Home / Rumah Tangga / Sekarang Giliranku / PENTING NYA BERSYUKUR

Share

PENTING NYA BERSYUKUR

Author: Ayuwine
last update Last Updated: 2025-04-06 10:11:19

Aku masih betah tinggal di apartemen, dan aku juga masih penasaran dengan tingkah laku adik dan mantan suamiku. Ternyata, mereka masih betah di sana, bahkan lebih mesra tanpa memikirkan bagaimana perasaanku di sini. Aku menghela napas panjang. Benar-benar iblis mereka!

Aku tidak ingin rugi. Dengan cepat, aku memposting rumah mewahku itu dan menjualnya di beberapa sosial mediaku. Bahkan, aku mencantumkan nomor ponselku. Semoga saja ada yang berminat membeli. Peduli apa aku dengan adikku sekarang? Biarkan saja dia menjadi gelandangan. Apa mungkin pacarnya akan menampungnya?

Aku rasa Raka dipecat dari pekerjaannya, karena salah satu teman Raka yang memang akrab denganku memberitahukan berita heboh di kantornya.

"Kamu tahu, Nad? Raka, suamimu, dipecat dengan tidak hormat di kantornya, bahkan tanpa pesangon," ujarnya saat itu lewat sambungan telepon.

"Dia bukan suamiku lagi, Tin. Dia mantan suamiku," jawabku kala itu, membenarkan perkataannya.

Bukan hanya itu saja, orang tua Raka menelponku, tetapi aku belum siap untuk mengangkatnya. Biarkan saja. Aku ingin melihat bagaimana mereka menanggapi masalah putra kesayangannya.

Padahal, dia mendapatkan hidup enak itu dari siapa kalau bukan dariku? Hidup berkecukupan itu adalah hasil dari gajiku, karena gaji Raka benar-benar mentok, bahkan untuk mengisi token listrik saja.

Sebulan sudah aku melewati badai hidupku. Akhirnya, aku bisa kembali bekerja. Rekan kerjaku semuanya memeluk dan merangkulku, menyemangatiku, membuat hatiku semakin lega. Ternyata, begitu banyak orang yang menyayangiku.

"Welcome, Nadia! Semangat! Kami akan selalu ada untukmu," ucap Nia, teman kerjaku, yang langsung memelukku.

Aku hanya menanggapi dengan senyum khasku.

Jam kerjaku sudah habis. Saat aku hendak masuk ke dalam mobil, ponselku berdering. Dengan cepat, aku mengeceknya. Ternyata, Aldo. Senyum tipis terukir di bibirku. Tanpa ragu, aku segera mengangkatnya.

"Nad, kamu sudah pulang?" tanyanya di seberang sana, membuat hatiku sedikit dag-dig-dug tak karuan.

"Belum nih, Do. Baru aja mau pulang," jawabku singkat, berusaha menyembunyikan rasa gugupku.

"Tunggu di sana, aku ke sana sekarang ya?" tanyanya. Aku terdiam, terpaku. Untuk apa? tanyaku dalam hati.

"Tapi aku bawa mobil sendiri, Do," jawabku.

"Aku akan pakai taksi," jawabnya singkat, lalu mematikan telpon sepihak.

Beberapa menit aku menunggu. Akhirnya, sebuah taksi berhenti tepat di depanku. Senyumku mengembang, namun seketika luntur saat melihat Resti turun dari pintu lain.

Dengan cepat, aku kembali tersenyum, menyembunyikan sedikit rasa kecewaku.

"Kalian serasi sekali. Cepatlah menikah," godaku sambil terkekeh kecil.

Resti hanya tersenyum malu-malu, sementara wajah Aldo justru berubah muram. Ada apa dengannya? Bukankah dia menyukai Resti?

Kami sudah sampai di apartemenku. Dengan sigap, aku menyiapkan minuman untuk mereka berdua.

"Kenapa kamu malah pindah lagi ke sini, Nad? Kenapa tidak terus menginap saja di rumah Resti? Aku khawatir meninggalkanmu sendirian di apartemen ini," omel Aldo tiba-tiba. Matanya melotot, menandakan bahwa dia benar-benar kecewa. Aku hanya terkekeh pelan sambil memberikan segelas jus jeruk yang baru saja aku buat.

