Share

BIBIT PELAKOR

Author: Ayuwine
last update Last Updated: 2025-06-11 23:06:53

Namun, aku segera menghela napas panjang, memejamkan mata perlahan, mencoba menahan gejolak di dada. Aku harus pintar menghadapi perempuan seperti dia. Bukan dengan kemarahan aku bisa membuatnya kalah, tapi dengan ketenangan.

Genggaman tanganku yang semula mengepal erat mulai melonggar perlahan.

Aku menatap suamiku. Ia hanya diam, menatapku penuh kekhawatiran, bahkan kepalanya ikut menggeleng pelan.

Pandangan mataku lalu beralih kepada Hana. Perempuan cempreng itu menatapku dengan angkuh, seolah dia sudah menang. Hmph, jangan harap!

“Ya, wajar saja dia mengingkari janjinya. Soalnya, perempuannya seperti kamu—cempreng, banyak gaya, sombong, angkuh. Atau...” Aku berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan nada lebih pelan, “...mungkin ada alasan lain yang lebih menyakitkan hingga akhirnya membuat suamiku batal menikahimu.”

Ucapanku tenang tapi tajam, membuat matanya membulat kaget. Bibirnya terkatup rapat, bergetar menahan amarah. Sementara itu, aku hanya tersenyum centil, men
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Sekarang Giliranku   KEHANGATAN

    Aku masih diam, merenung mengingat kejadian semalam. Bahkan aku tak menyangka, perempuan itu berani datang ke rumah—melawanku, bahkan mencoba menyingkirkanku... tepat di depanku. Aku menghela napas panjang. Rasanya menyesal... bukan karena menikah dengan David—tidak, bukan itu. Aku mencintainya. Tapi... keluarganya. “Kak.” Aku menoleh. Tasya sudah berdiri di depan pintu, tampak menunggu izin untuk masuk. Aku mengangguk pelan. Dengan langkah hati-hati, ia mendekatiku. “Kak... maafin aku,” lirihnya membuatku kembali menatapnya. “Sudahlah, Tasya. Lupakan semuanya. Rasanya aku malas mengungkit luka lama,” ucapku, berusaha tegar. “Perempuan semalam... siapa?” tanyanya pelan. Aku kembali menoleh ke arahnya. Menghela napas panjang, aku mulai menceritakan semua yang aku tahu dan lihat—semuanya. Ia menggenggam tanganku, meremasnya dengan lembut. Aku tahu, ia sedang berusaha menguatkanku. "Kita lawan, Kak," bisiknya penuh tekad. Aku mengerutkan dahi, lalu menggeleng pelan. "Nggak,

  • Sekarang Giliranku   BEKINGAN NYA KUAT

    "Sayang... apa ada Hana di sana?" Suara itu membuatku menegang seketika. David menatapku, matanya sempat berpindah ke arah Hana. Aku bisa melihat jelas—Hana tersenyum sinis penuh kemenangan ke arahku, seolah menikmati kekacauan yang terjadi. "Iya," jawab David singkat, tanpa ekspresi. Dari ujung telepon, suara wanita itu kembali terdengar, lebih tajam kali ini. "Dia tamu Mama! Jangan berani mengusir dia, awas aja kalau—" Belum sempat suara itu menyelesaikan kalimatnya, David memotong dengan nada tajam namun tenang, membuat lawan bicaranya terdiam seketika. "Tidak. Jangan pernah masukkan orang lain ke dalam kehidupanku." Suara David terdengar tegas, menusuk hingga ke hati. "Hana adalah orang lain. Mama juga sudah tahu kalau aku sudah menikah lagi. Dan jika Mama tidak suka dengan istriku, setidaknya hargai aku sebagai anak Mama. Jangan lupakan Vivi... Dia akan sangat sedih kalau melihat Bundanya tersakiti." Ya... dia adalah mertuaku. Ibu dari David. Sejak awal, b

  • Sekarang Giliranku   BIBIT PELAKOR

    Namun, aku segera menghela napas panjang, memejamkan mata perlahan, mencoba menahan gejolak di dada. Aku harus pintar menghadapi perempuan seperti dia. Bukan dengan kemarahan aku bisa membuatnya kalah, tapi dengan ketenangan. Genggaman tanganku yang semula mengepal erat mulai melonggar perlahan. Aku menatap suamiku. Ia hanya diam, menatapku penuh kekhawatiran, bahkan kepalanya ikut menggeleng pelan. Pandangan mataku lalu beralih kepada Hana. Perempuan cempreng itu menatapku dengan angkuh, seolah dia sudah menang. Hmph, jangan harap! “Ya, wajar saja dia mengingkari janjinya. Soalnya, perempuannya seperti kamu—cempreng, banyak gaya, sombong, angkuh. Atau...” Aku berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan nada lebih pelan, “...mungkin ada alasan lain yang lebih menyakitkan hingga akhirnya membuat suamiku batal menikahimu.” Ucapanku tenang tapi tajam, membuat matanya membulat kaget. Bibirnya terkatup rapat, bergetar menahan amarah. Sementara itu, aku hanya tersenyum centil, men

