Home / Rumah Tangga / Sekarang Giliranku / TERNYATA SUDAH SEJAUH ITU

Share

TERNYATA SUDAH SEJAUH ITU

Author: Ayuwine
last update Last Updated: 2025-04-07 20:34:09

Aku tergesa-gesa, sedikit berlari masuk ke dalam ruanganku. Hari ini ada operasi yang membuatku sedikit kelabakan karena aku terlambat. Suasana di ruangan pasien sedikit riuh. Aku melihat seorang perempuan terengah-engah dan memegang perutnya. Penampilannya sangat kacau.

"Kenapa dia?" tanyaku pada suster yang lain.

"Dia keguguran dan harus segera dioperasi," jawabnya dengan cepat.

Oke. Aku memakai baju operasiku dan perlengkapan lainnya. Saat aku mendekat ke arah perempuan itu, jantungku berdetak cepat. Mataku hampir melompat.

"Tasya?" lirihku pelan.

"Ayo, Dok, mulai," bisik suster sambil sedikit menyenggol lenganku.

Aku terkesiap kaget. Beruntung aku memakai masker sehingga Tasya tidak mengenaliku sebagai kakaknya.

Operasi berjalan lancar. Anak yang dikandungnya sudah berusia lima bulan, berkelamin perempuan.

Tunggu, lima bulan? Bukankah aku baru memergoki Tasya dua bulan yang lalu? Ternyata mereka sudah selama itu menjalin hubungan.

Aku terduduk lemas di ruanganku. Seseorang mengetuk pintu, lalu masuklah Raka. Kami berdua tertegun.

"Nadia?" lirihnya pelan dengan suara bergetar.

Aku hanya tersenyum tipis, berusaha profesional dengan pekerjaanku.

"Silakan Pak, duduk. Saya akan menjelaskan kondisi istri Anda," ucapku, sedikit menekankan setiap perkataan.

"Nad..." lirihnya lagi, hampir berbisik. Dia masih tertegun di sana tanpa melangkah sedikit pun.

Aku berdehem sebelum melanjutkan perkataanku. Sungguh, ini sangat sakit.

"Baiklah, Pak. Saya paham dengan rasa terkejut Anda. Saya turut prihatin. Anak Anda perempuan, dan jasadnya telah dimakamkan oleh pihak rumah sakit. Sementara itu, istri Anda masih dalam pemulihan pascaoperasi," jawabku dengan suara datar dan dingin.

Raka hanya terdiam membisu. Air matanya jatuh begitu saja. Di sini, di rumah sakit, aku hanya melihatnya sebagai orang lain, bukan sebagai mantan suamiku.

"Sabar ya, Pak. Semoga nanti diberi momongan lagi," ucapku lagi, berusaha menguatkannya, walaupun hatiku begitu sakit saat tahu ternyata Tasya telah mengandung benih Raka—kakak iparnya sendiri.

"Maafkan aku, Nad. Apa mungkin ini adalah karmaku?" ujarnya dengan suara bergetar.

"Bapak bisa ambil obatnya di apotek depan. Saya sudah berikan resepnya," jawabku singkat, tidak menanggapi omongannya yang membuatku mual. Jika ini bukan di rumah sakit, mungkin aku sudah mencabik-cabiknya sekarang juga. Jika aku seorang iblis, mungkin tadi aku akan membunuh Tasya saat di meja operasi.

Astaga... bisakah sekali saja hidupku tenang? Kenapa selalu ada mereka di hadapanku?

Saat jam kerjaku selesai, dengan cepat aku mengemasi barang-barangku dan berjalan cepat ke arah parkiran. Namun, sialnya, lagi-lagi Raka sudah berada di depan mobilku. Aku menghela napas kasar. Sudah cukup! Aku benar-benar muak dengan mereka. Benar-benar tidak punya malu.

"Nad, bantu kami, Nad," ucapnya tiba-tiba, menyatukan kedua tangannya, seperti mengemis di depanku.

Aku hanya diam, menaikkan satu alis.

"Aku tidak punya biaya rumah sakit untuk pengobatan Tasya," ucapnya lagi dengan nada menyedihkan.

Ingin rasanya aku tertawa, tapi aku masih punya hati.

"Terus?" tanyaku dengan nada sedingin es.

"Dia adikmu, Nad. Apa kamu tidak kasihan padanya? Kami sudah diusir warga. Belum lagi kamu menjual rumah tanpa sepengetahuan kami! Dan kamu tahu, Nad, adikmu, Tasya, sekarang tinggal di kosan kecil!" jelasnya panjang lebar, seolah-olah dia adalah korban di sini.

