Rasa penasaran dan tidak enak menjalar ke dalam hati Jihan. Pun berbagai pertanyaan satu per satu bermunculan.
"Apa mungkin Pak Reynand punya penyakit jantung, ya? Atau ini hari konsultasi pertamanya? Tidak mungkin 'kan, seseorang menemui spesialis tertentu hanya untuk ngobrol biasa?" Spekulasi-spekulasi berputar dalam kepala Jihan. Jika benar Reynand memiliki masalah jantung, kenapa dia tidak memberitahu? Andaikata tahu, maka Jihan bisa menawarkan diri untuk jadi pelayan yang melayani secara lahir saja, dibanding batin. "Kasihan sekali kalau memang Pak Reynand punya riwayat penyakit jantung," ucapnya pelan. Menghela napas panjang untuk menepis rasa penasaran yang dirasa kurang berguna. Jihan pun memutuskan melihat ke dalam ruang pemeriksaan sekali lagi, lalu mondar-mandir sambil meremas jari-jemari. Hatinya berdebar tidak karuan, rasa cemas menggumpal di dada dan terasa berat seiring waktu berjalan. "Ya Allah, kalau ternyata uang ini tidak cukup bagaimana? Semalam aku hanya bekerja dua sesi, jadi cuma pegang uang dua juta." Dua juta, angka yang cukup besar bagi orang biasa, tetapi bagi Jihan yang harus membayar pemantauan rutin bayi dengan kelainan jantung, jumlah itu terasa sangat kecil. Biaya pemantauan tidaklah murah, bahkan bisa lebih dari yang ia bayangkan. Jihan menggigit bibirnya, sesekali melirik ke arah pintu yang masih tertutup. Waktu terasa berjalan sangat lambat, seolah-olah sengaja mempermainkan kegelisahannya. "Ya Allah, semoga aja uang ini cukup. Aku tidak tau mau minjam ke siapa seandainya kurang, bantu ringankan ujian hamba saat ini, Ya Allah. Aamiin." Dengan penuh harap Jihan berdoa. 15 menit berlalu, pintu pun terbuka memperlihatkan seorang perawat keluar sambil mendorong kereta bayi dengan bayinya yang tampak tenang di dalam sana. Jihan segera mendekat, memandangi dengan wajah sendu. "Biaya pemeriksanya sudah keluar, Bu. Totalnya lima juta rupiah. Silakan lunasi pembayarannya dulu, bayinya hanya boleh dibawa kalau tagihannya sudah diselesaikan." Deg! Jihan sontak terdiam, tertunduk dalam. Mencoba menekan rasa perih di dadanya, total biaya yang disebutkan perawat seolah ingin mengoyak hati dan jiwa raganya. Lima juta rupiah? Dimana ia bisa mencari pinjaman tiga juta dalam waktu singkat? Tangan yang sejak tadi menggenggam pegangan kereta bayi mulai gemetar, "Li-lima juta? Sa-saya tidak pegang uang sebanyak itu, Sus. Saya cuma ... cu-cuma punya dua juta," ungkap Jihan sambil mengeluarkan plastik asoy hitam, dengan hati-hati ia mengeluarkan uang di dalamnya. "Hanya segini yang saya punya, Sus. Tolong ini aja dulu, ya. Sisanya saya bayar besok," imbuh Jihan seraya menyodorkan plastik asoy ke depan suster. Akan tetapi, suster tersebut hanya terdiam dengan ekspresi iba. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain mengikuti prosedur rumah sakit, terlebih lagi ia hanya suster magang. "Maaf, ibu, tapi aturan rumah sakit tidak bisa diubah. Ibu harus lunasi pembayarannya dulu baru bisa membawa bayi pulang," ucap suster dengan nada hati-hati, khawatir menyinggung perasaan Jihan. "Tapi Sus ... saya benar-benar tidak punya uang. Saya janji pasti akan melunasi, tapi mohon beri waktu dan izinkan saya membawa pulang bayi saya." "Tidak bisa, Bu. Maaf, saya hanya suster yang menuruti aturan rumah sakit." "Saya tau, tapi saya mohon sekali ini aja Sus, bantu saya. Ba-bayi ini, bayi ini hanya punya saya Sus ...," ucap Jihan, kali ini disertai Isak tangis. Jihan berusaha menahan suaranya agar tidak pecah, tetapi dadanya terlalu sesak. "Maaf tidak bisa, Bu. Silakan dilunasi terlebih dahulu pembayarannya." Itu bukan suara suster, melainkan dokter yang menangani pemeriksaan. "Diva, bawa bayi itu ke ruangan khusus," imbuhnya pada suster. Suster Diva pun mengangguk, dan mendorong kereta bayi untuk dibawa ke ruangan khusus. Tersisa Jihan yang tak bisa berbuat apa-apa, selain menangis dan memohon. "Dokter, saya berjanji akan membayar tagihannya. Tapi mohon beri saya—" "Sekali