Saat aku sedang fokus menyetir, ponselku berdering. Aku menoleh sekilas dan melihat nama Aldo di layar. Dengan cepat, aku mengangkatnya.
"Ya, Aldo?" tanyaku tanpa basa-basi. Suasana hatiku sedang kacau sekarang. "Kamu kenapa? Ada masalah?" Suaranya terdengar khawatir. Aku mengerutkan dahi, merasa heran dengan kepekaannya. "Kenapa bicaramu sedikit berbeda, Nadia? Apa kamu baik-baik saja?" sambungnya lagi, membuatku tertegun. Astaga, kenapa dia bisa sepeka ini? Belum sempat aku menjawab, Aldo kembali bersuara. "Aku sedang di kafe Cempaka, dekat rumahmu. Kemarilah sebentar saja, siapa tahu aku bisa memperbaiki suasana hatimu." Tanpa sadar, sudut bibirku terangkat. Aku berdehem, mencoba mengalihkan rasa gugupku. "Baiklah, aku juga belum makan. Aku dalam perjalanan pulang, jadi aku akan mampir sebentar," jawabku cepat. "Baiklah, hati-hati di jalan, Nad. Aku sudah memesan makanan kesukaanmu, tenang saja, aku traktir." Suaranya terdengar antusias. Aku terkekeh pelan menanggapi sikapnya sebelum akhirnya menutup telepon. Saat itu, aku teringat bagaimana awal kedekatanku dengan Aldo. Kami begitu dekat hingga teman-teman kuliah mengira kami sepasang kekasih. Namun, entah kenapa, dia tidak pernah memberiku kepastian. Lalu, datanglah Raka dengan segala rayuannya, dan sialnya, aku terjebak. Hah, sudahlah! Kenapa pikiranku malah melayang ke masa lalu? Aku menginjak pedal gas sedikit lebih kencang, mencoba mengalihkan pikiranku dan kembali fokus menyetir. --- Beberapa menit kemudian, aku akhirnya tiba di depan kafe kesukaanku dan Aldo. Setelah memarkirkan mobil, aku berjalan anggun menuju pintu kafe. "Tring!" Suara bel berbunyi saat aku membuka pintu. Aku mengedarkan pandangan, dan mataku langsung menangkap sosok Aldo. Tapi... dia tidak sendirian. Di sebelahnya ada Resti. Seketika langkahku terasa berat. Aku melangkah perlahan. Saat Resti melihatku, dia dengan cepat bersikap manis pada Aldo. Apa dia sedang berusaha memanasiku? Aku tersenyum manis dan menyapa mereka. "Wah, kalian sangat serasi... Pasti sudah menunggu lama, ya? Maaf kalau aku terlambat," ucapku, lalu menarik kursi di sebelah Aldo dan duduk dengan santai. Aldo menoleh, menatapku lekat. Ini kesempatanku untuk membalas kelakuan Resti. Aku tersenyum manis menanggapi tatapan itu, lalu melirik Resti sekilas. Wajahnya terlihat kesal—tidak suka. Ingin sekali rasanya aku tertawa. "Ah, tidak apa-apa. Aku tidak akan lelah menunggumu, kok. Oh iya, aku sudah memesan makanan dan minuman kesukaanmu. Cepatlah makan, pasti kamu sangat lelah setelah menangani para pasien itu," ujarnya panjang lebar, membuatku sedikit gemas. "Ah, makasih, Aldo," jawabku dengan lembut, lalu mulai menyuapkan makanan ke mulutku. "Apa ada masalah?" tanyanya tiba-tiba saat aku sedang menikmati hidanganku. Beruntung, makananku sudah habis. Aku menelan suapan terakhir dan meminum sisa jus jerukku yang tinggal satu tegukan lagi, sementara Aldo masih setia menunggu jawabanku. "Tasya datang. Dia mengalami keguguran, dan aku yang mengoperasinya," jawabku enteng tanpa menunjukkan ekspresi apa pun. "Apa?" Resti dan Aldo spontan