itu, suaranya kini berat dan penuh luka, "Aku memang laki-laki. Tapi bukan yang bisa kau kendalikan dengan tubuhmu. Dulu mungkin iya... tapi sekarang, tidak lagi."Ia meraih jaketnya, membuka pintu, dan menatap wanita itu untuk terakhir kalinya.“Simpan kehormatanmu, Alira, sebelum kau benar-benar kehilangan semuanya.”Lalu ia pergi, meninggalkan aroma godaan dan kenangan yang nyaris menjerumuskannya ke jurang yang sama—jurang yang dulu nyaris menghancurkannya.Begitu pintu tertutup, bunyinya membelah sunyi seperti palu godam yang menghantam jiwanya.Alira berdiri mematung. Lingerie tipis di tubuhnya berkibar tertiup

  • Sejuta Untuk Sekali Menyusui   Bab 73

    Pagi itu, langit cerah menyambut keheningan yang jarang sekali dinikmati oleh Reynand. Hamparan pasir putih membentang luas di hadapannya, ombak menggulung pelan memecah keheningan, menyuguhkan irama alami yang menenangkan. Ia duduk bersandar pada kursi pantai, kemeja putih lengan panjang digulung hingga siku, dua kancing atas terbuka santai. Kacamata hitam bertengger manis di hidung mancungnya, membiarkan sebagian besar cahaya pagi teredam oleh lensa gelap.Di tangannya, segelas kopi hitam masih mengepul. Ia tak menyentuhnya. Hanya menatap jauh ke arah cakrawala, seolah tengah mencari jawaban yang tak kunjung ditemukan di hiruk-pikuk kantor, atau bahkan dalam keheningan rumah yang sekarang terasa berbeda semenjak Jihan terpuruk.Namun ketenangan itu tak bertahan lama.Suara langkah kaki di atas pasir mengusik pikirannya. Tanpa menoleh, Reynand sudah tahu siapa yang mendekat. Aroma parfum manis dengan sentuhan vanila dan melati yang khas itu terlalu familiar untuk dilupakan."Tempatmu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status