tidak bisa, tetap tidak bisa, Bu. Ini sudah peraturan rumah sakit!" "Tapi, Dok—" "Ada apa ini?" Suara itu muncul di tengah pembicaraan. Tidak lain ialah Reynand yang telah keluar dari ruangan dokter spesialis jantung. Tadinya, Reynand ingin langsung pulang dan menunggu Jihan melaksanakan tugasnya. Namun, sepertinya keinginan itu harus ditunda karena wanita penjual ASI tersebut dilanda masalah. "Pak Reynand?" sebut Jihan lirih, nyaris tak terdengar. Dia langsung bergerak membenarkan rambut juga mengusap wajah untuk mengurangi efek kusam, walau ia tahu itu tidak akan mengurangi aura letihnya. "Bukan apa-apa, Pak. Cuma saya sedih karena bayi saya demam tinggi," bohong Jihan, yang membuat ekspresi dokter berubah masam. "Bukan itu," sela Reynand, "Kamu menghalangi jalan saya," imbuhnya. Sontak Jihan memandang dirinya yang memang berdiri tepat di depan Reynand. Cepat-cepat Jihan menepi dan meminta maaf sekali lagi. Jihan tahu kalau Reynand tidak akan peduli padanya, karena mereka hanya sebatas atasan dan bawahan. "Ternyata dia menegur bukan karena penasaran, melainkan karena aku menghalangi jalannya," batin Jihan sedikit sedih. "Kenapa aku seperti mengharap perhatian sih?" Reynand telah berlalu sekitar tiga meter, menyisakan Jihan dan dokter yang masih diambang ketegangan. "Ibu kenal dengan beliau? Kenapa tidak minta bantuannya saja? Dia CEO muda dan dermawan. Di kota ini tidak ada yang tidak kenal beliau," ujar Dokter menggeleng kecil, "Kalau ibu jujur dari awal, mungkin kami bisa mencarikan solusi sementara. Ini bukan masalah sepele, Bu. Bayi dengan kelainan jantung bawaan harus mendapat perhatian khusus, bukan ditutupi seperti ini." Langkah Reynand terhenti, telinganya tidak menangkap dengan jelas pembicaraan dokter dan Jihan, namun bagian kalimat 'bayi mengidap kelainan jantung bawaan' itu terasa sangat lantang menggema. "Bayi dengan kelainan jantung?" Pikirannya berputar, memproses kata-kata sang dokter. Walaupun tatapan Reynand fokus ke depan, tapi rahangnya mengeras, matanya menyipit. Ada sesuatu yang mengusik benaknya, sesuatu yang seharusnya tidak perlu ia pedulikan, tetapi kini terus mengganggu. 'Apa jangan-jangan itu bayiku? Bayiku ada bersama Jihan? Apakah mungkin?' Hatinya terus bertanya-tanya, tanpa Reynand sadari jemarinya mengepal di sisi tubuh. Ada dorongan aneh dalam diri untuk menoleh, untuk memastikan sesuatu, tetapi entah kenapa langkahnya terasa berat. "Pak? Ada apa?" tegur asistennya menepuk pelan pundak Reynand. Reynand menyerong badan, menatap Faris penuh harap, "Kamu dengar pembicaraan dokter dan Jihan? Dokter berkata Jihan punya bayi dengan kelainan jantung?" "Ya. Aku juga mendengarnya. Namun aku masih ragu, karena dari informasi sebelumnya bayi Jihan demam tinggi. Ditambah lagi, Jihan juga mengakuinya." "Masalahnya ini pernyataan dari dokter langsung, Ris." "Haruskah aku menanyakan pada dokter itu?" "Tidak perlu. Aku akan menanyakannya langsung pada Jihan."Jihan menggenggam erat plastik asoy di tangannya, dengan ujung jari tampak memucat. Saat ini, ia sedang berdiri di depan meja administrasi, matanya kembali melirik angka yang tertera di lembar tagihan, lima juta. Selisih tiga juta rasanya seperti jurang tak bertepi. Ditambah lagi, uang yang ada di tangannya hanya 1,9 juta. Awalnya, Jihan terkejut mengapa bisa demikian, padahal jelas-jelas semalam ia diberi upah senilai dua juta. Tetapi setelah diingat-ingat kembali, Jihan sadar bahwa ia telah menggunakan seratus ribu uang itu, untuk membeli keperluan penting seperti popok, tisu basah, dan makanan sehat untuk dirinya sendiri. Bukan karena Jihan egois apalagi ingin memanjakan diri, melainkan karena ia butuh nutrisi yang cukup untuk menjaga kesehatan dan memastikan produksi ASI tetap lancar. "Ya Allah, uangku benar-benar kurang banyak. Bagaimana ini?" Tangan Jihan gemetar sambil merogoh saku celana, berharap menemukan uang terselip, tetapi hasilnya nihil. Hanya ada beberapa lembar