berkata bersamaan. Aku sedikit terkekeh. Ternyata mereka sangat kompak. "Apa yang lucu, Nad?" tanya Resti, sedikit bingung. Aku menoleh ke arahnya dan menjawab dengan terkekeh, "Kalian sangat kompak," sambil mengangkat kedua ibu jariku. "Nadia..." panggil Aldo dengan suara lembut, namun menekankan setiap kata-katanya. "Jangan bercanda, Nad," sambungnya lagi sambil meraih tanganku. Seketika aku terdiam. Tubuhku membeku. Pandanganku beralih pada tangannya yang menggenggam tanganku dengan lembut. Perasaan apa ini? Kenapa aku begitu gugup? Aku menatapnya lekat-lekat. Beberapa detik berlalu tanpa ada percakapan, hanya tatapan yang saling mengunci. Namun, suara dehaman Resti membuyarkan momen itu. Dengan cepat, aku menarik tanganku dari genggamannya. "Maaf, tapi aku merasa sedikit diabaikan di sini," ucap Resti, membuka suara. Aku menundukkan pandanganku, merasa malu. Sementara itu, Aldo hanya melirik Resti sekilas, lalu kembali memandangku. "Kamu begitu kuat, Nad," ucapnya, membuatku kembali mendongakkan kepala menatapnya. "Aku tahu kamu pasti sangat terluka. Kamu memiliki hati yang kuat dan lembut. Dalam rasa sakitmu, kamu bahkan masih bisa menyembuhkan Tasya." Suaranya lirih, seolah ikut merasakan lukaku. "Aku... aku hanya menjalankan tugasku, Do. Profesi sebagai dokter membuatku harus mengesampingkan rasa sakitku. Bukan aku yang kuat, aku hanya berusaha profesional," jawabku dengan suara bergetar, menahan tangis. "Aku salut padamu, Nad," ucapnya, matanya tampak berkaca-kaca. Aku hanya menanggapinya dengan senyuman. Kenapa ada rasa hangat di hatiku? Tidak mungkin... Apakah aku masih menyukainya? Aku sampai lupa bahwa di antara kami ada Resti. Dia menekuk wajahnya, mungkin merasa marah karena terabaikan. Resti tiba-tiba berdiri dari duduknya, sorot matanya terlihat muak padaku. “Sepertinya aku harus pulang, Do,” ucapnya dengan nada dingin. Aku mendongak, menatapnya dengan perasaan bersalah. “Kenapa terburu-buru, Res?” tanyaku basa-basi. “Sepertinya aku mengganggu kalian,” jawabnya dengan tatapan menusuk ke arahku. Aku terdiam, bingung harus menjawab apa. “Do, aku pulang ya?” ulangnya lagi, kali ini menatap Aldo. “Baiklah, hati-hati di jalan, Res,” jawab Aldo enteng, seolah tidak mempermasalahkannya. Dia memang sangat dingin dan cuek. Dari sudut mataku, kulihat tangan Resti mengepal. Dia berjalan pergi dengan langkah menghentak, menunjukkan kemarahannya. Dengan cepat, aku menyenggol lengan Aldo. “Kejar dia cepat, Do!” perintahku. Aldo menoleh, dahinya mengerut. “Kenapa harus dikejar?” tanyanya bingung. “Kamu ini, Do! Dia temanmu, kayaknya dia marah deh! Kamu sih malah fokus sama aku!” omelku, merasa bersalah pada Resti. “Loh, aku cuma ngajak kamu ke sini. Saat aku sedang duduk, dia tiba-tiba datang. Katanya ketemu tidak sengaja,” jelasnya dengan nada sedikit acuh. Akhirnya, pukul 10 malam, aku sudah sampai di apartemenku. Dengan cepat aku melangkah menuju kamar mandi. Hari ini aku ingin berendam air hangat sebentar untuk merilekskan seluruh tubuhku. Saat aku memejamkan mata, menikmati air hangat yang merendam tubuhku, pikiranku