"Aku malu, Do. Aku tidak ingin lebih lama merepotkan Resti. Dia juga butuh privasi, kan?" jawabku, sedikit menoleh ke arah Resti.

Sementara itu, dia yang kutatap hanya tersenyum tipis dan tertunduk.

Ya, dua hari aku menginap di kosan Resti. Aku kira dia benar-benar tulus, ternyata aku salah. Dengan berani, dia berkata padaku, "Jauhi Aldo. Jangan terlalu percaya diri. Kamu seorang janda, mana mau Aldo sama kamu? Dia hanya kasihan."

Aku sedikit tersentak. Di balik wajah lugunya, ternyata tersimpan kebencian padaku. Namun, aku tidak pernah memasukkannya ke dalam hati. Esoknya, aku langsung pamit pulang.

"Aku lihat kalian jarang mengobrol. Apa kalian masih belum akrab?" tanya Aldo sambil memperhatikan wajah kami berdua.

Dengan cepat aku tertawa. "Tidak seperti itu, Do. Mungkin Resti masih malu-malu," jawabku cepat.

Dia hanya mengangguk pelan. Aku sebenarnya muak, tapi bagaimana lagi? Aldo selalu menempel dengan Resti, sementara aku masih memerlukan jasanya.

"Bagaimana, Do? Apa rumahku sudah ada yang minat?" tanyaku pelan, berusaha mengalihkan obrolan.

Aldo menoleh, menatapku lekat. Entah tatapan apa itu, yang terpenting aku tidak akan mudah terbawa perasaan olehnya, walaupun dalam hati aku mulai tertarik padanya. Jangan tanya kenapa aku mudah move on dari Raka. Aku sudah benar-benar melupakannya. Pantang bagiku masih menyimpan perasaan pada pengkhianat seperti dia. Aku move on jelas karena ilfeel.

"Belum ada, Nad. Sabar saja, ya. Yang terpenting nanti hasilnya memuaskan!" jawabnya, mencoba menenangkanku.

Aku hanya mengangguk pelan.

Kami mengobrol ke sana kemari sambil tertawa riang, cukup melupakan masalah hidupku. Saat pukul empat sore, mereka berdua pamit pulang. Aku sudah menawarkan diri untuk mengantarkan mereka, tapi Aldo menolak dan memilih memesan taksi saja.

Ah... Aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidur yang empuk. Aku menyalakan TV, menonton siaran kartun. Tiba-tiba teringat bahwa aku belum mandi. Dengan cepat, aku bangun kembali dan berjalan ke arah kamar mandi. Sengaja aku tidak mematikan TV—biarkan saja, di rumah ini aku hanya sendirian. Kadang juga aku sedikit takut.

Selesai mandi, aku mengeringkan rambut dengan handuk tipis. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Saat aku meraihnya dan melihat layar, nama Tasya terpampang di sana. Aku mengerutkan dahi. Kenapa dia menelepon? Ada apa? Aku ingin mengabaikannya, tapi sisi lain dari hatiku sebagai seorang kakak membuatku tidak tega. Dengan malas, aku mengangkatnya.

"Kak... Kakak di mana? Kenapa kakak tidak pulang? Warga sudah beberapa kali mengusir kami. Bantu aku, Kak!" rengeknya di seberang sana.

Dengan cepat aku menjauhkan ponsel dari telinga. Aku sangat muak. Jijik. Orang seperti apa dia? Tidak tahu malu!

Dengan tangan gemetar dan suara yang serak menahan tangis, aku menjawab, "Kenapa kau meminta bantuan padaku? Mintalah bantuan pada kekasih gelapmu itu. Bukankah dia masih punya rumah di kampung? Pergi sana ke rumahnya!"

"Orang tuanya sudah menolak kami, Kak. Bahkan dengan lantang mereka membandingkan aku denganmu," rengeknya lagi, tangisnya semakin pecah.