Rasa penasaran dan tidak enak menjalar ke dalam hati Jihan. Pun berbagai pertanyaan satu per satu bermunculan. "Apa mungkin Pak Reynand punya penyakit jantung, ya? Atau ini hari konsultasi pertamanya? Tidak mungkin 'kan, seseorang menemui spesialis tertentu hanya untuk ngobrol biasa?" Spekulasi-spekulasi berputar dalam kepala Jihan. Jika benar Reynand memiliki masalah jantung, kenapa dia tidak memberitahu? Andaikata tahu, maka Jihan bisa menawarkan diri untuk jadi pelayan yang melayani secara lahir saja, dibanding batin. "Kasihan sekali kalau memang Pak Reynand punya riwayat penyakit jantung," ucapnya pelan. Menghela napas panjang untuk menepis rasa penasaran yang dirasa kurang berguna. Jihan pun memutuskan melihat ke dalam ruang pemeriksaan sekali lagi, lalu mondar-mandir sambil meremas jari-jemari. Hatinya berdebar tidak karuan, rasa cemas menggumpal di dada dan terasa berat seiring waktu berjalan. "Ya Allah, kalau ternyata uang ini tidak cukup bagaimana? Semalam aku hanya
Satu jam rapat telah berlalu tanpa jeda, akhirnya Reynand bisa duduk tenang di kursi kerjanya. Dengan gerakan lambat, ia menyandarkan punggung ke sandaran kursi kulit yang dingin. Pikirannya masih berkutat pada laporan keuangan yang tadi telah dipresentasikan. Namun, lebih daripada itu ada satu hal lain yang juga cukup mengganggu. Tidak lain mengenai reaksi Jihan saat menerima telepon entah dari siapa, dimana yang Reynand simpulkan itu pasti suatu masalah besar bagi seorang ibu. "Kenapa aku memikirkannya terus-menerus?" Reynand berbicara pelan, tidak habis pikir dengan keinginan-keinginan dalam dirinya, yang ingin tahu apa yang Jihan hadapi sekarang. Meraih hape di atas meja yang memperlihatkan beranda kontak Jihan, berulang kali Reynand membuka-tutup layar, memandangi dengan seksama.Haruskah ia meneleponnya? Di tengah kebimbangan yang melanda, tiba-tiba sebuah ketukan pintu terdengar nyaring. Segera Reynand mempersilakan masuk, dan membenarkan posisi duduknya agar terlihat
Seketika wajah Jihan pucat seperti kapur. Keringat dingin mulai membasahi pelipis, jemarinya bergetar hebat. Bahkan tumitnya sempat hendak berbalik arah, namun tubuhnya justru kaku di tempat. "Sa-saya menyusui Bapak? Ta-tapi Bapak ... seorang pria dewasa?" Jihan tergagap. "Ba-Bapak bahkan sudah bisa ngopi sendiri," ujar Jihan benar-benar shock. Namun, wajah Reynand tetap tak berubah. Tatapan matanya tajam dan serius. Tidak ada sedikit pun tanda bahwa ini adalah sebuah lelucon. "Saya tidak suka mengulang hal yang sudah saya jelaskan." Saat itu juga Jihan merasa dunianya runtuh, otaknya mendadak ngeblank untuk memikirkan penjelasan masuk akal, tetapi sulit. "Tapi Pak, ini sangat tidak manusiawi. Ma-maksud saya, saya kira saya akan menyusui bayi. Bayi, Pak! Yang masih imut dan suka gumoh. Bukan Bapak, yang jelas-jelas punya kumis dan kemungkinan sudah vaksin booster tiga kali!" Tanpa sadar, Jihan mulai berceloteh karena panik. Reynand menaikkan sebelah alis, lalu berdiri dar
"Satu juta per sesi." Glek!Jihan Andari menelan ludah mendengar ucapan pria itu. Berdiri di sisi ranjang, tubuhnya tiba-tiba terasa kebas. Ia menatap pria yang duduk bersandar itu dengan rasa takut. Pasalnya Reynand Davidson bukanlah pria biasa, melainkan CEO dari perusahaan start up bergengsi lagi terkemuka. Bukan tanpa alasan mengapa Jihan berada di sana, semua tidak terlepas dari tuntutan hidup serta tanggung jawab sebagai orangtua. Sebenarnya, Jihan sudah menikah dan memiliki seorang buah hati, nahasnya Tuhan lebih menyayangi putranya dengan mengambil kembali tepat di usia tiga bulan. Saat itu, Jihan sangat terpuruk, syukurnya tidak berlangsung lama setelah dia menemukan bayi lain, terlantar dalam tong sampah, nyaris tak bernapas, juga kedinginan. Naluri seorang ibu membuatnya mengambil dan mengasuh bayi tersebut, walau dengan harus mengorbankan pernikahan. Jihan diceraikan karena suaminya tak menyukai keberadaan bayi, yang divonis mengidap penyakit kelainan jantung terse