kembali pada Tasya, adikku. Seketika aku membuka mata dengan cepat. Kenapa aku tidak bisa mengabaikannya? Pikiranku selalu bertanya-tanya, apakah dia baik-baik saja? Kehilangan seorang anak itu pasti sangat menyakitkan. Aku menghela napas panjang. Kenapa aku begini? Bahkan Tasya saja tidak memikirkan perasaanku. Aduh... ingat, Nadia... dia mengandung benih dari Raka, dari mantan suamimu. Astaga, kenapa denganku? Ternyata berendam air hangat tidak cukup untuk menenangkan pikiranku yang kalut ini. Tapi, sesakit apa pun hatiku, aku tidak akan menunjukkan rasa sakitku pada dunia. Keesokan paginya, aku menggeliat, meregangkan seluruh tubuhku. Aku menyambar ponsel dan melihat jam ternyata masih pukul 5 pagi. Saat hendak kembali tidur, bel apartemenku tiba-tiba berbunyi. Aduh, siapa yang datang pagi-pagi begini? Perasaanku mengatakan aku tidak memesan apa pun. Dengan malas, aku melangkah menuju pintu. Sebelum membukanya, aku mengintip terlebih dahulu. Seketika, mataku membulat. "Tasya?" Dia benar-benar Tasya! Keadaannya sangat memprihatinkan bahkan dia masih mengenakan baju pasien. Astaga! Dia baru menjalani operasi kemarin. Kenapa nekat datang ke sini? Tunggu… bagaimana dia bisa tahu alamat apartemenku yang baru?Hari ini, hariku terasa seperti dulu. Adikku yang kusayang sudah kembali ke setelan awal. Harusnya aku tidak menikah dengan pria sialan itu. Aku terus berjalan menyusuri trotoar. Beruntung, pasien tidak terlalu banyak dan jam kerjaku selesai siang ini. Aku berniat membeli kue kesukaan adikku dan memberinya kejutan bahwa aku pulang lebih awal. Aku terkekeh pelan, membayangkan bagaimana Tasya begitu bahagia saat aku membeli kue yang sama di hari ulang tahunnya yang ke-17. Setelah memesannya, aku segera pergi. dengan cepat masuk ke dalam mobil dan mulai mengemudi dengan kecepatan sedang. Aku tidak ingin terterburu-buru, takut terjadi sesuatu yang tidak aku inginkan. Beberapa menit berlalu, akhirnya sampai di apartemenku. Dengan senyum mengembang, aku menenteng cake yang harganya cukup mahal itu. Namun, senyumku langsung luntur saat aku masuk dan melihat betapa berantakannya apartemenku. Sisa kacang, minuman, dan bungkus cemilan berserakan di mana-mana, begitu mengganggu pengl
Nadia terbangun dengan senyum menghiasi wajah cantiknya. Pagi ini, dia merasa ceria dan bersemangat. Saat menoleh ke samping, dia melihat adiknya, Tasya, masih terlelap. Dengan lembut, Nadia mengelus kepala adiknya, matanya memancarkan kasih sayang. Tak bisa dipungkiri, Nadia memang memiliki hati yang lapang. Jika orang lain mungkin sudah enggan berhubungan dengan adik yang telah merebut suaminya dan menjadikannya seorang janda, Nadia justru menerimanya kembali dengan tulus. "Dia sudah dewasa, tapi bagiku dia tetap adik kecilku," lirihnya sambil menatap Tasya dengan penuh kasih. Dia bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi untuk bersiap berangkat kerja. "Kak, maaf, aku kesiangan. Aku belum sempat menyiapkan sarapan," ujar Tasya yang baru saja bangun, suaranya terdengar sedikit menyesal. Nadia, yang sedang menyisir rambutnya, menoleh dan tersenyum. "Tidak apa-apa, Dek. Wajar saja, semalaman kita nonton film horor sampai susah tidur. Kakak bisa sarapan di lua