  • Sekarang Giliranku   MEMBERI KESEMPATAN

    Tiba-tiba saja ia langsung bersujud di kakiku. Refleks, aku mundur satu langkah, menatapnya dengan heran. Mataku kemudian beralih pada suamiku yang berdiri di sampingku. Dengan tenang, ia meneluk kedua pundakku, seolah menyuruhku untuk sabar dan tidak terbawa emosi. “Kak… maafin aku, Kak…” isaknya terdengar menyedihkan. “Aku… aku benar-benar minta maaf. Tolong, Kak… tolong maafin aku. Ini demi kelangsungan hidupku…” lanjutnya tersendat-sendat. Aku makin bingung. Apa maksudnya dengan "demi kelangsungan hidup"? “Maafkan dia. Saya mohon…” Suara berat seorang pria tiba-tiba terdengar dari arah pintu. Aku menoleh cepat. Siapa dia? Kenapa dia ikut campur? Dan kenapa semua ini terasa begitu membingungkan? Ah… kepalaku benar-benar pusing... . . . Kami duduk di ruang tamu. Malam itu terasa gerah, entah mengapa, padahal udara begitu dingin menusuk kulit. Keringat dingin membasahi pelipisku, bukan karena panas, tapi karena gelisah yang menggantung di udara. "Tenangkan d

  • Sekarang Giliranku   HARUSKAH AKU MEMAFKAN NYA?

    Hari sudah sore, tapi suamiku belum juga pulang. Baiklah, aku akan memasak makanan kesukaannya terlebih dahulu. Saat aku sudah memakai celemek dan siap untuk memasak, tiba-tiba saja Vivi berlari ke arahku dan memelukku erat. “Bunda… Vivi ngantuk…” ucapnya dengan mata yang sudah sayu, bahkan menguap beberapa kali. Aku tersenyum melihat kemanjaannya. Padahal, usianya sudah cukup besar, tapi sikap manjanya selalu berhasil membuatku gemas. “Baiklah... mari kita mendongeng,” ucapku lembut sambil membuka kembali celemek yang baru saja kukenakan. “Bi!” aku berteriak memanggil Bi Nina—ia adalah asisten rumah tangga di rumah ini. Bi Nina berlari tergopoh-gopoh menghampiriku. “Maaf ya, Bi, ganggu sebentar. Tolong buatkan menu masakan dari salmon, ya.” “Iya, Nyah,” jawabnya sambil mengangguk pelan. Aku tersenyum lega, lalu menuntun Vivi menuju kamar. Sambil berjalan, tak lupa aku melirik jam dinding. Astaga! Sudah jam tujuh malam. Kukira masih sore... Kami sempat berc

  • Sekarang Giliranku   KARMA TAK AKAN SALAH JALAN

    Sementara itu, di desa tempat tinggalnya, Tasya hidup bahagia bersama Udin—bukan karena harta, tapi karena cinta tulus yang diberikan sang suami. Meski begitu, hinaan dari masa lalu belum sepenuhnya hilang. Bahkan seseorang yang dulu begitu dekat dengannya, kini terasa asing. Tasya benar-benar tak memiliki siapa pun selain Udin, satu-satunya orang yang tetap menggenggam tangannya dalam gelap. Pernah, salah seorang warga menegur Udin dengan ucapan yang menusuk hati. “Loh, sayang banget kamu, Din. Wajah tampan begitu kok mau-maunya sama Tasya… Memang sih cantik, tapi kan bekas orang!” Ucapan itu terdengar jelas di telinga Tasya. Tapi ia tak berkata apa-apa. Hatinya perih, namun ia hanya diam, menelan bulat-bulat semua hinaan itu. Hingga suatu hari, Tasya mengandung. Udin yang memang telah lama mendambakan keturunan pun sangat bahagia. Kegembiraannya ia tunjukkan dengan cara sederhana tapi penuh makna—ia membagi-bagikan gorengan buatan istrinya secara gratis untuk warga desa.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status