Aku menyipitkan kedua mataku. "Kenapa kamu berkata seperti itu? Tasya sudah jadi tanggung jawabmu. Aku sudah memberikannya padamu. Ingat, Tasya adalah perempuan manja yang tidak bisa melakukan pekerjaan rumah!" jelasku, memberi tahu—siapa tahu dia belum sadar.

"Jujur saja, aku lelah dengan sikapnya, Nad. Dia adikmu, tapi kelakuannya berbanding terbalik denganmu. Selama ini aku yang mengurus rumah dan bekerja, sementara dia hanya ongkang-ongkang kaki. Saat itu aku tidak bisa berbuat apa-apa karena Tasya mengandung. Aku tidak mungkin mengorbankan anakku," lirihnya pelan.

Mendengarnya, aku ingin tertawa terbahak-bahak. Rasakan! Salah sendiri!

Aku tersenyum, menyilangkan kedua tangan di dada. "Sudah selesai bicaranya?" tanyaku tegas. "Jika sudah, mohon minggir. Aku ingin pulang!" lanjutku dengan tawa kecil.

Dia mengepalkan tangannya, giginya bergemertuk. Aku hanya tertawa kecil, mengejek rasa marahnya.

"Benar-benar tidak punya hati kamu, Nadia! Dia adikmu!" teriaknya dengan keras.

"Berbahagialah dengan pilihanmu, Raka. Kau telah membuang berlian demi sebuah batu kerikil," ejekku, berjalan anggun melewatinya begitu saja. Aku bisa melihat wajahnya yang begitu marah, namun aku tidak peduli.

Beruntung, ruangan ini terbuka, jadi aku tidak terlalu takut untuk melawan.

"Setidaknya lihatlah adikmu, Nad. Dia butuh dukungan dari orang terdekatnya!" ucapnya, membuat langkahku terhenti.

Aku menoleh sekilas dan tersenyum sinis. "Maaf, aku sudah menganggapnya orang lain!" Setelah itu, aku berbalik arah dan kembali berjalan menuju mobil mewahku.

Namun, baru beberapa langkah, Raka kembali membuka mulutnya.

"Kau tahu, Nad? Kau memang keras kepala dan penuh ego! Tak heran, tak ada laki-laki yang bisa bertahan dengan wanita seperti dirimu!" katanya dengan nada penuh emosi.

Aku memutar tubuhku perlahan, menatapnya tajam. "Dan kau tahu, Raka? Tak heran hidupmu selalu kacau karena kau tidak bisa membedakan mana emas dan mana besi tua!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sekarang Giliranku   DIA KIRA AKU BODOH

    Hari ini, hariku terasa seperti dulu. Adikku yang kusayang sudah kembali ke setelan awal. Harusnya aku tidak menikah dengan pria sialan itu. Aku terus berjalan menyusuri trotoar. Beruntung, pasien tidak terlalu banyak dan jam kerjaku selesai siang ini. Aku berniat membeli kue kesukaan adikku dan memberinya kejutan bahwa aku pulang lebih awal. Aku terkekeh pelan, membayangkan bagaimana Tasya begitu bahagia saat aku membeli kue yang sama di hari ulang tahunnya yang ke-17. Setelah memesannya, aku segera pergi. dengan cepat masuk ke dalam mobil dan mulai mengemudi dengan kecepatan sedang. Aku tidak ingin terterburu-buru, takut terjadi sesuatu yang tidak aku inginkan. Beberapa menit berlalu, akhirnya sampai di apartemenku. Dengan senyum mengembang, aku menenteng cake yang harganya cukup mahal itu. Namun, senyumku langsung luntur saat aku masuk dan melihat betapa berantakannya apartemenku. Sisa kacang, minuman, dan bungkus cemilan berserakan di mana-mana, begitu mengganggu pengl

  • Sekarang Giliranku   TASYA YANG TIDAK PERNAH BERUBAH

    Nadia terbangun dengan senyum menghiasi wajah cantiknya. Pagi ini, dia merasa ceria dan bersemangat. Saat menoleh ke samping, dia melihat adiknya, Tasya, masih terlelap. Dengan lembut, Nadia mengelus kepala adiknya, matanya memancarkan kasih sayang. Tak bisa dipungkiri, Nadia memang memiliki hati yang lapang. Jika orang lain mungkin sudah enggan berhubungan dengan adik yang telah merebut suaminya dan menjadikannya seorang janda, Nadia justru menerimanya kembali dengan tulus. "Dia sudah dewasa, tapi bagiku dia tetap adik kecilku," lirihnya sambil menatap Tasya dengan penuh kasih. Dia bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi untuk bersiap berangkat kerja. "Kak, maaf, aku kesiangan. Aku belum sempat menyiapkan sarapan," ujar Tasya yang baru saja bangun, suaranya terdengar sedikit menyesal. Nadia, yang sedang menyisir rambutnya, menoleh dan tersenyum. "Tidak apa-apa, Dek. Wajar saja, semalaman kita nonton film horor sampai susah tidur. Kakak bisa sarapan di lua