Aku tertawa renyah, meskipun air mataku sudah jatuh, terjun. "Itulah risikonya, Tasya. Telan saja sendiri!" ucapku datar sebelum akhirnya mematikan telepon secara sepihak.

Aku jatuh ambruk ke lantai, ponsel pun terlepas dari tanganku begitu saja. Lagi-lagi aku rapuh. Sisi lain dari diriku membenci Tasya karena dia telah menghancurkan rumah tanggaku, tapi di sisi lain... dia tetap adikku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sekarang Giliranku   DIA KIRA AKU BODOH

    Hari ini, hariku terasa seperti dulu. Adikku yang kusayang sudah kembali ke setelan awal. Harusnya aku tidak menikah dengan pria sialan itu. Aku terus berjalan menyusuri trotoar. Beruntung, pasien tidak terlalu banyak dan jam kerjaku selesai siang ini. Aku berniat membeli kue kesukaan adikku dan memberinya kejutan bahwa aku pulang lebih awal. Aku terkekeh pelan, membayangkan bagaimana Tasya begitu bahagia saat aku membeli kue yang sama di hari ulang tahunnya yang ke-17. Setelah memesannya, aku segera pergi. dengan cepat masuk ke dalam mobil dan mulai mengemudi dengan kecepatan sedang. Aku tidak ingin terterburu-buru, takut terjadi sesuatu yang tidak aku inginkan. Beberapa menit berlalu, akhirnya sampai di apartemenku. Dengan senyum mengembang, aku menenteng cake yang harganya cukup mahal itu. Namun, senyumku langsung luntur saat aku masuk dan melihat betapa berantakannya apartemenku. Sisa kacang, minuman, dan bungkus cemilan berserakan di mana-mana, begitu mengganggu pengl

  • Sekarang Giliranku   TASYA YANG TIDAK PERNAH BERUBAH

    Nadia terbangun dengan senyum menghiasi wajah cantiknya. Pagi ini, dia merasa ceria dan bersemangat. Saat menoleh ke samping, dia melihat adiknya, Tasya, masih terlelap. Dengan lembut, Nadia mengelus kepala adiknya, matanya memancarkan kasih sayang. Tak bisa dipungkiri, Nadia memang memiliki hati yang lapang. Jika orang lain mungkin sudah enggan berhubungan dengan adik yang telah merebut suaminya dan menjadikannya seorang janda, Nadia justru menerimanya kembali dengan tulus. "Dia sudah dewasa, tapi bagiku dia tetap adik kecilku," lirihnya sambil menatap Tasya dengan penuh kasih. Dia bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi untuk bersiap berangkat kerja. "Kak, maaf, aku kesiangan. Aku belum sempat menyiapkan sarapan," ujar Tasya yang baru saja bangun, suaranya terdengar sedikit menyesal. Nadia, yang sedang menyisir rambutnya, menoleh dan tersenyum. "Tidak apa-apa, Dek. Wajar saja, semalaman kita nonton film horor sampai susah tidur. Kakak bisa sarapan di lua

  • Sekarang Giliranku   DIA BERUSAHA MEMPERBAIKI SEMUANYA

    "Kak, terima kasih sudah menampungku lagi," ucapnya dengan senyum manis. Aku muak sekali, tapi aku tidak bisa menolak. Kepada siapa lagi dia akan pergi jika bukan padaku? Aku adalah satu-satunya keluarga yang dia miliki di dunia ini. Sebenarnya, kami masih memiliki keluarga dari pihak ibu maupun ayah, tetapi entah ke mana mereka pergi. Sejak orang tua kami meninggal, mereka menghilang begitu saja. Malang sekali nasibku. "Jaga sikap dan perilakumu. Aku bukan kakak yang lemah lembut seperti dulu. Cepat cari pekerjaan! Mau sampai kapan kamu menumpang di rumahku?" tanyaku tegas, menatapnya dengan dingin dan menusuk. Dia tertegun, menatapku dengan tidak percaya. Matanya berkaca-kaca. Aku memalingkan pandangan ke arah lain. "Dia hanya bisa menangis dan menangis!" bisikku pelan, tapi cukup keras agar dia bisa mendengar. "Kak, aku janji aku akan berubah," jawabnya dengan senyum yang terlihat dipaksakan. "Apakah kakak lapar? Aku bisa memasak sesuatu untukmu." Dia berjalan menuju dapur