"Kak, terima kasih sudah menampungku lagi," ucapnya dengan senyum manis. Aku muak sekali, tapi aku tidak bisa menolak. Kepada siapa lagi dia akan pergi jika bukan padaku? Aku adalah satu-satunya keluarga yang dia miliki di dunia ini. Sebenarnya, kami masih memiliki keluarga dari pihak ibu maupun ayah, tetapi entah ke mana mereka pergi. Sejak orang tua kami meninggal, mereka menghilang begitu saja. Malang sekali nasibku. "Jaga sikap dan perilakumu. Aku bukan kakak yang lemah lembut seperti dulu. Cepat cari pekerjaan! Mau sampai kapan kamu menumpang di rumahku?" tanyaku tegas, menatapnya dengan dingin dan menusuk. Dia tertegun, menatapku dengan tidak percaya. Matanya berkaca-kaca. Aku memalingkan pandangan ke arah lain. "Dia hanya bisa menangis dan menangis!" bisikku pelan, tapi cukup keras agar dia bisa mendengar. "Kak, aku janji aku akan berubah," jawabnya dengan senyum yang terlihat dipaksakan. "Apakah kakak lapar? Aku bisa memasak sesuatu untukmu." Dia berjalan menuju dapur
Dan yap, akhirnya Tasya tinggal di kontrakan dekat apartemenku. Jangan bilang aku keterlaluan—kalian tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh adik sendiri. Sejujurnya, aku tidak tega. Tapi rasanya sulit sekali untuk kembali seperti dulu. Setiap kali aku menatap wajahnya, bayangan mereka di ranjang kembali menghantuiku. Adik kecil yang kubesarkan dengan penuh kasih sayang kini telah menjadi orang asing bagiku. Aku menghela napas, membalikkan badan ke arah tempat tidur. Hujan deras di luar jendela menambah sesak di dadaku. Ibu… Ayah… maafkan Nadia. Nadia tidak bisa menjaga Tasya lagi. Biarkan dia mandiri. Dia sudah dewasa, biarkan dia menanggung kesalahannya sendiri. Aku tahu, mungkin butuh waktu lama sampai aku bisa menerima kehadirannya kembali. Dengan tubuh yang terasa berat, aku merebahkan diri di tempat tidur. Mataku perlahan terpejam, hingga akhirnya aku tenggelam dalam lelap, meski hati dan pikiranku masih terasa penuh sesak. --- Saat aku terbangun,
Aku tertegun, menaikkan satu alis. Entahlah, aku sama sekali tidak terketuk mendengar penderitaannya. Namun, ada sedikit yang membuatku geram—kenapa Raka harus menendang perut Tasya saat dia sedang mengandung benihnya? "Lalu, kenapa kamu bisa tahu alamatku?" tanyaku dingin, seolah-olah aku sedang berbicara dengan orang asing. Tangisnya yang pecah seketika terhenti. Dia menatapku dengan tatapan nanar. Aku dapat melihat dari matanya, mungkin itu tatapan tidak menyangka. "Kak... aku tidak mengenalimu saat ini, kau sangat asing sekarang," lirihnya dengan suara bergetar. Aku berdehem sebelum menjawab perkataannya, mengalihkan pandangan, berusaha mengontrol emosiku. Aku berdiri dari dudukku, melangkah menuju jendela apartemenku. "Inilah risikonya, Tasya. Bukan hanya kehilangan janin, tapi kau juga sekarang telah kehilangan kakakmu sendiri," jawabku menahan tangis. Air mataku luruh begitu saja. Dengan cepat aku menyekanya dengan kasar. Aku tidak ingin terlihat rapuh di depannya.