  • Sekarang Giliranku   DIA BERUSAHA MEMPERBAIKI SEMUANYA

    "Kak, terima kasih sudah menampungku lagi," ucapnya dengan senyum manis. Aku muak sekali, tapi aku tidak bisa menolak. Kepada siapa lagi dia akan pergi jika bukan padaku? Aku adalah satu-satunya keluarga yang dia miliki di dunia ini. Sebenarnya, kami masih memiliki keluarga dari pihak ibu maupun ayah, tetapi entah ke mana mereka pergi. Sejak orang tua kami meninggal, mereka menghilang begitu saja. Malang sekali nasibku. "Jaga sikap dan perilakumu. Aku bukan kakak yang lemah lembut seperti dulu. Cepat cari pekerjaan! Mau sampai kapan kamu menumpang di rumahku?" tanyaku tegas, menatapnya dengan dingin dan menusuk. Dia tertegun, menatapku dengan tidak percaya. Matanya berkaca-kaca. Aku memalingkan pandangan ke arah lain. "Dia hanya bisa menangis dan menangis!" bisikku pelan, tapi cukup keras agar dia bisa mendengar. "Kak, aku janji aku akan berubah," jawabnya dengan senyum yang terlihat dipaksakan. "Apakah kakak lapar? Aku bisa memasak sesuatu untukmu." Dia berjalan menuju dapur

  • Sekarang Giliranku   CEROBOH

    Dan yap, akhirnya Tasya tinggal di kontrakan dekat apartemenku. Jangan bilang aku keterlaluan—kalian tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh adik sendiri. Sejujurnya, aku tidak tega. Tapi rasanya sulit sekali untuk kembali seperti dulu. Setiap kali aku menatap wajahnya, bayangan mereka di ranjang kembali menghantuiku. Adik kecil yang kubesarkan dengan penuh kasih sayang kini telah menjadi orang asing bagiku. Aku menghela napas, membalikkan badan ke arah tempat tidur. Hujan deras di luar jendela menambah sesak di dadaku. Ibu… Ayah… maafkan Nadia. Nadia tidak bisa menjaga Tasya lagi. Biarkan dia mandiri. Dia sudah dewasa, biarkan dia menanggung kesalahannya sendiri. Aku tahu, mungkin butuh waktu lama sampai aku bisa menerima kehadirannya kembali. Dengan tubuh yang terasa berat, aku merebahkan diri di tempat tidur. Mataku perlahan terpejam, hingga akhirnya aku tenggelam dalam lelap, meski hati dan pikiranku masih terasa penuh sesak. --- Saat aku terbangun,

  • Sekarang Giliranku   LUKA YANG TAK BISA SAMBUH

    Aku tertegun, menaikkan satu alis. Entahlah, aku sama sekali tidak terketuk mendengar penderitaannya. Namun, ada sedikit yang membuatku geram—kenapa Raka harus menendang perut Tasya saat dia sedang mengandung benihnya? "Lalu, kenapa kamu bisa tahu alamatku?" tanyaku dingin, seolah-olah aku sedang berbicara dengan orang asing. Tangisnya yang pecah seketika terhenti. Dia menatapku dengan tatapan nanar. Aku dapat melihat dari matanya, mungkin itu tatapan tidak menyangka. "Kak... aku tidak mengenalimu saat ini, kau sangat asing sekarang," lirihnya dengan suara bergetar. Aku berdehem sebelum menjawab perkataannya, mengalihkan pandangan, berusaha mengontrol emosiku. Aku berdiri dari dudukku, melangkah menuju jendela apartemenku. "Inilah risikonya, Tasya. Bukan hanya kehilangan janin, tapi kau juga sekarang telah kehilangan kakakmu sendiri," jawabku menahan tangis. Air mataku luruh begitu saja. Dengan cepat aku menyekanya dengan kasar. Aku tidak ingin terlihat rapuh di depannya.