  • Sekarang Giliranku   CEROBOH

    Dan yap, akhirnya Tasya tinggal di kontrakan dekat apartemenku. Jangan bilang aku keterlaluan—kalian tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh adik sendiri. Sejujurnya, aku tidak tega. Tapi rasanya sulit sekali untuk kembali seperti dulu. Setiap kali aku menatap wajahnya, bayangan mereka di ranjang kembali menghantuiku. Adik kecil yang kubesarkan dengan penuh kasih sayang kini telah menjadi orang asing bagiku. Aku menghela napas, membalikkan badan ke arah tempat tidur. Hujan deras di luar jendela menambah sesak di dadaku. Ibu… Ayah… maafkan Nadia. Nadia tidak bisa menjaga Tasya lagi. Biarkan dia mandiri. Dia sudah dewasa, biarkan dia menanggung kesalahannya sendiri. Aku tahu, mungkin butuh waktu lama sampai aku bisa menerima kehadirannya kembali. Dengan tubuh yang terasa berat, aku merebahkan diri di tempat tidur. Mataku perlahan terpejam, hingga akhirnya aku tenggelam dalam lelap, meski hati dan pikiranku masih terasa penuh sesak. --- Saat aku terbangun,

  • Sekarang Giliranku   LUKA YANG TAK BISA SAMBUH

    Aku tertegun, menaikkan satu alis. Entahlah, aku sama sekali tidak terketuk mendengar penderitaannya. Namun, ada sedikit yang membuatku geram—kenapa Raka harus menendang perut Tasya saat dia sedang mengandung benihnya? "Lalu, kenapa kamu bisa tahu alamatku?" tanyaku dingin, seolah-olah aku sedang berbicara dengan orang asing. Tangisnya yang pecah seketika terhenti. Dia menatapku dengan tatapan nanar. Aku dapat melihat dari matanya, mungkin itu tatapan tidak menyangka. "Kak... aku tidak mengenalimu saat ini, kau sangat asing sekarang," lirihnya dengan suara bergetar. Aku berdehem sebelum menjawab perkataannya, mengalihkan pandangan, berusaha mengontrol emosiku. Aku berdiri dari dudukku, melangkah menuju jendela apartemenku. "Inilah risikonya, Tasya. Bukan hanya kehilangan janin, tapi kau juga sekarang telah kehilangan kakakmu sendiri," jawabku menahan tangis. Air mataku luruh begitu saja. Dengan cepat aku menyekanya dengan kasar. Aku tidak ingin terlihat rapuh di depannya.

  • Sekarang Giliranku   AKU SAKIT TAPI BERUSAHA DIAM

    Aku hanya diam mematung di depan pintu, sedikit ragu untuk membukanya. Namun, saat melihat wajahnya begitu pucat, hatiku bergetar. Bagaimanapun, mendiang Ibu pernah berpesan agar aku selalu rukun dengan saudara. Aku menghela napas panjang, berusaha mengesampingkan rasa sakit yang masih mengendap di hatiku. Dengan tangan bergetar, akhirnya aku membuka pintu. Benar saja, di sana Tasya berdiri dengan wajah pucat. Tangannya memegangi perut seolah menahan rasa sakit. "Masuklah," ucapku datar. Tidak ada perkataan manis, tidak ada tatapan kasih sayang seperti dulu. Tasya berjalan ringkih melewatiku dan langsung duduk di atas sofa empuk di ruang tamuku. Aku tidak langsung mengikutinya. Sebelum itu, aku memastikan pintu apartemen terkunci. "Kak... maafkan aku, Kak..." lirihnya pelan saat melihatku duduk di hadapannya. Aku tidak bereaksi apa pun. Pandanganku tetap dingin dan datar. "Untuk apa?" tanyaku acuh. Dia menangis terisak, lalu berlutut di kakiku. Aku hanya diam, sama sek