Aku hanya diam mematung di depan pintu, sedikit ragu untuk membukanya. Namun, saat melihat wajahnya begitu pucat, hatiku bergetar. Bagaimanapun, mendiang Ibu pernah berpesan agar aku selalu rukun dengan saudara. Aku menghela napas panjang, berusaha mengesampingkan rasa sakit yang masih mengendap di hatiku. Dengan tangan bergetar, akhirnya aku membuka pintu. Benar saja, di sana Tasya berdiri dengan wajah pucat. Tangannya memegangi perut seolah menahan rasa sakit. "Masuklah," ucapku datar. Tidak ada perkataan manis, tidak ada tatapan kasih sayang seperti dulu. Tasya berjalan ringkih melewatiku dan langsung duduk di atas sofa empuk di ruang tamuku. Aku tidak langsung mengikutinya. Sebelum itu, aku memastikan pintu apartemen terkunci. "Kak... maafkan aku, Kak..." lirihnya pelan saat melihatku duduk di hadapannya. Aku tidak bereaksi apa pun. Pandanganku tetap dingin dan datar. "Untuk apa?" tanyaku acuh. Dia menangis terisak, lalu berlutut di kakiku. Aku hanya diam, sama sek
Saat aku sedang fokus menyetir, ponselku berdering. Aku menoleh sekilas dan melihat nama Aldo di layar. Dengan cepat, aku mengangkatnya. "Ya, Aldo?" tanyaku tanpa basa-basi. Suasana hatiku sedang kacau sekarang. "Kamu kenapa? Ada masalah?" Suaranya terdengar khawatir. Aku mengerutkan dahi, merasa heran dengan kepekaannya. "Kenapa bicaramu sedikit berbeda, Nadia? Apa kamu baik-baik saja?" sambungnya lagi, membuatku tertegun. Astaga, kenapa dia bisa sepeka ini? Belum sempat aku menjawab, Aldo kembali bersuara. "Aku sedang di kafe Cempaka, dekat rumahmu. Kemarilah sebentar saja, siapa tahu aku bisa memperbaiki suasana hatimu." Tanpa sadar, sudut bibirku terangkat. Aku berdehem, mencoba mengalihkan rasa gugupku. "Baiklah, aku juga belum makan. Aku dalam perjalanan pulang, jadi aku akan mampir sebentar," jawabku cepat. "Baiklah, hati-hati di jalan, Nad. Aku sudah memesan makanan kesukaanmu, tenang saja, aku traktir." Suaranya terdengar antusias. Aku terkekeh pelan menanggapi sikapny
Aku tergesa-gesa, sedikit berlari masuk ke dalam ruanganku. Hari ini ada operasi yang membuatku sedikit kelabakan karena aku terlambat. Suasana di ruangan pasien sedikit riuh. Aku melihat seorang perempuan terengah-engah dan memegang perutnya. Penampilannya sangat kacau. "Kenapa dia?" tanyaku pada suster yang lain. "Dia keguguran dan harus segera dioperasi," jawabnya dengan cepat. Oke. Aku memakai baju operasiku dan perlengkapan lainnya. Saat aku mendekat ke arah perempuan itu, jantungku berdetak cepat. Mataku hampir melompat. "Tasya?" lirihku pelan. "Ayo, Dok, mulai," bisik suster sambil sedikit menyenggol lenganku. Aku terkesiap kaget. Beruntung aku memakai masker sehingga Tasya tidak mengenaliku sebagai kakaknya. Operasi berjalan lancar. Anak yang dikandungnya sudah berusia lima bulan, berkelamin perempuan. Tunggu, lima bulan? Bukankah aku baru memergoki Tasya dua bulan yang lalu? Ternyata mereka sudah selama itu menjalin hubungan. Aku terduduk lemas di ruanganku.
Aku masih betah tinggal di apartemen, dan aku juga masih penasaran dengan tingkah laku adik dan mantan suamiku. Ternyata, mereka masih betah di sana, bahkan lebih mesra tanpa memikirkan bagaimana perasaanku di sini. Aku menghela napas panjang. Benar-benar iblis mereka! Aku tidak ingin rugi. Dengan cepat, aku memposting rumah mewahku itu dan menjualnya di beberapa sosial mediaku. Bahkan, aku mencantumkan nomor ponselku. Semoga saja ada yang berminat membeli. Peduli apa aku dengan adikku sekarang? Biarkan saja dia menjadi gelandangan. Apa mungkin pacarnya akan menampungnya? Aku rasa Raka dipecat dari pekerjaannya, karena salah satu teman Raka yang memang akrab denganku memberitahukan berita heboh di kantornya. "Kamu tahu, Nad? Raka, suamimu, dipecat dengan tidak hormat di kantornya, bahkan tanpa pesangon," ujarnya saat itu lewat sambungan telepon. "Dia bukan suamiku lagi, Tin. Dia mantan suamiku," jawabku kala itu, membenarkan perkataannya. Bukan hanya itu saja, orang tua Ra