  • Sekarang Giliranku   AKU SAKIT TAPI BERUSAHA DIAM

    Aku hanya diam mematung di depan pintu, sedikit ragu untuk membukanya. Namun, saat melihat wajahnya begitu pucat, hatiku bergetar. Bagaimanapun, mendiang Ibu pernah berpesan agar aku selalu rukun dengan saudara. Aku menghela napas panjang, berusaha mengesampingkan rasa sakit yang masih mengendap di hatiku. Dengan tangan bergetar, akhirnya aku membuka pintu. Benar saja, di sana Tasya berdiri dengan wajah pucat. Tangannya memegangi perut seolah menahan rasa sakit. "Masuklah," ucapku datar. Tidak ada perkataan manis, tidak ada tatapan kasih sayang seperti dulu. Tasya berjalan ringkih melewatiku dan langsung duduk di atas sofa empuk di ruang tamuku. Aku tidak langsung mengikutinya. Sebelum itu, aku memastikan pintu apartemen terkunci. "Kak... maafkan aku, Kak..." lirihnya pelan saat melihatku duduk di hadapannya. Aku tidak bereaksi apa pun. Pandanganku tetap dingin dan datar. "Untuk apa?" tanyaku acuh. Dia menangis terisak, lalu berlutut di kakiku. Aku hanya diam, sama sek

  • Sekarang Giliranku   UNTUK APA DIA DATANG

    Saat aku sedang fokus menyetir, ponselku berdering. Aku menoleh sekilas dan melihat nama Aldo di layar. Dengan cepat, aku mengangkatnya. "Ya, Aldo?" tanyaku tanpa basa-basi. Suasana hatiku sedang kacau sekarang. "Kamu kenapa? Ada masalah?" Suaranya terdengar khawatir. Aku mengerutkan dahi, merasa heran dengan kepekaannya. "Kenapa bicaramu sedikit berbeda, Nadia? Apa kamu baik-baik saja?" sambungnya lagi, membuatku tertegun. Astaga, kenapa dia bisa sepeka ini? Belum sempat aku menjawab, Aldo kembali bersuara. "Aku sedang di kafe Cempaka, dekat rumahmu. Kemarilah sebentar saja, siapa tahu aku bisa memperbaiki suasana hatimu." Tanpa sadar, sudut bibirku terangkat. Aku berdehem, mencoba mengalihkan rasa gugupku. "Baiklah, aku juga belum makan. Aku dalam perjalanan pulang, jadi aku akan mampir sebentar," jawabku cepat. "Baiklah, hati-hati di jalan, Nad. Aku sudah memesan makanan kesukaanmu, tenang saja, aku traktir." Suaranya terdengar antusias. Aku terkekeh pelan menanggapi sikapny

  • Sekarang Giliranku   TERNYATA SUDAH SEJAUH ITU

    Aku tergesa-gesa, sedikit berlari masuk ke dalam ruanganku. Hari ini ada operasi yang membuatku sedikit kelabakan karena aku terlambat. Suasana di ruangan pasien sedikit riuh. Aku melihat seorang perempuan terengah-engah dan memegang perutnya. Penampilannya sangat kacau. "Kenapa dia?" tanyaku pada suster yang lain. "Dia keguguran dan harus segera dioperasi," jawabnya dengan cepat. Oke. Aku memakai baju operasiku dan perlengkapan lainnya. Saat aku mendekat ke arah perempuan itu, jantungku berdetak cepat. Mataku hampir melompat. "Tasya?" lirihku pelan. "Ayo, Dok, mulai," bisik suster sambil sedikit menyenggol lenganku. Aku terkesiap kaget. Beruntung aku memakai masker sehingga Tasya tidak mengenaliku sebagai kakaknya. Operasi berjalan lancar. Anak yang dikandungnya sudah berusia lima bulan, berkelamin perempuan. Tunggu, lima bulan? Bukankah aku baru memergoki Tasya dua bulan yang lalu? Ternyata mereka sudah selama itu menjalin hubungan. Aku terduduk lemas di ruanganku.

  • Sekarang Giliranku   PENTING NYA BERSYUKUR

    Aku masih betah tinggal di apartemen, dan aku juga masih penasaran dengan tingkah laku adik dan mantan suamiku. Ternyata, mereka masih betah di sana, bahkan lebih mesra tanpa memikirkan bagaimana perasaanku di sini. Aku menghela napas panjang. Benar-benar iblis mereka! Aku tidak ingin rugi. Dengan cepat, aku memposting rumah mewahku itu dan menjualnya di beberapa sosial mediaku. Bahkan, aku mencantumkan nomor ponselku. Semoga saja ada yang berminat membeli. Peduli apa aku dengan adikku sekarang? Biarkan saja dia menjadi gelandangan. Apa mungkin pacarnya akan menampungnya? Aku rasa Raka dipecat dari pekerjaannya, karena salah satu teman Raka yang memang akrab denganku memberitahukan berita heboh di kantornya. "Kamu tahu, Nad? Raka, suamimu, dipecat dengan tidak hormat di kantornya, bahkan tanpa pesangon," ujarnya saat itu lewat sambungan telepon. "Dia bukan suamiku lagi, Tin. Dia mantan suamiku," jawabku kala itu, membenarkan perkataannya. Bukan hanya itu saja, orang tua Ra

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status