  • Sekarang Giliranku   UNTUK APA DIA DATANG

    Saat aku sedang fokus menyetir, ponselku berdering. Aku menoleh sekilas dan melihat nama Aldo di layar. Dengan cepat, aku mengangkatnya. "Ya, Aldo?" tanyaku tanpa basa-basi. Suasana hatiku sedang kacau sekarang. "Kamu kenapa? Ada masalah?" Suaranya terdengar khawatir. Aku mengerutkan dahi, merasa heran dengan kepekaannya. "Kenapa bicaramu sedikit berbeda, Nadia? Apa kamu baik-baik saja?" sambungnya lagi, membuatku tertegun. Astaga, kenapa dia bisa sepeka ini? Belum sempat aku menjawab, Aldo kembali bersuara. "Aku sedang di kafe Cempaka, dekat rumahmu. Kemarilah sebentar saja, siapa tahu aku bisa memperbaiki suasana hatimu." Tanpa sadar, sudut bibirku terangkat. Aku berdehem, mencoba mengalihkan rasa gugupku. "Baiklah, aku juga belum makan. Aku dalam perjalanan pulang, jadi aku akan mampir sebentar," jawabku cepat. "Baiklah, hati-hati di jalan, Nad. Aku sudah memesan makanan kesukaanmu, tenang saja, aku traktir." Suaranya terdengar antusias. Aku terkekeh pelan menanggapi sikapny

  • Sekarang Giliranku   TERNYATA SUDAH SEJAUH ITU

    Aku tergesa-gesa, sedikit berlari masuk ke dalam ruanganku. Hari ini ada operasi yang membuatku sedikit kelabakan karena aku terlambat. Suasana di ruangan pasien sedikit riuh. Aku melihat seorang perempuan terengah-engah dan memegang perutnya. Penampilannya sangat kacau. "Kenapa dia?" tanyaku pada suster yang lain. "Dia keguguran dan harus segera dioperasi," jawabnya dengan cepat. Oke. Aku memakai baju operasiku dan perlengkapan lainnya. Saat aku mendekat ke arah perempuan itu, jantungku berdetak cepat. Mataku hampir melompat. "Tasya?" lirihku pelan. "Ayo, Dok, mulai," bisik suster sambil sedikit menyenggol lenganku. Aku terkesiap kaget. Beruntung aku memakai masker sehingga Tasya tidak mengenaliku sebagai kakaknya. Operasi berjalan lancar. Anak yang dikandungnya sudah berusia lima bulan, berkelamin perempuan. Tunggu, lima bulan? Bukankah aku baru memergoki Tasya dua bulan yang lalu? Ternyata mereka sudah selama itu menjalin hubungan. Aku terduduk lemas di ruanganku.

  • Sekarang Giliranku   PENTING NYA BERSYUKUR

    Aku masih betah tinggal di apartemen, dan aku juga masih penasaran dengan tingkah laku adik dan mantan suamiku. Ternyata, mereka masih betah di sana, bahkan lebih mesra tanpa memikirkan bagaimana perasaanku di sini. Aku menghela napas panjang. Benar-benar iblis mereka! Aku tidak ingin rugi. Dengan cepat, aku memposting rumah mewahku itu dan menjualnya di beberapa sosial mediaku. Bahkan, aku mencantumkan nomor ponselku. Semoga saja ada yang berminat membeli. Peduli apa aku dengan adikku sekarang? Biarkan saja dia menjadi gelandangan. Apa mungkin pacarnya akan menampungnya? Aku rasa Raka dipecat dari pekerjaannya, karena salah satu teman Raka yang memang akrab denganku memberitahukan berita heboh di kantornya. "Kamu tahu, Nad? Raka, suamimu, dipecat dengan tidak hormat di kantornya, bahkan tanpa pesangon," ujarnya saat itu lewat sambungan telepon. "Dia bukan suamiku lagi, Tin. Dia mantan suamiku," jawabku kala itu, membenarkan perkataannya. Bukan hanya itu saja, orang tua Ra

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status